RAKSA (End)

By tivery

486K 40.1K 1.8K

Ini tentang JENDRA (22) yang harus terbiasa dengan kerandoman isi pikiran si adek angkatnya AKSA (18). Term... More

𖧷 0.0 𖧷
𖧷 1. Jendra 𖧷
𖧷 2. Kukis 𖧷
𖧷 3. Pendekar 𖧷
𖧷 4. Ceroboh 𖧷
𖧷 5. Dendam Kesumat 𖧷
𖧷 6. Dek Aksa 𖧷
𖧷 7. Sekolah 𖧷
𖧷 8. Planning 𖧷
𖧷 9. Hari Pertama 𖧷
𖧷 10. Marah 𖧷
𖧷 11. Dhanan 𖧷
𖧷 12. Kak Tara Pacaran 𖧷
𖧷 13. Jual Abang Gue 𖧷
𖧷 14. Bro With Benefit 𖧷
𖧷 15. Hadirnya Jagadirta Hakiki 𖧷
𖧷 16. Ditinggal Pergi 𖧷
𖧷 17. Panahan 𖧷
𖧷 18. Abang Pulang 𖧷
𖧷 19. Tamu 𖧷
𖧷 20. Kado Tak Bertuan 𖧷
𖧷 21. Kejutan Yang Payah 𖧷
𖧷 22. I'm Still Mad 𖧷
𖧷 23. Pangeran Pungut 𖧷
𖧷 24. Mundur! 𖧷
𖧷 25. Cinta Gak Sih? 𖧷
𖧷 26. Mimpi Kedua 𖧷
𖧷 27. Terluka Dan Percaya (lagi) 𖧷
𖧷 28. Berteman 𖧷
𖧷 29. I'm Yours 𖧷
𖧷 30. I Love You 𖧷
♡♥︎ SPOILER ♥︎♡

𖧷 31. Penjelasan 𖧷

21.4K 1.1K 170
By tivery

Vote, selalu.

♡♥︎

"Tungguin sana dulu!" tunjuk bang Jendra ke sofa panjang. Gue turutin. Si abang lagi ke resepsionis.

Tadinya cuma ada gue di sofa tunggu ini. Gue nemu majalah dan gue bolak balik aja, biar kesannya gue kek orang bener. Setelahnya ada dua orang datang ikut duduk. Outfit mereka rapi dan wangi. Bikin gue insecure.

Kalau bener gue nemenin abang kerja, kayaknya tampilan gue sungguh sangat tidak kece deh. Gue cuma pakai kaos polos sama celana jeans doang. Kek orang ilang. Apa gue ngumpet aja ya? Daripada gak meyakinkan dipandang klien. Abang sih gak rapi-rapi amat, tapi auranya udah mahal.

Gue masih sok asik bolak balik majalah ketika ada seseorang menyapa. Orang yang barusan duduk setelah gue.

"Hai, sendirian?" sapanya.

"Sama abang." jawab gue sambil nunjuk ke bang Jendra yang masih bicara sama mbak-mbak resepsionis.

"Oh. I see." dia mengangguk. "May i have your number?" dia kasih gue HP-nya. Senyumnya terlampir sebagai tanda pemikat.

Wow, agak mencengangkan ketika diajakin  berkenalan. Sama laki pula. Apakah aura gue sepelangi itu, sampai memikat lelaki tampan rupawan nan wangi macam dia?

Karena gue belum kenal, tentu saja gue tolak. "Maaf, nomer terlalu privasi."

Dia belum mau nyerah. "Akun instagram, maybe?" tawarnya lagi.

Gue tetep gelengin kepala. "Saya gak main sosmed. Maaf." gue sertakan senyum manis demi norma kesopanan.

Ujug-ujug nih bang Jendra datang. Dengen pedenya dia bilang, "He is taken." berikut dengan wajah mencurengnya. Gue ditarik sampai berdiri dan digandeng pergi dari tempat ini.

Cie, ada yang cemburu. Gue kalem, pura-pura tak berdosa.

Abang bawa gue masuk lift. Cuma kita berdua sih sebenernya, tapi kan kalau hotel mahal tuh, lift aja ada yang jagain. Yaudah sih, jadinya kita bertiga sama mbaknya.

Awalnya gue masih anteng. Dengan penuh keyakinan, gue mikirnya: menemani abang kerja. Barulah saat pintu lift terbuka, dan mbaknya memberi petunjuk arah, gue mulai bertanya-tanya dalam hati.

