Mahin Dalam Jeruji Kota Baghd...

By tettyseptiyani02

719 148 398

Benarkah seseorang bisa bertukar jiwa? Namun, bagaimana jika jiwamu justru berpindah pada tubuh seseorang di... More

🕌 Prolog 🕌
1🕌 Keluarga Mahin
2🕌 Mahasiswa Universitas Baghdad
3🕌 Ratu Irene dan Nicephorus
4🕌 Surat-Surat Menyakitkan
5🕌 Bazar Tahunan Kota Baghdad
6🕌 Neina Maheen
7🕌 Pemuda Dari Romawi Timur
8🕌 Kegaduhan Penjara
10🕌 Kunjungan Istana
Bab 11🕌 Maafkan

9🕌 Jiwa Mahin Raga Neina

32 12 61
By tettyseptiyani02


Sudah tiga hari pelayan yang tertusuk itu tidak sadarkan diri. Habibeh sebagai teman sekamar selalu terjaga untuk memastikan apakah sahabatnya masih bernapas. Pasalnya, darah yang keluar dari tubuh gadis itu begitu banyak. Bahkan tabib mengatakan potensi hidup atau sadar kembali hanya beberapa persen. Namun Habibeh selalu berdoa agar temannya lekas sadar.

"Neina... bangunlah! Sudah tiga hari tak ada teman yang bisa kuajak mengobrol." Habibeh merengek sambil mengeluarkan air mata yang susah paya dikeluarkan. Gadis itu cukup ceria dan kuat, berbeda dengan sahabatnya yang pendiam dan mudah menangis. Karena itu saat melihat Neina mendapat musibah, ia hanya bisa tertegun. Meski hatinya sakit, tetapi air matanya susah untuk keluar.

"Neina bangun! Neina... sadar!" Habibeh terus menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya.

Sesaat kemudian Habibeh dikejutkan oleh mata sahabatnya yang langsung terbuka lebar. Gadis yang sedang berbaring itu mengedarkan pandangnya ke kanan dan kiri.

Setelah peristiwa pingsan masal dalam ruang rahasia yang diakibatkan suara jam, kini Mahin terbangun dalam tubuh yang berbeda. Ya... Mahin telah berada dalam tubuh Neina Maheen si pelayan kerajaan yang bertugas mengantar makanan pada para tahanan.

Mahin bingung bukan kepalang saat melihat area sekitar tampak berbeda dengan suasana di kehidupannya sebelum pingsan. Ia melihat seorang perempuan berkulit gelap yang diduga seumuran dengannya.

"Alhamdulillah Ya Allah... akhirnya kau bangun juga!" Habibeh berteriak kegirangan.

Mahin mengernyitkan kening melihat tingkah gadis asing yang sedang duduk didekatnya.

"Kau diam di sini. Aku akan memanggil tabib istana dulu." Habibeh langsung menghilang dari hadapan Mahin.

Mendengar gadis asing itu mengatakan 'tabib istana' Mahin semakin kebingungan. Sebenarnya ia sedang di mana? Siapa gadis yang terus menyebutnya dengan panggilan Neina? Dari mana orang itu tahu bahwa namanya adalah Neina Mahin? Seingatnya, hanya almarhum sang ayah yang sering memanggilnya dengan sebutan Neina.

Beberapa saat kemudian, perempuan dengan bulu mata lentik yang semula pergi kini kembali bersama beberapa orang. Setidaknya ada lima orang yang ikut bersamanya dan salah satunya seorang tabib.

Mahin mengikuti instruksi sang tabib untuk dilakukan pemeriksaan. Ia terkejut mendapati perutnya terluka parah. Beruntung lukanya sudah tertutup rapat. Hanya saja belum kering. Hal yang membuatnya aneh, kenapa bisa ada bekas tusukan dalam perutnya? Seingat Mahin, ia pingsan di dalam ruang rahasia bersama beberapa mahasiswa Universitas Baghdad lainnya.

"Luka Neina sudah mulai membaik. Satu atau dua hari lagi mungkin akan kering. Ini benar-benar kuasa Tuhan. Prediksiku ternyata salah." Tabib itu melihat ke arah Mahin. "Neina... kau harus banyak-banyak bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan kesempatan hidup lebih lama."

