Rafa

By jeochan_

776K 55.7K 2K

[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa ti... More

prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45

18

17.3K 1.2K 59
By jeochan_










Pagi hari suasana di perdesaan begitu damai dan tentram. Angin yang sejuk menerpa wajah imut milik seorang laki-laki yang sedang berjalan-jalan bersama teman barunya.



Mereka adalah Rafa dan dua teman barunya di desa ini. Suasana pagi di sini begitu menenangkan hati, Rafa sepertinya betah berada di sini, tak ingin rasanya kembali ke kota. Rafa tidak siap, ia ingin di sini saja bersama dua teman barunya.


Bayu dan Gilang, teman barunya saat ini.


Mereka bertiga sedang jalan-jalan mengelilingi desa ini. Sesekali mereka saling melontarkan candaan sehingga membuat Rafa nyaman berbicara dengan teman barunya.


"Bayu, Rafa mau difotoin." Rafa memberikan Bayu handphonenya untuk menyuruhnya mengambil fotonya. Bayu menerima itu, mengarahkan handphone tersebut tepat dimana Rafa berdiri dengan pemandangan di belakangnya berupa sawah yang luas.

"Ikut," serobot Gilang. Jadi saat ini Bayu sedang memotret Rafa dan Gilang.


Cekrek cekrek cekrek.


Setelah selesai dengan tugasnya, Bayu mengembalikan handphone tersebut pada Rafa. Sedangkan Rafa tidak sabaran untuk melihat hasil tangkapan fotonya tadi.


"Terimakasih Bayu," ucapan terimakasih yang tulus dari Rafa pada Bayu.


Sedangkan Bayu berdeham singkat menanggapi ucapan dari Rafa. Tubuh Rafa yang paling pendek dari kedua temannya, padahal Bayu dan Gilang masih kelas 2 SMP, lebih besar Rafa. Harusnya Rafa lebih tinggi dari dua temannya itu. Tapi kenapa Rafa paling pendek diantara mereka.

"Fa, kirim foto itu ke nomorku ya," pinta Gilang dengan cengiran lebar. Rafa menganggukkan kepala pertanda setuju dengan permintaan Gilang.


Puas dengan acara jalan-jalannya, mereka bertiga pulang ke rumah masing-masing. Rumah mereka tidak jauh, hanya terhalang beberapa rumah saja. Rafa masuk ke dalam rumah kakek neneknya. Di dalam rumah terdapat nenek dan ibunya yang sedang berada di tempat makan dengan sayuran yang ibunya potong kecil-kecil di atas talenan.


"Ibu, lagi ngapain," tanya Rafa tepat berdiri di belakang ibunya.


Helia sempat terkejut atas pertanyaan yang dilontarkan anaknya secara tiba-tiba, "Rafa, bikin ibu kaget aja," seru Helia yang kembali melanjutkan acara memotong sayurnya.

Nenek tertawa melihatnya, "Ambil sarapan. Kamu belum sarapan kan."

Sedangkan Rafa hanya mampu menyengir saja. Benar, tadi ia langsung kabur main, tidak sarapan terlebih dulu. Akibatnya perutnya lapar saat ini. Tanpa banyak membuang waktu, Rafa mengambil piring di belakang dan mengambil lauk seadanya. Duduk tepat di samping ibunya yang masih berkutat dengan pekerjaannya.


"Ayah dimana bu?" tanya Rafa disela-sela suapannya.

"Pergi  sama kakek," jawab Helia.


"Enak tidak tinggal di sini?" tanya nenek pada Rafa yang sedang lahap-lahapnya memakan makanannya. Sedangkan Rafa tidak langsung menjawab pertanyaan neneknya, ia menelan terlebih dulu makanan yang berada di mulutnya lalu menjawab pertanyaan yang telah diberikan neneknya,


"Enak, seru. Rafa udah punya teman baru.” Rafa dengan antusias menjawab pertanyaan neneknya. Menggambarkan betapa senangnya ia di sini.

