DRUNK DIALING

By pramyths

120K 21.6K 2.2K

DRUNK DIAL verb past tense: drunk dialed; past participle: drunk dialed: make a phone call to (someone) while... More

Prolog
2. Satu Alasan Lagi untuk Membenci Hari Senin
3. Yang Tidak Biasa dari yang Biasanya Biasa
4. Fakta Memalukan yang Disimpan dalam Diam
5. Dilarang Main HP Saat Mabuk dan Makan Malam Bersama
6. Satu Orang Disapa Lainnya Bagian dari Udara
7. Menjadi Kesayangan yang Nggak Selalu Disayang-sayang
8. Apakah di CV Tercantum Informasi tentang Makanan Kesukaan?
9. Minggu Pagi dan Adegan Drama Korea yang Gagal
10. Kunjungan Rumah Sakit dan Cute yang Tak Terduga
11. Sesi Curhat Dadakan dengan Tuan Penghancur Rencana
12. Perbedaan Pergi Bersama yang Kencan dan yang Bukan Kencan
13. Perkara Ingatan dan Inisiatif yang Berujung Salah
14. Makan Malam Keluarga Rasa Ujian Nasional
15. Tiga Pertanyaan yang Biasa Muncul dalam Acara Sidang Keluarga

1. Yang Terjadi Sebelum Tragedi Sabtu Dini Hari

10.2K 1.5K 101
By pramyths

[48 jam sebelum tragedi drunk call]

Hal paling menyebalkan apa yang mungkin terjadi kepada seorang budak korporat? Irish punya banyak sekali daftarnya, tetapi jika ditanya saat ini, jawabannya akan sangat spesifik.

Bukan fakta bahwa gaji hanya numpang lewat satu atau dua hari di rekening. Bukan juga soal jam kerja yang begitu fleksibel hingga Irish nggak paham kenapa di kontrak tercantum jam kerja nine to five, padahal pada penerapannya Irish nyaris tidak pernah bisa pulang pukul lima sore. Bukan juga soal rencana cuti dan liburan bareng teman-temannya yang seringnya hanya menjadi wacana. Bagi Irish, hal yang paling menyebalkan adalah ketika sepanjang hari berjalan sempurna, setiap to do list berhasil dilakukan, lalu bayang-bayang teng-go di depan mata, diikuti oleh rencana kegiatan menyenangkan sepulang kerja--tambahkan keterangan bersama gebetan--lalu atasannya muncul menjelang pukul lima, dan berkata, "Airish, review dan analisa dokumen buat PT Rajawali Boga sudah ada?"

Tanpa prasangka buruk Irish menjawab, "Belum, Pak. Saya belum sempat kerjakan karena Bapak minta untuk dahulukan review kontrak kerja CV Hadijaya."

"Begitu."

Bosnya memasang wajah tanpa ekspresi, membuat Irish masih saja nggak berpikiran negatif. Mungkin si bos hanya lupa, atau hanya sedang mengatur jadwalnya sendiri.

"Apa bisa diselesaikan hari ini? Besok pagi saya ada meeting dengan mereka."

"Hari ini? Umm--"

"Kalau sudah langsung kasih ke saya ya. Oh, ya. Jangan lupa identifikasi masalah dan solusi yang bisa kita berikan. Saya lihat sekilas ada beberapa masalah yang perlu penanganan khusus."

Irish sungguh takjub bagaimana kalimat-kalimat itu mengalir lancar, selancar aliran air terjun Niagara. Seolah-olah, hal itu nggak menyakiti atau merugikan atau setidaknya mengacaukan rencana apa pun. Yah ... bagaimana lagi? Budak korporat seperti Irish sudah paham dan familier dengan kejadian-kejadian yang sudah nyaris seperti legenda ini. Atasan muncul di jam-jam kritis, meminta sesuatu yang mengancam rencana pulang tepat waktu. Seolah-olah si atasan itu tahu bahwa anak buahnya sedang selow, dan hal itu nggak bisa dibiarkan. Irish mulai mengumpat-umpat dalam hatinya.

