HER LIFE - END (OTW TERBIT)

Door ay_ayinnn

4.9M 262K 16.8K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... Meer

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 26

100K 5.5K 304
Door ay_ayinnn

"M-ma, tu-turunin. Aku ma-mau tu-turun."

Vanya menurunkan Elen ketika sampai di kamar. Ia duduk bersebelahan dengan Elen di atas kasur tipis. Terlihat raut wajah kecewa Elen yang membuat Vanya bingung.

"Elen marah sama Mama?" Tanya Vanya. Elen masih diam, marah.

"Aku ma-mau sa-ma P-papa!" Sentak Elen setelahnya.

"Nggak! Dia bukan Papa kamu," Elak Vanya.

Hal itu membuat Elen menengok, menatap Vanya dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak mengerti mamanya yang berbohong atau laki-laki tadi yang pura-pura menjadi papanya?

"Stop bahas Papa karena Papa kamu udah mati!" Lanjut Vanya menggebu.

"Cukup Van. Kamu keterlaluan hari ini." Sambung Ayumi masuk ke dalam kamar kecil itu.

"N-ne-nek," Elen bergerak memeluk Ayumi. Ia tak mau berdekatan dengan Vanya sebab wanita itu terlihat sangat emosi. Elen takut dimarahi Vanya.

"Elen bisa main diluar dulu? Nenek mau bicara sama Mama," Ucap lembut Ayumi langsung diangguki Elen. Dia pun pergi keluar kamar, menunggu nenek dan mamanya di ruang tengah sambil bermain mainan yang didapat saat berada di rumah sakit kala itu.

"Kenapa Elen di suruh keluar? Kalau dia masih ada diluar gimana? Ibu ngerti perasaan aku nggak sih? Kenapa sekarang jadi belain di---"

"Ibu nggak belain siapa-siapa disini. Vanya, dia udah pulang, kamu tenang aja." Potong Ayumi. Lalu setelahnya, hening berada diantara mereka.

"Besok dia mau ketemu sama kamu." Ucap Ayumi merasa keadaan sudah lebih aman.

"Nggak! Sampai kapanpun aku gak mau ketemu sama dia!"

"Jangan jadi orang nggak waras, Vanya. Kamu itu udah jauh dari Vanya yang Ibu kenal. Kamu suka bentak Elen, suasana hatimu yang tiba-tiba gampang berubah, kontrol diri sendiri, Van." Ucap Ayumi mengutarakan seluruh perasaannya belakangan ini.

"Ibu tahu, kamu bukan takut ketemu dia. Kamu cuma belum siap aja, iya kan? Van, dia bukan laki-laki lima tahun lalu. Semua udah berubah. Cobalah sekali. Semua kalau gak dicoba itu gak bakal tahu apa yang bakal terjadi."

"Kalau aku disakiti lagi. Ibu tetep maksa aku buat ketemu dia?" Tanya Vanya lesu. Pandangannya kosong membayangkan rasa sakit yang berusaha ia kubur dalam-dalam.

"Dia gak mungkin nyakitin kamu kalau sama Elen aja bisa sebaik itu."

Satu air mata Vanya menetes, jujur agak ragu, "Oke, aku bakal temuin dia besok."

"Percaya kan sama Ibu?"

"Cuma demi Elen."

•••••

Pagi hari ini Gavin tengah bersiap sebelum pergi menjemput Vanya. Sebenarnya ia tak tahu ingin membawa wanita itu kemana. Mau ketemu di depan rumah aja udah syukur.

Sedangkan di rumah Vanya, Ayumi sibuk menata rambut Elen agar terlihat rapi. Begitu juga dengan dress bunga-bunga yang cucunya kenakan. Beralih ke Vanya, dia masih berada di kamar sejak semalam.

Sebelum menggandeng Elen keluar, Ayumi menatap ke arah gorden yang didalamnya terdapat kamar dimana Vanya berada. Melihat putrinya seperti ini membuat hatinya luka.