Mahin hanya mengangguk. Sebenarnya ia bingung. Orang-orang di sekelilingnya menggunakan Bahasa Arab yang jarang ditemuinya, tetapi kenapa ia mengerti maksud mereka? Sebenarnya ia sedang ada di mana? Siapa juga orang-orang yang sedang bersamanya sekarang?

Setelah orang-orang bergantian mendoakan Mahin dan senang atas kesembuhannya, mereka kembali mengerjakan tugas. Tinggal Habibeh dan dirinya yang ada di kamar.

"Dari mana mereka tahu jika nama depanku ini Neina?" tanya Mahin pada Habibeh.

Habibeh terkekeh mendengar pertanyaan tersebut. "Ya ampun Neina... kamu baru sadar dari koma setelah tiga hari, jadi melantur begitu. Sudahlah... kalau begitu aku akan bertugas. Janjiku pada Ibu Suri akan kembali bertugas jika kau sudah sadar."

Mahin mengernyitkan kening. "Ibu Suri?"

"Ya... Ibu Suri Zubaidah!"

"Sebentar... jangan dulu pergi," pinta Mahin.

"Kenapa? Apa kau perlu bantuan?"

"Kau kerja sebagai apa? Tugas di mana?"

Bukannya menjawab pertanyaan Mahin, Habibeh justru terkekeh. "Ya ampun... sudah kau istirahat saja. Nanti malam akan diceritakan di mana aku bekerja dan sebagai apa. Sepertinya kau memang belum pulih sepenuhnya."

Hebibeh pun berlalu. Saat pelayan kerajaan berambut sedikit ikal itu meninggalkan dirinya, Mahin menatap langit-langit ruangan. Interior kamar itu jauh berbeda dari tempat tinggalnya sebelum pingsan. Melihat sprei, gorden serta pakaian orang-orang yang tadi menemuinya pun  sangat ketinggalan zaman. Begitu pula dengan baju yang melekat di tubuhnya. Gadis itu benar-benar butuh jawaban.

Beruntunglah Habibeh menepati janji. Setelah selesai bertugas, di malam hari ia banyak menceritakan tentang dirinya. Mahin mulai tahu bahwa Neina yang dimaksud orang-orang tadi bukanlah dirinya, melainkan pemilik tubuh yang sekarang menjadi dirinya. Itu terlihat sangat membingungkan, tetapi ini nyata terjadi. Jiwa Mahin telah masuk dalam raga pelayan bernama Neina Maheen.

***

Sudah tiga hari Mahin yang biasanya banyak bicara seperti Habibeh, kini mendadak menjadi pendiam layaknya Neina. Hal itu yang membuat sahabatnya tidak curiga bahwa gadis yang beberapa hari ini tidur sekamar, bukanlah pelayan kerajaan yang sama.

Padahal, diamnya Mahin selama ini karena ia sedang berusaha mencerna tentang kejadian yang dialaminya. Dari mulai pergi ke masjid 17 Ramadhan, berdebat dengan Anzilla, menemukan ruang rahasia, melihat jam istimewa dan mendengar suara alarmnya hingga pingsan. Saat dirinya pingsan, Mahin sempat bermimpi bertemu ayahnya. Pria asal Baghdad itu berkali-kali memanggil namanya dengan sebutan Neina. Namun ternyata panggilan itu berasal dari Habibeh.

Malam ke empat berada di kamar Neina, Mahin mulai memahami karakter Habibeh. Meski luka di perutnya sudah membaik, tetapi ia belum bisa bekerja. Karena itulah Habibeh yang menggantikan tugas sang sahabat.

Ajaibnya lagi, dalam kurun waktu beberapa hari, Mahin langsung mengerti dan bisa berbicara menggunakan bahasa yang sama dengan Habibeh. Padahal, saat menjadi mahasiswi sudah mati-matian belajar Bahasa Arab, tetapi tidak juga berhasil. Baru Bahasa Inggris yang dikuasainya.

