Tergenggam dalam Nyaris | ✓

By Crowdstroia

146K 17.9K 1.6K

Gautama Farhandi adalah pengacara untuk organisasi bisnis pasar gelap bernama "Balwana". Suatu hari, dia mene... More

PEMBUKA
1 || and, she eats
2 || and, she wakes (1)
3 || and, she wakes (2)
4 || and, he discloses
5 || and, she fought (1)
6 || and, she fought (2)
7 || and, he accepts (1)
8 || and, he accepts (2)
9 || and, he looks
10 || and, she took his hands
11 || and, they take pictures
12 || and, they take pictures (2)
13 || and, they visit their house
14 || and, they clean their pool
15 || and, she helps him doing plank
16 || and, they eat dinner together
17 || and, she goes with her friend
18 || and, she swims
19 || and, she meets the neighbors
20 || and, they go to a party
21 || and, they attend their daily meeting

22 || and, they confess [END]

7.6K 536 153
By Crowdstroia

| 22 |

and, they confess



TAMA TAK MENGIZINKANNYA pergi sebelum Willy datang menjadi asisten pribadinya. Jadi untuk sementara, Bening tak bisa ikut pergi bersama Leoni atau Dhyan. Ishtar sudah menghubunginya soal rencana mereka mendatangi kafe dan resto Ishtar. Bening membalas bahwa dia mungkin baru bisa saat akhir pekan.

Setelah rapat pagi, Bening hanya menyampaikan laporan, lalu menghindari Tama karena selalu mengingat apa yang Tama lakukan kepadanya kemarin malam. Tak salah lagi, pria itu sempat ingin menciumnya. Dia yakin dia tak salah kira. Apa pria itu hanya terbawa suasana? Merasakan pekatnya tekanan dan marabahaya dari operasi ini, lalu khawatir dan lantas ingin menciumnya?

Seharian ini, Bening merasa canggung berada di sekitar Tama. Dia selalu mengingat saat ketika Tama mendadak memeluknya dan hendak mencium. Apa pria itu memiliki ketertarikan lebih terhadapnya, atau apa Tama hanya ingin memeluk dan mencium wanita yang kebetulan hadir saja? Tapi, kemungkinan kedua itu terasa sulit dinalar. Tama adalah pria yang sangat bisa mengendalikan diri. Bening tak bisa membayangkan Tama melakukan itu dengan Mia hanya karena terbawa suasana.

Apa Tama hanya melakukan ini dengannya? Atau, apa dulu Tama pernah seperti ini dengan rekan kerjanya di Balwana?

Memikirkan beragam kemungkinan membuat Bening pusing. Jadi, dia akan meminta kejelasan nanti ketika Tama sudah luang. Pria itu kini sudah kembali ke ruang kerjanya untuk rapat harian bersama Snow dan anak buah lain.

Hari ini selagi menunggu kedatangan Willy, Bening mengecek video lain yang dikirim Snow dari kamera tim spionase Balwana di JavaMedica. Makin lama, dia semakin yakin bahwa pria bertubuh buncit yang dia amati dari kemarin adalah salah satu bos Nicholas.

Saat sedang beristirahat dari menonton video, Bening mengecek ponsel dan ada pesan baru dari nomor tak dikenal. Dia membuka pesan tersebut dan terkejut melihat Ismael menghubunginya.

Hai, Bening. Ini Ismael.
Lo bisa jaga rahasia, gak?
Kalau lo luang, gue mau
ngobrol berdua sama lo,
tapi jgn bilang2 Ishtar.


Bening tak langsung membalas. Dia menangkap layarnya lalu mengirim tangkapan layar ke kontak Tama untuk mengabari. Tama pun membalas dengan cepat, meminta Bening untuk menemuinya di ruang kerja.