Ayumi menghela nafas pelan, lalu berjalan dua langkah ke depan bersama Elen. Suara gorden terbuka membuat Ayumi spontan menengok, begitu juga dengan Elen.

"Vanya?" Gumam Ayumi.

"Aku mau mandi dulu. Katanya dia mau kesini kan?" Ucap Vanya tiba-tiba.

Tentu saja Ayumi jadi terdiam seribu bahasa. Benar ini putrinya mau menemui Gavin? Kalau benar begitu, Ayumi sangat bersyukur.

Ya gimana? Kalau mereka gak ketemu, semua masalah gak bakal selesai. Untuk mental sebenarnya Vanya baik-baik aja. Cuma kalau ditanya soal masa lalu, dia masih tertutup. Masa lalunya begitu menyakitkan. Siapapun yang merasa juga pasti akan menutup itu rapat-rapat.

"Ibu buat tempe goreng di dapur. Kalau mau makan ambil aja," Ucap Ayumi diangguki Vanya.

"Kalian mau ke puskesmas ya?" Vanya berjalan mendekati Elen, merendahkan badannya dihadapan anak itu. "Maaf ya mama gak bisa antar Elen."

Elen yang pucuk kepalanya dipuk-puk pun memejamkan mata sejenak. Mamanya udah baik kan? Nggak kayak kemarin lagi?

"Mama sayang sama Elen," Kata Vanya memeluk tubuh kecil putrinya.

Dengan senang hati, Elen membalas pelukan Vanya, "E-elen ju-juga sa-sayang sa-sa-sama M-ama."

"Van, kamu yakin kan bisa kontrol diri di depan dia nanti?" Tanya Ayumi memastikan. Sebetulnya ia kurang yakin, tapi melihat Vanya yang mengusul kan diri membuat Ayumi setengah yakin.

Vanya tak bisa menjawab pertanyaan Ayumi. Dia sendiri bingung, apa benar jiwanya siap bertemu laki-laki brengsek itu?

"Ya udah, ibu percaya sama kamu. Ayo Elen, kita harus cepat sampai puskesmas," Ayumi pun menggandeng Elen keluar rumah. Tinggallah Vanya sendiri di sana.

Perempuan itu berdiri sambil menghembuskan nafas pelan. Kemarin dia gak bisa mengontrol diri karena kaget melihat orang yang selama ini ia hindari. Sekarang, dia tahu laki-laki itu ada disekitar sini. Maka Vanya meyakinkan diri untuk berhadapan dengannya.

Satu jam berlalu. Vanya sudah siap dengan dress cream polos yang ia dapat dari orang-orang ketika memulung. Bekas orang memang, tapi masih bagus dan layak pakai.

Tok tok tok tok.

Suara pintu diketuk membuat Vanya yang sedang menyisir rambut terkejut. Itu pasti Gavin, batin Vanya tiba-tiba gelisah.

Pintu terbuka pelan. Pertama kali memandang Gavin, Vanya memutuskan kontak mata. Berbeda dengan Gavin yang malah terus-terusan memandangi wajah Vanya.

"Ekhem, Van, gue—aku kesini mau--" Ucapan Gavin terbata membuat Vanya memotong kalimatnya.

"Ibu udah kasih tahu kalau hari ini kamu mau kesini, bicara tentang Elen, iya kan?" Gavin mengangguk.

"Mau masuk?" Tawar Vanya. Dia tidak yakin orang modelan Gavin mau masuk dan duduk di atas tikar rumahnya. Apalagi melihat tikar yang sudah sangat lusuh itu.

"Maaf, Van, aku niatnya mau ngajak kamu bicara diluar sekalian kita jalan-jalan. Kamu... Mau kan?" Ajak Gavin ragu. Kalau ditolak pun Gavin udah siap jiwa raga.

Gavin mengajak Vanya bicara diluar juga bukan karena gak mau masuk. Gavin cuma mau cari udara segar biar semua juga segar.

