Trepidation (extended)

By Minaayaaa

603 86 170

Hai semua, terimakasih sudah membaca pesan ini. Aku Minaya, dan Trepidation adalah cerita pertama yang ku tul... More

Tria's Version
Thread 1 , The End Of The Past
Thread 2, New Year Eve's Conversation

Prelude

252 34 84
By Minaayaaa


Reyner Sumanjaya tidak mabuk.

Dia tidak minum, bukan karena usianya masih 16 tahun. Pemuda generasi keempat keluarga milyuner Sumanjaya itu bahkan sudah diajari ayahnya minum sejak 14 tahun, beberapa bulan sebelum bocah itu pergi ke London untuk melanjutkan SMA nya.

Reyner ingat malam itu momi dan daddynya bertengkar hebat karena masalah ini. Syeden Sumanjaya berpendapat bahwa dengan mengajari anak laki-lakinya minum sejak dini, tak akan membuat anak itu rusak, dia hanya ingin Reyner yang beranjak remaja tak norak ketika berada di luar negri. Syeden ingat, dia pernah melewati dua tahun pertama SMAnya di London, sebelum akhirnya pindah ke Singapura, karena sesuatu yang tak pernah diceritakannya kepada Tria. Waktu itu banyak anak di bawah umur yang sembunyi-sembunyi untuk minum termasuk dirinya. Syeden merasa dia norak, sebab ternyata rasa minuman haram itu biasa-biasa saja. Jadi dia memutuskan untuk menunjukkan rasa miras itu kepada Reyner sejak dini agar dia tahu rasanya sehingga tak terlalu penasaran dan yang terpenting Reyner jadi tahu toleransi alkoholnya sendiri.

Reyner muda menonton keributan itu sambil menyesap vodca, tapi akhirnya pilihannya jatuh kepada beer yang menurutnya lebih enak. Di ruang billyard di basement rumah besar
Sumanjaya itu, lagi-lagi Reyner harus melihat perdebatan demi perdebatan.

Ruangan itu kedap suara, jadi Oma dan Opanya serta kakak perempuannya yang sedang tidur di lantai atasnya tak mungkin terganggu.

Reyner dan kakaknya, Skyline Sumanjaya tak kaget lagi dengan semua ini. Ayah dan Ibunya sungguh air dan api, tapi airnya air keras. Anak laki-laki pewaris harta milyaran itu sudah menyaksikannya mungkin sedari bayi, bagaimana orang tua mereka terus berdebat dan entahlah, mereka terus bersama, di lain waktu mereka sangat terlihat mencintai satu sama lain seolah lupa dengan segala pertarungan sengit yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Namun setelah itu semua, sebagai ora
ng tua, Tria dan Syeden terbilang baik, mereka dekat dengan anak-anaknya, melibatkan semuanya duduk bersama untuk berdiskusi mengenai segala keputusan yang akan diambil oleh keluarga mereka. Makanya, Elin maupun Reyner tak pernah menganggap sebuah pertikaian adu mulut adalah kiamat.

Ini adalah cara Syeden dan Tria berkomunikasi.

Kembali ke Reyner dan pesta yang dihadirinya di sebuah executive club. Ini adalah sebuah pesta ulang tahun, tapi bukan ulang tahunnya. Ini pesta ulang tahun ke 50, Yehezkiel Pascalio, atau yang biasa dipanggilnya dengan sebutan Om Yolie, sahabat dekat ibunya, sekaligus rekan bisnis ayahnya.

Om Yolie tentu saja seperti keluarga baginya. Konon kerajaan bisnis Sky Studio yang membuat ayahnya tak perlu sibuk dengan warisan di Sumanjaya Grup adalah buah dan ide gagasan dari Om Yolie nya itu.

Om Yolie dan tante Bhia sudah lama pindah ke Kota J, sejak bisnis Sky Studio yang awalnya hanya berupa sebuah studio mewah di atas bukit itu berubah menjandi frenchaise menggurita di bidang-bidang lainnya, membuat Syeden dan Kaisan, anggota kongsi lainnya kewalahan.

Reyner hanya duduk dan makan kacang di depan Mikaela, anak bungsu Om Yolie yang seusia dengannya, gadis cantik itu bahkan tak menghiraukan keberadaan Reyner, sebab terlalu sibuk dengan gamenya yang sepertinya seru.