Segera, Bening mematut diri di cermin untuk memastikan pakaiannya tidak senonoh saat bertemu Tama, baru dia melangkah ke ruang kerja dan mengetuk pintu. Lalu, suara Tama yang mempersilakannya masuk terdengar. Bening masuk ke dalam, disusul dengan suara Tama yang berujar, "Willy, kamu nggak pakai lensa kontakmu ke sini. Lupa atau sengaja?"

Ada jeda sejenak dari sosok gadis mungil berkulit cokelat gelap itu. Kini rambutnya tak dikucir twintail, berganti dengan setengah bagian atas rambut diikat satu, membuat wajah baby face-nya terlihat sedikit lebih dewasa.

Willy terlihat cemberut. "Nggak lupa ... nggak lupa...." Dia mencebikkan bibir. "Mataku jadi pedih."

"Mungkin kamu keliru pas pasang soft lense-nya."

"Ganjel, ganjel." Willy menggeleng. "Kenapa pakai? Memang mataku kenapa?"

"Matamu biru, terlalu mencolok untuk jadi asisten pribadi Bening." Tama melirik Bening yang masuk. Ekspresi wajahnya melunak. "Bening, silakan duduk."

Bening duduk di kursi depan meja kerja Tama, tepat di sebelah kursi Willy. Gadis itu masih terlihat enggan mengenakan lensa kontak.

"Tama," panggil Bening. "Ishtar kan pakai lensa kontak biru, bisa aja aku bilang kalau Willy juga pakai lensa kontak biru, walau sebenarnya itu warna mata asli dia. Kayaknya, orang-orang kebanyakan juga akan mengira bahwa Willy pakai lensa kontak."

Tama terdiam sejenak untuk menimangnya. "Ya udah, nggak usah pakai."

Ekspresi Willy terlihat cerah. "Beneran?"

"Iya."

"Yes!" Willy lalu menatap Bening lembut sambil berbisik, "Makasih ya, Bening."

"Sama-sama." Bening tersenyum. "Udah sampai di sini dari tadi?"

"Iya, diantar Soma." Willy pun berdiri dan mengangguk kepada Tama. "Ada lagi?"

"Nggak ada, yang penting besok kamu harus stand by di sini dari pagi."

"Siap! Kalau gitu, aku pamit."

"Iya, silakan."

Kemudian Willy melambaikan tangan ke Bening. "Dadah, Bening. Aku ke sini lagi besok."

Bening mengangguk dan melambai. "Sampai jumpa besok."

Willy pun pergi dari sana. Setelah Bening mengadap Tama lagi, dia bertanya, "Kenapa kamu pilih Willy untuk jadi asisten pribadiku? Bukankah ada Rushia? Aku bukan lagi komplain, cuma bertanya aja."

"Willy adalah Letnan ketiga terkuat, lebih kuat daripada Bells dan Rushia," jawab Tama. "Pilihanku cuma Willy dan Linggar. Tapi, Linggar sedang dibutuhkan di tempat lain."

"Apa cara Willy berkomunikasi memang selalu seperti ini?"

"Iya, dia baru bisa bicara saat usia sepuluh tahun. Perkembangan kognitifnya terlambat. Tapi dia sangat kuat dan loyal."

"Padahal niatnya, dia cukup berjaga dari jauh sama Linggar, kan? Dia bukan tim spionase."

"Memang bukan. Tapi, dia bisa menjaga kamu kalau saya lagi nggak ada di sisi kamu."

Bening memudarkan rasa malunya dengan berdeham dan membicarakan topik penting. "Tentang Ismael, kamu mau bahas apa?"

"Kalau kamu mau ketemu dia, ajak Soma dan Willy. Pilih meja yang dekat dengan jendela. Jangan mau dibawa ke tempat asing, kecuali kalau Willy ikut, dia akan berjaga di dekatmu. Dan jangan lupa pakai alat yang kemarin saya berikan."

"Oke." Bening menunggu beberapa saat, antisipasi jika ada hal lain yang mau dibahas. "Tama, apa ada lagi yang mau kamu sampaikan?"