Saat seluruh tugas Habibeh selesai, gadis itu kembali ke kamar untuk beristirahat. Namun baru duduk di atas ranjang, Mahin yang semula berbaring, bangkit untuk duduk.

"Hai... kau mau ke mana?" tanya Habibeh.

"Aku ingin duduk di dekatmu," ujar Mahin.

Habibeh pun bangkit seraya mendekati Mahin. "Biar aku saja yang ke situ. Kau tetaplah duduk!"

Sampai di dekat Mahin, Habibeh terdiam. Sedangkan gadis asal Indonesia itu menengok ke arah samping.

"Habibeh... apa kau sahabatku?" tanya Mahin untuk memastikan bahwa gadis berkulit gelap itu adalah sahabat dari raga yang sedang ditempatinya.

Mendengar hal itu Habibeh malah terkekeh dan refleks menyenggol tubuh Mahin dengan keras seraya berkata, "Apa kau benar-benar lupa ingatan?" Gadis itu menghela napas. "Ya... ini aku sahabatmu. Habibeh!"

Mahin melempar senyuman. "Ya... sepertinya begitu. Bahkan aku tidak tahu ini di mana? Apa aku masih punya keluarga? Dan... kira-kira ini tahun berapa?"

Habibeh terbelalak. "Astaghfirullah Neina... kau ternyata benar-benar lupa ingatan? Ya ampun, ini sangat serius!"

Meski panik, tetapi Habibeh tetap menyampaikan bahwa dirinya sedang ada di istana dan hidup di tahun 805 Masehi tepatnya di Kota Baghdad. Lewat gadis itulah Mahin tahu bahwa raga pelayan yang sekarang menjadi tubuhnya hanya memiliki ayah yang sedang bertugas perang sebagai prajurit, sedangkan ibunya sudah meninggal.

Mengetahui fakta tersebut, Mahin pun mengerutkan kening. "Tahun delapan ratus lima? Apa kau tidak sedang bercanda?"

Sebenarnya Mahin agak percaya menerima kabar tersebut. Pasalnya baju yang dikenakan orang-orang di sekitar tampak sangat kuno dan kurang berwarna, bahannya pun terlihat kaku. Tidak seperti pakaian di eranya.

"Harusnya aku yang bertanya, apakah kau tidak sedang bercanda? Kau benar-benar lupa ingatan?"

Mendengar pertanyaan tersebut Mahin mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk memastikan tidak ada orang lain kecuali Habibeh.

"Apa kau akan percaya jika aku mengatakan yang sebenarnya?" tanya Mahin.

Habibeh hanya mengangguk. Namun Mahin meraih tangan gadis di sampingnya. Kemudian digegamlah tangan tersebut.

"Berjanjilah padaku untuk merahasiakan apa pun yang akan aku katakan."

"Aku berjanji! Sudahlah... cepat kau ingin berkata apa? Jangan membuat aku penasaran."

"Aku bukan Neina Maheen yang kau kenal." Mahin meyakinkan Habibeh.

"Maksud kau bagaimana?"

"Ini memang raga sahabatmu." Mahin memegang tubuhnya. "Tapi jiwanya... ruh di dalam tubuh ini bukanlah Neina Maheen sahabatmu yang hidup di tahun delapan ratus lima. Aku Neina Mahin, berasal dari negara bernama Indonesia, aku yakin kau tak pernah mendengar wilayah ini. Aku memang tinggal di Baghdad, tetapi aku lahir dan hidup di tahun dua ribuan."

Habibeh terkekeh mendengar ucapan Mahin. Bukannya takjub, ia justru merasa bahwa sahabatnya itu sedang melawak.

"Ya ampun Neina... rupanya tusukan itu bukan hanya membuatmu lupa ingatan... tetapi juga sinting!" Habibeh menepuk keningnya. "Kau ini bicara apa?"

"Kau sudah bilang akan percaya padaku, Habibeh!"

"Tadi hanya mengangguk. Aku tidak pernah berpikir kau akan mengatakan hal seperti tadi."

