Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XLVIII

44.7K 2.4K 102
By ohhhpiiu

Rapuh - Agnes Monica

Haruskah ku kehilangan 'tuk kesekian kali?
Tuhan, kumohon, jangan lakukan itu
Sebab ku sayang dia
S'bab kukasihi dia
Sebab ku tak rela
Tak s'lalu bersama
Ku rapuh tanpa dia
S'perti kehilangan arah

...

Semua udah kumpul, buat Qila

...

Jemari Qila mendingin. Dia memijat bergantian ruas-ruas jarinya yang terasa kebas. Suhu tubuhnya pun berubah mendadak menjadi dingin tiba-tiba. Tidak. Sebelumnya tidak separah ini. Kenapa mendadak tubuhnya mati rasa begini?

Qila tahu bahwa sejak semalam kondisinya tak kunjung membaik. Ketika meminta bermain kembang api pada ayah, dia sadar bahwa sejak saat itu badannya terasa berbeda.

Akan tetapi, Qila mau mengukir banyak momen indah bersama keluarganya yang belum sempat ia buat. Dia ingin menikmati kebersamaan diantara ayah dan saudara lelakinya dengan perasaan riang.

"Rick buat dance standby ya 15 menit lagi tampil, monitor."

Qila menatap orang-orang yang mulai berlalu lalang sibuk dengan urusannya masing-masing. Kepalanya jadi sangat pening, padahal sebelum Angkasa pergi dia sudah sangat yakin bisa menahan sakitnya seorang diri.

Beberapakali pandangannya memburam, suara-suara orang disekitar berubah samar. Tangannya berpegangan pada bangku plastik yang ada disamping, mencoba mencengkram dengan kuat dan menyalurkan rasa sakit.

"Qi?"

"Lo kenapa?"

Bahu Qila diguncang beberapa kali. Vega dan Wenda awalnya datang diam-diam karena masih dalam masa skorsing dari sekolah, wajah mereka tertutup masker dan topi hitam nampak terkejut mendapati wajah pucat Qila.

"Panggil Angkasa cepet Wen! Dia ada di deket ruang Osis tadi. CEPETAN!" Seketika Wenda langsung berlari kalang kabut sampai menabrak orang. "Cepet Wen!"

"Qi? Lo bisa denger suara gue?"

Qila mengerjap pelan berusaha menyesuaikan pandangannya yang menggelap untuk melihat sosok di depannya. Kepalanya masih sedikit tertunduk akibat sakit seperti dikuliti hidup-hidup.

"Tangan lo dingin." Vega menggenggam kedua tangan Qila mencoba memberikan kehangatan. "Sejak kapan lo nahan sakitnya? Lo sakit apa sih sampai sepucet ini!?"

Derap langkah kaki terdengar semakin mendekat. Vega langsung mundur begitu Angkasa datang dengan peluh yang sudah membasahi seluruh wajahnya yang dilanda panik.

Pemuda jangkung itu membuang bunga dan juga kotak kado yang telah ia siapkan sembarangan.

"La? Qila?" Angkasa gemetar saat mencoba menarik bahu Qila untuk direngkuh. "Kita ke rumah sakit ya."

"Sa! Ambil kunci mobil gue. Anter gue ke rumah sakit sekarang!" Angkasa setengah berteriak meminta Reksa untuk segera menyiapkan mobil. "La... lo masih bisa denger gue kan?"

"Asa," panggil Qila lemah. "Sakit... sakit semua, badanku."

Angkasa mendekap tubuh Qila dengan erat, ia tak lagi memperhatikan orang-orang yang mulai berkerumun. Sedangkan Vega sudah memaki dengan suara lantang agar semua orang menyingkir dan tak menjadikan Qila sebagai pusat perhatian.

tes

tes

tes

Qila mimisan membuat siapapun yang ada disana terkejut tak luput Angkasa yang kian mengeratkan pelukannya. Dia langsung mengangkat tubuh Qila yang mulai terkulai lemas dan membawanya menuju parkiran, mulutnya tak berhenti bergumam meminta agar Qila tetap mempertahankan kesadaran.

Belum. Masih belum.

Angkasa belum menyatakan perasaanya. Ia belum melakukan apapun untuk Aquila, untuk bintangnya.