Mikaela berbeda dengan anak Om Dio, Amelia. Gadis yang masih SMP itu berkali-kali mengajaknya foto, tapi Reyner menolak dan menggoyangkan badannya setiap waktu Amel memfotonya. Reyner juga tertawa sambil menutupi wajahnya sampai Amelia kesal dan ingin menangis, sebab Kak Reyner menolaknya.

Kata banyak orang Amelia memang menaksirnya, tapi Reyner tak mampu membalas, sebab merasa Amel terlalu kecil untuknya. Dia hanya senang mengisengi anak dokter, sahabat ibunya itu.

Syeden baru merasa tenang saat Om Dio menyuruh Amel kembali ke hotel sebab saat malam lebih larut, pesta ini hanya untuk orang-orang dewasa.

"Mik, pulang yuk!" Reyner menoleh ke sosok yang datang ke sebelahnya, tante Bhia, istri Om Yolie yang menurut Reyner sangat cantik. Tante Bhia sangat tenang dan lembut, Reyner selalu suka berada di dekat tante Bhia sejak dulu.

Mikaila tak menyahut, sebab dia menggunakan earpods.

"Pakai earpods tante, nggak denger, dia!" Ujar Reyner sambil tersenyum.

Tante Bhia diam saja, kemudian malah tersenyum dan menyebelahi Reyner.

Sekilas Reyner melihat wajahnya yang sedikit lelah, mungkin karena sedari tadi tante Bhia heboh berdansa dengan Om Yolie.

Bhia membenahi letak dasi kupu-kupu Reyner, ini pertama kalinya mereka bertemu, sejak Reyner kembali ke tanah air.

"Selamat ya, sudah lulus SMA, tambah mirip daddy mu aja!"

"Makasih tante, itu tadi pujian atau hinaan?"

"Hahahha pujian lah, daddy mu kan sekeren itu"

"Sama Om Yolie, kerenan mana, tante?"

Bhia terdiam sejenak, Reyner pikir tante Bhia akan langsung menjawab bahwa Om Yolie yang paling keren. Sebab semua juga sepakat ahwa keduanya adalah pasangan romantis sampai tua. Mereka tenang, kalem, jarang sekali ribut, keluarga mereka juga sering sekali liburan bersama, berbeda sekali dengan keluarganya, yang lebih sering hidup masing-masing meski dulu tinggal serumah. Mungkin rumahnya yang terlalu besar.

"Kalau kamu tanya, siapa yang paling tante cintai, itu Om Yolie, tapi kalau kamu tanya, siapa yang paling keren di antara keduanya, tante yakin itu adalah Syeden, daddy kamu!"

"Dih, tante, jangan naksir daddy lho ya, lihat pawangnya ganas banget, liat aja, mana ada pelakor yang berani deketi daddy"

Bhia terbahak

"Nak, sudah ku bilang, yang paling tante cintai Om Yolie, ya udah kamu sebaiknya juga cepet pulang, mereka semua sudah mulai mabuk! Dasar gila! Ayo Mik!"

Tante Bhia segera menarik Mikaila, gadis itu matanya masih terpaku pada gatgednya sewaktu mereka melangkah pergi keluar dari lounge itu.

Reyner tersenyum dan hendak pulang juga, dia mulai bosan, harusnya dia tak datang tadi, tapi mana mungkin. Om Yolie juga bagian inti di keluarganya, sekiranya begitu kata daddynya.

Keduanya sangat dekat, ah bukan ketiganya. Syeden, Kaisan, dan Yolie, ketiganya pernah masuk majalah bisnis dan membuat orang-orang menjadi gempar sebab trio ini berhasil mengembangkan kerajaan bisnis mereka di era disrupsi satu dekade lalu.

Reyner terus berjalan ke dalam pesta, dia sekilas melihat kakaknya, Skyline sedang hang out dengan geng sepatanrannya, termasuk Hazzel, anak pertama Yolie dan Bhia. Reyner tahu keduanya pernah pacaran diam-diam, sebab Syeden terus mewanti, tak ada yang boleh berpacaran antara anaknya dengan Yolie atau Kaisan, dalih Syeden, sebab mereka semua adalah saudara dan bisa menjadi kacau jika kenapa-napa.

