Peluk untuk Semesta

By beliawritingmarathon

119K 14.6K 3.6K

"Gue nggak bisa wujudin semua keinginan Mentari. Tapi gue bisa ngasih seluruh semesta gue buat Mentari." *** ... More

Prolog
1. Sempurna
2. Aspire atau Mentari
3. Cowok Asing
4. Makan Malam Bersama
5. Sebuah Permintaan
6. Kebahagiaan untuk Semesta
7. Jealous
8. Fotografi
9. Rooftop Langit Jingga
10. Maaf dari Semesta
11. Overthinking
12. Sebuah Pilihan
13. Memaafkan Manusia Lain
14. Penolakan
15. Kebohongan Mereka
16. Hal-hal Menyebalkan
Bab 17. Terima Kasih
Bab 18. Merasa Tidak Berguna
Bab 19. Perasaan Bersalah
21. Egois
22. Mengurung Diri
23. Kekhawatiran Semesta
24. Rumit
25. Berhenti Sampai di Sini
26. Memaafkan Segala Hal
27. Kehidupan Baru
28. Kehilangan
OPEN PRE-ORDER PELUK UNTUK SEMESTA

20. Special Day

1.7K 207 4
By beliawritingmarathon


Jangan lupa klik bintang :D

----

"Semesta, aku akan mencintaimu bersama dengan luka-lukamu."

***

Hari ini adalah hari special untuk Semesta. Ia akan menghabiskan waktunya bersama Mentari. Seperti janji Mentari kemarin. Untuk menebus perasaan bersalah sekaligus sebagai ucapan terima kasih, hari ini Mentari mau diajak ke mana saja.

Tentu, Semesta tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kapan lagi di waktu weekend Mentari tidak sibuk melakukan pemotretan dan mau jalan-jalan kemana saja dengannya? Ini adalah kesempatan emas, bukan?

Walaupun pagi ini Semesta harus datang ke studio terlebih dahulu untuk mengikuti latihan band bersama anak Aspire. Namun, hal itu tidak manjadi masalah. Karena latihan mereka pagi ini hanya berlangsung sekitar dua jam saja. Selebihnya Semesta bisa menghabiskan waktunya seharian penuh bersama Mentari.

Satu tahun lebih menjalin hubungan dengan Mentari, jujur Semesta dan Mentari memang sangat jarang bisa jalan bersama di weekend seperti pasangan-pasangan anak muda pada umumnya. Mentok-mentok hanya makan malam bersama. Itu pun sangat jarang dan sangat susah mengingat bagaimana kesibukan Mentari selama ini. Juga kesibukan Semesta sebagai gitaris Aspire.

Kebersamaan mereka biasanya lebih banyak terjalin saat di kelas. Saat berangkat dan pulang kuliah bersama. Saat mendapat tugas kelompok dan mereka berada dalam satu kelompok yang sama. Atau... saat di pekerjaan. Namun, untuk di pekerjaan itu dulu. Kini Mentari dan Semesta sudah tidak pernah satu project lagi atas permintaan Mentari.

Ya, kebanyakan kebersamaan mereka memang hanya terjalin di waktu-waktu tertentu seperti itu. Jadi, Semesta tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ia miliki hari ini. Terbukti pagi ini Semesta benar-benar bersemangat menyelesaikan latihannya. Hingga membuat anak Aspire lainnya menyadari kalau hari ini Semesta terlihat berbeda. Semesta juga lebih banyak menunjukkan senyum dibanding hari-hari biasanya.

Setelah pamit dengan anak-anak Aspire, Caraka, Tenggara, Reiji, Javas, Kajev dan Biru yang kini berjalan di sampingnya. Semesta buru-buru memberi kabar pada Mentari melalui pesan singkat. Ia meminta Mentari agar siap-siap karena sekitar setengah jam lagi ia akan sampai di rumah cewek itu. Untung saja latihan bandnya hari ini juga selesai lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Tepat pukul sembilan lebih lima belas menit, latihan mereka selesai.