Namun--dan ini adalah fakta yang paling menyebalkan--Irish nggak bisa melakukan apa-apa selain tersenyum sopan dan menjawab, "Noted, Pak."

"Noted, Pak" adalah sebuah kata keramat yang bisa memicu depresi bagi budak korporat sepertinya. Sebuah ciri-ciri manusia munafik karena begitu sang atasan berbalik kembali ke ruangannya, Irish harus menahan diri untuk nggak melemparkan staples ke belakang kepalanya.

"Sabar, Bund," bisik Desi yang duduk di sebelahnya. "Caraka emang moodbreaker banget."

Irish mengangguk. "Dasar Aphopis!" katanya penuh kebencian.

"Aphopis? Apa tuh?"

"Dewa mesir kuno yang superjahat!"

Desi tergelak. Rekan sesama legal officer itu hanya menepuk pundak Iris dan beranjak pergi, mungkin ke toilet. Sementara Irish, dengan geram mulai membuka dokumen-dokumen berisi materi tentang PT Rajawali Boga.

Lantas di sinilah Irish, pukul tujuh malam, masih duduk manis di kubikel kerjanya, memelototi setiap materi dan membuat analisanya. Ruangan divisi legal belum kosong sepenuhnya. Beberapa junior corporate lawyer masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Yah, Irish juga nggak masalah dengan kerja lembur--bahkan baginya lembur sudah senormal bersin atau menguap. Yang jadi masalah adalah ekspektasi pulang cepat dan bagaimana rencana indah yang diempaskan begitu saja.

Ponselnya bergetar. Nama Agastya terpampang di layar. Muka Irish semakin masam.

"Iya, gue masih lembur," kata Irish bahkan sebelum Agas bertanya.

Di seberang, Agas terbahak. "Aphopis beneran nggak bisa dinego? Besok pagi gitu?"

"Mungkin bisa, tapi gue kan cupu. Enggak berani, Bang."

Tawa Agas semakin lebar. "Payah lo, Rish. Jadi, lo beneran nggak bisa pergi malam ini?"

Irish menggeleng sedih, lalu dia sadar Agas nggak bisa melihat gesturnya.

"Nggak bisa, Gas. Sori."

"Yah ... apa boleh buat," kata Agas menyerah. "Padahal lo pasti hepi kalau ikut gue malam ini, Ris. Seru tahu acaranya. Banyak makanan enak yang bisa lo cobain."

"Gimana lagi ...." Irish semakin badmood. "Besok-besok masih ada nggak, sih?"

"Hari ini terakhir, sih."

Irish menghela napas panjang. "Tahun depan kalau gitu."

Obrolan dengan Agas berlanjut hingga sekitar lima menit. Pria itu menghibur Irish dan bilang kalau dia akan mengajak Irish lagi semisal ada acara serupa. Bukannya terhibur, Irish malah semakin jengkel. Harusnya malam ini dia menikmati kuliner malam di acara festival makanan jalanan Jakarta bersama Agas. Harusnya, malam ini Irish melewati satu tahap PDKT dengan orang yang sudah ditaksirnya selama setahun belakangan.

Ditatapnya lembar-lembar dokumen PT Rajawali Boga dengan penuh dendam. Namun, dendamnya yang sebenarnya, ditujukan kepada orang yang ada di balik pintu ruangan nomor dua dari kanan. Caraka Samahita, seorang senior corporate lawyer secara resume kerja sekaligus legal manager secara jabatan di kantor, atasan kejam yang membuat rencana kencannya dengan gebetan gagal total.

(*)

[24 jam sebelum tragedi drunk call]

Irish menatap antrean di depannya. Masih ada lima orang lagi sebelum gilirannya memesan kopi. Di pagi hari, coffee shop depan kantor ini memang sedang ramai-ramainya. Para karyawan kantoran butuh amunisi dan juga sesuatu yang dibeli untuk menghabiskan uang.