Kita jalan menyusuri koridor. Kanan kiri ada pintu yang tertempel nomer. Bukannya ini area kamar?

Sampai akhirnya kita berhenti di depan kamar nomer 507. Sebuah pertanyaan secara natural keluar dari gue. "Kita ngapain kesini, Bang?"

Bukannya jawab, si abang cuma menyeringai. Buka pintu dan gue ditarik masuk. Sedetik kemudian, gue tau bahaya apa yang akan gue hadapi di depan mata. Gue bakal dinakalin!

Terlambat buat kabur. Bang Jendra udah mepetin gue ke dinding. Senyumnya usil mengintimidasi. Ada kesan horor di matanya. Semacam Singa yang lagi ngincer mangsanya. Bahkan kedua tangan gue ditahan diatas kepala.

Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, gue muter otak. Masih niat menyelamatkan diri dengan mencoba segala kemungkinan.

"Jangan main drama deh!" semprot gue. Menolak romantis adalah jalan satu-satunya untuk selamat. Setidaknya begitulah pikiran gue sebelum bang Jendra mulai bertindak.

Kandas rencana gue. Si abang gak terpengaruh. Pelan-pelan dimajuin wajahnya dan mempertemukan bibir kita berdua. Kecupan singkat awalnya, semacam pemanasan. Gak menunggu lama, bibir gue udah dilumat tanpa persetujuan. Basah dan sedikit panas dari deru nafas.

Gue memang gak nolak, tapi gue juga gak segampang itu kasih akses, apalagi kasih balasan. Abang masih struggling mau main lidah. Bibir gue digigit-gigit, disesep sedemikian rupa sehingga mau gak mau pertahanan gue lemah. Akhirnya gue buka celah.

Terlalu dalam. Nyawa gue berasa naik turun. Gak bebas pula ambil napas. Rasa pengen teriak: "Bisa gak sih, kiss-nya yang lembut aja? Ini terlalu agresif. Hampir kayak pemerkosaan. Sumpah! Pakai hati gitu lho! Pakai cinta! Kasih sayang! Lemah lembut!"

Ish!

Biarpun ngedumel dalam hati, nyatanya gue masih ikutin. Perbedaan tinggi kita membuat abang sedikit membungkuk dan gue yang mendangak dengan berjinjit. Lama-lama gue pegel juga. Gue tarik paksa sampai ciuman kita lepas.

Bukannya berbelas kasih, abang malah gendong gue,  dipepetin ke tembok lagi. Tangan gue yang tadinya di tahan di atas kepala, secara alami mengalung di bahunya. Sekarang, posisi gue sedikit lebih tinggi dari dia, memungkinkan kecupannya abang menjalar ke dagu, leher,bahkan berani ke dada. Gue mulai kewalahan menikmati ciumannya abang yang menjarah ke segala arah.

Tadi pagi gue masih suci, bisa-bisanya sekarang gue udah dinodai macam ini.

Sebelum perbuatan nakalnya makin merajalela. Ayok kita berpikir bersama. Kalian sambil apa? Gue sambil ciuman nih mikirnya.

Gue sudah bisa memprediksi apa yang akan gue alamin sebentar lagi. Sebelumnya gue bukannya gak berfirasat ke arah sana. Gue cuma belum nyampe aja. Mana tau gue bakal dinakal secepat ini.

Jangan lupakan, gue adalah fudan yang bercita-cita punya uke gemez buat gue uyel-uyel. Biar kata bang Jendra bisa gue uyel-uyel juga, tapi kalau musuh sama abang, gue tau diri. Pastilah gue yang jadi ukenya. Gue yang jadi bonekanya. Pupus lah harapan gue jadi seme.

"Bang, stop!" gue putus asa nahan desah. "Capek. Please." ngerengek, sambil ngos-ngosan.

Kali ini abang nurutin, dia nurunin gue. Mengusap kepala dan ngelus-elus pipi gue sebentar, terus  digendong lagi masuk ke kamar tidur. Diturunin di kasur empuk.

"Sambil bobok, ya." biadab banget ngomongnya begitu. Dianya udah nemplok di belakang gue.

Gue tau dia becanda, karena setelahnya dia hening. Tak bersuara. Tak ada gerakan nakal lagi. Hanya tangannya yang dimasukin ke dalam kaos gue dan parkir di perut.

Gue juga hening. Bingung antara deg-degan sama bayangan adegan tak senonoh yang mungkin akan gue lakukan.

