You Messed Up My Life [TAMAT]

By siizerr

1.5M 141K 8.5K

Namanya Nuraga Satya, tapi nama panggilannya dariku ada banyak. Hulk, pipiyot, titisan nyi blorong, dedemit... More

You Messed Up My Life - 01
You Messed Up My Life - 02
You Messed Up My Life - 03
You Messed Up My Life - 04
You Messed Up My Life - 05
You Messed Up My Life - 06
You Messed Up My Life - 07
You Messed Up My Life - 08
You Messed Up My Life - 09
You Messed Up My Life - 10
You Messed Up My Life - 11
You Messed Up My Life - 12
You Messed Up My Life - 13
You Messed Up My Life - 14
You Messed Up My Life - 15
You Messed Up My Life - 16
You Messed Up My Life - 17
You Messed Up My Life - 18
Special POV by Nuraga - 01
You Messed Up My Life - 19
You Messed Up My Life - 20
You Messed Up My life - 21
You Messed Up My Life - 22
You Messed Up My Life - 23
You Messed Up My Life - 24
You Messed Up My Life - 25
Special POV by Nuraga - 02
You Messed Up My Life - 26
You Messed Up My Life - 27
You Messed Up My Life - 28
You Messed Up My Life - 29
You Messed Up My Life - 30
You Messed Up My Life - 31
You Messed Up My Life - 32
You Messed Up My Life - 33
You Messed Up My Life - 34
Special POV by Nuraga 3
You Messed Up My Life - 35
You Messed Up My Life - 37
You Messed Up My Life - 38
You Messed Up My Life - 39
You Messed Up My Life - 40
You Messed Up My Life - 41
You Messed Up My Life - 42
You Messed Up My Life - 43 (END)
Extra Part - 01
(un) Match Couple
Extra Part - 02
Extra Part 3
Extra Part 4
Extra Part 5

You Messed Up My Life - 36

24.9K 2.7K 91
By siizerr

Halo!!

Cepat kilat begini dikasih ombak yang banyak dulu doooongg biar semangaat! 🌊🌊🌊

Part ini kita kena konflik2 bentar yaaa.. jangan lupa puk-puk buat Raga.

Kita harus menjaga Raga guysss. 

Happy Reading!!

***

"Aku minta maaf sama teman-teman atas hal yang udah aku lakuin. Hal yang aku lakukan adalah dengan sengaja mengambil uang dari proker Buku Merah dan Scientica. Aku akan membayar denda dan membuat surat klarifikasi di publik untuk mengembalikan kepercayaan mahasiswa ke BEM."

Mas Mandra mengakhiri pidato singkatnya di depan anak-anak BEM. Kejadian terasa sangat cepat. Tadi pagi setelah dua jam kami menunggu aia dan Mas Raga yang dipanggil oleh dekan, malam harinya Mas Raga mengadakan rapat dadakan untuk pemecatan tak resmi Mas Mandra.

"Gue udah gak tau mau bilang apa lagi sama lo Ndra. Kita semua di sini kecewa, apalagi gue yang memilih lo sebagai Menteri Kominfo. Gue bahkan merasa bersalah sama anak-anak lain karena pilihan gue," sahut Mas Raga sambil menghela nafas panjangnya. Raut lelahnya jelas tercetak di wajahnya. Kerutan di sudut pipinya, matanya yang terlihat sayu, dan desah nafasnya yang panjang.

Mas Raga jelas-jelas menahan amarahnya saat ini. Dia bisa saja memukul Mas Mandra sekarang, dan bahkan hal itu yang paling ingin kami lakukan juga. Namun buku-buku jarinya yang menonjol kuat mengindikasikan bahwa semarah apapun ia saat ini, menahan adalah langkah yang tepat.

"Sesuai sama AD/ART BEM, lo dipecat dari jabatan menteri kominfo sekaligus dikeluarkan dari organisasi ini. Surat resminya akan dikirim sama sekretaris secepatnya. Dan... gue harap ini terakhir kalinya lo melakukan hal sehina ini Ndra. Gue harap lo menyesali semuanya, hiduplah sama rasa penyesalan lo itu supaya lo bisa selalu berbuat baik."

"Iya. Gue menyesal udah melakukan hal bodoh itu. Gue memang gak pantas minta permintaan maaf kalian, namun gue sangat merasa bersalah."

Irul tertawa sarkas. "Itu bukan kesalahan kali mas. Lo melakukan itu dengan sadar," sahut Irul mengejek.

Mbak Nurul ikut membuat suasana kembali tegang. "Terus mau apa lo sama citra BEM yang udah buruk ini? Klarifikasi aja gak cukup menurut gue."

