Arya Pierre

By TitaRally

756 61 2

Raden Mas Arya Rajendra dan Pierre Andries Tendean, dua pemuda berbeda generasi dan dimensi waktu yang mengal... More

Identitas Novel
Kata Pengantar
Chapter 2: Secercah Cahaya
Chapter 3: Perubahan
Chapter 4: Perasaan Asing
Chapter 5: Harapan
Chapter 6: Jalan Keluar
Chapter 7: Akhir Perjalanan

Chapter 1: Kejadiaan Naas

143 8 0
By TitaRally

17.00 WIB, langit masih berwarna jingga, namun itu tak cukup untuk menghentikan para pemuda yang kini tengah menikmati pesta seolah hari tak akan pernah ada habisnya. Suara dentuman musik terdengar begitu nyaring, sorak-sorak ramai dari berbagai sudut ruangan, cahaya kerlap-kerlip dari lampu disko yang begitu menyilaukan mata, serta wanita dan pria yang kini tengah asik menari dengan iring-iringan lagu-lagu DJ yang menggema. Berbagai aroma alkohol segala jenis dan merk begitu menusuk indera penciuman, hal itu sungguh membuat seorang pemuda seolah semakin lupa akan dunianya. Dering ponsel terus berbunyi, namun sedikit pun ia tak peduli.

"Ck! Sialan, ganggu gue aja!" decaknya sembari menatap ponsel yang menampakkan nama sang abdi dalem kerajaannya.

Ya, dia adalah Raden Mas Arya Rajendra, seorang keturunan darah biru dari keraton Yogyakarta yang terlahir dari dari pasangan Sultan Narendro Cokroaminoto dan Gusti Kanjeng Ratu Ayuningtyas, sang penguasa keraton Yogyakarta.

Layaknya seekor burung, ia begitu ingin bebas diusia mudanya. Ia benci dengan segala aturan yang mengikat diri bagaikan rantai yang seolah membatasi ruang geraknya dengan alasan ia adalah keturunan kerajaan.

"Siapa, Ar?" tanya teman Arya menatap pria itu bingung.

"Biasa," ujarnya dengan malas.

"Pasti bokap lu yee...ceilahhh Raden Mas Arya Rajendra," ejeknya membuat sang empu semakin kesal dibuatnya.

"Sialan! Diem lo!" sahut Arya dengan tatapan sinis.

Dering ponsel tak henti-hentinya berbunyi, perasaan dongkol bahkan seolah sudah memenuhi hatinya. Hingga akhirnya dengan jengah, jari mulus dan berotot itu perlahan menekan tombol hijau hingga sebuah suara seseorang seseorang mulai terdengar dari seberang telepon.

"Raden."

"Ada apa, Paman Suryo?" tanya Arya dengan nada malas.

Suryo Hadikusumo, adalah seorang abdi dalem kerajaan yang begitu dipercaya oleh raja. Pengabdiannya yang dimulai sejak kelahiran Arya membuat ia begitu tahu semua hal tentang Radennya, melibihi orang tuanya sendiri. Bisa dibilang, Paman Suryo adalah orang terdekat Arya yang selalu sabar dan satu-satunya orang yang mampu bertahan disisi Raden angkuh dan arogan itu.

"Bisakah Anda pulang sekarang? Ada titah yang perlu saya sampaikan," ucapnya sopan.

"Tidak bisakah disampaikan sekarang saja? Aku masih ingin bersenang-senang," tanya Arya kesal.

"Tidak bisa, Raden. Saya harus menyampaikannya secara langsung, sesuai perintah dari Raja."

"Cih, benar-benar anjing yang patuh," makinya tanpa peduli dengan perasaan orang diseberang telepon.

"Raden..."

Arya menggeram menahan amarah, "Ck! Baiklah-baiklah, aku akan pulang sekarang, sudah puas?!"

