INCOMPLETED LOVE [✓]

By redeuquinn

13.5K 1.2K 233

Meera Chopra. Putri satu-satunya Mukesh Chopra, seorang konglomerat India, kini berulah lagi. Ini tahun ke ti... More

Tugas Ringan
Dimana Meera?
Saksi Kunci
Penyergapan Anak Kucing
Gara-gara Annu
Dimana Cerita itu Bermula
Tak Semudah Itu
Selamat Hari Holi, Annand!
Terlalu Lelah
Ammar. Hanya Ammar
Undangan
Dress Shopping
Obrolan Ringan
Pengakuan Intensi
Permohonan Kecil
Melodi Kerinduan
Yang Tak Terlupakan
Perjalanan Yang Ditakutkan
Selamat Pagi, London
His Home
Yang Ditinggalkan
Long Time No See
Perasaan Aneh
Sebuah Keputusan
Aku Bersedia
Dia Mendatangi
First Date
Yang Tak Tersampaikan
Yang Tak Terpenuhi
Penjelasan
Bantuan
Tak Terduga
Hingga Akhir
Epilog: Cinta Yang Terlengkapi

Sekarang

397 33 0
By redeuquinn



***



"Nona.." Meera dapat merasakan seseorang mengguncangkan tubuhnya perlahan. "Nona, bangunlah."
Meera akhirnya mengerjap. Membuka mata dan menegakan punggung.
Sepertinya sudah setengah jam Meera tertidur di kursi sebelah kasur pasien dengan posisi yang membuat punggungnya kini cukup pegal.


Yang membangunkan Meera tersenyum, seorang wanita yang memakai jas dokter.
"Baiknya anda pulang Nona, ini sudah malam. Waktu berkunjungpun sudah habis.."
Sedikitnya rasa cemburu menghampiri saat melihat genggaman yang saling bertautan antara sang pasien dengan gadis yang sejak tadi menemaninya.


Pandangan Meera beralih pada orang yang sedang diinfus dalam ruangan itu. Genggamannya menguat. "Annand-"


Sang dokter mengerutkan dahi, "Maksud anda, Ammar? Ammar akan baik-baik saja, Nona. Hasil pemeriksaan fisiknya bagus. Kemungkinan besok pagi dia akan bangun. Karena pengaruh obat juga dia belum membuka matanya sekarang.."


Meera kembali menatap si dokter, tatapannya kini menajam. "Annand.. Namanya, Annand Raichand, dokter."


Dokter di hadapan Meera menatap gadis itu dengan kebingungan yang sama. "My appologies, tapi aku sangat mengenal pasienku sendiri, Nona." Ia mengulurkan tangan, "Aku dokter Naina Malholtra, dokter pribadi Mayor Ammar Raichand selama lima tahun ini, orang yang sedang terbaring di hadapan anda."


Meera melepas genggamannya pada Ammar dan menjabat tangan itu dengan bibir yang terkatup. Matanya memandang kearah manapun selain sang dokter, seolah banyak pikiran kini sedang menyerang. "Tidak mungkin.. Aku tak mungkin salah-" cicitnya.


Dr. Naina masih menatap Meera. "Boleh aku bertanya apa hubungan anda dengan pasien?"


"Aku...." Meera kebingungan sendiri untuk menjawab. Jika benar yang terbaring itu bukan Annand, lalu apa yang harus ia jawab?



Tapi, Meera terlalu yakin pada hati kecilnya.


Melihat sang gadis yang tak juga bicara, dr. Naina kembali bersuara, "Maaf jika itu terlalu personal untukmu. Tapi sebagai dokter di rumah sakit ini dan juga dokter pribadi pasien, aku perlu tau siapa yang mengunjunginya-"


"Kekasih." Ucap Meera tegas. "Aku kekasihnya."


Dr. Naina kembali terkejut. Ia merasakan ada keretakan dalam hatinya. "K-kekasih?" Ammar sama sekali tak pernah bercerita kalau dia sudah memiliki kekasih.