Reyner tak bodoh untuk mempercayainya begitu saja, apanya yang saudara?

Kenapa ayahnya tak langsung bilang, mereka tak bisa bersama karena masalah keyakinan. Reyner jadi bersyukur, dia maupun Mikaila tak memiliki ketertarikan apapun, dan Om Kaisan, dia punya satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, namun Reyner tak terlalu mengenalnya, disamping mereka masih kecil, keduanya diurus oleh ibu mereka masih-masing.

Ya, ibu mereka masing-masing.

Ini memang seperti pesta keluarga besar, hampir semua tamu dikenalnya. Sekilas dia memandang Om Kaisannya yang sedang dikerumuni tamu-tamu perempuan kolega Sky Studio. Om Kaisan pernah menikah dua kali, istri pertamanya model, istri keduanya seorang penyanyi ternama. Semuanya berujung perceraian, yang Reyner tak tahu alasannya.

Tapi Om yang satu ini memiliki kharisma tersendiri, age fine like wine, makin tua makin cakep dan luxurius saja.

"Hey Boy! Mau ke mana?" Tanya Kaisan sedikit berteriak sebab musik mulai kencang.

"Mau pamit sama Om Yolie" Reyner mendekati sofa itu dan tersenyum sopan kepada para perempuan elegan tapi tentu saja genit-genitan dengan Om Kaisannya.

"Kenapa buru-buru, momi sama daddy mu saja masih di sini"

"Ah om, aku kurang suka, lagi pula tante Bhia dan Mik saja sudah pulang" Jawab Reyner apa adanya.

"Pulang?" Kai sedikit keheranan.

Reyner mengangguk sebelum Kaisan membisikkan sesuatu.

"Coba kamu lihat apa Yolie baik-baik saja atau sudah mabuk, kamu tahu kan Om Yolie mu itu kalau mabuk suka rese"

Reyner lagi-lagi mengangguk dan beranjak mengecek apa yang terjadi dengan Si Birthday Man. Om Yolie memang terkenal paling rese kalau mabuk, dia suka meracau tidak jelas dan marah-marah. Biasanya Om Kaisan yang meredamnya, atau Om Dio, tapi malam ini keduanya sedang dalam urusan masing-masing.

Reyner bertanya kepada beberapa pelayan di sana di mana pria yang sedang ulang tahun itu berada.

Salah satu waiter bilang kalau Bapak Yehezkiel berada di mezanin atas, tempat yang lebih eksklusif dari lantai bawah. Perlahan dalam remang dan entakan musik yang semakin memuncak Reyner menuju ke tempat yang di maksud.

Benar saja, tempat ini lebih dingin dan musiknya pun beda. Tenang dan sendu, musik jazz, seharusnya tante Bhia suka, dia suka norah Jones dan segala lagu patah hati bertepuk sebelah tangan. Di ulang tahunnya yang ke 45, dua tahun lalu, Reyner memberikan sebuah mixtape berisi lagu-lagu kenangan zaman mudanya beserta alat pemutar kaset yang dibelinya di toko barang retro, kalau tak mau disebut antik.

Waktu itu tante Bhia memeluk Reyner dengan erat, dia terlihat sangat suka dan membagi headsetnya dengan anak muda itu di sela-sela pesta kebun yang mereka adakan.

Saat sedang pesta, tante Bhia yang 2 tahun lebih muda dari ayah ibu dan teman-temannya itu memang lebih sering menyendiri, atau melayani para tamu, makanya dia tak betah berlama-lama dengan pesta yang pasti keinginan Om Yolie ini.

Jika ada pesta Om Yolie akan lebih sering berada di dekat teman-temannya, sedangkan ayah dan Ibu Reyner selalu bersama.

Dasar pencintraan.

Desis Reyner sambil tersenyum, melihat ayah dan ibunya sedang berdansa sambil memandangi satu sama lain seolah tak tahu umur mereka sekarang berapa. Tria mengalungkan lengannya di leher suaminya yang tetap gagah sampai tua itu, sementara lelaki itu memegang pinggang istrinya yang sintal sehingga masih cocok mengenakan gaun press body yang sexy seperti saat ini.