"Tolong hati-hati dijalan, Raden. Saya akan menunggu Anda di pintu utama," nasihat Suryo dengan nada yang masih sangat halus dan sopan.

Tanpa menjawab, Arya langsung memutuskan panggilan itu begitu saja. Dengan raut tak bersahabat ia menyambar kunci motor yang tergeletak dimeja dengan kasar. Tanpa mengucap satu patah kata, kaki panjang itu mulai beranjak menuju pintu keluar dengan langkah lebar.

"Heh, Arya! Mau kemana lo? buru-buru amat, buset dah!" cibir temannya melihat Arya yang tampak terburu-buru.

Namun, Arya tak mengindahkan perkataan itu, kabut emosi seolah telah berhasil menulikan indera pendengarannya.

Jarak dari tempat Pesta menuju kediamannya menempuh waktu yang lumayan lama. Sekitar 30 menit berlalu, motor besar itu baru memasuki pintu gerbang kediaman Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Suara motor yang menggema membuat seorang pria paruh baya dengan busana pranakan datang menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.

"Ra-raden," ujarnya dengan napas terengah-engah.

"Ada apa?" tanya Arya sembari melepas helm full face kesayangannya.

"Raja memberikan pesan agar Anda tidak keluar lagi malam nanti. Dan beliau menyuruh Anda untuk mengikuti perjamuan makan malam hari ini, karena ada hal penting yang akan raja sampaikan," Jelas Suryo menunduk sopan.

"Hal penting? Cih! Itu hanya alibi. Pasti pria tua itu hanya ingin memarahiku dan menyuruhku ikut kelas tata karma yang benar-benar membosankan," keluh Arya berjalan memasuki kediamannya diikuti oleh Suryo dan beberapa pelayan.

Layaknya anak ayam yang mengikuti induknya, Suryo terus mengikuti Raden muda itu sembari terus menasehatinya, "Anda tidak boleh berpikir begitu, Raden. Itu semua juga demi kebaikan Anda sendiri. Karena bagaimana pun-"

"Bagaimana pun aku adalah satu-satunya keturunan kerajaan yang akan mewarisi dan menggantikan Raja, itu yang ingin kau katakan, kan?" potong Arya menatap Suryo dengan jengah.

"Benar, Raden."

"Sudahlah, aku malas membahasnya. Suruh seseorang untuk menyiapkan air hangat untukku, aku akan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum mendengarkan ocehan dari pria tua itu," titah Arya duduk di sofa kamarnya dengan angkuh.

"Baik, Raden. Mohon ditunggu."

Arya menghembuskan napasnya kasar, ia sudah tidak tahan dengan kehidupan penuh aturan ini. Jika saja ia bisa merubah takdir dan bukan lagi seorang Raden, ia pasti bisa bebas melakukan apa pun tanpa harus dimarahi ataupun dikekang seperti ini. Namun, lagi-lagi itu hanyalah bayangan yang tidak akan pernah terjadi.

"Apakah kepala Anda sakit, Raden? Tunggu sebentar saya akan memanggilkan dokter keluarga terlebih dahulu," ujar Suryo hendak beranjak pergi namun ditahan oleh Arya.

"Tidak perlu khawatir, aku tidak apa-apa," ucap Arya tersenyum tipis.

Tak ingin terlalu pusing memikirkan kehidupan dan tanggung jawabnya di masa depan, membuat Arya kemudian memilih memainkan game dari handphonenya. Ia sungguh tak ingin memikirkan masalah kerajaan yang menurutnya itu merepotkan sekarang. Ia masih muda dan masih ingin bersenang-senang, itu pikirnya.

19.00 WIB, seorang pemuda tengah berdiri menghadap kaca dengan ekspresi masam. Ia menatap pantulan diri yang kini tengah dikerumuni oleh para pelayan wanita yang membantunya menggunakan baju khas kerajaan Yogyakarta untuk menghadiri perjamuan makan malam. Inilah yang ia benci, mau makan malam saja ribetnya seperti mau menikah.