Tanpa menjawab ajakan Gavin, Vanya bergerak menutup pintu dari luar. Ia pakai sandal yang tersisa di depan rumah lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Gavin.

"Cepat!" Teriak Vanya yang sudah menjauh. Gavin membuyarkan lamunan, ia kaget melihat Vanya tidak menolak ajakannya.

"Van, kamu--"

"Jangan gandeng tanganku!" Sentaknya merasa Gavin mencuri kesempatan.

"Sorry."

Diperjalanan, mereka hanya diam-diaman. Gavin menunggu Vanya akan membawanya kemana, pasalnya dari tadi Vanya seperti sedang membawa Gavin ke suatu tempat.

Dan sampailah mereka di sebuah ladang, ah bukan, kayak persawahan luas gitu. Vanya duduk di sebuah bangku yang memang dibuat untuk para pekerja istirahat setelah menanam atau memanen hasil sawah mereka. Tempat itu berada dipinggir sawah dengan pohon besar di sampingnya. Pemandangan ketika mereka duduk di sana adalah sawah-sawah hijau yang begitu luas.

Karena kakinya menggantung, Vanya mengayunkan kaki ke depan dan belakang seperti anak kecil. Lalu Gavin, dia tengah terpesona dengan warna hijau yang menyegarkan mata. Duduk bersampingan dengan pemandangan itu membuat Gavin merasa tenang. Terlebih disampingnya ada Vanya.

"Keburu siang, nanti panas," Suara Vanya masuk ke pendengaran Gavin membuatnya tersadar bahwa niatnya bertemu Vanya untuk meluruskan masa lalu.

"Kamu gak takut duduk samping-sampingan sama aku?" Dengan bodohnya Gavin bertanya. Dia juga bingung mau mulai dari mana.

Kecepatan ayunan kaki Vanya semakin lama semakin berkurang, "Aku kira kamu cari aku sampai ke sini karena belum puas sama masa lalu."

Gavin menoleh, menatap wajah Vanya dari samping. Angin sangat bersahabat, membuat rambut Vanya berterbangan ke belakang hingga wajahnya tak tertutup helaian rambut.

"Vanya, aku bener-bener minta maaf. Aku ngaku aku banyak salah ke kamu. Kalau kamu mau balas semuanya ke aku sekarang, aku bakal terima."

"Gavin, nama kamu masih Gavin kan?" Tanya Vanya memastikan.

"Y-ya masih," Jawab Gavin kebingungan.

Vanya tersenyum, "Semuanya udah berusaha aku maafin. Tapi kenangannya, masih terus ada di dalam sini." Vanya menunjuk kepalanya.

Hening, Gavin meneguk saliva susah payah. Disini itu sejuk, dingin, namun mendadak udaranya menjadi panas.

"Aku harus apa biar kamu nggak keinget lagi sama semuanya?"

Vanya mengangkat kedua bahu tak tahu, "Cukup kamu pulang ke kota dan kita hidup masing-masing kayak 5 tahun belakang ini."

"Vanya," Gavin mengambil telapak tangan Vanya. Awalnya tidak ada respon dari wanita itu, tapi tiba-tiba Vanya menarik kembali tangannya.

"Udah aku bilang jangan pegang-pegang!!" Bentak Vanya, nafasnya tak beraturan. Ternyata kontak fisik masih membuat Vanya takut dengan Gavin.

Kedua tangan Gavin terangkat sebatas pipi. Oke, sekarang Gavin tahu kalau fisik Vanya masih belum siap dengan Gavin.

"Maaf," Ucap Gavin lagi. Laki-laki itu kembali memandangi luasnya sawah hijau dihadapannya. "Buruk banget ya, Van, aku dulu?"

Dirasa sudah kembali tenang, Vanya menundukkan wajah sejenak. Itu pertanyaan yang Gavin sendiri tahu jawabannya. Jadi, Vanya rasa jawaban dari dia tak diperlukan.