"Mau ke Mentari?" tanya Biru ketika langkah mereka berhenti di parkiran.

Semesta mengantongi ponsel. Mengangguk, membalas tatapan Biru dengan satu alis terangkat. "Iya. Lo mau langsung balik, Ru?"

Biru menggeleng. "Nggak. Masih ada urusan."

Semesta ber-oh ria menanggapi jawaban singkat yang Biru berikan. Kemudian melemparkan tatapan jahil ke arah cowok itu. "Hati-hati, Ru. Jangan ngebut. Kalau kenapa-kenapa nanti nggak ada yang nangisin, soalnya lo cuma friendzone."

"Diem. Bucin."

Semesta tertawa puas melihat Biru kesal karena ulahnya. Menggoda tetangganya yang satu ini memang hal yang menyenangkan. Apalagi jika mood-nya sedang baik seperti pagi ini.

"Eh, Ru. Thanks, ya, tebengan lo kemarin. Thanks lo udah nganterin gue ke rumah Mentari malem-malem," ucap Semesta yang langsung dibalas gumaman pelan oleh Biru. Setelahnya Semesta masuk ke dalam mobil. Membuka sedikit kaca mobilnya untuk melambai pada Biru sebagai tanda perpisahan.

"Ru! Gue duluan," pamit Semesta.

"Ya," jawab Biru singkat.

Benar. Malam itu setelah latihannya selesai, tiba-tiba mobil Semesta mogok. Alhasil Semesta harus menumpang mobil Biru untuk pulang. Semesta juga meminta tolong pada Biru untuk berhenti sebentar di rumah Mentari-untuk memberikan uang 300 jutanya pada Ayah Mentari.

***

"Harusnya kamu nggak usah terus-terusan borong kue-kue Mama kayak kemarin dan tadi."

Semesta menoleh. Kini keduanya sudah berada dalam mobil. Dan Mentari masih belum tahu siang ini Semesta akan membawanya kemana.

"Nggak apa-apa. Anak Aspire pada suka sama kue buatan Mama kamu. Tadi kue yang aku beli langsung habis sama mereka."

Semesta sendiri sebenarnya kurang menyukai makanan manis. Ia sengaja memborong kue jualan mama Mentari untuk ia bawa ke studio Aspire. Sementara kemarin, ia borong untuk dibagikan ke orang-orang jalanan yang ia temui di sepanjang lampu merah.

"Emang iya?"

"Iyaa... " Semesta tertawa lepas. Ia mengingat Javas-sang drummer Aspire-yang tadi memakan kue-kue buatan Mama Mentari dengan begitu lahap. "Kamu tau Bang Javas nggak?"

"Drummer Aspire?"

"Iyaa... tadi di antara yang lain, dia makannya yang paling lahap." Semesta terkekeh. "Aku jadi merasa dihargai kalau makanan yang aku bawa dimakan sama mereka. Apalagi mereka tuh selalu antusias. Bikin aku happy banget."

"Nggak kayak aku yang cuma bisa bikin masalah terus, ya?" sahut Mentari.

Tawa Semesta berhenti. Ia menoleh ke Mentari dengan tatapan tak suka. Semesta tidak suka mendengar Mentari berkata demikian. "Kok kamu ngomongnya gitu sih?"

"Emang aku pernah bikin kamu happy selama ini? Enggak, kan?" tanya Mentari lagi. Mentari mengarahkan tatapannya ke luar mobil. Tidak mau menatap Semesta yang kini sedang bingung karena ucapannya melantur ke mana-mana.

