Peluk untuk Semesta

By beliawritingmarathon

119K 14.6K 3.6K

"Gue nggak bisa wujudin semua keinginan Mentari. Tapi gue bisa ngasih seluruh semesta gue buat Mentari." *** ... More

Prolog
1. Sempurna
2. Aspire atau Mentari
3. Cowok Asing
4. Makan Malam Bersama
5. Sebuah Permintaan
6. Kebahagiaan untuk Semesta
7. Jealous
8. Fotografi
9. Rooftop Langit Jingga
10. Maaf dari Semesta
11. Overthinking
12. Sebuah Pilihan
13. Memaafkan Manusia Lain
14. Penolakan
15. Kebohongan Mereka
16. Hal-hal Menyebalkan
Bab 17. Terima Kasih
Bab 18. Merasa Tidak Berguna
Bab 19. Perasaan Bersalah
20. Special Day
21. Egois
23. Kekhawatiran Semesta
24. Rumit
25. Berhenti Sampai di Sini
26. Memaafkan Segala Hal
27. Kehidupan Baru
28. Kehilangan
OPEN PRE-ORDER PELUK UNTUK SEMESTA

22. Mengurung Diri

1.5K 166 4
By beliawritingmarathon


"Terlalu banyak yang Semesta pendam sebab merasa tidak berhak mengutarakan."

***

Brak!

Brak!

Bug!

Pyar!

"APA GUE SALAH KALAU POSESIF KARENA SAYANG?" Tubuh Semesta luruh ke lantai. Ia duduk di dekat tempat tidur sambil memukul kepalanya sendiri. "APA GUE SALAH KALAU LEMAH KARENA TAKUT KEHILANGAN MILIK GUE?!"

"Dasar lemah! Lemah!"

Ini bukan kali pertama Semesta melampiaskan amarah dengan membanting, memukul, dan merusak barang-barang yang ada di kamar. Semenjak kedua orang tuanya meninggal. Lebih tepatnya semenjak ia merasa kehilangan tempat bercerita, kehilangan support system, dan kehilangan separuh bagian dari hidupnya, diam-diam Semesta sering melalukan hal ini karena kesulitan mengekspresikan emosi secara langsung.

Ditambah semenjak kepergian ayah dan bundanya, sikap Mentari juga tiba-tiba berubah 180 derajat. Mentari yang ia kenal sebagai sosok yang perhatian dan peduli, ceria dan pemberani, lembut tapi selalu tegas, menjadi Mentari yang seperti sekarang. Mentari yang lebih sering terlihat cuek dan bodoamat, yang terkesan sangat... egois?

Semenjak hari itu, Semesta merasa kehilangan segala hal baik dalam hidupnya. Ya, dalam hitungan detik hidupnya seolah berubah menjadi kehidupan baru yang asing. Hidupnya yang dulu penuh warna berganti menjadi penuh hal-hal tidak menyenangkan. Yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus tetap Semesta jalani hingga detik ini.

Semenjak hari itu pula, ketika marah, sedih, kecewa, dan merasa tidak terima atas suatu hal, Semesta lebih memilih diam. Sebab, ia takut apa yang ia rasakan hanya akan dihakimi oleh orang-orang. Bukan dimengerti atau setidaknya didengarkan. Bahkan orang-orang terdekatnya lebih sering menyebutnya lemah dibanding mencoba untuk memahami dirinya.

Respon-respon buruk yang selama ini Semesta terima, pada akhirnya membuat Semesta hanya bisa menyalurkan perasaan-perasaan kacau yang menumpuk melalui hal tidak wajar seperti sekarang.

Terlalu banyak yang Semesta pendam sebab merasa tidak berhak mengutarakan. Membuat Semesta terbiasa menjadi pendengar yang baik. Namun, pendongeng yang buruk. Selama ini Semesta memang lebih senang menjadi pendengar cerita orang daripada harus menceritakan banyak hal pada orang lain.

