RUMAH TUJUH ENAM [END]

By sasanrr

3.2K 1K 191

[FOLLOW SEBELUM MEMBACA. PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa keenam... More

00
01
02
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
-Kilas balik-
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
end

03

142 53 17
By sasanrr

Sebuah cahaya perambah bumantara, muncul membuat terang sekejab. Ia yang menceritakan singkat kisahnya, namun datang menggelegar berulang kali. Sekali menyambar, maka hancurlah sesuatu yang dikehendaki.

Seorang laki-laki bertubuh setinggi 178cm, sedang berbaring santai di atas tempat tidur di kamarnya. Menikmati suara gerimis hujan yang entah kapan akan berhenti. Ia menutup mata, mencoba untuk menenangkan hiruk pikuk pikirannya. Tapi, ketenangan itu segera pudar ketika ia mendengar ada suara benda jatuh yang berasal dari luar kamarnya.

Awalnya Rafka mengira kalau itu hanya ulah seekor kucing atau hewan kecil lainnya yang tidak sengaja menyenggol benda dan akhirnya terjatuh. Namun, ia dengan cepat menghapus pikirannya ketika dirinya melihat siluet seseorang dari celah pintunya. Rafka lantas bangun dan mengedipkan mata berulang kali, takut salah lihat. Tapi, ternyata bayangan itu masih ada dan tampak mondar-mandir didepan kamar seolah sedang menunggu Rafka membukakan pintu untuknya.

Rafka mengerutkan dahinya, "Ayah? Ibu?" Panggilnya dengan pelan, berharap mendapatkan jawaban dari luar sana.

Tapi ditunggu-tunggu, Rafka sama sekali tidak mendengar ada sepatah kata apapun yang menjawab panggilannya. Rafka berinisiatif untuk mengecek langsung keluar kamar. Dengan ragu, ia mulai memegang gagang pintu. Belum sempat kenop pintu diputar, Rafka baru tersadar kalau Ibu dan Ayahnya baru saja pergi kerumah sang nenek, karena mereka mendapatkan kabar jika neneknya sedang sakit.

Akhirnya, Rafka menarik diri untuk tidak melanjutkan mengecek siapa yang sedang mondar-mandir di luar. Saat beribu pertanyaan muncul di kepalanya, ia kembali dikejutkan dengan suara langkah kaki yang berlarian di tangga rumahnya. "Maling?" gumamnya.

Tanpa berfikir panjang, Rafka langsung membuka pintu kamar dan pergi keluar. Dengan langkah kaki yang memburu, Rafka berlari menuruni anak tangga yang menghubungkannya ke lantai satu. Ruang tamu.

Setelah berada di akhir anak tangga, tubuh Rafka langsung dibuat membeku seakan dirinya sedang berada di Kutub Utara. Bibirnya bergetar, kakinya lemas hingga tak dapat menahan bobot tubuhnya.

Rafka terduduk, ia meneteskan air mata. "Narel.." panggilnya lirih.

Rafka bisa melihat jelas bahwa ada sesosok laki-laki bercelana jeans, mengenakan jaket hitam milik Narel saat ia ditemukan tak bernyawa. Lelaki itu berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celana, membelakangi Rafka yang sedang berada didalam rumah.

"Itu lo, kan?" Tanya Rafka yang seperti tidak dapat menerima kenyataan bahwa temannya itu sudah tiada.

Lelaki itu mengangguk pelan sebanyak dua kali sebelum akhirnya melangkah berjalan menuju jalanan. Entah apa kekuatan yang mendorong Rafka untuk bangkit lagi, ia dengan sigap berdiri dan berlari mengejar laki-laki yang dikiranya Narel.

Dikala sudah berada di pinggir jalan raya, Rafka melihat jika laki-laki tadi tengah berdiri tegak di seberangnya, menatap Rafka dengan sorot sayu, walau ia tidak dapat melihat dengan jelas karena tertutup oleh hujan dan lelaki tadi memakai masker. Laki-laki itu melambaikan tangannya ke kanan dan kiri seolah sedang mengajak Rafka untuk menghampirinya.