Irish merasa bahwa ramalan ahli keuangan itu benar. Anak milenial diprediksi susah punya rumah sendiri, terutama karena mereka kebanyakan jajan kopi. Irish adalah salah satunya. Mana perutnya sangat rewel dan sok kaya, hanya bisa menerima susu oat sebagai campuran kopinya. Padahal mengganti susu sapi dengan oat upgrade harganya juga lumayan. Tanpa kopi, otak Irish lamban bekerja dan dia akan mengantuk seharian. Sedang memaksa pakai susu sapi hanya akan membuat asam lambungnya kambuh dan bolak-balik ke belakang.

Jiwa milenialnya akan berkata, ini adalah reward bagi diri sendiri. Suatu bentuk menyayangi diri sendiri setelah bekerja begitu keras. Namun, jiwa iritnya selalu bilang kalau itu cuma excuse buat buang-buang uang. Itu juga penyebab di usianya yang ke-30 tahun, jumlah tabungannya sangat memprihatinkan. Jangankan punya apartemen, mobil, dan deposito ratusan juta seperti di film-film, Irish bahkan masih tinggal bersama orangtuanya. Ah, sudahlah, Irish menyuruh pikirannya diam. Hidup ini udah cukup menyedihkan, tanpa harus dipikirkan terus-terusan dan ditambah penyesalan yang nggak perlu.

"Berikutnya."

Irish maju satu langkah. Masih ada empat orang lagi. Mata Irish mengedar ke sekeliling coffee shop. Dinding kacanya membuat Irish bisa melihat ke luar dengan mudah. Dan di sanalah dia melihat dua orang itu. Si cowok bertubuh tinggi dengan gaya rambut french crop ala Park Seo Jon di drakor Itaweon Class. Sedangkan si cewek bertubuh mungil dan ramping, mengunakan hijab warna pink.

"Agas dan Ana," gumam Irish.

Dua orang itu berjalan akrab sambil bercanda, memasuki coffee shop yang sama. Irish mengikuti pergerakan kedua orang itu dengan matanya. Dengan gaya pria sejati, Agas mempersilakan Ana mengantre duluan. Dan mereka masih saja ngobrol dan tertawa bersama. Di satu momen, Agas berkata entah apa, lalu setelah Ana mengangguk, Agas mengambil bulu mata Ana yang jatuh di pipinya.

Irish mengerutkan dahi. Sejak kapan Agas akrab dengan salah satu anggota tim finance itu?

"Berikutnya."

Irish kembali menatap ke depan. Ah, Agas kan memang orangnya supel dan akrab sama siapa aja, pikirnya nggak ingin overthinking lebih jauh.

Namun, keakraban itu nggak cuma terjadi di coffee shop. Beberapa kali Irish melihat Agas bersama Ana. Bahkan keduanya makan siang berdua di kantin, padahal biasanya Agas akan makan siang bersama geng divisi HRD, atau kadang-kadang bersama Irish. Namun, cowok itu hanya melambaikan tangan waktu Irish melewati meja mereka.

Untung saja mereka bertemu lagi di lift, sewaktu Irish kembali ke lantai empat setelah mengejar Pak Teja, kurir kantor yang hendak mengantarkan dokumen ke kantor notaris.

"Balik jam berapa lo semalam?" tanya Agas.

"Jam sepuluhan."

Agas berdecak-decak. Irish pun nggak sanggup menahan rasa penasarannya.

"Sejak kapan lo akrab sama Ana, Gas?"

Tanpa Irish duga, senyuman lebar merekah di wajah Agas. Senyuman lebar yang mengkhawatirkan. Senyuman lebar yang jadi pertanda buruk untuk Irish.

"Semalam jadinya gue pergi sama dia."