Semesta tidak bisa mengutarakan perasaannya secara terang-terangan pada siapa pun. Sekalipun ia sudah mencobanya berulang kali. Yang ada, ia semakin merasa bersalah. Ujung-ujungnya dirinya lah yang minta maaf. Seperti pertengkarannya dengan Mentari di mobil kemarin.

Semesta mengacak rambutnya frustasi. Ia salah. Selama ini ia kira menyibukkan diri dengan berbagai hal yang menyita waktu di luaran sana. Juga menghabiskan Hari-harinya untuk berinteraksi dengan banyak orang, bertemu banyak orang, bisa membuat lukanya perlahan sembuh. Juga, menjadikan dirinya sebagai sosok Semesta yang tidak terlalu bergantung pada Mentari.

Namun, sekeras apa pun ia berusaha agar luka sepeninggal orang tuanya itu mereda. Ternyata sekeras itu juga lukanya berhasil mengobrak-abrik dirinya. Rasa takut yang timbul karena trauma ditinggalkan di masa lalu, perlahan semakin menguasai diri Semesta. Semesta semakin menggantungkan kebahagiaannya, hari-harinya, dan segala yang ada di hidupnya pada Mentari.

Sepanjang malam, Semesta harus menghabiskan waktunya untuk melawan rasa takut. Semesta takut, Mentari—satu-satunya orang yang ia cintai sekarang—akan berakhir pergi meninggalkannya juga.

Karena rasa takut itu, dalam keadaan-keadaan tertentu, Semesta sering kali kehilangan kontrol. Ia sering tiba-tiba merasa bersalah, merasa panik, merasa kesal, merasa marah, dan merasakan perasaan-perasaan buruk lainnya hanya karena pemicu kecil. Namun, lagi-lagi semua perasaan-perasaan buruk yang ia rasakan hanya bisa ia telan mentah-mentah. Tanpa bisa ia utarakan.

"Bodoh!"

"Tidak berguna!"

"Lemah!"

Tangan Semesta mengepal kuat mengingat kata demi kata yang selalu keluar dari mulut sang kakek. Ia marah dengan kakeknya. Kenapa? Kenapa kakeknya—orang yang seharusnya menggantikan peran orang tuanya—tidak pernah bisa mengerti apa maunya? Kenapa kakeknya selalu bersikap seolah semua pilihan yang ia ambil, langkah yang ia pilih, hal yang ia lakukan, adalah sebuah kesalahan yang tidak layak untuk dihargai? Kenapa?

Rasanya Semesta ingin marah dan berteriak kencang pada dunia. Kenapa hidup sempurna yang ia miliki dulu, tidak berlangsung selamanya? Apa ia berbuat salah hingga Tuhan menghukum dirinya?

"Aarrghh! Kenapa? Kenapa harus kayak gini?!"

Semesta mengacak rambutnya frustasi. Sudah dua hari ini ia mengurung diri di dalam kamar. Tidak makan, tidak kuliah, tidak ikut latihan bersama anak Aspire, juga mengabaikan ponselnya yang terus-terusan berdering. Bahkan ia lupa ponsel itu ia letakkan di sebelah mana. Yang pasti tetap ada di dalam kamar.

Sudah dua hari juga Semesta tidak bertemu dengan kakek. Terakhir bertemu satu hari setelah pertengkaran mereka di tangga. Keesokan harinya Semesta ikut datang ke kantor polisi sesuai permintaan sang kakek. Sebenarnya hal itu juga yang kini menambah beban pikiran Semesta—selain overthinking tentang Mentari dan Navarez. Ya, lagi-lagi kakeknya selalu menyalakan dirinya.

"Dasar lemah! Lihat rekaman CCTV saja takut sampai berkeringat dingin! Memalukan!"

Itu adalah kalimat yang Batara lontarkan saat Semesta memilih menolak untuk melihat rekaman CCTV kecelakaan orang tuanya. Semesta tidak mau melihat karena ia punya banyak ketakutan untuk hal itu. Segala pemikiran buruk bisa kembali bersarang dalam kepala jika ia paksakan.