Abang masih hening. Terlalu hening sampai akhirnya gue berani bicara duluan. "Kita ini lagi selingkuh ya, Bang?" tanya gue sambil ngelus-ngelus tangannya di perut gue.

"Ngawur!" jawab abang sambil makin ndusel ke tengkuk gue.

"Lha ini kita di hotel buat ngapain? Kita lagi ngumpet dari siapa sih?"

Si abang malah cekikikan di belakang gue. Dia tuh ngeselin. Selalu gak gamblang kalau menjelaskan sesuatu.

Gue balik badan biar bisa saling tatap sama abang. "Kak Indira gimana? Dia marah gak kalau tau kita begini?" tanya gue serius.

Belum sempet abang kasih jawaban, HP di sakunya udah bunyi. Panjang umur, yang barusan namanya gue sebut, dianya call. Gue kasih kode abang buat angkat, tapi abangnya malah matiin dan lempar HP-nya entah kemana.

Dia ngusap-usap pipi gue. Tiba-tiba jadi mellow.

"Abang udah nyakitin kamu karena bawa Indira pulang, ya?"

Gue anggukin. Pada kenyataannya memang begitu. Mata gue berair karena inget betapa sakitnya gue sama abang perkara Indira.

"Abang gak maksud begitu. Sama sekali enggak. Percaya kan sama abang?"

Gue angkat alis doang.

"Abang dulu pernah cerita kan, kalau awalnya mamak gak kerja sama keluarga abang?"

"Iya. Sebelumnya mamak kerja di tetangga abang kan?" gue inget.

"Nah, tetangga abang, majikan mamak yang dulu, ya tante yang di rumahnya Indira kapan lalu itu."

Gue mikir bentar, terus jawab, "Ooh.."

"Maaf, kamu luka karena itu. Waktu itu abang bukan gak mau membela mamak, tapi karena tante sudah tau asalnya siapa mamak. Apalagi pas kamu bilang keponakan mamak. Jadilah seperti itu."

Sekali lagi, gue angkat alis doang. Rasanya males inget dongkolnya gue waktu itu. Malu juga karena sumbu gue pendek banget.

"Setelah mommy meninggal, abang diungsikan ke rumah yang sekarang ini, Sa. Biaya hidup abang ada yang ngatur, tapi abang gak pernah sekalipun ketemu lagi sama keluarga abang. Gak semua bisa memahami rewelnya bocah yang baru kehilangan ibunya. Mereka yang pernah kerja di keluarga abang, satu persatu menyerah. Abang berakhir sendirian sampai akhirnya mamak baik hati menolong abang. Setidaknya, tante itu pernah baik sama abang. Beliau bersedia mengijinkan mamak pindah ke abang. Abang cuma mau balas budi sama beliau, termasuk ke Indira."

"Kenapa jadi Indira?"

"Dulu, Dira baru pindah dari luar negeri, tinggal bareng tantenya. Tiap hari main kerumah abang. Lama-lama kita dekat. Dia yang meyakinkan abang biar mau balik sekolah lagi."

Abang tuh curang kalau bawa kisah masa lalu gini, tapi gue menolak berempati. Lagi ogah.

"Abang naksir Indira kan? Nembak kan? Cita-cita mau beristri dia kan?" tuduhan gue lontarkan semuanya.

Abang gak menyangkal, cuma senyum. "Namanya juga masih naif, Sa. Dulu."

"Halah! Sekarang masih ngarep?"

"Apasih?" si abang nyubit pipi gue.

Gue mulai tersulut emosi. "Itu dibawa pulang. Jauh banget dijemput ke Milan. Buat dikawinin kan?"

"Enggak!"

"Indira sendiri yang bilang gitu sama Aksa. Dia bilang abang nungguin dia lama. Pas di rumahnya juga, Aksa denger tantenya minta kalian buruan nikah. Abang gak bantah." bisa-bisanya ngomong gini doang, air mata gue ngucur deras.

"Gak gitu, Sayang." bang Jendra narik gue ke pelukannya. "Kamu tuh salah paham, Sa."

Dalam hati gue misuh. Salah paham mulu! Gak ada yang jelasin!

"Abang ke Milan beneran buat kerja. Mungkin Indira tau dari story-nya Tara atau Bima, akhirnya kita berempat ketemu. Abang pikir dia udah bahagia sama tunangannya, tapi ternyata dia lagi ada masalah. Abang cuma pengen bantu, pengen balas budi. Itu aja, Sayang. Gak lebih."

