.
.
"Jika ingin mendapatkan keberkahan dalam hidup, dan kebahagiaan kekal di akhirat,
Carilah ridho Allah. Carilah ridho Allah. Carilah ridho Allah."
.
.
***
Zhafran duduk di depan majelis. Mengenakan pakaian dan peci serba putih. Baru saja berlangsung salat Subuh berjama'ah di masjid. Mahzar duduk bersila di samping Zhafran, agak mundur sedikit. Dia tadi yang membawakan kitab untuk Zhafran.
Dua orang santri, berkeliling di barisan para jama'ah. Yang seorang, membawakan kayu gaharu yang dibakar. Seorang lagi, mengoleskan parfum ke pergelangan tangan para jama'ah. Orang-orang yang dioleskan parfum pergelangan tangannya, mengusap pergelangan tangan mereka ke wajah dan leher. Kini, wangi mereka sama.
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu," kata Zhafran, mengutip surat Yasiin ayat 60.
"Kalimat 'menyembah setan' memiliki banyak arti. Mulai dari arti yang paling jelas, yaitu benar-benar menyembah setan. Perkumpulan semacam ini, benar-benar ada. Mulai dari zaman para Nabi, hingga kini. Mereka menyebut perkumpulan mereka dengan 'sebuah keyakinan kuno', melakukan ritual tertentu yang tidak sejalan dengan syari'at. Pada tingkatan tinggi di perkumpulan itu, setan sungguh-sungguh menampakkan dirinya."
Para jama'ah nampak terkejut.
"Ya. Setan menampakkan dirinya, dalam bentuk yang diyakini oleh pengikutnya sebagai bentuk aslinya. Tapi wallahu'alam, apakah itu benar bentuk aslinya atau bukan. Sebab mereka bisa berubah bentuk sesuka hati. Jadi, perkumpulan itu bukan hanya sekadar teori. Mereka sungguh ada.
Apa kiranya yang mereka cari di perkumpulan itu? Ketenangan hati? Tentu tidak. Jawabannya adalah dunia. Kecintaan terhadap dunia, adalah yang menarik mereka ke perkumpulan semacam itu. Cinta terhadap uang, materi, makhluk, kekuasaan.
Sekiranya perkumpulan itu tidak menjanjikan mereka akan mendapatkan semua yang mereka cintai itu, apa mereka masih mau menjadi bagian dari perkumpulan hitam semacam itu? Belum tentu.
Perkumpulan semacam itu, tentunya tidak akan menampilkan jati diri mereka secara jelas. Mereka menyamar, terkadang menjadi semacam organisasi sosial, terkadang menjadi perkumpulan elit berbagai profesi. Mereka menjanjikan bantuan untuk memperlancar bisnis atau membantu untuk mengangkat seseorang menduduki tampuk kekuasaan. Dengan sejumlah syarat yang terkadang mengerikan, dan bahkan menjijikkan. Sesuatu yang menjijikkan, umumnya disukai setan. Terkadang, syarat yang mereka ajukan, adalah bentuk pelecehan terhadap agama.
Namun kalimat 'menyembah setan' bisa juga diartikan sebagai menyekutukan Allah. Contohnya, seperti mendatangi tempat-tempat yang dianggap keramat, dan melakukan ritual persembahan sebelum meminta sesuatu. Uang, atau kelancaran bisnis, atau kelanggengan kekuasaan. Dan biasanya, setelahnya yang diminta benar-benar akan mereka dapatkan. Tapi semuanya tidak ada yang berkah.
Sama halnya dengan mendatangi dukun dan meminta kelancaran usaha atau jabatan. Begitu juga dengan menyerang saingan bisnis ataupun mengirim pelet atau santet dengan bantuan dukun. Itu juga bentuk lain dari menyekutukan Allah. Semuanya sama-sama satanik. Sama-sama bentuk lain dari 'menyembah setan'.
Contoh lainnya, jika seseorang didatangi jin di dalam mimpi, lalu jin itu meminta agar disediakan minuman atau makanan tertentu, khusus untuk dia. Lalu ketika terbangun dari mimpinya, orang itu benar-benar menuruti keinginan si jin di dalam mimpinya tadi, maka ini bisa jadi salah satu bentuk lain dari 'menyembah setan'. Karena dia takut jika tidak dituruti, jin itu akan membuatnya menjadi sial. Sial secara ekonomi atau sial terkena musibah. Dengan kata lain, dia lebih percaya perlindungan jin itu ketimbang perlindungan Allah.
Wal iyya dzubillah. Semoga Allah melindungi kita dari yang semacam itu."
Orang-orang mengamini.