Tama menatapnya dari balik meja, tak tahu harus membalas apa. Dia ingin Bening tetap di sini. Tadi dia memanggil Bening hanya karena ingin melihat wanita itu saja. Dia merasa Bening menghindarinya sejak sarapan, dan dia khawatir itu karena kejadian kemarin malam saat dia hampir mencium Bening atas insting, bukan untuk pekerjaan.

Tindakannya itu jelas melanggar batas.

"Tentang ... kemarin malam," ujar Tama, berusaha mengendalikan diri dan ekspresi. "Saya minta maaf karena udah melakukan sesuatu yang melanggar batas. Itu nggak akan terulang lagi."

Bening tak terlihat marah ataupun sedih. "Itu memang melanggar batas, dan udah aku maafkan. Tapi, kemarin itu ... kamu beneran mau cium aku, ya? Bukan sekadar terbawa suasana?"

Tama langsung tertohok. Seperti ditusuk lurus ke jantungnya. Sesaat, mulutnya hanya terbuka lalu terkatup lagi. Akhirnya dia mengaku, "I-iya. Maaf soal itu. Padahal saya udah janji buat nggak mencampur-aduk urusan profesional dengan personal."

Tatapan Bening melunak. "Aku senang kamu mengaku kalau itu memang hal personal buatmu, bukan minta aku buat melupakan kejadian itu, menganggapnya seolah nggak pernah terjadi."

"Mana mungkin saya ngomong begitu ke kamu." Tidak setelah apa yang Bening alami di rumah Nicholas.

Wajah Bening terlihat lebih serius. "Boleh aku tanya kenapa kamu mau mencium aku?"

Tama mengangkat alis. Apa wanita ini benar-benar mempertanyakannya? Tama pikir jawabannya sudah jelas, walau Tama tak terlalu yakin kenapa dia ingin mencium Bening saat itu. Barangkali karena dia bisa merasa aman dan nyaman dalam dekapan Bening, lalu menciumnya jadi sebuah insting wajar.

Namun, Tama bisa menerka apa yang Bening khawatirkan. Saat ini, mungkin dia harus mengakui ketakutannya. "Saya takut operasi ini gagal karena kelalaian atau ketidaktelitian saya. Musuh yang Balwana hadapi saat ini memiliki potensi kekuatan menyerupai kami. Selama ini, Balwana kuat karena berisi mutan-mutan yang nggak dimiliki organisasi lain, itu jelas membuat kamu lebih unggul daripada mereka. Dan saya...." Tama memejam dan menghela napas. "Sejujurnya, saya takut kamu kenapa-kenapa."

Kekhawatiran Tama agak menyentuhnya, tapi Bening jadi menyimpulkan, "Jadi, kamu hampir mencium saya hanya karena kamu terbawa suasana?"

Tama menggeleng. "Enggak," jawabnya tegas. "Saya nggak melakukan itu hanya karena kebetulan kamulah yang ada di sana."

"Apa kamu ada ketertarikan sama aku? Maksudnya, lebih dari teman?"

"Iya."

Jawaban Tama yang tanpa keraguan itu mengejutkan Bening. Dia jadi tak tahu harus membalas apa. "A-apa ... apa kamu suka sama aku?"

"Apa itu masih kurang jelas?"

Bening menunduk, ingin menutupi wajahnya yang memanas.

Tama memiringkan kepala, mengamati Bening yang tak mengatakan apa-apa. Sepertinya salah tingkah. Tapi dalam hati, Tama lega bisa mengungkapkan isi hatinya kepada Bening. "Saya nggak akan melakukan hal yang melewati batas lagi, kalau itu yang kamu takutkan," ujar Tama, membuat Bening terkesiap.

"B-bukan itu kok yang aku khawatirkan!" seru Bening, mengangkat tangannya. "Aku percaya sama kamu. Aku yakin kamu nggak akan melewati batas. Aku cuma ... masih kaget pas tahu kamu suka sama aku."

