Apakah Kita Bisa Bertemu (Lag...

By JuwitaPurnamasari

47.4K 1.9K 115

Sebuah kisah sederhana tentang kisah cinta masa kecil, penantian, janji, rindu, juga... kebingungan. Semua r... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15

Bagian 6

2.3K 122 4
By JuwitaPurnamasari

 “Hai, Shinta.” Laki-laki berjas abu-abu itu duduk di hadapanku. Aku masih membeku tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini.

“Shinta sampai bengong, kenapa? Terpesona ya sama Rama?” Mbak Mawar duduk tepat di sebelah kiriku sambil menepuk pundakku lembut. Aku sempat terkejut. Seolah tak percaya dengan yang kulihat, aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Tapi hasilnya tetap sama. Itu Rama!

“Ah, anu, aku... oh, Rama, apa kabar?” Aku berusaha menggunakan bakat aktingku untuk menguasai suasana. Tapi entah mengapa rasanya berat.

“Baik, bukankah kita sering bertemu? Kenapa kamu seolah baru bertemu pertama kali denganku?” Laki-laki itu tampak memasang wajah datar-datar saja. Sedangkan dalam hatiku sedang sangat kelabakan.

“Sebentar, sepertinya Bunda merasa pernah melihat wajah Nak Rama ini, ya?”  

“Iya Tante, tadi kan kita sempat berpapasan di depan pintu apartemen.”

“Oh iya, benar. Lho, jadi selama ini Shinta dan Rama tetanggaan?”

“Ah, yang benar toh?” Tante Lestari tampak terkejut, memandang Rama dan aku bergantian.

“Lho, kok kamu nggak cerita ke Mbak Mawar?” Mbak Mawar menatap Rama dengan wajah penasaran. “Jadi kalian sudah akrab dong? Ah, aku ingat. Kita pernah ketemu sekali ya, Shinta? Waktu Mbak main ke apartemennya Rama. Pantas wajahmu sepertinya nggak asing.”

Pertanyaan demi pertanyaan, membuat kepalaku terasa mau pecah. Pertemuan yang kutunggu akan menjadi pertemuan manis justru jadi pertemuan sepahit jus mengkudu. Rasanya ingin menjerit atau  mungkin menangis saja. Rama tampak biasa-biasa saja. Dengan tenang dia mulai meneguk segelas air dan menikmati makanannya. Apa maksudnya ini? Aku benar-benar tidak mengerti.

“Tapi Shinta sudah punya pacar.” Tiba-tiba suara serak khasnya itu melemparku keluar dari lamunan. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya, aku tidak fokus mendengarkan hanya sibuk mengatur degup jantungku yang semakin tidak keruan.

“Masa sih? Shinta sudah punya pacar? Kok Bunda ndak tahu?” Bunda menatapku penuh rasa ingin tahu. Aku hanya bisa menghela napas berat.

“Iya, kayaknya saya datangnya telat. Hahaha... sayang sekali.” Dia tertawa renyah seolah leluconnya tadi memang lucu.

“Waduh, padahal waktu kecil kalian sering main rumah-rumahan berdua. Katanya nanti kalau sudah besar mau menikah.” Om Bram menimpali sambil tertawa hingga tubuhnya yang tambun itu ikut naik turun.

Aku sama sekali tidak ingin tertawa. Bukan rasa marah yang kurasakan sekarang namun lebih ke perasaan bingung bercampur sedih. Bisa-bisanya aku selama ini salah mengenali Rama. Bahkan aku sempat membencinya.

Cinta macam apa yang kupunya ini....

Aku malu pada diriku sendiri, hingga tak berani menatap sepasang mata tajam di hadapanku yang entah berapa kali selalu menatapku seolah siap merobek hatiku.

“Apa jangan-jangan selama ini Shinta tidak ngenalin Rama ya?” Ayah menepuk pundaku yang semenjak kehadiran Rama aku lebih banyak diam dan menunduk pura-pura menikmati makanan yang tersaji di piring.

“Wajar toh, Yah. Sudah dua belas tahun. Bunda saja yang sering gendong-gendong Rama sejak bayi ndak ngenalin saat ketemu di depan apartemennya tadi. Sekarang sudah berubah jadi laki-laki tampan dan gagah begini.”

Obrolan dan tawa terus mengalir begitu saja, tapi aku mendadak pendiam. Bahkan untuk mengangkat wajahku saja tidak berani. Rama tepat duduk di hadapanku. Dan setiap aku sedikit mengangkat wajah matanya yang tajam tapi terasa dingin itu sedang menatapku dengan wajah yang ekspresinya tak bisa kutebak.