Gue gak semudah ini percaya. "Tapi, kalian CLBK. Mamak aja ngarep kalian menikah sampai punya anak cucu."

Abang ngedekep gue lebih kenceng, cium kening berkali-kali. "Maaf, abang gak tegas. Abang nyakitin kamu. Abang─"

Gue menolak galau. Langsung gue semprot,"Abang nyium Aksa di toilet! Itu tuh ciuman pertama Aksa. Minimal tahan dulu kek sampai rumah, atau disini nih, di hotel. Hormati Aksa sedikit. Yakali di toilet! Gak elit tauk!"

"Hah?" abang cengo. "Bukannya kita pertama ciuman di kamarmu ya?"

"Dih! Itu bukan ciuman. Ciuman itu kalau berdua sama-sama mau, sama-sama bales, kalau cu━"

Belum selesai ngomong, tengkuk gue udah ditarik dan kena kiss lagi. Lembut, cuma melibatkan bibir luar aja. Gue sebut dia kang nyosoran.

"Kita ciuman pertama di kamar, Sayang. Diinget-inget lagi lah." gitu bilangnya.

Giliran gue yang cengo. Kapan? Kan gue bilang ciuman itu saling berbalas. Kapan kita pernah saling berbalas sebelumnya? Kalau pas gue nekad itu kan, gue doang yang nyium. Gak masuk hitungan lah.

"Di kamarmu, kesucian bibir kita sama-sama hilang. Di toilet, yang kedua. Ketiga di mobil, dan keempatnya disini. Kelima dan seterusnya abang gak akan ngitungin lagi."

"___"

Di luar prediksi khalayak umat. Gak ada yang terjadi semalaman. Gue gak dinakal, gak dilecehkan. Masih wajar, sebatas bibir kebas kebanyakan ciuman aja. Badan merah-merah kena cupang. Selebihnya aman.

Bukan karena kita kagak birahi, tapi kita berdua beneran sama-sama culun bin cupu. Bang Jendra takut ngerusak momen first time. Jadi, kita cuma tidur saling berpelukan aja.

Gue hampir lupa kalau hari ini Senin. Agaknya gue harus ijin gak masuk sekolah. Sekitar jam lima, bel dipencet dengan brutal. Berisik, ganggu orang tidur.

"Siapa, Bang?" gue masih ngumpulin nyawa, sementara abang udah pakai bathrobe, mau bukain pintu.

"Si bangsat Tara pasti." gerutunya. Abang bantu gue pakai kaos. "Bobok lagi ya." dia kiss kening terus ke luar.

Walaupun gue masih ngantuk, tapi tentu saja gue gak bisa tidur lagi, apalagi katanya ada kak Tara. Gue duduk lanjut ngumpulin nyawa. Mata masih merem.

Sebenernya pintu kamar ditutup abang, harusnya kedap suara juga, tapi agaknya dua sahabat itu saling berdebat di depan pintu. Kak Tara maksa mau masuk tapi ditahan abang. Rebutan buka tutup pintu, memungkinkan gue bisa denger suara mereka adu argumen.

Kak Tara yang biasanya kalem dan tenang itu, baru kali ini gue denger ngegas. "Lu pikir gue pagi-pagi buta begini kesini cuma demi mobil doang? Minggir! Gue mau lihat kondisi adek gue."

"Aksa masih tidur. Jangan ganggu!" suara abang lebih kalem.

"Gue mau cek doang!" kak Tara makin ngeyel.

Gak lama, kak Tara berhasil nerobos masuk. Ketemu gue yang duduk bengong di atas kasur, belum selesai ngumpulin nyawa.

"Lu gak papa kan, Sa?" langsung nyamperin gue. "Jendra ngapain lu? Dia nakal kan?" raut wajahnya khawatir, muka gue aja di cek bolak-balik sama dia.

"Kak Tara apa kabar?" gue malah begitu. Auk, nyawa gue belum ngumpul. Lagian, dateng-dateng langsung heboh.

"Mana yang sakit? Mana? Sini kakak bantuin." kak Tara menyingkap selimut gue.

"Loh.. Loh.." gue bingung kan. Ujug-ujug aurat gue dibuka-buka.

"Apanih? Tidur sempakan doang?" muka nuduhnya kak Tara gak ngenakin.