"Semengejutkan itu?"

"Iya."

Ini menarik. Tama menyandarkan punggungnya ke kursi kerja. "Apa selama kamu di Rocket Pop, nggak ada pria yang menunjukkan ketertarikannya ke kamu?"

"Ada, tapi, yah ... aku nggak merasakan hal yang sama ke mereka."

"Oh? Ini secara nggak langsung, kamu lagi mengaku kalau kamu merasakan ketertarikan yang sama ke saya. Benar begitu?"

Bening menunduk, mengerang sedikit, lalu mengangguk. "Iya."

Senyum Tama terbit dengan lebar tanpa diperintah. Begitu spontan dan bebas. Dia memang sudah menduga bahwa Bening menyukainya, tapi mendengar pengakuan langsung dari mulut Bening jelas membuatnya bahagia. "Saya senang karena perasaan kita sama."

Bening juga senang. Tapi meski sudah mengakui perasaan satu sama lain, mereka tak memiliki ikatan apa-apa, Tama tak wajib setia kepadanya, masih bisa mendekati wanita lain yang membuatnya tertarik. Lagi pula, wajar saja jika manusia tertarik kepada lebih dari satu orang.

Namun, Bening tak menginginkan itu. Dia tidak suka ketidakjelasan hubungan tanpa batasan. Jadi dia memberanikan diri bertanya, "Tama, kita ini apa?"

Tama bergumam sambil menatapnya. "Kamu maunya apa? Saya ngikut maumu aja."

"Tapi, kalau hubungan yang aku mau itu melanggar aturanmu gimana? Kamu kan nggak pacarin rekan kerja kamu, karena nggak mau mencampur aduk hubungan profesional dan personal."

"Saya bisa bikin pengecualian buat kamu."

Bening mengernyit, terlihat kebingungan. "Kenapa?"

"Kenapa enggak?"

"Tapi, kenapa bikin pengecualian buatku? Emangnya kamu nggak pernah naksir rekan kerjamu sebelumnya?"

"Nggak pernah."

Bening mengerjap-ngerjap, benar-benar terkejut. Dia dengar, Tama sudah di Balwana lebih dari sepuluh tahun. "Kamu nggak pernah ngerasain cinta lokasi sama rekan kerja? Sekali pun?"

"Ini lagi ngerasain."

Lagi, Bening mengerjap-ngerjap. "Maksudku, sebelum aku. Kamu kerja udah lama kan?"

"Lumayan. Tapi, memang nggak ada rekan kerja yang bikin aku suka lebih dari teman."

"Termasuk para Letnan? Atau anggota Balwana lain? Atau pekerja hiburan Balwana? Atau ... PSK Balwana yang high-class?"

Tama tertawa. "Termasuk mereka."

Lagi, Bening kebingungan. "Memangnya selama ini, nggak ada yang menarik kamu?"

"Menarik dalam hal apa? Cantik? Pintar? Berkepribadian menarik? Jelas ada. Tapi, bukan berarti saya mau pacarin mereka."

"Kenapa ... enggak?"

Tama bergumam. "Apa menurutmu, Rendra itu ganteng, pintar, dan berkepribadian menarik? Gimana sama Linggar? Atau Snow?"

Ini membuat Bening berpikir keras. "Rendra ... dia ganteng dan pintar, tapi aku kurang tertarik sama kepribadiannya yang agak ... jamet." Pengakuan ini membuat Tama tertawa. "Linggar baik dan tampan, tapi kayaknya terlalu pendiam, aku merasa lebih suka berteman aja sama dia. Sedangkan Snow, menurutku dia punya kepribadian menarik, badannya besar banget kayak lihat pohon berjalan, agak seram, tapi baik. Walau begitu, bukan berarti aku mau pacarin dia."

Tama tersenyum. "You get what I mean? Walau mereka menarik, belum tentu kamu mau pacarin mereka. Atau bahasa mudahnya: mereka bukan tipemu."

