Arya Pierre

بواسطة TitaRally

755 61 2

Raden Mas Arya Rajendra dan Pierre Andries Tendean, dua pemuda berbeda generasi dan dimensi waktu yang mengal... المزيد

Identitas Novel
Kata Pengantar
Chapter 1: Kejadiaan Naas
Chapter 2: Secercah Cahaya
Chapter 3: Perubahan
Chapter 5: Harapan
Chapter 6: Jalan Keluar
Chapter 7: Akhir Perjalanan

Chapter 4: Perasaan Asing

34 6 0
بواسطة TitaRally

Di belahan dimensi lain, sebuah cahaya matahari tengah masuk menyelinap sela-sela ventilasi, aroma segar pagi hari setelah hujan kemarin menyeruak indera penciuman mengganggu seorang pria bertubuh jangkung yang kini tengah terlelap setelah kejadian tak terduga kemarin. Mata indah nan tajam itu mulai terbuka, mengerjap menyesuaikan cahaya, hingga menampakkan langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat-obatan menyeruak menusuk indera, suara decitan pintu yang terbuka berhasil mengembalikan kesadarannya dengan sempurna.

"Raden sudah sadar? Apa yang Anda rasakan?" tanya seorang pria berjas putih sambil mengenakan stetoskop.

"Ini dimana? Dan siapa yang kamu panggil Raden itu?" ucap pria muda dengan ling-lung.

"Anda di rumah sakit, Raden. Dan yang saya maksud itu tentu Anda, apakah Raden lupa siapa nama Anda?" ujar pria itu.

"Tentu saja tidak, namaku Pierre, Pierre Andries Tendean," ujarnya lantas membuat dokter dan perawat itu saling tatap.

"Hubungi Raja dan Ratu, aku akan memeriksanya terlebih dahulu," perintahnya langsung dilaksanakan.

"Raden, izinkan saya untuk memeriksa Anda," izinnya diangguki oleh pria muda itu.

Rangkaian pemeriksaan selesai bertepatan dengan datangnya sepasang pasutri diikuti oleh seorang pria yang menunduk sopan di belakangnya. Hal itu lantas membuat pria muda itu mengernyitkan dahinya karena yang datang bukanlah keluarganya.

"Selamat datang Raja, Ratu, dan Tuan Suryo," ucap sang dokter menunduk sopan.

"Putraku, akhirnya kamu sudah sadar. Ibunda sangat khawatir, Nak," ucapnya sembari memeluk tubuh kurus yang tengah terdiam kaku itu.

"M-Maaf, Anda siapa?" tanyanya membuat ketiganya langsung menatap sang dokter.

"Apa ini, Dok? Apa yang terjadi dengan putra semata wayangku?" tanya pria paruh baya yang dipanggil 'Raja' tadi.

"Maaf, Raja. Sepertinya Raden Arya mengalami amnesia sementara karena benturan keras dari kecelakaan itu. Tetapi, Anda tidak perlu khawatir karena perlahan ingatan itu pasti kembali," jelas dokter membuat ketiganya lemas.

"Suryo, seandainya aku tidak terburu-buru mengucapkan itu, pasti hal ini tidak akan terjadi, dan putraku tidak akan semakin membenciku," gumam sang Raja mengusap wajahnya kasar.

"Anda jangan berbicara seperti itu, Raja. Bagaimanapun juga ini sudah takdir," ucapnya berusaha menenangkan.

Ketiganya merasa terpukul, karena seperti apa pun sikap dan sifat Arya, ia tetaplah permata berharga dalam kediaman Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sedangkan orang yang sedari tadi tengah dibicarakan itu, justru menatap semua orang yang bersedih dengan bingung. Ia masih bertanya-tanya dan belum paham dengan apa yang telah terjadi padanya. Kenapa semua orang memanggilnya Arya? Padahal sudah jelas ia adalah Pierre. Dan di mana ini? Padahal sebelumnya ia ingat betul jika ia tengah berlari dari kejaran musuh saat menjalankan misi.

Ya, sama halnya dengan Arya yang jiwanya menempati tubuh Pierre, di dunia ini Pierre juga tengah menempati tubuh Arya, seorang Raden dengan segala sikap buruknya.