Dibawah guyuran hujan dan ditengah keramaian jalan raya, Rafka berjalan pelan menyeberangi jalanan. Karena tidak menoleh ke kanan atau kiri untuk memastikan ada atau tidaknya kendaraan yang melintas membuatnya hampir saja tertabrak sebuah truk Pertamina yang sedang melaju kencang. Untung saja hal itu tidak terjadi karena ada sepasang tangan yang menariknya ke tepi jalanan. Rangka terjatuh dan punggungnya mengenai batu-batu kecil namun sedikit tajam.

"AKH!" Erangnya sambil mengelus-elus tubuhnya yang terasa sakit.

Rafka mendongak untuk mengetahui siapa yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan maut.  "Renan?" Dia memanggil kala melihat laki-laki bertubuh sedikit lebih pendek darinya yang berdiri di depan sambil tersenyum lembut kearahnya.

"Maaf udah narik lo sampai jatuh gini." Renan mengulurkan tangan untuk membantu Rafka berdiri. Rafka menerima uluran tangan dari Renan dan berdiri sembari membersihkan pakaiannya yang kotor terkena tanah basah.

"Gapapa, santai aja. Makasih ,ya, udah nolongin,"

Renan membalasnya dengan senyuman dan mengangguk pelan. "Lagian, lo ngapain nyeberang jalan tapi gak nengok kanan kiri? Mana sekarang lagi hujan, bahaya banget tau,"

"Tadi gue liat ada Narel di sana—" ujar Rafka sembari menunjuk ke seberang jalan. Dan betapa terkejutnya ia ketika tidak ada melihat siapapun diseberang sana. Bahkan toko-toko pakaian pun sudah tutup. Renan menautkan kedua alisnya, kebingungan dengan apa yang diungkapkan Rafka.

"Narel? Raf, Narel udah gak ada. Lo lupa?"

"Tapi tadi beneran Narel, Ren! Dia pakai jaket hitam kayak punya Narel! Lo percaya, kan, sama gue? Gue beneran liat Narel di sana..." Rafka menangis, air matanya bercampur dengan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berdua.

"Maaf, gue nggak bisa percaya, Raf. Narel udah meninggal semalam, saat kita di pantai." Renan berusaha untuk menyadarkan Rafka. "Udah, mungkin lo lagi halusinasi karena masih belum bisa ikhlas sama kepergian Narel. Mending sekarang lo pulang, ganti baju terus tidur. Pikiran lo lagi kacau, nggak baik begadang."

"Gue terlalu banyak berhalusinasi, ya?"

Renan menyapu wajahnya yang basah lalu menepuk pundak Rafka. "Shhttt. Gue bilang pulang. Nanti lo sakit kalau lama-lama kehujanan kayak gini,"

"T-tapi—"

"Pulang. Jangan membantah bisa, kan? Lo kurang istirahat."

Rafka mengangguk dan berbalik membelakangi Renan. Ia melangkah, meninggalkan sahabatnya. Tak berselang lama, Renan sudah tak melihat batang hidung sahabatnya itu lagi. Rafka sudah pergi bersamaan dengan derasnya hujan yang semakin membasahi tanah.

•••

Tibalah Rafka di depan rumahnya. Ia melangkahkan kaki jenjangnya untuk masuk ke dalam rumah. Pandangannya beredar ke seluruh sudut rumah guna mencari keberadaan kedua orang tuanya, ia berfikir jika ibu dan ayahnya sudah pulang. Kakinya melangkah menaiki puluhan anak tangga yang menyambungkannya pada lantai dua.

Setelah menghabiskan waktu bermenit-menit untuk mencari orang tuanya, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Rafka sama sekali tidak ada melihat batang hidung ayah dan ibunya. Karena itu, Rafka memutuskan untuk pergi ke kamarnya saja.

Didalam kamar, Rafka membaringkan setengah tubuhnya di atas kasur dengan membiarkan kedua kaki menjuntai bebas, menyentuh dinginnya lantai. Suasana menjadi benar-benar mencekam kembali disaat hujan mulai berhenti berjatuhan dan menyisakan suara dari burung hantu. Hewan yang tak pernah kenal malam.

Rafka menghela nafas, kedua manik kaca itu menatap langit-langit kamar, terlupa jika ia masih menggunakan baju yang basah dan belum menggantinya. Tertiba saja, Rafka tersentak kaget dengan suara langkah kaki menggunakan sepatu basah yang sedang berjalan menaiki tangga. Rafka membulatkan matanya dikala suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan kamarnya. Rafka duduk dan mencoba kembali mendengarkan dengan teliti, takutnya jika ia masih berhalusinasi.