"Lo tau gak sih mas kalau semua kacau gara-gara lo? Meskipun buku merah cuma kecil, meskipun Scientica cuma setahun sekali tapi lo paham gak itu kerja keras berapa orang? Dan lo hancurin gitu aja!" Marsela, salah satu orang yang paling dikhianati disini. Karena kebodohan Mandra dia yang harus menyelesaikan semua proker padahal Mandra atasannya. Wajar kalau saat mengatakannya, nafasnya menggebu dan sedikit bergetar.

Tanganku terulur untuk memeluknya. Mengusap pundaknya dengan lembut, mencoba memberinya ketenangan. "Lo mikir gak sih mas... apa.. efek apa yang bakal terjadi kalau lo ngambil duit itu?" ucapnya sambil terisak. Ia menangis menumpahkan semua kesakitannya.

Hati kami pilu membiru. Sebagian menunduk, hampir setengah terisak, namun semua orang merasa sakit tak berdarah. Getir.

Ucapan Marsela menjadi penutup yang paling memilukan sepanjang malam yang kami habiskan untuk rapat mingguan. Biasanya kami hanya akan kesal karena amukan Mas Raga, namun saat ini–bahkan Mas Raga lebih banyak diam, kami membisu dengan kekecewaan yang kami rasakan.

Yang aku khawatirkan saat ini adalah Mas Raga. Ia belum membalas pesanku sejak siang. Sebenarnya aku tak ingin terlalu mengganggunya kalau ia ingin sendiri, namun setidaknya dia harus memberitahuku apa yang ingin ia lakukan. Apakah ia ingin ditemani atau justru ingin sendiri.

Mas? You ok?

Aku cuma khawatir sama Mas.

Kalau mas butuh ditemani, aku ada buat mas.

Kalau mas masih mau sendiri. It's oke.

Tapi kasih tahu aku ya.

Aku tak bisa membayangkan seberapa besar rasa penyesalannya saat ini. Seperti yang sudah ia katakan sebelumnya, bahwa ia sendiri yang menunjuk Mandra menjadi menteri. Aku takut ia terlalu menyalahkan dirinya sendiri. Belum lagi, ia tak mengatakan banyak hal selepas ketemu dosen tadi. Dia hanya mengatakan bahwa dekan ingin masalah ini segera berakhir dan gak menimbulkan masalah yang lebih besar. Tapi aku ragu, masa iya dua jam ngomong itu doang?

Mas Raga is calling...

"Halo?" balasku dengan cepat.

"Cepat banget balasnya Ta," ucapnya sambil terkekeh. Disaat seperti ini dia masih bisa tertawa?

"Kebetulan aku pegang hp. Gimana? Keadaan Mas gimana? Mas dimana?" cecarku yang lagi-lagi dibalas dengan kikikan oleh Nuraga.

"Lagi di depan rumah kamu–"

"–Aku turun," ucapku tanpa pikir panjang.

"Gausah. Udah malam. Kamu tidur aja." Nuraga melarangku saat tanganku memegang cardigan yang ia belikan untukku.

Aku berdecak. "Malam apanya. Lebih malam dari ini juga pernah," pungkasku membalikkan ucapannya. Jari-jariku bergerak memoles singkat wajahku agar gak terlalu terlihat pucat. "Tunggu situ. Lima men–dua menit."

Sesuai janjiku, aku menemui Mas Raga secepat yang aku bisa. Ketika aku mendorong pagar rumahku, punggung tegap seseorang dibalut dengan cardigan yang sama namun dengan warna yang berbeda dariku. Mas Raga lantas berbalik, menyinggungkan senyumnya yang terlihat lelah.

"Hai," sapanya dengan suara serak.

Hatiku mencelos. Kubuang nafas yang sempat tercekat karena melihat perawakannya yang cukup kacau. Kakiku berjalan gontai menghampirinya.

"Mau peluk?" tawarku sambil meregangkan kedua tanganku ke samping.

Mas Raga mengangguk dan tersenyum, lebih hangat dari yang tadi. Langkahnya pelan-pelan namun pasti mendekat dan akhirnya tubuhnya memelukku, walau harus sedikit menunduk untuk menyamakan tinggi tubuh kami. Badanku terasa kecil di balik dadanya yang entah kenapa jadi terlihat besar.

Jari-jariku tak tinggal diam menyentuh dan membelai rambutnya yang sedikit basah. "Abis keramas ya? Kok basah?" tanyaku menyadari kulitku terasa dingin.

Mas Raga mengangguk. "Mandi dulu tadi. Biar wangi. Soalnya mau ketemu kamu," terangnya yang sanggup membuatku terkekeh. "Gombal terus," tukasku. Namun jujur saja pipiku jadi terasa panas karena ucapannya yang terdengar manis di telingaku.

Mas Raga kembali menghembuskan nafas panjang dan mengeratkan pelukannya. Nafas yang terasa hangat dan berat tatkala hembusannya menggelitik ceruk leherku. "Mau puk puk juga Ta," pintanya yang lantas membuatku tertawa.