Arah pandangan Rafa kini beralih ke ibunya, "Ibu, Rafa mau di sini saja. Gak mau balik ke kota."

Ucapan Rafa mampu mengagetkan Helia, tangan yang sedari tadi memotong-motong kecil sayuran kini berhenti, tatapan kagetnya ia arahkan pada Rafa yang sepertinya tidak memikirkan dampak dari apa yang telah Rafa ucapkan tadi. Entah respon abang-abangnya Rafa akan bagaimana jika mendengar Rafa menolak kembali ke kota. Belum lagi majikannya.

"Rafa, kamu tidak serius kan?" tanya Helia memastikan. Sebenarnya tidak apa apa jika anaknya memilih menetap di sini bersama nenek kakeknya, hitung-hitung orang tuanya tidak kesepian. Tapi masalahnya bagaimana dengan dua keluarga itu? Kalian tau sendiri kan bagaimana dua keluarga itu memperlakukan Rafa.

Rafa menahan makanannya di dalam mulutnya sehingga membuat kedua pipinya mengembang, mata bulat polosnya berganti menatap ibunya yang kini menatap ia dengan mata yang tersirat kekhawatiran, kenapa? Memangnya ada apa?

Belum juga Rafa menjawab pertanyaan ibunya, neneknya menimpali percakapan ini.

"Biarkan Rafa menetap di sini jika dia ingin, terserah cucuku," bela sang nenek pada Rafa. Memangnya salah jika cucunya sendiri memilih tinggal di rumah neneknya? Tidak kan. Kenapa anaknya -Helia- seperti tidak setuju. Lagipula ia merasa tidak direpotkan sama sekali.



Rafa menganggukkan kepalanya, setuju dengan ucapan neneknya. Rafa sendiri memang menginginkan tinggal di sini. Di sini enak, tidak ada manusia seperti Toni. Teman-temannya di sini baik padanya, Rafa hanya ingin ketenangan.


"Lalu bagaimana dengan abang-abang mu?" tanya Helia dengan sorot mata terkesan serius menatap penuh kedua mata bulat Rafa yang memancarkan kepolosan. Apakah Rafa tidak memikirkan abang-abangnya sendiri, apakah Rafa tidak mempertimbangkan lagi keputusannya?


Rafa menunduk lesu, benar juga. Di sana ada abang-abangnya, ia pasti akan rindu mereka. Pilihan yang berat baginya. Rafa ingin di sini, tapi Rafa tidak ingin jauh-jauh dari abang-abangnya. Rafa bingung. Enaknya bagaimana?


"Rafa mau ke kamar dulu, Rafa selesai," pamit Rafa setelah menyelesaikan makanannya, berjalan ke belakang untuk meletakkan piring itu. Lalu ia masuk ke dalam kamarnya. Mengistirahatkan tubuhnya di atas kasur tipis. Rasa kantuk mulai menyerang dirinya, mengingat jika tadi ia bangun pagi sekali. Dan melihat ada remaja yang seumuran dirinya mengajak jalan pagi bersama dan akhirnya Rafa mengiyakan ajakan mereka. Dan sekarang mereka berteman, cukup menyenangkan.


Matanya mulai menutup seiring berjalannya waktu, dengkuran halus mulai terdengar, pertanda jika Rafa sudah berada di alam mimpinya. Dan tidak mempedulikan handphonenya yang berdering. Tertera di sana ada nama Dean.





……..





"Sialan," desis Dean saat telponnya tidak segera diangkat oleh Rafa. Rasanya ingin sekali menjemput Rafa dan membawanya kembali ke mansion nya. Kenapa harus ada acara pulang kampung, kenapa harus membawa adiknya. Jika Rafa dititipkan di mansion nya itu lebih baik.

