Arya Pierre

بواسطة TitaRally

756 61 2

Raden Mas Arya Rajendra dan Pierre Andries Tendean, dua pemuda berbeda generasi dan dimensi waktu yang mengal... المزيد

Identitas Novel
Kata Pengantar
Chapter 1: Kejadiaan Naas
Chapter 3: Perubahan
Chapter 4: Perasaan Asing
Chapter 5: Harapan
Chapter 6: Jalan Keluar
Chapter 7: Akhir Perjalanan

Chapter 2: Secercah Cahaya

82 6 0
بواسطة TitaRally

Masa lalu selalu berkaitan dengan masa depan, begitupun sebaliknya. 58 tahun lalu, tepatnya 1965 ketika Indonesia sudah merdeka, namun masih belum bisa lepas dari belenggu penjajahan. Kondisi bangsa saat itu sungguh seperti layaknya bebas berjalan kemana pun tetapi dengan kaki yang terikat.

"Satu, dua, satu, dua, satu, dua."

Pierre Tendean, seorang anggota militer berdarah keturunan Perancis yang terbiasa hidup penuh dengan aturan. Setiap pagi, ia selalu membiasakan diri lari pagi mengelilingi markas. Setelahnya langsung melakukan push up dan berbagai olahraga ketangkasan lainnya. Sore harinya ia tak pernah absen dalam latihan beladiri dan menembak. Kedisiplinannya itu yang membuat sosoknya dikenal sebagai "Captain with hidden ferocity" di markasnya.

Keluh keringat mulai membasahi pelipis, terik matahari yang seolah berada tepat diatas kepala tetap tak berhasil menyurutkan semangatnya untuk berlatih meningkatkan ketahanan fisik yang sebenarnya sudah sepenuhnya terbentuk.

"Pierre, kamu diminta untuk menghadap jendral Ahmad Yani di ruangan pribadinya sekarang," ucap Bima—teman sekamar sekaligus sahabat dekatnya.

Mendengar hal itu ia lantas menghentikan aktivitasnya.

"Baiklah, setelah ini aku akan segera menemuinya," jawab Pierre dibalas anggukan singkat oleh Bima. Pria itu kemudian memilih duduk disebuah kayu lapuk yang dibiarkan tergeletak ditanah.

"Fisikmu sudah begitu terlatih, daya tahan tubuhmu begitu kuat, bahkan kamu sudah memiliki otot yang kekar, lantas mengapa kamu masih sering berlatih?" canda Bima yang lebih terkesan heran.

"Ini belum cukup kuat untuk membuatmu pingsan karena pukulanku," balas Pierre bergurau dengan wajah datarnya seketika membuat Bima tertawa.

"Aku masih heran, bagaimana bisa pria kaku dan membosankan sepertimu bisa menarik hati ribuan wanita," ujar Bima menampakkan wajah bingung.

"Karena aku tampan, apakah fakta itu belum cukup?" jawab Pierre acuh lalu pergi meninggalkan pria yang tengah menganga karena ucapannya.

"IYA DEH, KAMU MEMANG TAMPAN!" teriak Bima menatap punggung sahabatnya yang mulai menjauh.

Tanpa mempedulikan teriakan tersebut, kaki panjang itu mulai melangkah melewati koridor ruangan yang tampak sepi. Ia mengedarkan padangannya, menatap dinding-dinding berwarna putih tulang yang lembab dengan jendela ruangan yang kini menampilkan orang-orang yang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sesampainya diujung lorong, mata tajam itu menangkap sebuah pintu kayu dengan papan nama bertuliskan 'Jend. Ahmad Yani' yang menempel elok di tengah pintu kayu tersebut.

Tepat setelah ketukan ketiga, suara bariton seseorang terdengar memberikan perintah agar ia masuk.

"Siap! Ada yang bisa saya bantu, Ndan?" ucap Pierre dengan tegas.

"Kita ada tugas khusus untuk tim Banteng Hitam, Melihat dari kemampuan dan ketekunanmu selama ini, membuatku percaya jika kamu pantas menjadi ketua di dalam tim ini. Dalam misi ini, kalian ditugaskan untuk memata-matai PKI di salah satu kabupaten Jawa timur, tepatnya di Kabupaten Blitar," jelas Jendral Ahmad Yani menatapnya serius.

"Siap! Izin bertanya!"

"Silahkan."

"Siap! Untuk rincian tugas yang harus kita lakukan apa saja, Ndan?" tanya Pierre dengan serius.