Telapak tanganku berpindah ke punggungnya. Menepuknya beberapa kali dengan ritme teratur. "Gini?" tanyaku.

Mas Raga mengangguk. "Iya."

Tingkah lakunya yang seperti anak kecil ini lagi-lagi membuatku tertawa. Astaga kenapa dia jadi bucin banget sih?

"Capek ya?" tanyaku.

Mas Raga mengiyakan dengan kepalanya.

"Yaudah. Isi daya dulu di sini. Pasti lowbat banget kan?" balasku.

Mas Raga terkikik.

Aku jelas penasaran dengan apa yang ia rasakan, aku ingin tahu ceritanya. Namun aku lebih memilih diam dan menunggunya untuk menceritakan sendiri.

"Aku... bingung harus gimana Ta. Apalagi waktu dipanggil dekan." Suaranya terdengar lirih, serak, dan kasar. Sentuhanku kian lembut. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku disini. Menemaninya. Semua akan baik-baik saja.

Hening sejenak yang terasa berlangsung lama karena Mas Raga belum mengatakan sepatah kata lagi. "Gimana.. tadi?" tanyaku pelan-pelan.

Ia bergumam. "Eum.. Bukan marahnya beliau yang bikin aku ngerasa kecil. Tapi... waktu keluar aku baru sadar. Pas orang-orang natap wajahku, mereka natap aku dengan raut kecewa."

"Waktu rapat tadi, melihat anak-anak nunduk dan ngerasa putus asa.. aku... aku membeku dan merasa sangat bersalah gak bisa mencegah ini lebih dulu. Aku yang milih Mandra dulu Ta. Aku yang ngerasa paling awal kalau ada yang aneh sama biaya buku merah. Tapi... tapi aku diam aja."

Aku menggigit bibir bawahku yang terasa getir. Kurenggangkan pelukan kami untuk melihat seberapa kacau wajahnya saat ini.

Hancur.

Bukan lagi kacau, tapi hancur.

Ibu jariku bergerak menyapu air mata yang telah luruh di pipinya.

Bola mata coklatnya bergerak dengan gusar aku belum pernah melihat Nuraga selemah ini. Yang aku tahu, dulu dia tak tersentuh dan terlihat menyeramkan. Namun sekarang aku melihat sisi rapuh itu darinya.

Pandangannya kosong. Aku melihat keputusasaan di dalamnya. "Aku jadi gak yakin.. apa yang aku lakukan selama ini benar."

Tanganku bergerak merengkuh rahangnya. Mataku memanas, namun aku mencoba memberinya kekuatan. "Gak. Mas udah melakukan yang terbaik–dan hasilnya bahkan paling baik. Semua orang kagum sama kinerja BEM setahun ini. Berkat siapa? Berkat mas."

Mas Raga masih terlihat gusar. Tangannya kini beralih menggenggam jari-jariku. "Tapi.. Mandra.."

"Gak. Itu salah Mas Mandra bukan salah Mas Raga," tukasku memotong ucapannya dan kembali merengkuh lehernya. "Mas gak salah. Bahkan kita semua merasa kagum sama mas. Sama ide-ide mas. Sama kinerja mas. Kalau gak ada mas, kita gak tau apakah BEM punya relasi yang bagus atau gak sama dosen dan alumni."

Aku kembali mencoba menenangkannya dengan tepukan pelan di pundaknya. "Ini bukan salah mas."

Sengguk kecil terdengar di telingaku. Tangan Mas Raga entah sejak kapan terasa lebih rapat di pinggangku.

"Mas udah ngelaluin banyak hal hari ini," ucapku sambil mengelus surainya yang dingin namun lembut. "Semuanya udah selesai mas. You did great. Jadi... gak apa-apa. Semua bakal baik-baik aja kedepannya."

"Makasih ya Ta."

"Aku yang harusnya makasih. Makasih mas mau cerita sama aku. Makasih mas mau membagikan kesedihan mas sama aku."

"You always be Ta. You will always be my comfort place."

***

Huwaaa 🥹🥹🥲🥲😭😭😭

Puk puk buat Raagaaaa.

BTW rasanya baper banget gak sih, pas sedih-sedih lagi di titik terendah terus dipeluk sama orang yang kita sayang. Pengeen gak sihhh? 

Semoga kalian yang sedang sedih sekarang, bisa dapat pelukan terbaik dari orang-orang yang kalian sayang. Kalaupun belum ada semoga ceritaku bisa menghibur kalian. Seperti kata Sita, semua akan baik-baik aja. 

Sampai jumpaaaa 👋👋👋

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 243K 59
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
385K 4.6K 21
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
3.8M 302K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
472K 5.1K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...