Tok tok tok..

Tiga kali suara ketukan pintu. Namun tidak ada panggilan apapun yang menunjukkan jika di depan kamarnya itu adalah orang yang ia kenal.

Tok tok tok..

Ketukan pintu kembali terdengar. Sekarang dengan diiringi suara seorang wanita yang sangat tidak asing di telinganya.

"Rafka? Kamu sudah tidur?"

Sontak Rafka langsung turun dari tempat tidur lalu bergegas berjalan menuju pintu dan membukanya. Senyuman lebar terukir di bibir Rafka ketika mendapati orang yang ia tunggu sedari tadi akhirnya pulang.

"Ibu!" Rafka memekik kecil. "Kenapa lama baru pulang, Bu?"

Ningsih-Ibu dari Rafka Pun ikut tersenyum, senang melihat anaknya yang ternyata menunggunya dari tadi.

"Maaf ibu telat pulang. Tadi hujan deras dan kami berteduh di cafe terlebih dahulu, nunggu hujan reda." Ningsih tampaknya sangat bersalah pada Rafka akan hal itu.

"Nggak apa-apa, Bu. Yang penting ibu nggak kehujanan."

"Kamu kenapa pakaiannya basah kayak gini? Habis dari mana?" Tanya Ningsih sambil menatap buah hatinya dari bawah ke atas. Namun tatapan itu tidak menunjukkan kemarahan, justru terdapat kekhawatiran didalamnya.

Rafka menunduk sambil berdeham, berusaha mencari alasan. "I-ibu, t-tadi Rafka ngejar abang bakso. Hari hujan gini enaknya makan bakso, 'kan? Tapi tadi keburu abangnya kelewat. Makanya Rafka sedikit kecewa terus langsung masuk ke kamar, lupa ganti baju."

"Oh, ya sudah. Kamu ganti baju terus langsung tidur, oke? Ini udah larut malam. Maaf ibu ganggu waktu istirahat kamu." Ningsih berujar sebelum akhirnya berbalik badan lalu pergi dari hadapan Rafka.

Rafka menutup pintu dan mengacak-acak rambutnya yang basah. "Maafin Rafka, Bu. Rafka terpaksa bohong karna Rafka gak mau ibu tau kalau Rafka habis ngejar Narel." Gumamnya. Ia merasa sangat bersalah karena jarang sekali dirinya membohongi sang ibu.

Rafka mengambil Piyama dan masuk kedalam kamar mandi untuk berganti pakaian. Jujur saja, dia sudah merasa sangat kedinginan akibat terlalu lama memakai pakaian basah. Saking lamanya, pakaian itu hampir mengering di tubuhnya.

Sesaat setelah berganti pakaian, Rafka melanjutkan kegiatan rutin yang ia lakukan sebelum tidur, menggosok gigi agar selalu bersinar bak berlian. Rafka mengoleskan pasta gigi sepanjang alur toothbrush. Dengan mata yang mengantuk, Rafka mulai menggosok giginya didepan cermin wastafel.

Saat menghadapi kaca yang tergantung didepannya, Rafka terkejut karena ada dua kata yang membuatnya menjatuhkan sikat gigi yang ia pegang. Otot-ototnya seketika menegang dengan mata terbelalak sempurna. Tulisan berwarna merah yang seolah-olah terbuat dari cairan seperti darah, memuat kata..













"YOUR TURN!"

Continue Reading

You'll Also Like

Dig a Trail By J

Teen Fiction

1.8K 1.6K 9
Kelas 3-1 Vivere high school yang biasanya aman tentram tanpa gangguan, tiba tiba berubah. Berbagai kejadian kejadian aneh terjadi setelah salah sat...
164 88 25
Karena pada bingung sama tokohnya, yaudah deh author kasih tau. ~ Huang Renjun, mempunyai istri bernama Huang ayumi, memiliki 2 anak bernama Artha...
519K 44.9K 26
"Ini tentang si laki-laki nyaris sempurna, kekurangannya hanya satu yaitu menyandang gelar anak yatim piatu." ⚠️LAGI REVISI ULANG⚠️ ©NunaLullaby, 1 J...
1.8K 171 10
Lanjutan dari Bima Sakti series 1 Pembunuhan merajalela setelah pengeboman di pulau Carnavero. Kepolisian Metropolitan Jakarta harus membentuk suatu...