Baiklah, itu tidak salah, Bening mengakui dia juga punya tipe tertentu. "Tapi kan, ada sebagian orang yang justru pacarin orang yang nggak sesuai tipenya, dan baik-baik aja hubungannya."

"Saya nggak memungkiri kemungkinan itu. Tapi selama ini, saya lebih bisa merasa puas dalam hubungan bersama perempuan yang memang sesuai tipe saya dibanding yang nggak sesuai tipe."

"Dan ... tipemu itu yang kayak gimana?"

Tama tertawa. "Kayak kamulah."

"Aku? Memang aku kayak gimana di matamu?"

"Ah, apa kamu lagi memancing buat dapat pujian?"

"Ehh, kalau nggak dipuji juga nggak apa-apa, aku cuma mau tahu apa pandanganmu tentang aku."

Tama terdiam dengan wajah tenang, senyum tipis bahkan masih merambat di wajah. "Kamu cantik, baik, feminin, kelihatan lembut dan polos, tapi tegas dengan batasan, selalu mau berguna untuk sekitar. Kamu paham cara bertutur kata dengan baik dan sopan, tahu bagaimana memperlakukan orang, serta kamu nggak mengecam keras apa yang Balwana kerjakan." Tama bergumam sejenak. "Terus, ini preferensi pribadi, jadi harusnya nggak ada yang salah. Tapi saya punya preferensi untuk perempuan berambut panjang dan berdada besar."

"Ohh." Bening mengerjap-ngerjap, lalu manggut-manggut. "Tama sukanya yang besar-besar, ya."

Tama tersenyum geli menahan tawa. "Iya. Kalau kamu sukanya cowok yang kayak gimana?"

Bening terdiam sejenak untuk berpikir. "Uhm, yang kayak kamu."

"Kayak aku dari sisi apa?"

"Rapi, wangi, terlihat berkelas. Kelihatan kuat dan menenangkan, bisa bikin aku nyaman. Sopan dan gentleman. Berkepala dingin dan bertanggung jawab. Kamu juga nggak sungkan untuk minta maaf kalau salah. Aku merasa bisa dilindungi sama kamu. Wajah tampan kamu itu bonus."

Semua pujian itu membuat senyum Tama melebar tanpa bisa dihentikan. Ini pasti jadi hari bahagianya selama setahun terakhir. "Your compliments made my day. Makasih banyak."

"Sama-sama. Aku juga senang dipuji sama kamu." Bening tersenyum kecil. "Jadi ... hubungan kita sekarang sesuai mauku?"

"Iya. Kamu mau kita pacaran?"

"Mau. Kamu mau juga, nggak? Aku nggak mau kalau kamu cuma ngikut-ngikut aku aja."

"Mau kok. Nggak mungkin nggak mau sama kamu."

Ucapan itu mencipta semburat kemerahan di pipi Bening, bersama dengan senyum lebarnya yang tak bisa ditahan. "Kamu bisa gombal juga ya ternyata."

"Bisalah. Kamu suka digombalin?"

"Enggak, enggak. Mungkin boleh sesekali, tapi jangan keseringan, nanti malah kedengaran kayak omongan buaya darat."

Tama terbahak. "Oke, oke." Dia menatapi Bening dengan senyum yang sulit lepas. "Saya senang kamu sudah dilahirkan ke dunia ini."

Bening segera mengangkat tangan. "Tama, padahal aku udah bilang loh gombalnya sesekali aja."

Tawa dari Tama meluncur lagi. "Oh, iya, iya. Maaf. Tapi ini natural aja saya memuji. Bukan berniat mau gombal."

Bening menghela napas dan memutar bola mata. Dia lalu berdiri dan mendekat ke kursi kerja Tama. "Tama, coba berdiri dan tutup matamu."