"Tolong cari tahu semua rencana para petinggi PKI yang ada di sana, cari informasi dengan detail dan bersih, jangan tinggalkan jejak sedikit pun. Cari tahu apa tujuan mereka, karena kita perlu tahu langkah apa yang akan mereka ambil sehingga kita bisa menganalisis ancamannya dan dapat mengambil strategi yang tepat jika ada penyerangan mendadak. Tugas ini cukup sulit, tetapi aku percaya kamu bisa mengatasinya. Jadi, apakah kamu sanggup melakukannya?" ujar Jendral Ahmad Yani dengan serius.

"Siap! Sanggup!" jawab Pierre tegas dan penuh rasa tanggungjawab.

"Baiklah, segera sampaikan kepada tim Banteng hitam dan segera bergegas menyiapkan barang-barang yang kalian perlukan. Kalian akan diberangkatkan besok."

"Siap, Ndan!"

Setelah percakapan itu selesai, Pierre segera berjalan menuju area gedung asramanya, mengumpulkan semua anggota, dan menyampaikan misi terbaru kepada tim Banteng Hitam sesuai dengan apa yang ditugaskan Jendral Ahmad Yani. Dengan cepat mereka segera mengemasi barang-barang, menyiapkan senjata, dan berbagai hal yang akan mereka butuhkan untuk keberangkatan mereka besok pagi.

Keesokan harinya, sudah beberapa jam berlalu setelah keberangkatan mereka. Dengan perasaan semangat dan jiwa nasionalisme yang berkobar, rombongan tim Banteng Hitam sejak pagi tengah sibuk menyusun strategi dan membagi tugas didalam mobil, hingga tak terasa langit yang awalnya berwarna jingga kini sudah menggelap. Cahaya matahari bahkan telah sepenuhnya tergantikan oleh sinar rembulan yang terang ditemani ribuan bintang yang seolah menggantung di langit untuk menerangi suasana dingin malam itu.

"Kapten, apakah perjalanan kita masih jauh?" tanya Bima, yang ikut dalam misi ini.

"Kita sudah hampir sampai, kurang lebih sekitar 10 jam lagi," jawab Pierre datar.

"Hampir sampai bapakmu itu! 10 jam itu lama," keluh Bima lantas membuat Pierre tertawa kecil.

Percakapan sederhana itu terhenti kala cahaya bulan semakin meninggi, suara-suara hewan malam seolah tengah menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur. Pierre menatap teman-temannya yang mulai terbang menuju alam mimpi, kemudian menyusulnya sebelum pagi menyambut dengan kesibukan.

Hari kedua perjalanan, matahari mulai menampakkan dirinya disela-sela awan. Namun, semburat cahaya kuning yang merambat ke tubuh tetap tak mampu menghangatkan hawa dingin di pagi hari ini. Suara derap langkah kaki mulai terdengar, rombongan pria berbadan kekar berdandan layaknya rumput tengah berbaris bersiap turun dari mobil yang telah membawa mereka menuju salah satu desa di kabupaten Blitar.

Berada dipelosok membuat desa ini sangat cocok digunakan untuk tempat persembunyian di keadaan bangsa yang masih genting ini. Banyaknya rumput belukar juga membuat desa ini sulit untuk diakses hingga hanya sedikit rumah yang ada disana. Desa Wonorejo, itulah namanya. Tempat persembunyian para petinggi PKI di Jawa Timur.

Terdengar suara burung yang berkicauan dan derasnya air sungai yang menenangkan menandakan mereka telah sampai di tempat yang mereka tuju. Tim Banteng Hitam dengan arahan dari Pierre mulai mendirikan tenda dengan cepat, siap, dan sigap di hutan dekat sungai. Setengah jam berlalu, merekapun istirahat di dalam tenda.

"Setelah perjalanan panjang akhirnya sampai juga. Tubuhku rasanya sakit semua karena tidur dimobil lama. Aku tidur dulu boleh, kan?" keluh Bima dengan sekujur keringat ditubuhnya.

"Bersih-bersih dulu, kau bau."

Bima lantas melotot dan segera mencium ketiaknya.

"Hehe, bau dikit gak ngaruh. Ini tuh keringat pejuang," ucap Bima acuh kemudian merebahkan diri ditenda dengan ransel yang ia gunakan sebagai bantal.

"MASIH ADA WAKTU 5 JAM, GUNAKAN WAKTU ISTIRAHAT SEBAIK-BAIKNYA. NANTI JAM 12 SIANG KITA MULAI MELAKSANAKAN TUGAS KITA," teriak Pierre dengan lantang dan tegas.

"SIAP, KAPTEN!" sahut semua tim Banteng Hitam dengan suara yang tak kalah tegas dari sang kapten. Dengan segera mereka bubar melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang bergantian membersihkan diri, mengecek senjata dan kebutuhan untuk nanti, menyiapkan makan siang dan lain-lain, kemudian memasuki tenda dan mengistirahatkan diri.