Menghela napas sabar, Semesta tidak mau memperpanjang. Mata Semesta tidak sengaja melihat ke layar ponsel Mentari yang tiba-tiba menyala dan menampilkan panggilan masuk dari seseorang yang diberi nama 'Navarez'. Entah siapa. Semesta merasa asing dengan nama itu. Sepertinya sampai panggilan masuk itu berakhir, Mentari tidak juga sadar. Ponsel itu tetap tergeletak di atas pangkuan. Dan Semesta tetap diam tidak berniat memberitahu.

"Kenapa nggak jawab? Bener, kan, kalau aku emang nggak pernah bikin kamu happy?" Mentari menolehkan kepalanya ke Semesta.

Mendengar itu, dengan cepat Semesta membuyarkan lamunan tentang cowok asing yang baru saja menghubungi Mentari. Meski pikiran buruk masih hinggap di kepalanya.

Semesta menjawab setenang mungkin. Walau kenyataannya pikirannya tidak setenang ekspresinya sekarang. "Kalau kamu nggak bikin aku happy, aku nggak mungkin pertahanin kamu sampai sejauh ini, Mentari."

Mentari berdecak pelan. Kali ini ia menatap dalam-dalam Semesta yang tatapannya lurus ke depan. Fokus menatap jalanan siang yang cukup padat. Mentari berusaha mencari suatu kebenaran melalui ekspresi cowok itu. "Kok kamu jawabnya kayak marah gitu sih? Aku, kan, cuma nanya?"

Menyadari raut wajah Semesta yang tiba-tiba berubah seperti orang menahan kesal dan menjadi tidak enak dilihat. Mentari kembali melontarkan pertanyaan. Ah, lebih tepatnya tuduhan. "Katanya hari ini hari special? Mau seneng-seneng. Sekarang, kenapa malah kamu yang nyebelin kayak gini?"

"Kamu tuh yang nyebelin," balas Semesta tanpa menoleh. "Kamu yang mulai, kan?"

Mentari langsung diam. Hingga saat mobil berhenti di lampu merah, Semesta sedikit mencondongkan badan ke arahnya.

"Definisi happy kamu tuh kayak gimana sih? Sampai kamu nuduh kalau selama ini aku nggak pernah bahagia sama kamu? Hm?"

Sepertinya Mentari benar-benar tersinggung dengan jawaban Semesta beberapa menit lalu. Sekarang ia lebih memilih mendiamkan Semesta dengan tangan terlipat di depan dada dan tatapan lurus ke depan. Pura-pura tidak peduli dengan pertanyaan Semesta. Sekalipun Semesta sengaja berbicara tepat di depan wajahnya.

Tangan Semesta mencubit gemas hidung Mentari. "Jangan ngambek, aku gigit hidung kamu tau rasa."

Setelah melihat lampu merah berubah menjadi kuning, lalu perlahan menjadi hijau, Semesta kembali menegakkan badan. Fokus menyetir.

"Padahal anak Aspire itu hafal banget kalau aku mau jalan sama kamu. Soalnya aku jadi sering senyum dan kelihatan salah tingkah kata mereka." Sekilas Semesta menoleh ke Mentari. Namun, cewek itu terlihat masih betah mendiamkannya. "Jadi, dari situ aja harusnya kamu tau. Jangankan ketemu kamu, jalan sama kamu, makan bareng kamu, belum ketemu aja aku udah happy banget."

"Nggak usah gombal!"

Semesta tertawa. Ia senang akhirnya Mentari mau menanggapi ucapannya meski dengan kalimat protes. Yang penting tidak mematung seperti tadi. "Gombal dikit doang masa nggak boleh?" goda Semesta sembari mengacak puncak kepala Mentari menggunakan tangan kirinya.

"Jangan digituin! Rambut aku jadi berantakan!"

Mentari mendengus sebal. Kebiasaan Semesta yang membuat rambutnya berantakan ini, juga berpotensi membuatnya diam-diam salah tingkah. Mentari tidak suka berada dalam keadaan itu!