Tama mengangkat alis, tapi mengikuti kemauan Bening. Karena dia mutan, dia sebenarnya bisa menebak gerakan dan gestur Bening yang ingin menciumnya. Wanita itu mengecupnya di pipi, lalu Tama membuka mata dan menahan senyum. "Nggak mau di bibir aja?"

Bening memberengut, terlihat malu. "Dikasih hati, malah minta jantung."

"Karena saya memang mintanya jantung, bukan hati. Saya kan emang dari kemarin maunya ciuman di bibir, bukan di pipi."

Bening berdecak jengkel. "Kamu mau nolak ciuman aku?"

"Enggak. Semua ciuman dari kamu akan saya terima. Tapi, bukan berarti saya nggak punya preferensi mau ciuman di mana."

Alis Bening menyatu. Tama menggigit bagian dalam bibirnya melihat ekspresi Bening yang memberengut. Terlihat lucu dan menggemaskan sekali. "Oke, coba dibalik. Kalau kamu saya cium, kamu bakal terima, nggak?"

"Terima, tapi kalau bisa jangan di depan orang-orang. Kalau kayak yang pas di pesta Ishtar, itu kan ciuman buat kamuflase, jadi aku bisa paham."

"Oke." Tama senang sudah dapat izin. Dia langsung menyelipkan tangannya ke pinggang Bening untuk merapatkan tubuh, melumat bibir Bening dengan lembut dan pelan, lalu mengakhirinya dengan cepat sebelum gairahnya terpantik lebih besar.

Saat Tama melepas ciuman mereka, Bening menahan dada pria itu dan bertanya, "Kita beneran pacaran kan?"

"Iya. Memang kenapa?"

"Eng... enggak apa-apa. Cuma, agak kaget aja ternyata bisa semudah ini."

"Hm. Mungkin bakal lama jadian kalau kamu nggak langsung nanya status hubungan."

"Hah? Jadi, kamu nggak berniat nembak atau menyatakan cinta ke aku sama sekali gitu?"

"Niat, tapi nggak dalam operasi ini, atau seenggaknya bukan secepat ini. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, momen ini nggak terasa kecepetan."

"Syukurlah." Bening terlihat lega setelah tadi agak takut dianggap terlalu cepat meminta status hubungan. "Apa kita harus backstreet?"

Lagi, Tama tertawa. "Buat apa? Kita kan kerja berperan sebagai pasutri."

"Eh, maksudku, di hadapan anak Balwana lain, apa kita harus backstreet? Bersikap nggak punya hubungan spesial?"

"Nggak perlu. Saya bakal kenalin kamu sebagai pacar saya ke anggota Balwana lain."

Kejelasan ini membuat ekspresi wajah Bening makin cerah sekaligus kaget. "Beneran ... nggak apa-apa buatmu?"

"Nggak apa-apa. Apa ada yang kamu khawatirkan?"

"Hng, soalnya kamu kan nggak pernah pacaran sama rekan kerjamu."

"Oh, itu. Iya memang nggak pernah. Tapi saya udah bilang, kamu pengecualian. Apa publikasi hubungan bikin kamu nggak nyaman?"

"Enggak, kok, malah bagus, aku senang. Jadi kita nggak perlu sembunyi-sembunyi. Aku juga nggak suka disembunyikan."

Tama tersenyum, tetapi agak sedih mendengarnya karena dia tahu Nicholas menyembunyikan Bening dan membuat wanita itu takut disembunyikan lagi. "Saya nggak akan menyembunyikan kamu atau status kita. Kamu nggak usah khawatir soal itu."

Bening tersenyum. Dia mengecup bibir Tama sekali lagi sebelum menjauh. "Kalau gitu aku balik dulu ya, Tama. Aku harus balik ngecek video dari Snow."

Tama mengangguk, meski sebenarnya kurang rela melepaskan Bening. Tapi, dia harus bersabar. Dia bisa menikmati hubungan ini dengan perlahan, secara bertahap. "Don't push yourself too hard."

"You too. Selamat kembali bekerja!"