Emosinya belum stabil, nanti malam ia akan kembali ke gedung itu, dimana Toni masih ditahan di sana. Puluhan bodyguard menjaga ketat bangunan itu. Bodyguard dari Alarick dan ditambah bodyguard dari Ganendra membuat gedung itu padat akan bodyguard. Itu bagus, meskipun kecil kemungkinan Toni untuk melarikan diri. Dengan keadaan yang sudah lemas dan beberapa luka di bagian tubuhnya, Dean yakin anak itu tidak akan bisa kabur dari mereka, untuk berjalan pun mungkin tidak sanggup.



Toni tidak bisa begitu mudah lepas darinya. Mereka akan melepaskan Toni, tenang saja. Tapi harus menunggu emosi semua pawangnya Rafa mereda, sampai benar-benar dapat menyalurkan emosi mereka.



Mengingat itu, seringai tipis terbit dari bibirnya. Ia tidak yakin jika emosinya dan lainnya akan cepat surut. Mendengar Rafa tidak bersama mereka untuk tiga hari ke depan, membuat emosi mereka kembali naik. Dan satu-satunya pelampiasan amarah mereka adalah anak itu, Toni.








……







"Kakek ikut," seru Rafa degan terburu-buru  keluar dari rumah. Mendengar jika kakeknya akan pergi ke pasar pada sore hari ini, membuat ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak ikut.

Sedangkan sang kakek dengan setia menunggu cucunya, mengulas senyum tipis ketika melihat cucunya yang begitu lucu dan imut berlari terburu-buru padanya.



"Kakek kok gak ajak-ajak Rafa," protes Rafa ketika sudah sampai di dekat kakeknya. Ia merasa ditinggal jika ia sendiri tidak mengikutkan dirinya sendiri. Melihat kakeknya yang keluar dari rumah membuat ia bertanya pada neneknya akan kemana kakeknya pergi. Mendengar kata pasar, ia langsung berlari keluar dan menyusul kakeknya yang untungnya belum jauh darinya.


"Kakek kira Rafa sibuk lihat tv. Jadinya kakek tidak mengajakmu, memang Rafa suka jika diajak ikut ke pasar?" tanya kakek yang mulai berjalan bersama cucunya untuk pergi ke pasar yang tak jauh dari kediaman mereka.


Di desa ini, pasar sore buka setiap hari sabtu dan minggu. Di sana menjual beberapa lauk dan beraneka ragam jajanan. Nenek menyuruh kakek untuk ke pasar sore, membelikan tambahan lauk untuk mereka santap saat makan malam nanti. Porsi masakan bertambah karena bertambahnya anggota keluarga. Biasanya nenek akan mempersiapkan makanan seadanya karena akan dinikmati berdua saja. Kali ini tidak, ada anak dan cucunya yang kini tinggal di rumah mereka.


"Rafa suka ke pasar. Kapan-kapan ajak Rafa ya kakek, jangan ditinggal-tinggal," ucap Rafa pada kakeknya.

Tak terasa mereka berdua sudah sampai di pasar sore. Ramai, satu kata menggambarkan suasana saat ini. Rafa jadi bingung ingin membeli yang mana, semuanya menggugah selera. Rafa melihat ke sana ke sini dengan mulut yang menganga kecil dengan ujung bibirnya yang terangkat membentuk senyuman.

Tingkah Rafa tidak lepas dari pengawasan kakeknya. Kakek tidak menyangka Rafa tumbuh besar secepat ini. Ia masih ingat ketika Rafa masih kecil yang suka minta ia gendong kemana-mana dengan ekspresi menggemaskan. Bahkan saat besar pun, wajah Rafa tidak berubah banyak, tetap imut dan menggemaskan seperti saat kecil dulu. Pada saat itu Rafa kecil berumur 4 tahun.


"Rafa mau beli yang mana?" tanya kakek dengan kedua tangan ia arahkan ke belakang tubuhnya, tatapannya mengarah ke depan mengikuti arah pandangan Rafa.


Rafa menggaruk pipinya yang tak gatal, ia merasa bingung. Banyak sekali makanan yang di jual saat ini. Rafa tidak bisa mengambil keputusan. Akhirnya ia serahkan saja pada kakeknya. Ia di sini hanya ikut saja, tidak ingin merepotkan kakeknya dengan keinginannya yang banyak ini.