Apa tak sepenting itu dirinya bagi Ammar? Sampai tak mau menceritakan hal ini?


Dr. Naina menarik napas dalam. Mencoba tetap bersikap profesional.
"Kalau begitu, kenapa anda salah menyebutkan nama pasien?"


Meera menunduk, "Maaf dokter, aku sedang banyak pikiran. Tampaknya aku memang harus pulang.."


Dr. Naina tersenyum tipis. "Istirahatlah nona. Rumah sakit ini akan menjaga Ammar. Besok pagi saat dia terbangun, aku pastikan anda akan langsung dihubungi."


Meera bangkit dari kursinya.
Ia memandang wajah Ammar yang terlihat damai. Walaupun wajah itu tampak lebih dewasa dengan adanya janggut dan kumis sekarang, tapi Meera yakin itu adalah wajah Annand nya. 


Kenapa namanya Ammar ? Dan sejak kapan Annand masuk militer?


Meera membelai surai laki-laki itu lembut, lalu mendaratkan kecupan kecil di pucuk kepalanya tanpa ragu.


Dr. Naina mengalihkan pandangan. Hatinya terasa perih.


"Terima kasih, Dokter.." Ucap Meera yang akhirnya melanglah pergi.



***



"Papa.." Meera yang baru saja keluar dari mobil, langsung mendekap Mukesh sesaat setelah supirnya membukakan pintu mobil untuk sang majikan.


"Astaga Meera! Kau benar-benar membuatku khawatir, Beta." Ucap Mukesh.


Meera terisak pelan dalam pelukan ayahnya. "Maafkan aku.."

Ayahnya mengecup pucuk kepala Meera dengan sayang. "Maafkan aku juga, Meera. Tak seharusnya aku terus memaksamu untuk menikah."


Meera menggeleng pelan, ia melepas pelukannya. "It's oke, Papa. Aku yang salah, anakmu ini tak mau menurut padamu." Ucapnya sambil menghapus air mata.


"Jadi kau mau menikah sekarang?"


Meera langsung mendelik pada sang ayah yang membuat pria baya itu tertawa. "Hahaha. Baik.. baik. Nanti kita bicarakan lagi soal itu." Ia mengusak rambut sang putri. "Sayeedah sudah menceritakan semuanya ditelepon. Papa sudah tak bisa marah saat mendengar apa yang terjadi dengan Mayor Raichand dan langsung berangkat dari Mumbai secepatnya. Bagaimana keadaan Mayor itu sekarang?"


Dahi sang gadis berkerut. "Mayor Raichand? Jadi benar dia seorang tentara?"


Mukesh mengangguk. Ia merangkul bahu sang putri sambil mengajaknya memasuki rumah. "Aku meminta Karan Singh mengirim salah satu tentaranya untuk mencarimu. Dan Mayor Ammar Raichand adalah pilihannya, karena tentara itu sedang bebas tugas lapangan."


"Ammar..." Ucap Meera pelan, yang membuat ayahnya menatap bingung begitu mereka sampai di ruang tamu. "Ammar Raichand itu namanya? Papa yakin namanya bukan Annand Raichand?"


"Kenapa bertanya seperti itu? Dan.. Siapa Annand Raichand?"


Meera menggeleng cepat. "Kuch nahin.."


Tapi jawaban sang putri tak membuat Mukesh puas begitu saja. Baru saja akan kembali membuka mulut, kepala asisten rumah tangganya menghampiri. "Are.. Are. Kalian sudah pulang ternyata." Sayeedah menyambut mereka dan langsung meraih tas kerja sang atasan untuk dibawa. "Bagaimana keadaan Tuan Mayor, Meera?"


"Dia belum bangun. Dokternya bilang, itu pengaruh obat yang diberikan juga." Jawab Meera dengan lesu.