Syeden menghitung sampai tiga dan benar saja, kedua orang yang selalu adu mulut itu sedang berciuman dengan panasnya meskipun gerakan mereka perlahan.

Reyner tidak mau punya adik di usia hampir 17 ini, tapi sepertinya mominya mulai menoupouse.

Dua orang itu masih belum sadar kalau Reyner masuk ke sana, sementara Reyner menoleh di seberangnya ada sebuah meja dengan kue ulang tahun yang baru dipotong separuh, juga gelas-gelas Champagne yang sudah kosong.

Tapi ada sebuah pemandangan yang membuat perasaan Reyner tak karuan.

Dia melihat Yolie yang masih memegang gelas champagnenya, dengan kemeja satin biru tua setengah terbuka, sedang memandang ayah dan ibunya dengan nanar.

Tatapan yang tak pernah dilihat Reyner selama ini, Yolie selalu memberikan tatapan hangat, dia adalah panutan baginya untuk menjadi tak mudah menyerah dalam studi maupun pekerjaan. Segala yang dilakukannya selalu positif. Tapi tidak malam ini, tatapannya begitu sakit, marah,lelah.

"Om" Reyner berinisatif mendekatinya, membuat Yolie sedikit kaget dan gugup ketika menyadari bahwa itu Reyner.

"Sudah terlalu banyak minum" Reyner mengambil gelas champagne itu dan Yolie hanya bisa menurut, sebab sepertinya dia sudah mabuk.

"Mau Reyner antar pulang, Tante Bhia dan Mik, sudah pulang setengah jam yang lalu"

Yolie hanya terdiam tak menjawab, sekali lagi pandangannya mengarah kepada Tria dan Syeden yang kini sedang terkekeh dan saling menggoda seperti anak muda.

Reyner menajamkan semua indranya, mencoba mengerti apa yang sedang terjadi tapi di sisi lain dia sebenarnya terlalu takut untuk tahu.

Tes

Reyner tak mabuk, dia tahu setetes air mata baru saja tumpah dari mata kiri Yolie membuat perasaannya tak karuan.

"Om, pulang , yuk!" Ajak Reyner lagi, dia tak ingin melanjutkan rasa ingin tahunya yang berbahaya.

Untung Yolie menurut, dipapahnya pria besar itu keluar ruangan, sekilas dia pamit kepada ayah ibunya yang masih ingin bermesraan, setidaknya mereka tahu tempat.

***

Sopir membukakan pintu mobil hitam sedan S Class itu untuk Reyner, kemudian mereka bahu membahu membawa Yolie yang memang benar-benar mabuk untuk masuk ke rumahnya. Untung saja Yolie tertidur atau tak sadar selama perjalanan sehingga Reyner tak terlalu sibuk.

Bhia sendiri yang membukakan pintu dan meminta tolong untuk membantu membawa Yolie ke kamar. Reyner mengisyaratkan kepada sopir untuk pergi, sebab rasanya tak sopan ada orang asing yang ikut masuk kamar pasangan kaya itu.

Reyner memanggul Yolie sendirian sementara Bhia membuka pintu kamarnya.

Tiba-tiba Yolie terbangun, tapi Reyner tahu dia masih mabuk, ditariknya Bhia ke pelukannya kemudian meracau tak jelas dengan pelan seolah - olah sangat rindu pada tante Bhia.

Terdengar seperti ya... ya ... ya, tapi itu bukan ...

"Makasih ya Reyner" Ujar Bhia sedikit mendorong Reyner untuk keluar kamarnya.

Reyner tertegun di depan pintu yang tiba-tiba ditutup Bhia, dan ketika dia hendak melangkah pergi, tiba-tiba didengarnya suara Yolie yang menangis dengan keras dan menyebut-nyebut nama seorang perempuan.

Jantung Reyner mencelos, dia ingin masuk dan memastikan keadaan tante Bhia baik baik saja. Reyner sudah hendak mencapai pintu saat lengannya di tahan.

Mikaila sudah memakai baby dool bunga-bunga daisy kecil dan sepertinya sudah akan tidur. Reyner menatap matanya dengan penuh tanya.