Angkasa terus memaki diri karena tak sadar bahwa mungkin saja sejak tadi Qila sudah menahan sakit dibalik wajahnya yang terpoles bedak. Mungkin, seharusnya ia bisa lebih awas memperhatikan Qila, seharusnya ia tak membiarkan Qila sendirian, seharusnya Angkasa bisa terus bersama Qila sejak tadi.

Reksa menoleh dari bangku kemudi, menyaksikan bagaimana terpukulnya seorang Angkasa untuk pertama kali dihadapan gadis bernama Aquila.

"Ayah..." Qila terus meracau tak karuan sebelum kesadarannya benar benar hilang. Suhu tubuhnya meningkat tapi Qila menggigil. Hingga Angkasa kembali mengeratkan pelukan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.

Qila belum ketemu abang, qila mau lihat pertandingan basket saka, qila mau jalan-jalan sama daniel, qila mau dipeluk dan dicium ayah lagi.

....

Akbar berlari sepanjang koridor rumah sakit. Matanya sudah memerah, begitu memastikan ruangan yang ditempati Qila dia langsung berlari tanpa pikir panjang diikuti ketiga anaknya yang lain.

sayang.... tunggu ayah.

Hatinya teremas ngilu, pikiran-pikiran buruk sudah menghantuinya sejak tadi tanpa bisa ia cegah.

"Ayah! Janji ya! Kalau Nilai Qila bagus Ayah bakal bangga!"

"Ayah, kado buat Qila mana? Qila juga ulang tahun hari ini."

"Ayah... sakit, jangan pukulin Qila lagi."

"Kapan Ayah bisa sayang sama Qila?"

"Qila udah berusaha ayah, tapi tetep gak bisa, Qila gak tahu kenapa nilainya tetep segitu, Qila gak sepintar Saka maaf, Ayah."

Akbar mohon berikan ia kesempatan lebih banyak untuk menebus semua kesalahannya selama ini, meskipun hatinya tak berhenti memanjatkan doa, suara putus asa yang Egdar buat saat meneleponnya terngiang-ngiang bagai pertanda buruk di kepalanya.

"Urus aja urusan lo sendiri, jangan ikut campur masalah gue."

"Makanya jangan nyusahin jadi orang!"

"Kamu kekanakan banget sih, Qi! Ngertiin abang sekali aja kamu gak bisa."

Kondisi Akbar tak beda jauh dari ketiga anaknya yang lain. Mereka larut dalam kesalahan dan penyesalannya masing-masing. Saka-Daniel-Dirga mengingat setiap perkataan yang mereka ucapkan dan sudah menyakiti Qila.

"Kalau aku mati kamu gimana, Ka?"

"Om." Angkasa langsung berdiri menyambut kedatangan Akbar. Kemeja krem yang tadi pagi masih dipakai rapi sudah terkena noda darah yang Akbar tahu milik siapa.

"Gimana keadaannya?" tanya Akbar sangat frustasi membuat Edgar langsung menghampiri dan memeluk sahabatnya. "Anak gue, Gar, gimana keadaannya?"

"Masih ditangani dokter, Bar, kita semua tahu Qila sekuat apa."

Tetap saja, fakta bahwa Qila yang tadi pagi masih bisa ia lihat semburat merah di pipinya kini terbaring di ruangan ICU meremat jantung Akbar perlahan-lahan.

"Gue belum siap kehilangan Qila." Akbar membalas pelukan Edgar tak kalah erat, matanya yang sejak tadi menahan air mata kini semakin memerah dan berkabut. "Gue masih banyak salah sama dia, Gar, gue belum bahagiain dia lebih banyak. Gue nyesel pernah pukul dia cuma karena nilainya kecil, gue selalu banding-bandingin anak gue padahal dia pinter dengan caranya sendiri, gue ayah yang buruk buat Qila."

"Qila gak mungkin anggap lo ayah terburuk, Bar. Dia sayang lo lebih dari apapun. Lebih baik berdoa daripada menyesali semua yang udah terjadi."

Akbar terlalu banyak dosa.

Ia menelantarkan Qila dan membiarkan putrinya tumbuh seorang diri sembari menahan iri karena tak diperhatikan seperti saudara-saudaranya yang lain. Akbar selalu pilih kasih hanya karena pencapaian Qila tak bisa sebaik abang dan adik kembarnya.

"Wali dari Aquila?" Salah seorang dokter menghampiri Akbar dengan raut wajah buruk. "Bisa kita bicara sebentar? Mari ikut keruangan saya."