"Nak, kamu sudah 20 tahun, tidak seharusnya kamu marah hingga menyelakai dirimu sendiri seperti ini. Inilah yang membuat romo bersikeras ingin menjodohkanmu, karena kamu masih sangat kekanak-kanakan, ceroboh, dan tidak bijak dalam mengambil keputusan. Kamu adalah calon Raja, ingat dan mulai terima takdirmu, Arya! Meskipun romo mengaku salah karena terburu-buru memaksamu dalam perjodohan, tetapi mau atau tidak kamu akan tetap dijodohkan dengan wanita yang telah romo pilih untukmu!" omel sang romo menatap putranya dengan wajah memerah.

"Mas sudah, kita bahas ini lagi saat Arya sudah sepenuhnya pulih, Ya? Sekarang putra kita baru sadar melawan maut, biarkan dia istirahat terlebih dahulu," ujar sang Ibunda dengan lembut.

Mereka berdua tak lama di rumah sakit karena masih ada hal yang perlu diurus di kediaman. Oleh karena itu, Arya kembali dititipkan bersama Suryo, abdi dalem kerajaan sekaligus orang kepercayaan Arya. Namun, sedari tadi Arya hanya terbaring diam menatap kosong langit-langit ruangan, dan hal itu resmi membuat Suryo merasa bingung sekaligus aneh.

"Raden apakah Anda ingin saya kupaskan buah?" tanyanya dibalas gelengan.

"Apakah Anda ingin menonton TV? Jam segini ada serial film kesukaan Anda," ujarnya dibalas gelengan lagi.

"Kalau begitu apakah Anda ingin memakan sesuatu? Jika iya saya akan-"

"Tidak perlu."

Suryo mengela napas. Sungguh ia tak terbiasa dengan sikap Radennya yang dingin dan tak banyak bicara ini, karena biasanya mau bagaimanapun keadaan tubuhnya ia tetap suka bercanda dan cerewet, bahkan selalu mengatainya ini-itu.

"Apakah Anda baik-baik saja? Anda tidak seperti biasanya," ujarnya kemudian.

Mendengar hal itu Arya lantas mendudukkan diri sembari menatap pria paruh baya yang duduk dikursi samping ranjangnya itu.

"Kalau boleh tahu, biasanya aku seperti apa?"

"Anda sangat baik, ramah, penurut, tidak sombong, dan tentunya rajin menab-"

"Aku tahu itu bohong, katakan saja dengan jujur. Aku berjanji tidak akan marah," ucap Arya lantas membuat pria bernama Suryo itu seketika menarik nafasnya dalam-dalam seolah akan mengatakan sesuatu dalam sekali tarikan napas.

"Anda ingin tahu yang sebenarnya? Asal Anda tahu, Anda itu seorang Raden, yang artinya Anda adalah calon Raja, tetapi sikap dan perilaku Anda sama sekali tak mencerminkan gelar terhormat itu. Anda sangat cerewet, egois, kekanak-kanakan, pemalas, hanya tahu bersenang-senang, pembangkang, keras kepala, dan yang paling penting Anda itu bermulut pedas, suka berkata kasar, dan mengatai saya dengan sebutan ini-itu," jelas Suryo menggebu-gebu seolah mengeluarkan emosi yang telah lama terpendam. Ia bahkan benar-benar seolah tak mengambil napas ketika berbicara hingga kini tengah terengah-engah lalu meminum segelas air dengan rakus.

"Emm, apakah aku segitunya?" tanya Arya dengan kikuk.

"IYA!" teriaknya tanpa sadar membuat Arya terkejut.

"E-Eh, m-maksud saya tidak, itu hanya bercanda. S-Saya minta maaf, Raden. Saya telah melewati batasan, saya pantas untuk dihukum," ucapnya panik langsung bersujud dilantai.

"Eh, apa yang Anda lakukan? Cepat berdiri!" perintah Arya merasa terkejut dengan apa yang ia lihat.

"Tidak, Raden. Saya salah, saya pantas mendapatkan hukuman karena telah menghina anggota kerajaan. Tolong hukum saya, Raden. Tetapi jangan hukum mati, saya masih belum punya istri," ucapnya terus bersujud dengan nada memelas diakhir kalimat.