Mik hanya mengangguk, kini keduanya menatap pintuk kamar berukir mewah itu, di mana suara Yolie makin terdengar meraung, menyebutkan satu nama yang membuat darah Reyner berdesir kuat.

"Ya, kamu nggak salah denger, bukan Bhia, itu Tria, nama momi kamu kan?" Ucap Mik dengan dingin.

"Sejak kapan Om Yolie begitu, memangnya ada apa di antara mereka berdua?" Reyner mengatakannya dengan gugup di antara takut dan ingin tahu.

"Sudah lama, tapi hanya pada waktu-waktu mabuk tertentu saja, dulu aku mengira aku salah dengar tapi kau juga mendengar nama yang sama kan?" Gadis itu terus berbicara dengan nada yang datar.

"Kamu tahu apa yang terjadi, apa itu Tria, yang dimaksud adalah momi?"

Mikaila menggeleng, "Mama selalu mengelak membicarakan ini dan melarangku untuk bertanya ke papa"

"Hazzel, kakakmu tahu?"

"Tidak, tapi nenekku tahu, jadi aku tanya dia"

"Apa jawabnya?" Reyner sungguh penasaran, saat ini tangis Yolie sudah tak terdengar lagi.

"Dia bilang mungkin aku salah dengar, karena tak pernah terjadi apa-apa antara papa dan Bibi Tria"

Reyner menghela nafas, segala hal kini berkecamuk di otaknya.

Dia dan Mikaila masih memandangi pintu jati itu, sementara di dalam sana Yolie masih meracau pelan sambil mencumbui istrinya.

"Tria, I miss you, so damn much" Ujarnya berbisik tanpa ragu.

Bhia hanya diam, bahkan menahan tangisannya yang tanpa dendam.

***

Esok harinya,

Semua berjalan seperti normal. Yolie bangun dalam keadaan sedikit pusing. Dia mencoba mengingat tentang apa yang terjadi semalam, tapi tetap saja tak ingat.

Ingatan terakhirnya adalah Syeden yang menuangkan terlalu banyak champagne saat dia kalah taruhan sepele, tentang koin apa yang akan muncul setelah Bhia melemparnya.

Ingatan terakhirnya adalah dia dan Bhia, sementara Syeden dengan Tria bercanda seperti biasanya. Bertahun telah berlalu hingga usia mereka setengah abad. Anak sulungnya, Hazzel, sudah 23 tahun dan sudah menyelesaikan wisuda S1 nya, sementara anak keduanya Mazaya berusia 19 tahun dan masih menempuh pendidikan di Sydney, sementara bungsunya Mik atau Mikaila, masih 16 tahun dan baru saja lulus SMA.

Kehidupan Yolie sangatlah baik, segala kesuksesan sudah digapainya. Bhia tadinya memiliki bisnis juga, tapi setelah Yolie merasa semua sudah cukup, dia memohon kepada Bhia untuk menjual usaha EO dan Cafenya ke Management Sky Studio miliknya, anehnya Bhia menurut saja. Bhia yang semasa muda juga seambisius suaminya memilih berada di rumah dan mengurus anak-anak mereka. Bahkan pabrik plastik warisan ayahnya, dipercayakan saja kepada kerabatnya, Bhia hanya perlu transferan setiap bulannya dan beberapa kali diundang dalam rapat eksekutif.

Ayah Bhia sudah lama meninggal, sejak Mik berumur lima tahun. Dia sempat berduka untuk beberapa lama, dan akhirnya dia bersedia untuk menuruti keinginan Yolie, untuk melepas semua pekerjaannya dan tinggal di Kota J secara penuh. Sementara, Bunda Yolie sendiri, masih hidup di Kota S, dia tak mau pindah, masih menempati rumah sederhana itu, dengan seluruh tetangga yang sudah banyak berganti. Bunda hanya ingin kehidupan sederhana, dekat dengan kios bunganya yang sudah memiliki banyak pegawai dan Yolie berusaha mempertahankan bisnis yang dulu menghidupinya bertahun-tahun itu hanya demi kesibukan ibunya di kala senja.

Sesekali Yolie terbang ke Kota S hanya untuk menemui bunda, terkadang dia juga membawa Mik dan Bhia sebab dua anak lainnya di luar negeri. Bunda hidup bersama seorang suster dan seorang asisten rumah tangga.