Saka melihat kepergian ayahnya dengan langkah yang berat. Tangan Saka menempel pada pintu ruang ICU, mengepal sambil sesekali menyumpah serapahi dirinya sendiri.

Wajah Dirga sudah pucat sejak tadi, semua jarinya mendingin, tak lama kakinya meluruh ke lantai rumah sakit yang dingin, ia menempelkan dahinya dan menangis dalam diam, menyesali semua perbuatan bodoh yang telah ia lakukan.

Dirga membenturkan kepalanya berkali-kali, mencoba mengusir pikiran jahat yang memenuhi otak dan hatinya. Jangan. Dirga masih ingin mendengar Qila memanggil namanya, Dirga belum meminta maaf secara baik dan menerima maaf darinya.

"Daniel," Rena yang baru saja tiba langsung memeluk Daniel dan menenangkan pacarnya yang sudah menangis sejak tadi. "Qila pasti gak akan kenapa kenapa, dia kuat, Niel."

"Takut." Daniel menumpahkan semua kesedihannya. "Gue takut dia ninggalin gue sama kayak bunda."

"Qi, gak semua hal harus diceritain ke orang-orang, baiknya kita pendem sendiri aja biar gak nyusahin yang lain."

Bodoh.

Harusnya Daniel tak pernah berkata begitu. Harusnya dia bisa menjadi sosok abang tempat Qila bersandar. Harunya Daniel tak pernah meninggalkan Qila. Berapa banyak kata maaf yang harus ia panjatkan agar seluruh dosanya pada Qila hilang? Harus berapa lama Daniel memohon agar doa-doanya bisa terkabulkan?

Tuhan...

...

"Keadaan Qila saat ini masih dalam kondisi kritis, saya harus mengatakan ini, Pak Akbar, tim medis akan berusaha semaksimal mungkin dalam melakukan penanganan namun takdir Tuhan adalah kehendak yang tidak bisa kita ubah. Saya harap Bapak dan yang lain bisa mempersiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi."

Kepala Akbar bersandar pada tembok rumah sakit. Air mata sudah lolos sejak tadi, perkataan dokter yang menangani Qila terus bergema di pikirannya.

Kemungkinan terburuk.

Akbar sudah pernah melaluinya satu kali dan ia hampir gila saat itu.

Apakah ia harus merasakannya lagi? Apakah ini hukuman baginya?

"Qila cuma pengen di sayang ayah lagi."

...

Angkasa memperhatikan semua orang yang datang. Ekspresi mereka sama. Semua bersedih dan terus memanjatkan doa tak henti-henti meminta agar kondisi Qila segera membaik.

"Abang?"

"Bun..." Suara Angkasa bergetar. "Qila-"

"Ibun sama Yayah lagi diperjalanan ke rumah sakitnya, tunggu sebentar ya, Qila pasti membaik percaya sama Ibun."

Angkasa tahu itu hanyalah kalimat penenang yang sejak tadi ia tanamkan didalam dirinya sendiri. Akan tetapi, tubuh Qila yang melemah dalam pelukannya masih terasa jelas sampai saat ini. Bahkan deru napas Qila yang perlahan masih terasa di indera pendengarannya yang kini berubah tumpul.

Suara manis Qila terngiang dalam pikirannya.

"Aku jauh lebih takut dilupakan daripada kematian itu sendiri."

"Temen-temennya Neng Qila ya?" sapa Bi Iyem yang wajahnya sudah sangat sembab pada Angkasa, Reksa, Vega, dan Wenda yang kebetulan masih menunggu keadaan Qila. "Bibi bersyukur pisan kalau Neng Qila punya temen yang sebaik ini."

"Setiap kali pulang sekolah dia kadang cerita ke Bibi kalau temen-temennya suka ngajakin makan di kantin, ngebantuin ngerjain pr, kalau inget lagi jadi terharu sekarang, ternyata bener ceuk Neng Qila."

Mereka yang mendengarnya terpaku khususnya Vega dan Wenda.

"Pokoknya mah setiap kali cerita pasti wajahnya bahagia, sumringah, makasih banyak ya udah mau jadi temen Neng Qila, waktu SMP Neng Qila teh sempet takut buat ketemu orang."

Vega mengalihkan pandanganya yang mendadak buram karena air mata. Harusnya ia tak pantas mendapatkan kata terimakasih yang begitu tulus karena ia selalu memperlakukan Qila dengan begitu jahat di sekolah.