Arya lantas tertawa mendengar hal itu.

"Jika Anda tidak berdiri sekarang, mungkin aku akan memeberimu hukuman yang kamu sebutkan tadi agar Anda menjadi joko tua sampai tiada," ujar Arya berhasil membuat Suryo bangkit secepat kilat dan kembali duduk dikursinya.

"Sendiko dawuh, Raden."

"Baiklah, kalau begitu aku ingin tahu semua hal tentangku, jadi bisakah Anda membantuku?" tanya Arya berusaha mengorek informasi.

"Tentu, dan Raden bisa memanggil saya Paman Suryo. Saya adalah abdi dalem kerajaan," ucap Suryo mengenalkan diri dengan sopan.

"Baiklah, Paman Suryo."

"Begini Raden, jadi nama Anda adalah Raden Mas Arya Rajendra, biasa dipanggil Raden Arya. Anda saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Bumiputra, dan-" jelas paman Suryo, namun terhenti akibat suara dering telepon yang terdengar begitu saja.

"Suara apa itu? Apakah itu suara tanda bahaya?" tanya Arya dengan gerakan begitu waspada.

"Hahaha, bukan, Raden. Ini suara dering telepon Anda, sepertinya dari teman-teman Raden," ucapnya sembari menyodorkan benda pipih yang terus berbunyi itu.

Arya terdiam dan menerimanya, namun wajahnya seolah mengatakan, 'Benda berisik apa ini?'

"Apa yang harus ku lakukan dengan ini? Aku tidak tahu cara memakainya," ujarnya.

Alis paman Suryo mengerut, ia lantas mengambil alih ponsel itu dan menekan tombol hijau dilayar.

"Yo, Bro! Lo gimana keadaannya?" Terdengar suara seseorang terdengar begitu bising di seberang telepon. Mendengar hal itu Arya lantas ber-oh-ria. Ternyata ini telepon, tetapi kenapa bentuknya jadi aneh? Pikir Arya bertanya-tanya.

"Bro? Lo masih di situ, kan?"

"Em, Ya."

"Buset, cuek bener. Yaudah kalau gitu, cepet sembuh, ye. Lo dicariin cewe-cewe nih," ujarnya terkekeh. Namun, Arya tak membalasnya dan justru langsung memberikan ponsel itu kepada Suryo.

"Aku bosan, biarkan aku jalan-jalan keluar," ucap Arya yang langsung membuat Suryo dengan cekatan menyiapkan kursi roda.

"Biarkan saya temani, Raden."

"Tidak perlu."

"Tetapi-"

"Jika paman terus bersikeras, maka aku akan berubah pikiran tentang hukuman tadi," ucapnya sungguh berhasil membuat Suryo bungkam.

Dengan perlahan ia memutar rodanya dan berjalan keluar ruangan. Ia bukannya tak ingin ditemani, hanya saja ia perlu memastikan tempat yang singgahi kini apakah aman atau tidak. Meskipun kini perannya adalah Raden, tetapi sifat TNI-nya sungguh melekat erat dalam jiwanya. Terbiasa dalam misi berbahaya membuat intuisinya terlatih untuk selalu waspada.

"Sebenarnya dunia apa ini? Kenapa aku bisa di sini dengan identitas baru? Apa yang terjadi padaku," gumamnya sembai menatap datar air mancur di taman rumah sakit.

Matanya kemudian mengedar, menatap lalu lalang orang, membaca berbagai tulisan, hingga pandangan itu terjatuh pada sesuatu yang tergeletak di kursi taman tak jauh dari tempatnya kini. Ia kemudian menggerakkan kursi rodanya untuk mendekat lalu menemukan sebuah buku bersampul biru laut dengan judul, 'Transmigrasi ke Tubuh Putri Antagonis'.

"Buku apa ini?" gumamnya kemudian mulai membukanya dengan rasa penasaran yang tinggi. Mungkin karena terlalu bosan, ia sampai tak sadar jika sudah membaca hampir setengah halaman buku. Ia kemudian terdiam mencerna isi buku tersebut, yang entah kenapa hampir mirip dengan yang ia alami kini.

"Apa aku juga mengalami transmigrasi jiwa?" gumamnya lirih. Ia tenggelam dalam pikirannya hingga sebuah tepukan mendarat dipundaknya.