"Kita mau kemana?" tanya Mentari berusaha mengalihkan topik obrolan mereka. Setelah tadi ia hanya bodoamat, tidak bertanya kemana Semesta akan membawanya pergi.

"Aku mau culik kamu."

"Ish!" pukulan kecil dari tangan Mentari jatuh di pundak Semesta. "Jawab yang bener!"

Semesta kembali tertawa. Lihat lah sudah berapa kali Semesta tertawa selepas ini sejak Mentari ada di dalam mobilnya. Lantas, kenapa Mentari masih merasa kalau dirinya tidak pernah membuat Semesta bahagia?

"Serius. Ini aku mau bawa kamu kabur. Biar kamu nggak dicolong sama cowok lain," canda Semesta dengan sisa tawanya. Namun, ekspresinya dengan cepat berubah ketika kembali menyadari adanya panggilan masuk di layar ponsel Mentari. "Ada telfon. Coba angkat dulu. Siapa tau penting."

Mentari buru-buru meraih ponselnya. Mematikan panggilan masuk itu lalu menyimpannya ke dalam tas.

"Kenapa malah dimatiin?"

"Nggak penting."

Satu alis Semesta terangkat. Ia jadi semakin penasaran melihat respon Mentari yang terlihat seperti... ketakutan? Atau Mentari sedang menyembunyikan sesuatu?

"Navarez itu siapa? Kayaknya aku belum pernah denger nama itu."

"Dia fotografer aku di project bulan ini. Yang sempet nyamperin waktu aku nemenin kamu manggung."

Semesta langsung ingat kejadian malam itu. Kejadian yang membuatnya dan Mentari berdebat kecil. "Oh, yang kakak tingkat kita itu, ya? Anak komunikasi juga, kan, kata kamu?"

"Ya."

Mentari menjawab seadanya. Ia terlihat tidak suka ketika Semesta terus-terusan bertanya dan seakan mencoba menggali informasi mengenai Navarez. "Udah jangan dibahas lagi, Semesta. Nggak penting."

Bertepatan dengan itu, mobil Semesta berhenti di tepi jalan. Tepat di depan penjual bunga-ralat, ini lebih terlihat seperti kebun bunga. Karena dari tepi jalan hingga ke bangunan yang terlihat kecil di ujung sana, di penuhi oleh bunga-bunga yang mengharuskan Semesta memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.

"Mau beli bunga?"

Semesta mengangguk. "Iya, bantu pilihin, ya. Ayah sama Bunda pasti seneng kalau dapet bunga dari calon menantunya."

"Kita mau ke makam mereka?"

"Iyaaa... kamu nggak keberatan, kan?" Semesta mengambil satu tangan Mentari untuk ia genggam. "Selama ini kamu nggak pernah mau kalau aku ajak ke makam Ayah sama Bunda. Tapi kali ini, di hari spesial ini, aku pengin kamu ikut. Boleh, ya? Sekaliii aja. Janjiii.... "

Karena tidak tega melihat Semesta terus memohon dengan wajah penuh harap, Mentari akhirnya menganggukkan kepala. Meski sebenarnya ia masih ragu dan... takut.

Apakah rasa bersalah itu akan semakin besar jika ia melihat langsung makam kedua orang tua Semesta?

"Ayo."

Satu detik setelah kata 'ayo' Mentari ucapkan, sorot bahagia langsung terpancar dari kedua mata Semesta. Semesta terlihat begitu bahagia.

Mentari mengerjapkan mata. Sebahagia itukah Semesta? Hanya karena ia menerima ajakan ke makam orang tuanya?

Dengan semangat, Semesta turun dari mobil terlebih dahulu. Seperti biasa cowok itu akan membukakan pintu mobil untuk Mentari. Telapak tangannya dengan cepat mengarah ke puncak kepala Mentari. Berjaga-jaga agar kepala Mentari tidak terpentok atap mobil.