"Dulu ketika Nabi Sulaiman hendak menyambut kedatangan Ratu Balqis ke kerajaannya, beliau bertanya kepada para pembesarnya. 'Siapa yang bisa mendatangkan singgasana Ratu Balqis dalam waktu yang singkat, sebelum ia sampai di kerajaan ini?'
Ada yang mengangkat tangan. Namanya ‘Ifrit, yang berasal dari kalangan jin. Ia mengatakan: 'Saya akan datangkan singgasana Ratu Balqis tidak lama. Sebelum engkau bangun dari tempat dudukmu, singgasana Ratu Balqis akan sampai di sini.'
Lalu kisah Aladin yang menemukan lampu berisi jin, itu bukan dongeng belaka. Ada orang yang punya semacam 'peliharaan' jin yang jika diminta mendatangkan sesuatu, maka datang sesuatu itu.
Jadi, memang sebagian jin diberikan kemampuan itu oleh Allah. Namun itu bukan berarti manusia pasti lebih lemah dari jin. Salah besar. Kemampuan mereka adalah ujian keimanan bagi kita.
Banyak sekalipun, jika tak diberkahi Allah, tak akan membawa kebaikan dan ketenangan hidup.
Sementara bersabar dalam cobaan di dunia, adalah lebih mulia di sisi Allah. Surga memang dikelilingi oleh berbagai ketidaknyamanan di dunia, sementara neraka dikelilingi oleh hal-hal yang terkesan indah di dunia.
Jika ingin mendapatkan keberkahan dalam hidup, dan kebahagiaan kekal di akhirat, carilah ridho Allah. Carilah ridho Allah. Carilah ridho Allah."
.
.
Nungguin live perdana pengadilan pagi ini jam 9. Udah siap stok camilan. Bismillah #HukumanMatiUntukSobri
Kata mereka, demi HAM, Sobri tak pantas dihukum mati. Kalau bagiku dan bagi seluruh jama'ah Oppa Ilyasa se-Indonesia Raya, hukuman mati untuk Sobri SANGAT PANTAS! Hukuman mati itu pun, tak bisa mengembalikan nyawa Oppa yang kami cintai. Pak Hakim Yang Mulia, yuk bisa yuk #HukumanMatiUntukSobri
Bisa gak sih, muka tersangka di-blur sepanjang sidang live? Sebel banget akutu, liat tampang orang yang membuat Oppa Ilyasa jadi gak bisa dakwah lagi di TV! #HukumanMatiUntukSobri
Siaran ulang kajian Ustaz Ilyasa, disiarkan berbarengan dengan sidang pembunuhan Ustaz Ilyasa. Ini adalah definisi pengkondisian emosi jama'ah Oppa Ilyasa, sekaligus trik stasiun TV agar rating naik setinggi langit. Mereka benar-benar tahu cara memanfaatkan situasi, bahkan dari situasi duka. Aku gak tahu musti prihatin atau kagum. Terserah lah. Yang penting #HukumanMatiUntukSobri
Mata Zhafran menelisik satu per satu komentar pengguna medsos dengan tagar berkaitan dengan kasus yang kini turut melibatkan Yunan. Semua bernada sama. Dukungan terhadap hukuman mati bagi Sobri sang tersangka.
Zhafran meletakkan ponselnya di meja. Mahzar datang membawakan dua cangkir kopi. Satu cangkir ia letakkan di dekat Zhafran.
"Gimana, Ustaz? Sudah dua minggu lebih, baru dimulai sidangnya hari ini. Kapan Syeikh pulang? Saya udah kangen berat. Jama'ah bolak-balik nanyain Syeikh terus," kata Mahzar sebelum ia duduk di seberang Zhafran. Mereka hendak ngopi bareng di tepi kolam, setelah kajian Subuh usai.
"Ya ditunggu saja. Kasusnya ada dua. Kasus pembunuhan Ustaz Ilyasa, dan kasus penerobosan tanpa izin ke rumah Ustadzah Raesha. Mungkin pengadilan perlu waktu lebih dari dua minggu," jawab Zhafran sebelum menyesap kopi.
Mahzar jadi lebih sering menginap di tempat suluk. Berhubung Arisa menyusul Yunan, istri Zhafran jadi menangani semua pengajian akhwat sendirian. Maryam terlihat lebih lelah dari biasanya. Rayya seperti ingin membantu, tapi tentu saja dia belum bisa. Anak itu harus lulus dulu dari madrasah setidaknya.
"Yaah makin lama aja Syeikh pulangnya!" keluh Mahzar sebelum menyesap kopi.
Zhafran melipat kaki. Sudah terbiasa dengan keluhan-keluhan Mahzar.
"Sidangnya jam berapa?" tanya Zhafran memastikan.
"Jam sembilan katanya," jawab Mahzar sambil membuka laptop mininya yang memang sudah ia letakkan di meja sebelum menyiapkan kopi.