"Zaya di mana? Dari semalam papa nggak lihat dia?" Tanya Yolie yang sudah mandi dan duduk di sebelah putranya sulungnya.

Hazel menelan apel yang dikupaskan ibunya tadi sebelum menjawab ayahnya. "Ada di kamar, kemarin malam habis papa tiup lilin kan dia cabut duluan" Ujar Hazel sedikit cepu.

"Really? Kelayapan ke mana lagi dia?" Yolie agak meradang, sebab anak keduanya ini memang sedikit bandel melebihi kakak dan adiknya. Bahkan dia satu satunya anak yang berani menentang pendapatnya atau Bhia. Zaya selalu memiliki jalan pikiran aneh sendiri, mengingatkan Yolie tentang seorang gadis di masa lalu. Anak perempuan yang selalu membuatnya ketar ketir ini nyatanya adalah perempuan mandiri dan bertanggung jawab. Setidaknya dia percaya kalau Zaya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Katanya dia pergi dengan teman-teman SMA nya, mereka lama tak bertemu kan?" Dengan lembut Bhia meletakkan pinggan tahan panas berisi macaroni lagsanya untuk sarapan mereka.

"Mik, bangunin Kak Zaya!" Perintah Yolie kepada Mikaila yang duduk di depannya dan masih memakai headphone dan bermain game itu .

Mik tidak bergeming, bukannya dia tak mendengar karena memakai headphone. Mik hanya masih marah soal kejadian semalam, di mana dia mabuk dan memanggil manggil nama perempuan yang bukan ibunya alih-alih Tria.

Tidak seperti kedua saudaranya yang selalu menyukai Tria, Mik, tak pernah suka. Ada sesuatu di diri perempuan cantik itu yang selalu membuatnya tak nyaman. Mik sadar, bukan karena sifat Tria atau penampakannya yang intimidatif, tapi setiap kali Tria datang, dia seperti merasa mamanya sedikit berubah.

Mik tak pernah membicarakannya pada siapapun, tapi dia tahu. Kecurigaannya ini semakin menjadi-jadi, ketika dia masih SMP dulu, sepulang dari sebuah pesta di rumah Sumanjaya, ayah dan ibunya ribut, hingga membangunkan Mik yang tak diajak ke pesta. Ternyata mereka tidak ribut, ayahnya hanya mabuk dan lagi-lagi menyebut nama Tria, dia tahu ibunya menangis sambil mengganti baju suaminya juga membuka sepatunya, membalas ciumannya sewaktu laki-laki dalam keadaan tak sadar itu terus meminta.

Paginya Mik bertanya secara lugas, apakah ayahnya punya selingkuhan atau semacamnya? Ibunya menjawab santai, tentu saja tidak.

Tapi sewaktu Mik bertanya, apakah ayahnya dan Bibi Tria pernah pacaran? Mamanya terdiam cukup lama sebelum menunjukkan senyum palsunya.

"Tentu saja tidak sayang"

Kemudian Mik bertanya lagi.

"Tiap kali papa berpesta dengan Om Syeden dan Bibi Tria, jika dalam keadaan mabuk dia selalu menyebut nama perempuan itu, tidak mungkin tak ada alasan" Cecar anak itu.

"Mik, kamu hanya salah dengar, jangan bicarakan ini ke siapapun, hanya akan membuat salah paham, kau mengerti? Kita harus menjaga omongan kita untuk hal-hal yang sensitif"

Sejak itu Mik hanya diam, tapi bukan berarti lengah, dia memutuskan tak memberitahu siapapun, tapi Reyner Sumanjaya kini tahu bahwa dia juga mengetahui keganjilan itu.

"Mik, papa minta tolong!" Yolie berbisik sambil melepas sebelah headphone yang dipakai Mik. Mau tak mau Mik menuruti perintahnya.

Yolie ayah yang baik, lembut, perhatian, dan adil kepada semua anaknya, dia adalah ayah yang bisa Mik banggakan.

Tapi mungkin nila setitik, rusak susu sebelanga.

Perkara menyebut nama Tria seolah menjadi batu di hati anak kecil itu.

Yolie tersenyum gemas melihat bungsunya yang cemberut beranjak untuk memanggil kakaknya, pria itu tak paham, bahwa Mik sebenarnya sedang marah padanya.