"Siniii... "

Semesta meminta Mentari mendekat setelah buru-buru membuka kancing kemeja kotak-kotak hitam yang ia kenakan sekarang. Kaos putih polos yang tadi tertutup oleh kemeja, kini terlihat dengan jelas. Iya, Semesta sengaja membuka kancing kemejanya agar kepala Mentari bisa berlindung di balik kemeja itu. Berlindung dari sengatan matahari siang ini yang sangat menyengat.

Karena tidak mengerti maksud Semesta. Mentari tetap diam di dekat pintu mobil dengan mata mengerjap beberapa kali. Mencoba mencerna maksud Semesta.

"Sini aku tutupin wajah kamu pakai baju aku. Panas."

Tanpa menunggu lebih lama, Semesta menarik satu tangan Mentari lembut, lalu menyembunyikan kepala cewek itu di balik kemejanya.

Mereka berjalan dengan posisi seperti itu hingga sampai di bangunan toko bunga yang berjarak sekitar lima belas meter dari tepi jalan. Tentunya setelah melewati bunga-bunga yang berjajar di sepanjang jalan setapak yang mereka lewati.

"Sini deketan, sayang. Nanti wajah kamu kena panas."

***

"Kamu nggak nyaman, ya, aku ajak ke makam ayah sama bunda kayak barusan?"

Pertanyaan itu terlontar ketika mereka sudah kembali ke mobil setelah mengunjungi makan orang tua Semesta. Entah apa yang sekarang ada di dalam kepala Mentari. Namun, melalui ekspresi yang Mentari tunjukkan sekarang, Semesta dapat menyimpulkan ada sesuatu yang seolah sedang berusaha Mentari tutup-tutupi darinya. Entah apa. Semesta tidak bisa menebaknya.

Mentari menggeleng cepat. "Enggak, bukan aku nggak nyaman. Aku capek aja. Panas banget soalnya."

Semesta menghela napas lega. Memang hari ini udara Jakarta terasa lebih panas dari biasanya. Semesta jadi merasa bersalah karena sejak tadi ia memaksa Mentari ikut turun. Padahal rencananya hari ini ia ingin membuat Mentari bahagia. Bukan membuat Mentari jadi kelelahan dan lebih banyak diam seperti sekarang.

"Kamu mau ke mana, sayang? Nonton mau nggak?" tawar Semesta. Ia mengusap punggung tangan Mentari lembut, kemudian membubuhkan kecupan singkat di sana.

"Aku ngikut aja deh."

Kedua sudut bibir Semesta perlahan terangkat. Membentuk senyuman tipis penuh arti. "Kamu udah bilang terserah. Artinya ke mana pun aku bawa kamu hari ini, kamu nggak boleh nolak. Deal?"

"Iya," angguk Mentari pasrah.

Senyum Semesta mengembang kian lebar. Hari ini Semesta akan mengajak Mentari untuk melakukan beberapa wishlist date yang selama ini sudah ia catat di notes ponselnya.

Wishlist date bareng Mentari :

1. Jakarta aquarium

2. Zoo date

3. Museum date

4. Pasar malam

5. Timezone

6. Cooking class

7. Gondola ancol

8. Art space jakarta

9. Semesta's gallery

10. Picnic date

Dan dari semua wishlist date yang Semesta punya, hari ini akhirnya Semesta bisa mewujudkan tiga di antaranya. Hari ini mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama dan menikmati momen spesial ini tanpa pertengkaran. Ya, meski pertemuan mereka diawali perdebatan kecil seperti tadi. Namun, hal tersebut tidak membuat kadar kebahagiaan yang Semesta rasakan hari ini berkurang. Semesta bahagia. Sangat.

Setelah dari makam, Semesta mengajak Mentari pergi ke Jakarta aquarium. Lalu berlanjut bermain di timezone. Terakhir saat hari menjelang malam, sebelum mengantarkan Mentari pulang, Semesta mengajak Mentari ke pasar malam terlebih dahulu. Yang kebetulan lokasinya tak jauh dari rumah Mentari.