Rafa mengekori kakeknya dengan tangannya memegang ujung baju milik kakeknya. Pasar sore ini begitu ramai, Rafa takut hilang karena ia tidak mengetahui arah jalanan di desa ini.


Setelah menghabiskan beberapa menit untuk membeli makanan, Rafa dan kakeknya beranjak pulang dengan membawa makanan yang telah dibeli. Tepat saat mereka akan sampai di kediamannya, tiba-tiba Gilang dan Bayu berjalan di depan Rafa dan kakeknya. Reflek Rafa menyebut nama teman barunya itu.


"Bayu, Gilang, mau kemana?" Rafa mencegat jalan temannya dengan merentangkan tangannya selebar mungkin.


"Kami akan ke lapangan, main bola sama yang lain. Rafa ikut gak?" jawab Bayu dengan akhiran perkataannya mengandung ajakan. Rafa langsung menganggukkan kepalanya dengan semangat. Ia suka jika diajak main sama teman-temannya, jika di kota tempat tinggalnya sekarang ini, ia pasti tidak punya teman main. Teman-temannya mana berani dengan pawangnya Rafa.


"Apakah boleh?" tanya Rafa memastikan.


"Tentu, ayo," jawab Gilang.


Rafa menoleh menatap kakeknya dengan senyuman manis, belum sempat Rafa mengeluarkan suaranya untuk meminta izin, kakeknya sudah mengizinkannya. "Boleh, pulang jangan malam-malam ya, kakek akan beritahu orang tuamu,"


Rafa bersorak senang, akhirnya ia bisa bermain dengan temannya. Setelah mendapat izin dari kakeknya, Rafa dan kedua temannya segera berjalan menuju ke lapangan. Dimana mereka akan bermain bola dengan yang lain. Rafa tidak sabar untuk berinteraksi dengan yang lain. Rafa semakin yakin jika keinginannya untuk tinggal menetap di sini adalah pilihan terbaik. Rafa suka di sini.


Kini tinggal kakek seorang diri, melihat antusias Rafa ketika diajak main oleh temannya membuat kakek juga merasa senang juga. Melangkahkan kakinya untuk melanjutkan perjalanannya sampai ke rumah. Tak butuh waktu lama, kini kakek sudah sampai dan di sambut oleh putrinya yaitu Helia.


"Loh ayah, sendirian? Kata ibu, Rafa ikut ayah," tanya Helia.

"Ya, Rafa tadi ikut temannya untuk bermain bersama, Rafa sepertinya sangat senang. Jadi ayah mengizinkannya," jawab kakek dengan memberikan belanjaannya yang berisi makanan yang telah dibeli tadi pada Helia.

Helia menghela napas leganya, ia kira Rafa kemana. Ia takut jika Rafa hilang di pasar. Bagus lah jika Rafa memiliki teman di sini, siapa tau dengan bermain dengan temannya dapat membuat Rafa melupakan kejadian kemarin. Tidak kepikiran terus menerus. Helia hanya tidak ingin anaknya mengalami stress karenanya.

"Helia, mana belanjaannya," teriak nenek dari dalam rumah. Menyuruh Helia untuk segera membawa masuk belanjaan itu. Mendengar teriakan ibunya, Helia langsung masuk ke dalam rumah dan memberikannya pada ibunya di dapur. Ia pun juga ikut membantu ibunya menyiapkan makan malam untuk keluarganya.

Saat sedang sibuk membantu ibunya menyiapkan makanan, Arya menghampiri Helia dengan membawa handphone  Rafa yang berdering itu.

"Sayang, Rafa kemana? Tuan muda Vano dari tadi menelpon," Arya memberikan handphone Rafa ke istrinya. Helia mengambil handphone itu lalu menjawab pertanyaan suaminya.