Irish berpikir sebentar. Aneh, otaknya bekerja lamban, padahal tadi sudah minum kopi.

"Ke festival kuliner?" Irish memastikan.

Agas mengangguk. "Ketemu dia di parkiran. Iseng-iseng aja gue ajakin, eh, dia mau."

"Oh ... begitu."

"Gue baru tahu kalau Ana anaknya asyik juga. Gue kira dia tipe-tipe pendiam, tapi ternyata lumayan rame juga kalau udah kenal. Dan lo tahu, Rish? Kami sama-sama suka masak! Kapan-kapan kami janjian tukeran makanan."

Agas terus saja berceloteh. Ana this, Ana that. Ana begini, Ana begitu. Ternyata begini, ternyata begitu. Begini, begitu, kepala Irish semakin puyeng saja.

"Gas," potong Irish. "Lo suka sama Ana?"

Pria itu nggak segera menjawab. Hati Irish jumpalitan dibuatnya.

"Well ... gue seneng jalan sama dia semalam. Anaknya cute gitu, dan nyambung juga ngobrolnya. So, gue bakal cari tahu lebih lanjut ... who knows, kan?" jawab Agas dengan senyum malu-malu. "Siapa tahu kami emang cocok."

(*)

[Beberapa jam sebelum tragedi drunk dial]

"Salah siapa kalian bisa temenan doang sampai dua tahun? Namanya cinta itu emang harus dikejar, Non!"

Alunan musik dari stage terdengar lembut. Artist yang datang begitu piawai memainkan musik-musik jazz yang menghanyutkan. Suasana lumayan tenang, obrolan tipis-tipis orang lain terdengar seperti musik latar yang konstan. Itulah kenapa Irish lebih suka minum di bar, restoran, atau lounge ketimbang diskotek. Dia menyukai alkohol dan hiburan malam, tapi benci kebisingan yang membuat telinga pekak.

"Ya gue harus gimana, sih," keluh Irish sembari menegak pilsner langsung dari botolnya.

Rasa pahit dan getir tercecap di lidahnya. Irish nggak terlalu suka alkohol jenis bir. Dia lebih menyukai wine atau setidaknya scotch. Namun akhir bulan begini, dompetnya bisa menangis kalau nekat menghambur-hamburkan uang. Yah ... anggap saja rasa pahit itu gambaran dari kondisi hatinya.

"Ya lo kan bisa maju duluan," saran Yumi, teman minum Irish malam ini sekaligus sahabat baiknya sejak SMA. "Udah zaman AI dan chatGPT gini, Bun, lo masih aja kolot."

Irish berdecak. "Sinyalnya tuh belum terlalu jelas. Bodoh kali gue nekat maju tanpa possibility lebih dari 50 persen."

"Sering ngajakin hangout bareng? Sering chat random cuma buat nge-share meme? Dan ... oh! Demen banget bawain lo makanan hasil masakan dia, apa itu nggak kurang ijo?"

"Itu kan karena dia emang hobi masak!"

Dan sekarang, Ana-lah yang akan merasakan masakan-masakan itu, tambah Irish dalam hati. Rasa perih kembali menusuk hatinya mengingat fakta Agas akan PDKT kepada cewek lain. Dihabiskannya sisa bir di botolnya dengan sekali tenggak, lalu dia kembali minta botol yang baru.

"Lagian, kalau itu sinyal ijo, kenapa dia nggak maju duluan?" tanya Irish tiba-tiba tersadar.

Yumi mendesah. "Yaah ... begitulah rata-rata kasus friendzone terjadi, Airish Filisita tersayang. Masing-masing selalu ngerasa punya alasan buat nggak maju duluan. Typical."

"Berengsek."