"Demi Allah... demi menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku Neina Mahin lahir tahun dua ribu, sedang menimbah ilmu di Kota Baghdad. Usiaku sekarang dua puluh dua tahun. Aku tidak tahu kenapa sekarang ada di sini. Demi Allah aku bukan Neina Maheen sahabatmu yang hidup di zaman ini."

Habibeh terpaku mendengar Mahin mengucap sumpah. Gadis itu ingin tidak percaya, tetapi sumpah dengan menyebut nama Allah adalah hal yang tidak main-main. Semua orang hanya bisa menggunakan sumpah itu ketika di pengadilan. Tak semua orang boleh dengan mudah mengucap sumpah atas nama Allah.

"Kau... kenapa kau bisa dengan mudah mengucap sumpah atas nama Allah?" protes Habibeh.

"Karena aku sedang jujur... aku tahu bersumpah itu tidak baik." Tiba-tiba saja Mahin terdiam saat mendengar suara orang berteriak dari luar.

"Khalifah datang... khalifah telah datang!"

Mahin mengerutkan kening. Gadis itu baru ingat bahwa dirinya sedang berada di sebuah istana Kota Baghdad. Habibeh juga menyampaikan dirinya hidup di tahun 805 Masehi. Saat seseorang memberi aba-aba tentang khalifah, ia langsung teringat sesuatu.

"Sebentar Habibeh... apa yang dikatakan orang itu adalah Khalifah Harun Ar-Rasyid?"

"Ya siapa lagi! Kau pikir ini istana milikku? Jelas bukan! Ini istana kerajaan Khalifah Harun Ar-Rasyid."

"Santai aja, gak usah ngegas!" Mahin berkata menggunakan Bahasa Indonesia pasaran.

"Kau berbicara apa, Neina?"

Mahin melempar senyuman. "Nah... kau tidak mengerti apa yang aku katakan, kan? Itu adalah bahasa dari negaraku. Jika kau masih saja tidak percaya, tiap bicara denganmu aku akan menggunakan bahasa seperti tadi!"

"Baiklah... baiklah... aku akan berusaha untuk percaya! Tapi beri aku waktu."

"Jadi sekarang aku bisa melihat rupa Khalifah Harun Ar-Rasyid? tanya Mahin.

"Beliau raja, banyak kesibukan. Kalau kau ingin bertemu harus ada kepentingan. Kecuali Khalifah sedang ada kunjungan ke seluruh sudut istana atau menemui para pegawai di sini."

Meski awalnya kesal terdampar di wilayah yang tidak dikenali, tetapi begitu tahu dirinya ada di zaman kekhalifahan Harun Ar-Rasyid, Mahin senang bukan kepalang. Rasanya ia ingin cepat-cepat keluar dari kamar tersebut dan menikmati semua pemandangan di tiap sudut istana.

Sebelum memutuskan tidur, Mahin menyampaikan tentang latar belakang dirinya yang seorang mahasiswi di Universitas Baghdad. Ia juga menceritakan kejadian beberapa hari sebelum pingsan di ruang bawah tanah sebuah masjid, sampai akhirnya ada di tempat tersebut. Tapi Mahin tidak bisa memastikan alasan yang tepat, kenapa jiwanya bisa masuk dalam raga Neina Maheen.

Habibeh hanya mengangguk dan tak banyak protes saat mendengar cerita Mahin. Entah karena merasa paham yang disampaikan lawan bicaranya atau justru mengantuk.

***

Continue Reading

You'll Also Like

3.7K 105 34
(COMPLETE) √ "Jalani hidup dengan berpedoman pada petunjuk aturan-Nya. Lakukanlah yang kita bisa. Menulis misalnya. Dan ciptakan tulisan yang dapat d...
538 73 5
Musuh tapi Menikah? Itulah yang dialami oleh Brian dan Aluna. Ketika mereka berdua harus dijodohkan oleh orangtua. Dua orang yang saling bermusuhan...
1.4M 106K 73
(Bakal direvisi kalo authornya gak males.) Selena, seorang perempuan nolep yg pinter, dia ber transmigrasi ke tubuh seorang antagonis di buku novel...
64.2K 8.8K 17
[ halu bareng anak-anak treasure ] with yoonbin, byounggon, and seunghun. ! banyak kata kasar