Tak terasa matahari yang meninggi seolah sudah sampai di atas kepala, panasnya cuaca hari itu bahkan berhasil menembus tenda-tenda tim Banteng Hitam hingga mengusik seseorang yang tengah terlelap dalam tidurnya. Ia menatap jam tangan hitam yang bertengger elok ditangan kirinya, kemudian segera beranjak keluar setelah kesadaran sepenuhnya kembali.

"Anda sudah bangun, Kapten?" tanya Bima yang tengah meminum segelas kopi.

"Kenapa tidak membangunkan ku?" tanya Pierre menatap dengan kesal.

"Kami tidak tega membangunkanmu, kamu terlihat sangat kelelahan. Lagi pula masih ada waktu 2 jam sebelum misi dimulai," jelas Bima menyerahkan sekotak makanan. Mereka makan dengan tenang sembari menatap sekitar yang tampak sepi dan gersang.

Dua jam berlalu dengan cepat, setelah memastikan bahwa semua kebutuhan sudah lengkap, mereka segera berkumpul untuk mendengarkan arahan dari Pierre.

"LAKSANAKAN TUGAS SESUAI STRATEGI YANG SUDAH KITA BAHAS! DAN INGAT UNTUK SALING MENJAGA APA PUN YANG TERJADI. APA KALIAN PAHAM?" teriak Pierre menatap anah buahnya satu-persatu.

"SIAP, PAHAM, KAPTEN!" balas anggota tim Banteng Hitam dengan kompak.

"BERSIAP DIPOSISI, KITA BERANGKAT SEKARANG!" perintah Pierre yang langsung dikerjakan oleh anak buahnya.

Tak sampai 30 menit, mereka telah sampai di markas rahasia para petinggi PKI di Jawa Timur. Tepat 200 meter, terlihat sebuah bangunan tua berdiri di tengah lahan kosong. Bangunan ini lebih seperti sebuah pabrik terbengkalai, dinding lembab yang sebagian sudah retak, cat yang sudah mengelupas, rerumputan yang panjangnya lebih dari satu meter, serta tanaman rambat yang menjalar seolah memeluk dinding bangunan itu.

Dengan isyarat, Pierre memerintahkan anak buahnya untuk berada diposisi masing-masing untuk mengepung area ini. Sementara Pierre memimpin pasukan inti untuk menerobos masuk guna mencari informasi seperti apa yang telah ditugaskan.

"Kalian tetap berada diposisi untuk berjaga-jaga apabila terjadi hal yang tak terduga," bisik Pierre diangguki oleh pasukannya.

"Hati-hati, Kapten!" ucap salah satu anak buahnya dibalas anggukan singkat oleh Pierre.

Dengan bersembunyi direrumputan yang panjang, Pierre, Bima, dan pasukannya perlahan melangkah mendekati gedung dengan waspada. Mereka merapatkan diri di dinding dan menatap sekitar sembari memberi beberapa kode isyarat. Setelah dirasa aman, Pierre memimpin mereka untuk masuk ke dalam gedung. Dan sesuai informasi yang mereka dapat setelah mengawasi area sejak pagi hari tadi, saat ini para petinggi PKI tersebut tengah melakukan rapat dengan serius. Pierre yang dasarnya sudah terlatih tentu tak kesulitan untuk menerobos gedung tanpa takut ketahuan, terlebih lagi tak ada penjagaan diluar gedung. Mungkin mereka tak ingin menimbulkan kecurigaan apabila menempatkan orang berjaga diluar.

"Mas Dit, piye menurutmu rencanane adewe seng sektas dibahas mau?" tanya seseorang yang Pierre tahu bernama Sjam.

"Sek-sek, piye mau aku ra ngrungokne," ujar Aidit lantas membuat mereka menghela napasnya.

"Dancok ye wei mas, kene wes omong nganti lambeku muntuk ra kok gubris, asu we mas," maki Sjam dengan begitu kasarnya.

"Lha piye lo, aku mau sek kepikiran karo bojoku og," ujar Aidit menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Ngene lo mas, Blitar iki kan wonge ki sek polos-polos, pekok-pekok. Piye nek adewe jajal nguasai Blitar iki, didadekne pusat e PKI. Kowe setuju opo ora?" tanya Sjam berusaha sabar.

"Yo jane aku setuju ae, tapi emang e we wes mikir piye carane?"

"Serku ngene, adewe terjun langsung nyedeki buruh-buruh daerah kene. Adewe gawe iming-iming seng apik ben mereka kabeh tertarik mlebu partai PKI," jelas Sjam membuat mereka lantas berpikir.

"Lha, iming-iminge piye?"

"Masyarakat sama rasa-sama rata," ucap Sjam bangga dengan idenya.