"Mau, nggak?" Mentari menyodorkan buah semangka potong yang tadi dibelikan Semesta sebelum mereka naik bianglala-ralat, sebelum Mentari memaksa Semesta ikut naik bianglala.

Benar, sekarang mereka berdua ada di dalam bianglala yang sedang berputar di atas ketinggian.

Semesta menggeleng. Ia berusaha menetralkan ekspresi wajahnya. Mentari tidak boleh tahu kalau saat ini sebenarnya ia sedang berkeringat dingin. "Aku nggak suka semangka."

Tak mau ambil pusing, Mentari mengangguk. Melanjutkan makan semangka potongnya dengan lahap. Namun, pergerakannya terhenti saat matanya tidak sengaja menangkap tangan Semesta yang bergerak cepat mengusap keringat di sekitaran dahi dan pelipis.

Angin malam ini berhembus sangat kencang hingga membuat udara terasa semakin dingin. Apalagi sekarang mereka berada di tempat terbuka dan di atas ketinggian. Lantas, kenapa Semesta masih berkeringat?

"Kamu takut ketinggian?" tanya Mentari to the point.

Semesta menggeleng cepat. Sebenarnya Semesta tidak takut dengan ketinggian. Hanya saja kalau naik bianglala ia merasa sedikit cemas karena harus berputar berulang kali di atas ketinggian dengan pengaman yang menurutnya sangat seadanya.

Selain membuat kepalanya pusing, permainan ini juga membuat Semesta jadi overthinking. Pikiran-pikiran buruk seperti, bagaimana jika mereka jatuh ke bawah karena besi penyangga bianglala putus? Bagaimana jika Mentari kenapa-kenapa? Bagaimana jika ia kehilangan Mentari karena... jatuh? Terus berputar di kepalanya sejak tadi.

Menjadi manusia dengan tingkat overthinking di atas rata-rata, kadang memang membuat Semesta jadi lelah sendiri. Ia sering memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dan tidak seharusnya dipikir.

"Tapi kamu sampai keringetan gitu."

Mata Mentari menelisik dengan saksama. Ia menatap Semesta penuh selidik. Mentari meletakkan buah Semangkanya di atas pangkuan, lalu kedua tangannya terulur ke depan. Ke arah Semesta.

"Sini pegangan tangan aku."

Speechless. Semesta terdiam sejenak sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Mentari dengan genggaman erat. Senyum yang Mentari lemparkan ke arahnya sekarang seolah bagai sihir yang membuat rasa takutnya lenyap begitu saja.

"Tangan kamu dingin banget." Mentari merasakan hawa dingin yang Semesta salurkan melalui telapak tangan. "Kamu bilang nggak takut, tapi tangannya sampai dingin dan gemeteran kayak gini."

Semesta mengarahkan wajahnya ke arah lain. Pipi hingga telinganya tiba-tiba memerah. Rasa panas menjalar di seluruh wajahnya. Semesta salah tingkah karena Mentari perhatian dengannya.

"Kamu kenapa sih?" heran Mentari. Dahi Mentari mengernyit bingung. Tingkah Semesta tiba-tiba jadi aneh.

Semesta menggeleng cepat. Ia menetralkan gemuruh di dadanya yang berdebar tidak karuan. "Nggak papa. Sebenarnya aku nggak takut ketinggian. Cuma aku ngerasa agak ngeri kalau naik bianglala kayak gini. Tadi aku mau nolak, tapi takut kamu marah."

Penjelasan Semesta membuat Mentari merasa sedikit bersalah. "Harusnya tadi bilang aja. Kita bisa naik permainan yang lain."

Seulas senyum tipis kini menghiasi wajah pucat Semesta. "Nggak papa, sayang. Jangan merasa bersalah, ya. Aku sengaja nggak nolak karena takut kamu ilfeel sama aku. Aku cowok, masa naik bianglala kayak gini aja takut? Nanti aku bakal kelihatan cupu banget di mata kamu."