...

Setelah beberapa jam menunggu akhirnya Akbar dipersilahkan masuk untuk melihat kondisi Qila oleh dokter. Lengkap dengan pakaian khusus ia melihat putrinya yang tengah terbaring tak sadarkan diri dengan berbagai alat menancap di tubuhnya.

"... sayang," panggil Akbar dengan suara bergetar. "Hei, Qila sayangnya ayah, jangan lama-lama ya bobonya, semua lagi nunggu Qila bangun, anak ayah kuat, kan?"

Suara detak jantung dari mesin yang menemani keheningan Akbar saat berbicara dengan Qila.

"Katanya Qila mau lihat semuanya kumpul? Bang Dirga udah disini lho, Qila enggak kangen sama abangnya? hm?" Tangan Akbar meremas pinggiran besi dari ranjang Qila. "Qila udah janji mau tampil main piano sama Ayah."

"Semuanya udah kumpul, nak. Ayah, Abang Dirga, Abang Daniel, Saka, Bi Iyem, ada temen-temen Qila juga yang gak berhenti datang daritadi. Ada banyak yang nunggu Qila." Akbar tak berbohong, sebelum dipersilahkan masuk ada banyak orang yang berdatangan dan mengaku sebagai teman sekolah Qila. "Nanti kita ke taman safari ya, Qila pengen kesana kan dari dulu? Asalkan sehat ya sayang, ayah akan turutin semua keinginan Qila."

Air mata Akbar jatuh. Ia terus mengajak Qila berbicara meskipun putrinya itu diam bagaikan putri tidur.

"Ayah banyak salah, maafkan ayah, nak."

"Kalau harus dihitung maka biarkan ayah menebus semua dosa dan kesalahan ayah ke Qila." Akbar meremat dadanya yang kini dipenuhi sesak, bau khas rumah sakit mendominasi indera penciumannya. "Qila sayang ... ayah mohon tinggal lah lebih lama bersama ayah, izinkan ayah menebus semuanya, sayang."

Karena rasanya Akbar takkan lagi sanggup melanjutkan hidup jika sekarang harus kehilangan untuk kedua kalinya. Setelah seluruh kesedihan yang tertanam selama ini mengakar kuat, ditambah beban kesedihan saat ini, Akbar rasa ia takkan bisa menatap dunia dengan cara pandang yang sama.

"Bilang sama bunda jangan bawa Qila pergi dulu, ayah masih ingin menjaga Qila disini."

Akbar menggenggam tangan Qila yang bebas dari infus. Dulu, tangan ini begitu kecil, menggemaskan, dan kini sudah menjadi lentikan cantik sekaligus sumber penyesalannya.

Tangan ini lah yang kerap kali menjadi sasaran kemarahannya, ia sering memukul tangan Qila dengan rotan yang ada di loteng rumah, setelah itu mengurung putrinya sampai sehari penuh dengan begitu kejam.

Membayangkan betapa dingin dan kesepiannya Qila selama di hukum olehnya mungkin takkan pernah sebanding dengan penyesalan yang saat ini ia rasakan.

Akbar menyesal, sungguh dan teramat sangat.

Continue Reading

You'll Also Like

87.6K 8K 39
Highest Rank #250 of 13,6k in random [05/05/20] #336 of 39,7k in Indonesia [12/10/2021] #156 of 28k in roman [12/10/2021] #432 of 26,3k in badgirl [1...
51.8K 5.8K 38
[SEKUEL DARI HANCUR!] (FOLLOW SEBELUM MEMBACA) {Fiksi Remaja, Romansa} Memecahkan permasalahan yang terjadi di sebelumnya, serta membongkar suatu kej...
45.1K 6.4K 62
"𝙱𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚞 𝚊𝚗𝚊𝚔, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚎𝚜𝚊𝚒. 𝙹𝚞𝚗𝚐 𝙹𝚊𝚎𝚑𝚢𝚞𝚗!" -Jung Jaehyun & Han Seyoung- ©️2021
12K 1.3K 49
(YANG SUSAH BAPER HARAP MENDEKAT) (SEBAGIAN PART DI PRIVAT, FOLLOW DULU BARU BISA BACA) 🎐 ☄️Apa Yang Akan Terjadi, Jika Si Dingin Bertemu Dengan Te...