"Rafa keluar, ia sedang bermain bersama teman-temannya," jawab Helia dengan menatap handphone Rafa yang berdering dengan nama Vano tertera di layar handphone.

"Angkat saja, siapa tau penting," timpal nenek ditengah-tengah kesibukannya menyiapkan makanan.

Helia dan Arya saling tukar pandang, seperti melemparkan kode satu sama lain. Sepertinya mereka berdua tidak berani mengangkat telepon itu karena mereka pun jarang berinteraksi dengan Vano. Apalagi Helia, ia kan kerja di mansion Ganendra, bukan di mansion Alarick.


Helia memberikan kembali handphone itu kepada suaminya, menyuruh agar Arya saja yang mengangkatnya.

Arya pasrah, menerima kembali handphone itu dan berlalu pergi untuk mengangkat telepon dari tuan mudanya.

"H-halo tuan muda Vano." Arya mengawali percakapan mereka di telepon.

Hening sejenak, tidak ada balasan dari Vano. Arya menjauhkan sedikit handphone tersebut guna melihat apakah telponnya masing tersambung atau tidak. Ternyata masih tersambung, tapi kenapa tuan mudanya tidak segera menjawab.

"Halo tuan muda," panggil Arya lagi untuk memastikan jika telpon masih terhubung dengan Vano.

"Rafa?" balas Vano dengan suara dinginnya.

Arya mengelus tengkuknya yang tiba-tiba merinding atas jawaban Vano padanya, "Rafa sedang keluar tuan. Maka dari itu saya yang menjawab telepon ini. Ada perlu apa tuan? Mungkin saya bisa menyampaikannya jika Rafa sudah pulang."

"Keluar kemana?"

Dari perubahan nadanya, Arya mengetahui jika Vano sedang menahan emosi. Arya semakin tidak berani untuk menjawab pertanyaan tuan mudanya. Takut membuat masalah dengan Vano. Tidak dengan Vano saja, tapi dengan keluarga Alarick. Ia saja mewanti-wanti agar anaknya jangan sampai mencari gara-gara atau pun membuat keluarga Alarick marah. Ia tidak tau akan bernasib apa keluarganya jika sampai seperti itu.

"R-Rafa, anu Rafa sedang pergi bermain dengan temannya," balas Arya dengan terbata-bata.

"Teman?" tanya Vano lagi dengan geraman rendahnya. Arya yakin jka Vano saat ini sedang menahan emosi. Ia cukup tau seberapa possesivenya abangnya Rafa.

"B-benar tuan, m-mungkin habis ini Rafa ak-" ucapan Arya menggantung karena Vano memutus sepihak sambungan telpon itu. Arya menelan ludah dengan susah payah, ia yakin saat ini tuan mudanya tengah emosi. Melihat bagaimana respon Vano tadi, Bagaimana nanti Rafa akan menenangkan hati abang-abangnya?

Mendengar jika Rafa sedang keluar bermain bersama temannya saja sudah membuat Vano marah, bagaimana jika mereka mengetahui jika Rafa tidak ingin kembali ke sana?







.....














Akhirnya up😌🤙maaf ya lama.

Akan kuusahakan up cepet, kalo gak berhasil. Nanti usaha lagi 😌🤙

Makasii yang udah nunggu 💖💖💖

Continue Reading

You'll Also Like

446K 25.6K 25
→HABIS BACA JANGAN LUPA VOTE← Note: BUAT PARA PLAGIAT!!! WOI! KALAU PUNYA OTAK YA LO HARUS MIKIR SENDIRI :v JANGAN SEENAK JIDAT NGEJIPLAK MILIK ORANG...
1.8M 129K 82
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...
217K 10.8K 40
"T-tuan hiks huaa" menceritakan seorang remaja yang berkerja di mansion Alexander Xavier pemuda itu bernama Aaron Raymond pemuda berkulit putih den...
114K 11.9K 31
" Bagaimana pun juga, aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Jiwa kita sama. Namun saat ini, aku akan menyelamatkan mu. Tempati raga itu dan hiduplah...