"Aku berusaha lupain kamu, lupain semua temen-temenmu yang brengsek itu, aku juga berusaha buat lupa sama masa-masa SMA yang menyakitkan. Tapi kenapa kamu malah datang kesini? Sengaja?"

"Aku mau nebus semua kesalahanku sama kamu, Van. Aku sadar kalau dimasa itu aku sama semua temenku banyak salah. Bahkan mereka juga ngaku sama kesalahan mereka. Kalau ditanya apa yang bakal kami lakuin buat nebus semua ini, aku gak tahu. Aku serahin semuanya ke kamu. Asal kamu tetep izinin aku tanggung jawab sama apa yang harusnya aku pertanggung jawabkan."

Vanya terkekeh kecil, "Elen ya?"

"Bukannya kamu gak anggap dia anak? Malah kamu sendiri yang bilang Elen itu anak bergilir," Sakit, jujur hati Vanya sangat sakit mengatakan hal itu.

Elen putrinya, sampai kapanpun dia tetap putrinya walau kadang hati Vanya belum sepenuhnya menerima Elen. Ralat, dulu Vanya memang pernah belum bisa menerima Elen, tapi sekarang tentu saja dia mencintai anak kecil yang istimewa itu.

"Aku minta maaf, minta maaf udah menyepelekan kalian. Van bisa jangan ingetin sama masa lalu? Aku bener-bener mau nebus semuanya. Aku mau ikut rawat Elen sampai dia sembuh, aku mau ikut lihat tumbuh kembang Elen, aku juga mau bahagiain kalian."

"Kami udah bahagia, Gavin. Aku sama Elen bahagia sama kehidupan kami yang sekarang. Tanpa kalian semua."

"Tanpa keluarga kamu juga?" Tanya Gavin membuat Vanya terdiam.

Keluarga?

"Van, Mama sama Papa kamu selama ini cari-cari kamu. Mereka--"

"Jadi kamu cari aku karena tahu aku anak siapa?" Potong Vanya menatap Gavin penuh selidik.

Pasalnya selama SMA Gavin sangat jijik dengan Vanya yang dekil. Apalagi dia tak mengetahui siapa keluarga Vanya. Bahkan masa itu banyak murid yang mengira Vanya tinggal di lingkungan yang seperti ini, kumuh.

"Nggak. Kali ini aku bener-bener cari kamu sebelum aku tahu tentang keluarga kamu. Waktu aku sama yang lain udah stuck, gak tahu harus cari kamu kemana, kami punya ide dateng ke SMA buat cari arsip datamu. Setelah kami semua tahu, kami datang ke rumahmu. Kami kira kamu ada di sana, tapi sampai sana Om Charles pukul aku. Aku rasa juga wajar sih. Gak lama, setelah kejadian itu, kami semua tahu kalau kamu nggak tinggal sama keluargamu lagi. Dari situ kami mulai cari kamu sampai akhirnya ketemu disini. Om Charles juga sempat cerita, beliau cari kamu tapi gak nemu-nemu. Alhasil kami sama Om Charles barengan cari kamunya."

"Aku nggak mau pulang."

"Kata Tante Clara kamu janji bakal pulang?"

"Aku udah nyaman sama kehidupan yang sekarang."

"Kamu nyaman mulung sampah gitu?"

"Biar gimanapun selagi pekerjaan mulia aku nyaman. Kamu ngerendahin aku lagi, Vin"

"Van, demi Tuhan aku nggak bermaksud ngerendahin kamu. Tante Clara sakit. Kamu bakal tetap ada disini?"

"Mama sakit?"

"Iya, dia terus-terusan mikirin kamu dimana, lagi apa, sampai lupa sama diri sendiri."

"Kamu bilang gitu bukan karena ada maksud lain kan?" Ucap Vanya was-was kalau Gavin berbohong.