"Baiklah kalau begitu, aku akan menghangatkan makan malam. Tuan dan Meera mandilah dulu."


Meera menggeleng. "Aku lelah.. Boleh aku tidur duluan?"


"Kau tidak mau makan bersama Papamu ini, Meera? Sudah dua minggu kita tidak bersama.."


"Maafkan aku, Papa.. Hari ini benar-benar sudah menguras energiku."


Mukesh pun mengangguk. Ia mengelus surai sang anak. "Ja, beta. Tidurlah.. Besok kita bicara lagi. Kau memang terlihat lelah sekali."


Meera memeluk ayahnya lagi. "Terima kasih, Papa.. I really miss you."


"Miss you too, Beta. Aku harap kau tidak melakukan hal bodoh lagi." Ia mendekap erat Meera sebelum akhirnya mengijinkan sang putri pergi ke kamarnya.


Tapi langkah Meera kembali terhenti karena suara sang ayah. "Oh iya Meera, jangan terlalu merasa bersalah dengan keadaan Mayor Raichand. Karan memberitahuku kalau dia memang menderita amnesia sejak lima tahun lalu karena ledakan bom yang terjadi di Kashmir saat dia bertugas. Jadi kemungkinan besar, itulah yang membuatnya pingsan."


Meera membulatkan mata.


Amnesia? Lima tahun lalu?


Waktu yang sama dengan hilangnya kabar dari Annand.


Apa mungkin....?


Meera sudah tak bisa berpikir lagi. Ia juga lelah menebak-nebak. Ia harus ke rumah sakit besok untuk mendapat semua jawaban. Tanpa menjawab apapun, gadis itu melangkah dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Ini semua membuat kepalanya berat.



***



"Good morning, soldier.. Tidurmu terlihat sangat nyenyak." Sapa dr. Naina saat melihat pasien favoritnya sudah menyenderkan punggung pada kepala tempat tidur. Seorang perawat sedang mengecek tekanan darah laki-laki yang kini berwajah muram itu.


"Tensi pasien 98 per 61, dr. Malhotra." Ucap perawat tersebut.


"Terima kasih, suster. Aku akan menangani pasien ini, sekarang."

Sang perawat mengangguk dan pergi dengan membawa peralatannya.


Dr. Naina menghampiri tentara yang masih saja bungkam itu. Ia terduduk di sisi tempat tidur sambil menaikan stetoskop di telinganya. Ia mengarahkan ujung lain stetoskop ke dada sang Mayor.


"Tarik napasmu, Ammar. Lalu hembuskan perlahan.."


Tanpa mengeluarkan kata dan mengangkat kepalanya, laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan sang dokter. "Denyut jantung juga paru-parumu terdengar baik." Dr. Naina menurunkan alat pemeriksaannya. "Hanya tekanan darahmu saja yang sedikit rendah. Kalau kau istirahat dan makan dengan baik hari ini, kemungkinan besok kau sudah bisa pulang."


Ammar masih saja bergeming. Itu membuat dr.Naina bertanya-tanya.


"Ada apa? Kenapa hanya diam? Tak mau menceritakan apa yang terjadi padamu kemarin, Ammar?"


Sang Mayor tetap bungkam, ia malah mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Terlihat air mata mengalir dari sudut indra penglihatan laki-laki itu, yang membuat dr.Naina khawatir sekarang. Tapi buru-buru Ammar menghapusnya.


"Hei.. What's wrong? Tak mau bercerita pada temanmu ini?" Naina menggenggam erat tangan Ammar, berharap bisa sedikit membantunya untuk lebih tenang.


Akhirnya Ammar menatap Naina dengan menarik kecil kedua sudut bibirnya. Menggenggam tangan sang dokter dengan eratan yang sama.


"Aku... Hanya butuh ayahku, Naina. Dimana dia?" Tanya Ammar dengan suarnya yang parau.


"Paman Vikram sedang ke kantin untuk sarapan. Dia sudah menemanimu sejak semalam.."