"Tidur pakai bokser apa masalahnya? Kalau tidur pakai baju astronot, nah itu yang gak wajar." gue nyolot. Gue ambil lagi selimut, nutupin kaki.

Eh, kak Tara gak menyerah. Sekarang kaos gue yang diangkat sama dia. Ketauan kan banyak cupang di area dada dan perut gue.

"Brutal banget si Jendra." kak Tara berdecak. "Kakak bawa salep, nanti diobatin ya." tawarnya hangat.

Kan gue tersentuh ya, ni orang pagi-pagi buta kesini demi ngasih salep. Apa agaknya yang berdua sahabat ini komunikasikan semalam?

"Pinggang gimana? Belakang sakit banget? Nyeri? Demam?" dah deh itu sebadan-badan gue kena grepe sama kak Tara. Gue pasrah. Bang Jendra juga cuma natap jengah sambil nyender di tembok. Semacam udah hafal sama kelakuan temennya.

"Enggak, kak. Kita gak ngapa-ngapain." sangkal gue sambil cengar cengir.

Kak Tara tak percaya. "Hah? Masa? Kagak nganu?"

Bang Jendra nyamber, "Gue gak sebiadab Dareel!"

"Dih, beneran? Gak nganu?" di ulang lagi pertanyaannya.

Gue geleng kepala, sambil senyum.

Reaksi tak terduga datang dari kak Tara. Dianya lihatin gue seksama. Pupil matanya naik turun. Kan lama-lama gue risih.

"Apasih?"

"Kok bisa sih Jendra gak tergoda?" gitu sambil ekpresinya seolah ngejek. "Lu kurang menggiurkan ya, Sa? Kurang manggugah nalurinya Jendra gitu lho."

Bener kata bang Jendra. Kak Tara bangsat!

Gue tertekan omongannya. Pandangan gue ke bang Jendra. "Bang, Aksa gak menarik ya? Gak bikin abang bergairah ya?"

Matanya abang langsung membelalak. Kupingnya kak Tara kena jewer. Dianya ngakak brutal.

"Jangan dengerin Tara, Sayangku ..." rayu bang Jendra sambil mendekap telinga gue.

♡♥︎

➶➶➶➶➶ 𝑬𝑵𝑫 ➷➷➷➷➷




𝑯𝒂𝒊 𝒈𝒆𝒏𝒌𝒔, 𝑹𝑨𝑲𝑺𝑨 𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒕𝒂𝒎𝒂𝒕 𝒏𝒊𝒉. 𝑱𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒕𝒂𝒏𝒈𝒊𝒔𝒊𝒏 𝒚𝒂, 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒍𝒂𝒏𝒋𝒖𝒕 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊.
𝑩𝑻𝑾, 𝒚𝒂𝒌𝒊𝒏 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒍𝒆𝒎 𝒃𝒆𝒏𝒆𝒓𝒂𝒏 𝒈𝒂𝒌 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒂𝒑𝒂-𝒂𝒑𝒂? 𝑰𝒕𝒖 𝒌𝒂𝒏 𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂 𝑨𝒌𝒔𝒂. 𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑱𝒆𝒏𝒅𝒓𝒂 𝒈𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂? 𝑷𝒆𝒏𝒂𝒔𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒈𝒂𝒌?
𝑱𝒆𝒏𝒅𝒓𝒂 𝒃𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈, 𝒅𝒊 𝒕𝒐𝒊𝒍𝒆𝒕 𝒊𝒕𝒖 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒄𝒊𝒖𝒎𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂. 𝑷𝒆𝒏𝒂𝒔𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒈𝒂𝒌 𝒌𝒂𝒑𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒏𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒖𝒂 𝒔𝒂𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒂𝒖𝒕𝒂𝒏 𝒃𝒊𝒃𝒊𝒓?

Part lengkapnya ada di buku fisiknya, bonus 10 chapter, sampai happy ending... Ding.. Ding... Ding...
So, yang mau mengawal Jendra-Aksa sampai akhir, silahkan dicekot di Shopee.

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 258K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
24.3K 2.7K 13
MAHADEVAN SANDAVA VIJENDRA. Pria tampan yang menjabat sebagai CEO di umurnya yang terbilang masih muda. Banyak yang menggemari pengusaha muda itu, ta...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 112K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
Autumn By antjimin

Teen Fiction

102K 8.2K 11
"ayolah dok, kamu tidak akan menemukan orang gila yang mencintaimu sepertiku lagi dikehidupan manapun" Abian. "bocah ingusan, bocah sinting. kau itu...