"Udah kayak gini aku masih berani bohong? Van, kamu ngelihat aku kayak gimana sih?"

"Kamu laki-laki yang pengen aku bunuh kalau aku bisa ngelakuinnya," Sengit Vanya.

"Bunuh aku. Aku rela mati kalau itu hukuman dari kamu." Serius Gavin membuat Vanya merasa salah bicara. Lebih tepatnya tanpa Vanya sadari itu adalah hukuman buat Gavin yang mau ia berikan. Hening berada diantara mereka.

"Vanya, kedatanganku kesini gak bermaksud nyakitin kamu. Aku cuma mau kamu balik ke keluargamu dan kamu bebas hukum kami dengan hukuman apa aja. Kalau kamu mau bunuh aku sebagai hukuman aku terima asal kamu maafin yang lain."

"Hukuman apapun, rasa sakit ini nggak bakal bisa hilang."

"Bisa kalau kamu mau melampiaskannya."

"Nggak semudah itu buat aku."

"Hatimu terlalu lemah lembut. Kirain setelah ngelihat aku, kamu bisa mutusin bakal siksa aku kayak apa."

"Udah kan ngobrolnya? Matahari udah terik, aku mau pulang."

Hendak turun, Gavin mencekal tangan Vanya. Sadar kalau Vanya gak bisa disentuh olehnya, Gavin spontan melepas cekalannya.

"Maaf."

"Lupain. Aku saranin kamu pulang ke kota karena aku yakin kamu nggak betah tinggal disini."

"Buat kamu sama Elen, aku bakal betah," Vanya tak mengindahkan kalimat Gavin, ia melangkah beberapa langkah menjauh dari tempat itu. Namun ada kalimat yang Gavin keluarkan, disitulah Vanya berhenti.

"Aku gak bakal pulang sebelum kamu mau pulang sama aku." Ucap Gavin.

"Cukup Gavin karena itu nggak bakal terjadi. Sama satu lagi, aku izinin kamu ketemu Elen, tapi aku nggak izinin kamu merasuki pikiran Elen."








Bersambung.

Beb masih nyambung kan?

Aku minta maaf banget kalau cerita ini aneh, atau nggak logis. Disini aku lagi berusaha semaksimal mungkin ngumpulin niat, ide, buat ngelanjutin ceritanya sampai selesai.

Kalau semua ini udah selesai, niatnya aku mau revisi semua part biar nyambung sama logis. Jadi aku minta tolong kalau mau kasih kritik ato saran pakai bahasa baik-baik ya biar aku mempertimbangkannya juga enak, nggak kepikiran.

Sebelumnya aku mau ngelurusin, Elen di mataku itu sebenernya yang bener-bener nggak bisa ngomong. Kayak dia ngomongnya cuma bisa "hammama namana mama" jadi bener² gak bisa jelas abjadnya. Tapi berhubung aku nggak tega, makannya aku buat Elen gagap aja. Jadi kalau dari kalian banyak yg mikir Elen telat bicara, ya udah anggap aja Elen telat bicara. Karena pastinya nanti aku juga bakal buat Elen lancar bicara.

huhuhu maaf banget ya lama ga update. Love u!!

(Btw ini termasuk double up karena aku buat 2k lebih)

18 12 23

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

173K 15K 60
'Kisah ini menceritakan dua remaja yang yg terpisah selama dua tahun yaitu, Muhammad Farhan Abdullah dan Shofiatus Saidah Al-Hasan. Farhan memiliki s...
4M 235K 29
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
19.4K 1.4K 47
"Kata siapa dia pacar gue?" Tanya Kavi yang masih belum melepaskan cekalan tangan nya pada tangan Khira. "Aku ngeliat sendiri tadi siang kakak senyum...
138K 9.2K 38
Adit, cowok pintar, kesayangan guru, si kutu buku, dan terkenal karena kepintarannya. Akan tetapi, menurut Sheila. Adit baginya seperti boneka nya ya...