"Maaf, itu buku saya, tadi nggak sengaja ketinggalan," ucap seorang gadis tersenyum ramah.

"Oh, maaf. Saya tadi membacanya sedikit," jawab Arya dengan kaku.

"Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong perkenalkan aku Kaylee," ucap gadis itu menyodorkan tangannya. Arya terdiam menatap tangan putih mulus itu, tanpa membalas jabatan tangan itu, ia hanya menjawab, "Aku Arya".

"O-Oh, salam kenal Arya," ujarnya hanya dibalas anggukan kecil. Hal itu sungguh membuat keadaan mendadak canggung karena tidak ada pembicaraan lagi setelahnya.

Bagaikan pahlawan untuk Arya, Paman Suryo datang tepat waktu.

"Raden Anda harus kembali beristirahat," ucapnya dibalas anggukan.

"Kalau begitu aku juga pergi dulu, Arya. Sampai jumpa lagi dan semoga cepat sembuh," ujar Kaylee berpamitan pergi.

"Itu pacar Raden, Ya? Cantik banget, pantesan si Raden nolak perjodohan," cerocos Suryo menatap punggung gadis yang perlahan menghilang itu.

"Aku tidak mengenalnya."

"Loh-"

"Ayo cepat kembali," ucap Arya singkat.

"Dulu Raden suka maki-maki saya, tetapi sekarang ganti hobi jadi suka motong pembicaraan saya, Ya?" gerutu Suryo namun lagi-lagi tak mendapatkan jawaban hingga membuatnya menghembuskan napasnya pasrah.

***

Satu minggu telah terlewati, tiga hari semenjak kejadian di taman itu Arya diperbolehkan pulang. Namun, setelah dinyatakan amnesia sementara, sikapnya benar-benar berubah 180° dan hal itu sukses membuat semua penghuni keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibuat terheran-heran, terutama Suryo yang mulai tertekan dengan segala pertanyaan aneh dari Radennya seperti saat ini.

"Paman Suryo, apakah ada kekuatan gaib yang membantu membuka-tutup gorden ini?" tanya Arya sembari menatap smart gorden yang bisa dibuka-tutup menggunakan remot.

"Tidak, Raden. Itu adalah smart gorden yang bisa diatur menggunakan remot yang Anda pegang itu," jelas Suryo sabar.

"Lalu apa benda yang seolah menatapku dari pojok sana?" tanya Arya lagi.

"Itu CCTV, Raden."

"Apa itu?"

"Sejenis alat keamanan yang bisa merekam. Jadi kalau ada hal yang tidak diinginkan seperti adanya pencurian, kita bisa melihatnya dari CCTV," ucap Suryo tersenyum lebar.

"Apa?! Bukankah itu melanggar privasi? Bagaimana jika aku sedang mengganti baju, bukankah itu bisa terlihat? Cepat singkirkan benda tidak berguna itu dari kamarku!" perintah Arya dengan tegas.

"Tetapi Raden, Anda selalu mengganti baju di walk-in-closet,"

"Apalagi itu? Aku tidak peduli, cepat singkirkan saja!" ujarnya tak terbantahkan.

"Sendiko dawuh, Raden."

Suryo kemudian melangkahkan kakinya keluar kamar Arya dengan terheran-heran, ia menjadi berpikir, "Apakah lupa ingatan bisa sampai separah ini?" 

to be continue~

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

336K 9.1K 84
Her busy life soon comes to the end once she enters a small bookstore and finds her all-time favorite book. On the night she purchase the book, she p...
37.4K 695 29
Written by SirDaddyJoon "Call me DADDY !" "F-fuck DADDY ." Kim Namjoon x Shin Y/N x BTS ⚠ ⚠ ⚠ Sex 18+ Dirty talked Mr.Kim was a new teacher in...
382K 15.4K 137
Fern is the younger sister of a famous author known for 'The Promise Under The Moon.' At just fourteen, she was the first to read her sister's debut...
1.2K 85 13
Melihat lawannya sangat lincah dan gesit, raden Inu heran juga. Ia tidak menyangka pemuda lemah gemulai itu ternyata tangguh di peperangan. Dalam sat...