Mentari mendengus pelan. Lihatlah Semesta selalu saja menutup-nutupi perasaan yang sebenarnya. Cowok itu bahkan berkata panjang lebar seolah ingin meyakinkan dengan wajah pucat pasi. "Tapi lain kali jangan terlalu maksain diri kayak gini. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa aku juga yang repot, kan?"

Kepala Semesta menunduk. Perkataan Mentari barusan bagai sengatan listrik di tubuhnya. Semesta merasa semakin bersalah dan... tidak berguna.

Semesta menatap Mentari lekat-lekat. Netra coklatnya seakan memancarkan begitu banyak kekhawatiran. "Maaf, Mentari. Maaf kamu harus direpotin cowok lemah kayak aku. Naik kayak gini bikin pikiran aku jadi kemana-mana. Aku takut kita bakal jatuh dan aku bakal kehilangan kamu. Tapi kalau aku nolak, aku juga takut bikin kamu sedih atau marah. Aku bener-bener ngerasa serba salah. Maaf aku berlebihan. Maafin aku-"

"Semesta," sela Mentari cepat. Ia mengusap-usap tangan Semesta dalam genggamannya. Berusaha memberi rasa tenang. "Aku nggak marah. Berhenti merendahkan diri kamu sendiri kayak gitu. Berhenti minta maaf untuk kesalahan yang bahkan nggak kamu lakukan sama sekali."

Tatapan Semesta jatuh pada netra hitam Mentari. Semesta menatapnya semakin dalam. Seakan ingin mengunci tatapan tulus yang Mentari lemparkan ke arahnya.

"Maaf karena aku banyak lukanya," lirih Semesta dengan mata berkaca-kaca.

Semesta benar-benar merasa lemah. Hanya naik bianglala seperti ini saja sampai-sampai membuatnya berkeringat dingin dan ketakutan tidak jelas. Mungkin bagi orang lain yang tidak pernah mengalami hal serupa, dengan lantang akan menyebut Semesta sebagai cowok yang banyak drama. Nyatanya Semesta juga tidak pernah berharap ada di posisi seperti ini. Merasakan ketakutan yang kadang tidak bisa ia kendalikan.

"Semesta, aku akan mencintaimu bersama dengan luka-lukamu."

Mentari mengulas senyum tulus seiring dengan genggaman tangan mereka yang semakin mengerat. Ia ingin sekali mengucapkan kalimat itu. Hanya saja Mentari tidak ingin terlalu memberikan banyak harapan pada Semesta.

"Kamu nggak perlu minta maaf untuk apa pun, Semesta. Rasa takut karena trauma yang kamu miliki itu wajar. Aku bisa paham kok."

Hati Semesta menghangat. Di saat-saat seperti ini cintanya seolah tumbuh semakin besar. Semesta berjanji akan mencintai Mentari dengan sebaik mungkin dengan caranya sendiri.

Ya, selama ini Semesta memang selalu mencintai Mentari dengan caranya sendiri. Semesta mencintai Mentari melalui hal-hal kecil. Seperti mengiyakan ajakan Mentari naik bianglala. Meski debaran jantungnya menggila menahan rasa takut. Mengatakan tidak menyukai semangka ketika melihat Mentari memakannya dengan lahap. Walau sebenarnya semangka adalah buah favoritnya. Hal-hal kecil yang membuat cinta Semesta terasa begitu besar setiap detiknya.

"Mentari, aku masih punya 7 wishlist date yang harus kita wujudin nanti."

-------

Siapa yang kangen Semesta?! :D

Sampai jumpa di part berikutnya~

Continue Reading

You'll Also Like

222K 13.3K 32
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
6.6M 278K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
508K 25.3K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
191K 9K 17
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...