"Nah. Ada undangan lagi buat Syeikh," kata Mahzar saat membuka surel.
"Tolak dengan halus. Seperti biasa," sahut Zhafran.
"Ya Allah. Sayang banget rasanya. Ustaz tahu 'kan, sekali undangan ke luar negeri, bisa ada puluhan sampai ratusan orang yang mualaf? Memang sih, mestinya kita tidak terpaut pada jumlah, tapi tetap saja --," Mahzar mengangkat bahu setelah mengucapkan uneg-unegnya.
"Mau gimana lagi? Kondisinya sedang seperti ini," komentar Zhafran menghela napas.
"Ustaz sudah lihat pengacaranya Sobri?" tanya Mahzar sambil mengarahkan layar laptopnya ke arah Zhafran.
Zhafran menatap pria itu tanpa berkedip. Gambar dan video, adalah cerminan citra. Tidak perlu bertatapan langsung, untuk mata Zhafran bisa menangkap ada yang berbeda dengan pria itu.
"Sudah tahu. Theo Zayden," jawab Zhafran singkat.
"Agak serem ya, orangnya? Sereman dia dari Sobri, kalo saya bilang, sih," kata Mahzar meringis.
Zhafran menatap datar ke arah lawan bicaranya.
"Jangan ghibahin orang, Mahzar."
"I-Iya, Ustaz! Afwan!" Demi menutupi malu, Mahzar kini menyembunyikan mukanya di balik laptop.
.
.
Dua mobil sedan mewah hitam berjalan beriringan.
Di dalam mobil yang belakang, Hayya, Erika dan Elaine duduk di bangku belakang. Sementara Adli duduk di samping supir. Dia sedang malas menyetir hari ini. Demi bisa menghadiri sidang perdana kasus yang menimpa keluarganya, dia cuti hari ini. Begitu juga Elaine dan Haya, izin tidak masuk sekolah. Mereka ingin memberi dukungan moril kepada Raesha dan Yunan.
"Adli, gak apa-apa tuh, kamu gak temenin Raesha di mobil sana?" tanya Erika. Berusaha agar pertanyaannya tidak terdengar terlalu aneh di telinga Elaine. Namun Elaine tetap heran mendengarnya. Kenapa Tante Raesha harus ditemani Om Adli di mobil satu lagi bersama orang tuanya?
"Gak perlu. Mereka sudah sering jalan bareng. Sudah ... akrab," jawab Adli yang nampak seperti wisatawan dengan kaca mata hitamnya.
Haya nyaris tertawa mendengar jawaban ngasal kakaknya.
Elaine mengernyitkan alis, menatap ke arah Haya yang segera menjaga sikap dan berdehem.
"Bu, wartawan banyak sekali kah di pengadilan?" tanya Haya pada ibunya.
"Jangankan di pengadilan. Di luar pagar rumah kita, tadi juga ada wartawan," jawab Erika.
"Serius? Berarti, kamera di dalam ruang sidang, ada banyak, ya? Dari berbagai sudut, Bu?" tanya Haya lagi.
"Duh. Mana Ibu tahu? Emangnya Ibu penanggungjawab acara live sidang di pengadilan? Emang kenapa kalo kameranya ada banyak?" Erika mulai terganggu dengan pertanyaan bawel putrinya.
"Soalnya, aku ada jerawat sebiji di pipi kananku. Udah kuolesin obat, tapi gak ilang-ilang!" ucap Haya sambil menutupi pipi kanannya.
"Tutup aja pake plester. Kayaknya Ibu ada plester di tas," sahut Erika tanpa pikir panjang.
"Ya enggaklah, Bu. Masa' jerawat ditutup plester. Nanti kalo aku kesorot kamera, terus Husein liat jerawatku, gimana, coba?"
Semua orang menatap datar ke arah Haya. Tapi yang ditatap sedang sibuk mengoleskan concealer untuk menyamarkan jerawat.
Elaine menghela napas. Berusaha maklum. Memang begini kalau mendengarkan obrolan Eyang Erika, Om Adli dan Tante Haya. Nyaris tidak pernah serius. Kalau dia ada di mobil depan sana, pasti isi obrolan lebih serius.
Ponsel Adli berbunyi nada deringnya. Adli menerima telepon masuk.
"Wa'alaikum salam. Oh? Kamu sudah sampai pengadilan, Elena? Oke. Tunggu, ya. Kami masih otw. Mungkin sepuluh menit lagi sampai insya Allah."
Elaine merasa dadanya sempit. Om Adli dan mantannya yang bernama Elena itu, pastinya makin dekat karena kasus ini. Sebal sekali rasanya.
Elaine benar-benar memerlukan tips untuk menyembunyikan cemburu. Darurat, ini. Darurat cemburu.
.
.
***