"Mau makan saja repot sekali! Paman Suryo, ingat perkataanku. Jika aku sudah menjadi Raja nanti, aku akan menghilangkan semua peraturan kuno dan menyebalkan ini," ucap Arya penuh tekad.

Paman Suryo tersenyum, "Apapun, Raden. Asalkan tidak menghilangkan peraturan wajib keraton yang sudah ada sejak raja pertama dulu, maka saya akan mendukungnya."

"Hm, Ya, aku tahu."

Dengan langkah berwibawa namun terkesan angkuh, Raden muda yang menolak takdirnya itu kini tengah berjalan menyusuri lorong-lorong keraton yang tampak sepi. Diikuti beberapa pelayan dan abdi dalem setianya—Paman Suryo. Rombongan itu berjalan menuju tempat perjamuan utama. Langkah kaki mereka terhenti diujung lorong yang menampilkan sebuah pintu kayu besar dengan ukiran-ukiran budaya Yogyakarta yang mengandung nilai sejarah. Dua penjaga pintu menunduk memberikan salam kepada calon Raja di masa depan, lalu mulai membukakan pintu hingga menampilkan suasana ruangan bernuansa kerajaan Jawa kuno. Terlihat juga sepasang pasutri dengan busana adat Jawa kini tengah menatap ke arah pintu dengan senyuman.

"Putraku, lama tidak berjumpa kamu semakin tampan, Ya?" ucap sang Ibunda—Gusti Kanjeng Ratu Ayuningtyas, untuk sekedar basa-basi.

"Hm, terimakasih," jawab Arya singkat.

"Arya, jawab yang benar! Lihatlah, kau terlalu asik bermain di luar dengan teman-temanmu yang tidak jelas itu, hingga kesopananmu kini benar-benar hilang!" ujar sang Ayah—Sultan Narendro Cokroaminoto, menatap putranya dengan raut wajah angkuh yang terkesan tak bisa dibantah. Oke lihat, kini sudah terjawab sudah darimana sikap angkuh Raden muda itu berasal.

"Raja yang terhormat, terimakasih atas komentarnya. Tetapi, teman-teman yang Anda bilang tidak jelas itu adalah orang yang selalu ada untuk saya, mereka adalah orang yang tak pernah berkata sibuk ketika saya merasa kesepian," ucap Arya terkesan menyindir.

"Arya!" sentak Sultan Narendro.

Arya hendak meninggalkan ruangan itu, namun sang Ayah menghentikan pergerakannya. Dengan terpaksa, ia akhirnya duduk kembali dan memulai acara makan malam dengan raut muka masamnya.

Seperti biasa suasana makan malam ini tak pernah bisa sehangat keluarga lainnya. Hal itu yang semakin membuat Arya selalu muak mengikuti perjamuan wajib seperti ini. Suasana sangat mencekam, hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu mengisi keheningan malam itu. Bahkan tak ada satu pun dari mereka yang berani membuka suaranya.

"Arya, ada hal penting yang ingin ku sampaikan padamu," ucap sang Ayah menatap putra tunggalnya sembari mengelap bibirnya dengan tisu.

"Tentang kelas tata krama lagi?" ujar Arya menebak.

"Arya, dengarkan romo mu dulu..." Sahut sang Ibunda membuatnya berdecak kesal.

"Kamu sudah sedewasa ini, beberapa tahun lagi kamu akan menggantikan posisiku. Sudah cukup kamu bermain-main diluar sana, Nak. Mulailah belajar menerima takdirmu." ucap sang Ayah dengan nada yang melembut, berharap putranya akan mengerti dan sadar akan perbuatannya selama ini.

Arya terdiam mendengar penuturan sang romo.

"Nak, aku tahu menjadi pemimpin penuh tanggung jawab. Kelak, kami tak akan selalu ada untuk membantumu. Jadi, kami memutuskan untuk menjodohkanmu dengan Kaylee, seorang bangswan Yogyakarta yang cantik dan cerdas agar ia bisa menemani dan membantumu mengatur keraton di masa depan."