“Om, Tante, maaf sebelumnya saya nggak bisa lama-lama karena masih ada urusan.” Dia bangun dari kursinya. Pandangan kami bertemu sedikit lebih lama. Tapi mata itu selalu dingin jika menatap ke arahku. “Dah... Shinta.” Dia menarik sedikit bibirnya seperti senyum yang dipaksakan. Dadaku sesak, sakit... sakit sekali. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.

Melihat punggungnya menjauh, perasaanku semakin campur aduk. Aku bahkan tidak bisa merasakan setetes air mata yang menetes begitu saja. Dengan terburu-buru aku bangun dari dudukku. Seolah kakiku bergerak sendiri. Sebelum bayangannya benar-benar hilang.

“Lho, mau ke mana Shinta?” Bunda menarik tanganku dengan bingung.

“Sebentar Bunda, aku ada urusan sama Rama.” Aku melepasnya dengan lembut dan berlari diikuti tatapan aneh semua orang di sana.

“Rama.... Tunggu....” Dengan susah payah aku bisa mengejarnya. Dia sedang menunggu di depan pintu lift. Aku kesulitan mengatur napas yang berantakan setelah berlari mengejarnya. Akhirnya aku bisa berdiri di sebelahnya.

“Apa maksudnya semua ini?”

“Tidak ada maksud apa-apa.”  Dia menjawab dengan dingin tanpa menatap ke arahku, matanya lurus menatap pintu lift yang masih tertutup.

“Kenapa? Kenapa kamu tega giniin aku?” Aku menangis sejadinya. Dia masih tidak bergeming.

“Memang aku sudah melakukan apa?”

“Rama! Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau kamu Rama? Kamu jahat....” Suaraku parau, seolah tertelan kembali meski aku sangat ingin berteriak.

“Jahat? Bukankah yang lebih pantas marah adalah aku? Bukankah kamu bilang akan mengenaliku dalam sekali lihat? Bukankah kamu bilang kamu tidak tertarik jatuh cinta lagi selain denganku?” Nada suaranya acuh, dia tak sedikit pun menatap ke arahku.

“Wajar bukan, aku nggak mengenalimu. Orang-orang pun bilang begitu. Sudah dua belas tahun, nggak ada komunikasi apa pun, yang kuingat hanya wajahmu saat kecil. Kamu juga pasti nggak langsung mengenaliku kan, jika saja aku bukan artis?”

Sekilas aku mendengarnya menghembuskan napas berat tapi dia masih tidak menatapku sedetik pun.

“Aku langsung mengenalimu. Aku mengenalimu dalam sekali lihat, bahkan saat itu aku belum tahu kalau kamu artis. Pagi itu, saat aku baru mendarat di bandara. Seandainya kamu ingat, ada laki-laki di sebelahmu yang sedang menunggu taksi, dan kamu menunggu Nala menjemput. Itulah aku. Saat itulah pertama kali aku mengenalimu. Tapi, karena tampak terburu-buru masuk ke dalam mobil Nala aku tak sempat menyapamu saat itu. Aku mengikutimu dengan taksi ke apartemenmu. Kau ingat laki-laki yang membantumu membawa barang pindahan hari itu? Itu aku. Itulah kenapa aku bisa menyewa apartemen di sebelahmu. Karena aku ingin menunggumu... menunggumu mengenaliku, menepati ucapanmu.”

Pintu lift di depan kami terbuka, kosong. Namun tidak satu pun dari kami masuk ke dalamnya. Kami tetap berada di depan pintu lift yang tertutup kembali.

“Kamu justru menyukai orang lain yang mengaku sebagai aku. Kamu percaya begitu saja dan bilang kalau jatuh cinta padanya semudah itu. Kamu sama sekali tidak mengenaliku. Bukankah memang sepantasnya aku yang marah padamu?”

“Aku...” aku mulai menangis.

“Maaf membuatmu kecewa setelah menunggu begitu lama, karena aku tidak seperti pria idaman yang selalu kamu bayangkan.”

Pintu lift sebelahnya terbuka, Rama masuk ke sana dan meninggalkanku sendirian. Aku terduduk lemas di depan lift yang perlahan tertutup membawa Rama hilang dari pandanganku.

##

Esok harinya aku bolos syuting dan bilang kalau kurang enak badan. Semalaman mataku bengkak. Nala menginap di apartemenku. Aku sengaja tidak memberi tahu ayah dan bunda tentang keadaanku ini agar mereka tidak khawatir. Kemarin malam aku pulang duluan minta Nala menjemput. Ayah dan bunda mengira aku pergi bersama Rama. Padahal sepanjang jalan aku hanya menangis, sesampai di apartemen aku baru bisa sedikit tenang dan menceritakan semuanya pada Nala. Nala cuma terdiam dan tidak banyak komentar.