Bening pun pergi dari ruangan Tama, meninggalkan Tama dalam kesendirian terliput kebahagiaan. Hari ini pastilah hari bahagianya. Dan dia tak sabar menantikan hari-hari lain yang bisa dia habiskan bersama Bening sebagai sepasang kekasih.


TAMAT
(versi Wattpad)



A/N (28/11/2023)

Halooo, terima kasih sudah menemani perjalanan Tama dan Bening di cerita Tergenggam dalam Nyaris. Dari dulu gue memang udah meniatkan bikin tamat versi Wattpad dan versi KaryaKarsa bakal beda (versi KK lanjut sampai konfliknya selesai), tapi di versi Wattpad tetap ditamatkan dengan akhir yang nggak gantung untuk hubungan TamaBening. 

TdN di KaryaKarsa udah sampai chapter 29, dan bakal tamat mungkin dalam 3-4 chapter lagi (bisa kurang dari itu). Sebenernya Unitum sendiri nggak akan kelar dalam cerita ini, tapi ada arc yang bisa ditutup (Arc Swarga Elok). Unitum selalu bereksperimen dan mengembangkan mutan mereka. Jadi untuk Seri Balwana dengan tokoh utama anggota Balwana yang lain, mungkin musuhnya tetap Unitum, tapi beda konflik.

Soal prolognya, hngg... gue kan nulis TdN sejak 2021, awalnya emang berniat bikin ceritanya lebih dramatis dengan kesalahpahaman yang agak panjang. Tapi sejak melanjutkan naskahnya tahun 2022, Tama dan Bening tumbuh sebagai pribadi yang lebih dewasa(?) dan membuat mereka berada dalam kesalahpahaman jangka panjang itu malah jadi nggak masuk akan untuk mereka, karena mereka sejauh ini mengkomunikasikan apa yang mereka mau dengan jelas. Iya sih masih ada yang terpendam, tapi pasti bakal keluar. Mungkin karena itu juga gue jadi enjoy nulis mereka.

*

Baiklah, karena TdN di sini sudah tamat, dan di KaryaKarsa bakal tamat dalam beberapa chapter lagi, mohon tinggalkan jejak dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apa yang pertama kali bikin tertarik baca Tergenggam dalam Nyaris?

2. Siapa tokoh favorit lo di sini? 

3. Adegan apa yang paling lo suka?

4. Kalau ada extra chapter(s) di KaryaKarsa, mau baca kisah/adegan apa? (selain adegan TamaBening nikah beneran, karena itu bakal ada di akhir cerita utama) 

5. Siapa anggota Balwana yang mau lo baca kisahnya?

6. Mau nanya apa soal Tergenggam dalam Nyaris atau Seri Balwana?

Oke, sekian dari gue. Update TdN di KaryaKarsa bakal lebih lambat karena gue masih urus Sarhad dan Madar (sekuel Sarhad) yang mau terbit tahun depan. Terima kasih udah baca TdN sampai akhir. I love you all. Semoga kalian dan orang-orang yang kalian sayangi sehat dan bahagia.


Continue Reading

You'll Also Like

14.7K 2.4K 7
Terra Nea Evans terjebak dalam persahabatan dengan dua bujang meresahkan kaum Hawa, Amu dan Ace. Orang lain menjulukinya sebagai 'Perempuan Beriman'...
23.9K 2.8K 13
Di tengah keluarga yang memiliki nama cukup tersohor, keberadaan Libby dianggap seperti benalu tak berarti. Segala hal yang dilakukannya selalu dibat...
42.9K 7.3K 19
Adhara Kamaniya, 30 tahun. Single, pintar, dan sukses. Cantik, juga disukai banyak pria. Kekurangannya cuma satu, komitmen masalah hati. Di matanya...
55K 7.5K 39
"Saat kata pisah sudah di ujung lidah, pikirkan kembali masa saat semuanya masih indah." --- Setelah bertahun-tahun menikah tanpa keturunan, Mirza be...