Ammar mengangguk. "Good." Bisik laki-laki itu. "Aku harus bicara dengannya sebelum aku menceritakan semuanya padamu. Semoga kau bisa mengerti.." Netra laki-laki itu kembali berlinang, membuat Naina semakin cemas.


Sang Dokter menghapus air mata yang mengalir dan mengangguk.


"Thank you.." Ucap Ammar, lalu mengecup punggung tangan Naina. Laki-laki itu begitu bersyukur mempunyai teman yang sangat peduli dengannya.

Tersentuh akan sikap Ammar, Naina tersenyum dan memandang sang Mayor dengan sayang. Tapi tiba-tiba sosok gadis yang menemani Ammar seharian kemarin muncul di ingatan. Seseorang yang mengaku sebagai kekasih dari laki-laki yang sedang menggenggam tangannya. Dengan cepat Naina meredam perasaan yang sebenarnya ingin meledak itu.


"Suno*.." Panggil Naina pelan. Ia menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering. "Kemarin kekasihmu sudah menemani seharian. Dia begitu khawatir. Perlu aku telepon sekarang dan mengabari kalau kau sudah siuman?"

( *Dengar )


Ammar memandang Naina dengan tatapan yang sulit diartikan. Laki-laki itu tampak terkejut dan juga berpikir keras. "K-kekasih..?" Ammar mengerutkan dahi. "Aku tidak-"

Tiba-tiba terdengar ketukan dari pintu kamar Ammar, membuat keduanya menoleh. Terlihat seorang pria baya melangkah masuk. "Bagaimana keadaannya, Naina? Ammar, kau sudah bangun?"



Naina tersenyum. "Tenanglah paman Vikram, putra anda baik-baik saja. Anda tentu tau kalau dia ada ditangan yang tepat." Ia kembali menatap Ammar. "Kalau butuh sesuatu, tekan saja tombol itu.." Ucap sang dokter melirik tombol pemanggil di sebelah kasur pasien.


Ammar tak menjawab. Tatapannya kini hanya pada sang ayah.

Mengerti akan atmosfer yang tiba-tiba berubah, Naina melepas tautan tangan mereka dan melangkah pergi dari kamar sang pasien.


"Ammar.. Ada apa? Kenapa menatap ayahmu seperti itu?"

Naina masih dapat mendengar suara Vikram saat sedang menutup pintu.


"Aku mengingat semuanya, Ayah."


Suara parau Ammar membuat Naina langsung terpaku ditempat dengan pintu yang masih tidak tertutup sempurna.


"Aku mengingat semuanya!" Teriak Ammar seiring bunyi nyaring plato makan pasien yang tampaknya dilempar laki-laki itu ke lantai. "Kenapa kau tidak menceritakannya, Ayah.. Kyun?"


Suara Ammar terdengar makin bergetar. Naina yakin, laki-laki itu kembali menangis.


Jadi.. Ingatan Ammar sudah pulih?


"Ammar, tenanglah.. Dengarkan aku-"


Naina langsung menutup pintu kamar Ammar. Ia tak mau dikira sengaja mencuri dengar. Biar Ammar sendiri yang akan bercerita saat laki-laki itu siap. Dan tentu saja, saat Ammar mengijinkan dirinya memasuki hidup yang belum Naina ketahui.



          


***




Continue Reading

You'll Also Like

411K 9.4K 27
Six months ago she died. Now she's a ghost haunting her family home. Sophie thought she had nothing left. At least until a ghost boy band turns up wi...
132K 6.6K 43
Lika liku kisah cinta Raisya yang rumit, membuatnya bingung harus bagaimana. Gadis cantik yang berusia 16 tahun jatuh cinta pada seorang tentara bern...
1.7M 120K 44
"Why the fuck you let him touch you!!!"he growled while punching the wall behind me 'I am so scared right now what if he hit me like my father did to...
4.1M 170K 63
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...