“Ayo makan dulu bubur kacang hijaunya, abis itu matamu dikompres pakai mentimun.”

“Apa memang semuanya salah aku?”

“Hhh...” Nala duduk di sebelahku. “Duh, ini bikin bingung banget ya? Aku nggak nyangka kalau Rama yang selama ini bukan Rama yang asli. Pantas aku curiga saat cowok itu mengantar dompetmu dia tahu nama lengkapku. Ternyata dia Rama teman main kita waktu kecil dulu.”

“Banyak... banyak banget dia kasih aku pertanda tapi akunya saja yang bodoh dan nggak bisa baca keadaan. Suara piano yang kadang terdengar sayup-sayup dari kamarku, dia yang tahu aku tidak suka tauge, inisial namanya. Bodoh sekali aku ini! Oh iya, saat janjian di taman itu aku sempat melihatnya juga tapi aku malah mengira orang lain sebagai dirinya.” Aku kembali terisak.

“Sudahlah, berhenti menyalahkan diri sendiri. Kalau aku ada di posisimu mungkin aku juga bisa keliru.”

“Dia pasti benci banget sama aku sekarang.”

“Dia nggak benci mungkin cuma kecewa. Belum berarti semuanya berakhir kok. Kenapa kamu nggak coba bikin Rama jatuh cinta lagi sama kamu?”

“Bikin dia jatuh cinta lagi sama aku?”

“Ya! Tapi kayaknya kalau mukamu bengkak-bengkak karena kebanyakan nangis gini bisa-bisa dia benar-benar nggak tertarik lagi sama kamu, selamanya.”

Aku mengambil cermin kecil di meja dekat tempat tidur, dan saat itu juga aku menjerit!

##

Dengan bantuan tunangan Nala yang seorang anggota polisi akhirnya aku bisa menemukan Rama palsu lewat sinyal ponselnya. Meski dia tidak pernah lagi membalas pesan-pesanku ponselnya masih selalu aktif. Aku mendatanginya di sebuah apartemen daerah Jakarta Selatan yang cukup mewah. Nala dan tunangannya menemaniku. Setelah diselediki ternyata dia hanya fans yang tergila-gila padaku. Dia memanfaatkan nama Rama karena saat bertemu dengannya aku langsung menebak dia adalah Rama. Dia juga tahu tentang semua kisahku dengan Rama dari internet. Tak hanya itu, dia pun meng-hack instagram Rama untuk meng-upload foto kami agar aku semakin percaya padanya. Dia benar-benar fans yang mengerikan seolah menghalalkan segala cara untuk mendapatkanku.

Setelah diancam oleh tunangan Nala dia mau menceritakan semuanya dan meminta maaf padaku juga bersumpah tidak menggangguku lagi.

“Maaf Shinta, tapi aku benar-benar ingin dekat denganmu. Tapi laki-laki yang bernama Rama itu mendatangiku saat hari aku batal menjemputmu di depan kedai kopi. Hari itu entah bagaimana dia mencegat mobilku dan mengintrogasiku banyak hal. Bahkan aku dapat satu pukulan di wajahku. Dia bilang padaku, jika aku mencintaimu aku tidak boleh menipumu seperti ini. Sejak itulah aku memutuskan berhenti menjadi Rama palsu.”

Dadaku terasa nyeri, Rama benar-benar selalu menjagaku, sedangkan aku selalu menyebut-nyebut hal buruk tentangnya. Hanya karena dia tidak sesuai dengan harapanku. Hanya karena dia bukan laki-laki manis seperti yang kubayangkan selama ini. Betapa jahatnya aku....

Tapi aku tidak akan menyerah, aku akan membuatnya memaafkanku dan jatuh cinta lagi padaku!

- bersambung -

Continue Reading

You'll Also Like

57.7K 1.8K 34
Hanya sepenggal kisah cinta seorang gadis sederhana bernama APRILIYA. lika-liku perjalanan cinta, membawanya pada dua pilihan yang sulit, antara cint...
37.8K 6K 52
Lu pernah naek Ojek Online? Berarti lu adalah satu dari sekian HUMAN JAMAN NOW
904K 41.2K 49
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
KOMEDI PUTAR ✔ By dals

General Fiction

193K 7K 7
[COMPLETED] || Sebuah cerita tentang cinta lama yang ingin menjadi baru 🎠🎡 A story by: Kadallilah Publish Start: 25 november 2017 End: 20 Desember...