Bukankah yang terpenting sekarang Semesta sudah mengetahui fakta baru mengenai kecelakaan orang tuanya? Kecelakaan yang terjadi satu tahun lalu, yang kasusnya sempat ditutup karena polisi menyatakan itu adalah kecelakaan tunggal. Namun, kini kembali dibuka setelah polisi menemukan fakta baru.

Ya, kecelakaan mobil orang tua Semesta malam itu bukanlah kecelakaan tunggal. Dari bukti rekaman CCTV yang baru ditemukan, ternyata mobil orang tua Semesta menabrak bahu jalan karena mengindari mobil lain yang melawan arah.

Yang menjadi masalah, hingga sekarang mobil tersebut belum bisa ditemukan. Karena minimnya bukti dan saksi. Polisi juga sulit mengidentifikasi pemilik mobil karena tidak adanya nomor plat mobil yang terlihat dalam rekaman.

"Kalau sumber kelemahan kamu itu Mentari, Kakek nggak akan segan-segan buat musnahin dia!"

Semesta mengusap wajahnya kasar. Demi Tuhan, kalau kakeknya sampai nekat berbuat hal macam-macam pada Mentari, Semesta akan membenci kakeknya seumur hidup.

Tok... tok... tok...

"Semesta? Keluar. Kakek ingin bicara!"

***

"Tar, tadi Kakek chat gue. Katanya udah dua hari Semesta nggak keluar kamar. Nggak mau makan juga. Kakek khawatir. Dia minta lo dateng ke rumah buat bujuk Semesta," bisik Jemisha saat mereka di dalam kelas, mengikuti mata kuliah siang ini.

Mentari balas berbisik. "Pantesan dari kemarin gue chat nggak dibales. Gue biarin karena gue kira dia masih marah sama gue."

"Emang lo lagi berantem sama Semesta?"

Jemisha membekap mulutnya sendiri. Ia keceplosan berbicara dengan suara lantang. Beruntung, mereka duduk di deretan paling belakang dan dosen di depan sana tidak mendengar suaranya yang kelewat santai.

"Ssttt!!"

Mentari dan Jemisha menatap ke pojok ruangan. Atlas, cowok itu menoleh ke arah mereka dengan mata melotot memberi peringatan.

"Jangan bersisik!" peringat Atlas dengan gerakan mulut tanpa suara.

Mentari dan Jemisha kembali ke topik pembicaraan tanpa memedulikan Atlas di pojok sana. Cowok itu memang suka tidak tahu diri. Padahal dirinya sendiri sedang bermain game di ponsel. Tidak benar-benar mendengarkan penjelasan dari sang dosen.

"Nggak berantem. Cuma kemarin Semesta tiba-tiba banget bahas Kak Navarez, jadi gue bad mood."

"Kak—emm!!"

Mentari melepaskan bekapannya di mulut Jemisha setelah merasa keadaan aman. Mulut sahabatnya itu memang berbahaya. "Udah dibilang jangan keras-keras suara lo!" marah Mentari dengan suara pelan.

Cengiran lebar Jemisha tunjukkan ke hadapan Mentari. "Hehe... sorry gue lupa."

"Lo kenal Kak Navarez, Tar? Kakak tingkat kita yang ganteng itu, kan? Serius lo kenal?"

"Dia fotografer gue di project bulan ini. Nah, semenjak tau hal itu, beberapa hari ini Semesta jadi lebih sering cemburu nggak jelas."

"Tapi dari dulu, kan, Semesta emang cemburuan."

Mentari mengangguk. Benar. Dari dulu Semesta memang seperti itu. Namun, beberapa hari ini jauh lebih parah. "Iya sih. Tapi beberapa hari ini jadi parah banget. Tingkat overthinking dia juga makin menjadi-jadi. Pusing gue."