Namun, sebuah suara benda jatuh seketika mengalihkan atensi semua orang di saat mereka tengah serius-seriusnya mendengar rapat rahasia PKI tersebut.

"SIAPA DI SANA?" teriak salah satu anggota PKI sembari menatap sekitar.

"Gawat sepertinya ada mata-mata!" sahut rekannya.

Pierre yang mendengar hal itu lantas berdecak, bagaimana bisa Bima melakukan kesalahan seperti ini. Ya, benar. Bima tak sengeja menjatuhkan pelurunya hingga menimbulkan suara yang menggema dibangunan kosong yang sunyi itu.

Meningkatkan kewaspadaan, ia segera menembakkan peluru ke arah lain saat beberapa anggota PKI mulai mendekati area persembunyian Bima.

Dor

Tembakan itu menambah kewaspadaan mereka semua. Para anggota PKI seketika membentuk 3 kelompok. Kelompok pertama segera membentuk lingkaran memutar untuk melindungi para petingginya. Kelompok kedua segara berpencar mencari mata-mata yang bersembunyi sembari membawa senjata mereka. Dan kelompok ketiga segera berlari keluar karena mereka menebak jika bangunan ini telah dikepung.

Sebuah peperangan tak diinginkan terjadi. Sembari melarikan diri, Pierre dan teman-temannya mencoba menembak para anggota PKI di bagian kaki mereka. Terlalu fokus dengan musuh-musuhnya, membuat Pierre tanpa sadar terpisah dengan teman-teman. Naasnya lagi, peluru yang ia bawa hanya menyisakan 1 buah saja.

"Tch sialan, peluruku tinggal satu. Aku harus menggunakan peluru ini dengan hati-hati," batinnya.

"Menyerahlah, kamu sudah terkepung!" teriak salah satu anggota PKI dengan mengangkat sebatang kayu.

Dengan sigap, Pierre memasukkan pistolnya kedalam holster yang melingkar di pinggangnya. Membuat sebuah gerakan kuda-kuda dengan tatapan sengit, tangan yang terkepal itu memukul seseorang yang membawa kayu tersebut dengan cepat hingga mereka tak menyadari pergerakannya. Sebatang kayu yang tergeletak di bawah langsung ia ambil sebagai senjatanya.

Para anggota PKI menyerang secara bersamaan hingga membuat Pierre terpukul di beberapa bagian tubuhnya. Wajahnya penuh memar, keringat pertarungan itu bahkan sudah tercampur oleh darahnya yang membuat baju hijau itu sedikit berubah warna.

"Dasar pengecut! Beraninya keroyokan, sini maju satu-satu!" ujar Pierre menatap remeh.

Mereka tidak menggubris perkataan Pierre dan tetap mengeroyoknya, hingga...

Dor, suara tembakan seketika membuat keadaan sangat sunyi. Para anggota PKI mulai meneteskan keringat dinginnya ketika melihat kepala salah seorang anggota mereka ditembak membuat bercak darah bercecer kemana-mana.

Melihat musuhnya yang terlihat membeku dengan darah yang mengotori tubuh dan wajah mereka, Pierre kemudian mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri.

Saat kabur, tanpa sadar kakinya membawa tubuh penuh luka itu ke sebuah goa yang tampak asing. Entah sejak kapan goa itu ada disana, namun ia segera menepis pikirannya. Mau tidak mau, ia akhirnya berlari menuju goa itu. Pierre yang sudah berada di mulut goa segera melangkahkan diri masuk lebih dalam. Tubuhnya seolah ditarik bagaikan magnet, hingga ia menemukan sebuah cahaya yang bersinar dari dalam inti gua, cahaya itu seolah merayap di dinding-dinding yang tampak lembab. Tanpa pikir panjang, rasa penasarannya mengalahkan kewaspadaan yang selalu ia jaga. Namun, tiba-tiba saat ia berada di tengah gua, sebuah cahaya seolah menelan tubuhnya. Kilau cahaya yang menusuk mata seketika hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran Pierre.

to be continue~

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

Icarus بواسطة :|

قصص الهواة

27.5K 1.2K 67
Here is what they don't tell you: Icarus laughed as he fell. Threw his head back and yelled into the winds, arms spread wide, teeth bared to the worl...
958K 39.6K 67
A fearless modern girl decided to ignore the real history and go with her own flow. Becoming a proper young lady who is abandoned by her own family w...
13.8K 1.9K 6
It's all about Almira and her love story 👋😍 Wajib baca novel PURNAMA di UJUNG MEGA, kalau nggak mau roaming nggak mau nanggung yaaa
248K 16K 142
The Divine woman Draupadi was born as the eternal consort of Panadavas. But we always fail to treasure things which we get easily. Same happened with...