Yumi ada benarnya. Mungkin karena itu juga kisah cinta Irish kering kerontang. Di usianya yang sudah 30 tahun, Irish hanya pernah pacaran tiga kali--satu kali pacaran di masa SMP nggak perlu dihitung karena itu terlalu cinta monyet untuk menjadi cinta monyet. Kalau dirata-rata, Irish ganti pacar 10 tahun sekali. Gila, kan? Yumi saja yang alim dan hanya minum seperlunya punya mantan lebih dari lima.

Semuanya jadi makin kering kerontang karena setahun belakangan ini Irish memendam rasa kepada Agastya, rekan kerjanya di RedBuzz--tambahkan lagi keterangan "yang sekarang sedang PDKT dengan cewek lain".

Irish menegak birnya dan mendengus keras.

Nggak susah untuk jatuh cinta kepada Agas, Irish menyadari itu beberapa bulan setelah perkenalan mereka. Agas yang ramah, hangat, dan gampang tertawa. Agas yang jago masak dan punya banyak list kegiatan seru untuk dilakulan. Agas yang rajin menyapa semua orang setiap pagi. Agas yang selalu menatap mata lawan bicaranya dengan intens, sehingga mereka merasa didengarkan.

Agas adalah orang pertama yang menyapa Irish saat hari pertama Irish bekerja di RedBuzz dua tahun yang lalu. Saat itu Irish kebingungan karena nggak tahu cara masuk ke lobi utama--melewati semacam pintu putar yang harus diakses dengan kartu. Petugas keamanan juga nggak kelihatan, karena Irish datang kepagian. Agas muncul terburu-buru, tapi masih sempat menyapa dan membantunya masuk. Sejak hari itu, Agas menjadi sahabat baiknya karena ternyata mereka bekerja di kantor yang sama meski berbeda divisi.

Perasan itu nggak muncul begitu saja. Awalnya Irish menganggap Agas sahabat baik, terlebih karena mereka seumuran. Namun dua tahun bersahabat, dan mungkin puluhan kali jalan bareng, lama-lama Irish baper juga. Setahun belakangan, Irish nggak bisa lagi menganggap Agas sebatas sahabat, apalagi rekan kerja.

Yeah, apa gunanya itu sekarang?

Irish menegak birnya dengan perasaan marah. Entah siapa yang paling membuatnya sebal. Apakah Agas yang tiba-tiba dapat ilham untuk PDKT dengan Ana? Atau pada dirinya sendiri yang bergerak lamban dan kebanyakan mikir sehingga kehilangan kesempatan? Entahlah.

Seandainya kemarin Caraka nggak memberinya pekerjaan di last minute, Irish nggak perlu lembur dan dia bisa pergi dengan Agas. Seandainya semalam mereka jadi pergi bersama ke festival kuliner itu, Agas nggak perlu pergi dengan Ana. Lalu dia nggak akan menemukan fakta bahwa Ana ternyata seru, ternyata asyik, dan ternyata Agas merasa cocok jalan dengan Ana.

Tunggu, Irish mengerutkan dahi. Jadi, semua ini salah Caraka sialan itu, kan?

(*)

Holaa.
Satu chapter lagi deh. Wkwk

Continue Reading

You'll Also Like

15.2K 428 6
(18+) Yamazaki Jonggun awalnya hanyalah menggunakan Fujiwara Lintang Adhyaksa (Lili) boneka seksnya, memanfaatkan tubuh gadis itu untuk memenuhi kebu...
183K 36.6K 37
Kalau ada satu hal yang dihindari Rakha, itu adalah komitmen dengan lawan jenis. Dia menikmati kebebasannya dan tidak berniat menghadirkan seorang pe...
3.5K 321 11
Sekuel dari novel Painting Flowers. Blurb mengandung spoiler. *** Setelah membatalkan pernikahannya, Laisa dihadapkan pada banyak pilihan sulit. Bahk...
18.7K 2.4K 16
Sudah bekerja untuknya hampir dua tahun, tapi baru sekarang Nanda merasakan ketertarikan pada Salsa, karyawannya yang kalem dan cekatan. Namun siapa...