"Pantes sih kalau Semesta khawatir. Kak Navarez ganteng banget soalnya. Dia keliatan kayak cowok yang... perfect gitu. Ya, meski kata orang-orang dia playboy sih. Gue dulu pernah naksir sama dia waktu jaman ospek." Jemisha cekikikan tidak jelas. Mengingat bagaimana dulu ia mengagumi sosok cowok yang sempat menjadi panitia ospek itu. "Eh! Tapi awas aja lo sampai kecantol sama dia! Inget. Lo udah punya Semesta. Kalau Semesta lo sakitin, hubungan kita juga berakhir!"

Meski Mentari tahu Jemisha berkata demikian hanya sebagai candaan. Karena faktanya selama ini Jemisha selalu ada untuknya, bahkan ketika ia bersikap tidak pantas pada Semesta. Namun, entah kenapa hati Mentari tiba-tiba merasa sedih. Bagaimana jika suatu hari nanti hidupnya akan berubah 180 derajat? Ia akan kehilangan Semesta, kehilangan Jemisha, dan kehilangan segala hal baik yang ia miliki sekarang. Lalu, berakhir menyedihkan sendirian.

Belum lagi masalahnya dengan Jena and the gang—yang belum menemukan titik terang karena sampai saat ini cewek itu masih sinis dengannya. Hanya membayangkan saja Mentari merasa tidak sanggup. Mentari benar-benar tidak tahu harus melakukan apa jika hari itu benar-benar datang.

"Tar, jangan lupa. Nanti kelar matkul ini kita langsung ke rumah Semesta, ya." Jemisha mengingatkan. "Kita nebeng mobil Atlas aja. Soalnya dia juga pengin ke rumah Semesta."

"Tar!"

"Mentari!"

Lamunan Mentari buyar saat Jemisha mengguncang pundaknya. Ia menatap Jemisha kaget. "Lo ngomong apa tadi, Jem?"

Jemisha berdecak. Merotasikan kedua matanya kesal. Hobi Mentari akhir-akhir ini adalah melamun. "Nanti kelar matkul ini kita langsung ke rumah Semesta. Nggak mau tau lo harus bisa. Gue nggak mau, ya, kalau sepupu gue mati kelaparan karena nggak keluar kamar."

"Jangan ngomong sembarangan, Jem!" Mentari mendengus kasar. Ia paling tidak suka kalau Jemisha menjadikan kematian sebagai bahan candaan. Apa pun itu, menurut Mentari kematian tidak pantas untuk dijadikan bahan candaan.

"Iyaaaa... " Jemisha terkekeh pelan. Sahabatnya ini memang galak seperti ibu tiri. "Tapi lo mau kan ke rumah Semesta? Perintah dari Kakek loh ini. Lampu hijau buat hubungan lo sama Semesta ke depan."

Mentari tersenyum masam. Bahkan di saat orang-orang sekitarnya yakin kalau dirinya akan berakhir dengan Semesta, Mentari sendiri justru tidak pernah merasa yakin. Ya, ia tidak boleh berakhir dengan Semesta. Karena ia... tidak pantas.

"Tar!" seru Jemisha. Jemisha merasa kesal karena lagi-lagi Mentari mengabaikan ucapannya dan asyik dengan lamunan. "Jawab, ish!"

Mendengus, Mentari menatap Jemisha tanpa ekspresi. Sebenernya selesai kelas mereka siang ini, Mentari masih ada pemotretan. Namun, setelah ia mendengar kabar Semesta yang katanya tidak baik-baik saja, Mentari pikir tidak masalah kalau kali ini mengesampingkan urusannya terlebih dahulu demi Semesta. Lagi pula selama ini Semesta sudah banyak berkorban untuknya.

Mentari mengangguk setuju. "Iya, tapi nanti gue mau ketemu Kak Navarez bentar."

***

Continue Reading

You'll Also Like

420K 44K 19
*Spin off Kiblat Cinta. Disarankan untuk membaca cerita Kiblat Cinta lebih dulu untuk mengetahui alur dan karakter tokoh di dalam cerita Muara Kibla...
186K 17.8K 25
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
10.5M 922K 61
~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN DITIRU! 'Si cuek yang tiba-tiba agresif' Start : 18 Februari 2023 End : 27 Mar...
1.1M 85.4K 41
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...