Ya, tepat setelah perkataan itu selesai terucap, Arya lantas berdiri sembari memukul meja dengan kasar, "Hah? Candaan apa lagi ini?"

"Ini bukan candaan, Arya. Kami sudah mendiskusikannya, dan itu adalah keputusan yang terbaik untukmu," sahut sang Ibu memegang tangannya dan menatapnya dengan lembut.

"Yang terbaik? Hahaha, apakah mencari pasangan juga ada dalam aturan kerajaan? Kekonyolan apalagi ini," ucap Arya menyugar rambutnya dengan frustasi.

"Arya! Belajarlah menerima takdirmu!" sentak sang Romo.

"Takdir lagi, takdir lagi. Jika aku bisa memilih, aku tak akan pernah mau terlahir sebagai Raden!"

"Tutup mulutmu, Arya!" sentak sang Romo marah.

"Aku sudah punya pacar, aku sudah berpacaran dengan dia sejak 1 tahun yang lalu," jelas Arya yang nyatanya hanya beralibi agar rencana perjodohan ini dibatalkan.

"Memangnya siapa pacarmu? Apakah kalian setara? Kamu tidak boleh menikahi orang yang kastanya lebih rendah darimu. Putuskan saja dia," titah Sultan Narendro yang semakin membuat Arya naik darah.

"Cih! Persetan dengan kasta, Aku tidak setuju dengan perjodohan itu."

Semburat merah mulai muncul diwajah yang tak lagi muda itu. Arya tahu jika saat ini romonya tengah murka atas perkataannya. Tak ingin bertengkar lebih jauh, ia mulai beranjak meninggalkan ruangan, mengambil kunci motor dari Paman Suryo, dan berlalu pergi meninggalkan pekarangan keraton.

Deru motor terdengar begitu bising diindera pendengaran. Sorak-sorai protesan terdengar dari pengendara dan pejalan kaki lain, namun ia tak peduli. Motor besar itu tetap melaju dengan kecepatan tinggi. Ia seolah sudah kehilangan akal sehatnya, emosi sudah terlanjur menguasai jiwanya.

Di tengah laju motor yang Arya kendarai, seorang wanita paruh baya tiba-tiba menyebrang dengan santainya. Arya yang terkejut kemudian membanting stir ke kanan untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan. Naasnya, bukannya terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan tersebut, sebuah motor dari arah lain melaju dengan kecepatan sedang dan menghantam tubuhnya. Akhirnya, kecelakaan tetap tak bisa dihindari. Dan lagi-lagi, takdir yang berbicara.

Arya terlempar dari motornya, tubuh jangkung itu menghantam aspal dengan keras. Tubuhnya penuh luka, rasa sakit yang mulai merayap seolah membuatnya mati rasa. Tepat sebelum kesadaran itu hirap, sayup-sayup suara teriakan dari orang-orang dan suara sirine ambulan mulai beradu menambah suasana tragis malam itu. Siapa sangka, kecelakaan yang tak terduga menjadi awal impiannya tercapai. Yaitu, merubah takdirnya yang terlahir sebagai Raden.

to be continue~

Continue Reading

You'll Also Like

Icarus By :|

Fanfiction

27.6K 1.2K 67
Here is what they don't tell you: Icarus laughed as he fell. Threw his head back and yelled into the winds, arms spread wide, teeth bared to the worl...
384K 15.5K 137
Fern is the younger sister of a famous author known for 'The Promise Under The Moon.' At just fourteen, she was the first to read her sister's debut...
960K 39.7K 67
A fearless modern girl decided to ignore the real history and go with her own flow. Becoming a proper young lady who is abandoned by her own family w...
165K 6.8K 35
"you are just a replacement, don't except anything from me" he said "agreed" she said not even bothering him with a glance "you will be my wife in na...