Yolie tak langsung menyantap lagsana tadi seperti sulungnya, dia memilih ke pantry untuk membantu Bhia membersihkan kompor dan mencuci beberapa peralatan.

Mereka memang punya asisten, tapi di hari minggu ini , mereka ingin privat saja.

Yolie memeluk Bhia dari belakang dan mengecup pipi istrinya itu. Bhia tersenyum sambil terus mencuci piring. Yolie menciumi istrinya sebab aromanya seperti candu untuknya, meski sudah bertahun-tahun mereka berumah tangga.

"Did I make this?" Tanya Yolie ketika melihat bekas biru keunguan di leher Bhia

"Menurut kamu saja!" Ujar Bhia sedikit malu

"I really forget what happened last night, aku cuma ingat, aku dan Syeden minum-minum sementara kamu dan Tria sibuk melempar koin sambil cekikikan" Ujar Yolie lantas membantu Bhia mengelap beberapa peralatan yang sudah bersih.

Bhia tersenyum sebab suami setengah abadnya itu terlihat masih manis-manis saja.

"Papa beneran nggak inget kalau semalam papa mabuk?" Tanya Mik yang kini sudah duduk di kursi makan setelah berhasil membangunkan kakak perempuannya yang belum terbangun sepenuhnya, Zaya bahkan mencuci muka di wastafel tempat cuci piring dan dengan cueknya mengelap wajahnya dengan tissue, membuat Hazel bergidig jijik.

Yolie menoleh ke arah bungsunya.

"Oh ya, terus papa pulangnya gimana?" Tanyanya

"Diantar Reyner, soalnya aku dan mama pulang duluan" Ujarnya, tanpa Yolie sadari Bhia memperhatikan pembicaraan mereka dengan siaga penuh.

Yolie mengelap tangannya dan kembali bergabung dengan anak-anaknya, Zaya yang nyawanya sudah terkumpul pun mengambilkan potongan lagsana untuk ayah ibunya .

"Oh ya, nanti papa akan kirim pesan ke Reyner, kalau begitu, lagian kenapa Reyner yang antar, semalam kamu pulang jam berapa, Zel?"

Hazel nyaris tersedak, karena dia tak siap dengan pertanyaan ini.

"Ah, aku nggak yakin, aku pulang setelah Om Se sama Bibi Tria pulang" Ujar anak muda itu gagap

"Bohong pa, aku ketemu Kakak sama Skyline di club sebelah, aku di situ sama temen-temenku sampai mau pagi, tapi Kak Hazel masih dugem aja" Tiba-tiba Zaya berceloteh dengan jujur, membuat Hazel melirik tajam pada gadis YOLO itu.

"Lho, kamu masih kencan sama Elyn? Bukannya kita semua sudah sepakat, tak ada yang pacaran di antara anak-anak Sky Studio!" Kali ini Bhia memasang nada yang tinggi, tak seperti biasanya.

"Mah, Elyn kan temenku dari kecil, di Australia kami juga ngerantau bareng kan? Ya kali aku nongkrongnya sama anaknya Om Kai, dikira pedopil, orang masih bocil semua!"

"Dih ngeles!" Timpal Zaya dengan sedikit senyum jahil tersungging.

Hazzel ingin ribut , tapi Yolie segera melerai keduanya.

"Kalau cuma nongkrong sih boleh, tapi ingat kata mama, oke!" Tegas Yolie

"Emangnya kenapa sih pa, kok nggak boleh pacaran sama anaknya Bibi Tria sama Om Syeden, bukannya keluarga kita dekat ya?" Tanya Mik dengan wajah kakunya

"Bukan cuma sama anak Om Syeden, anak Om Kaisan juga nggak boleh, itu sudah kesepakatan kami, nanti kerjaannya jadi nggak professional! Lagian kan kita beda iman kalau sama keluarga Om Se" Ujar Yolie beralasan

"Kenapa memangnya? Kamu mulai suka sama Reyner?" Celetuk Zaya sambil terkekeh, tapi Mik menanggapinya dengan tenang.

"Nggak sih, soalnya semalem ..."

Uhk uhk

Bhia batuk-batuk karena tersedak, sepertinya lumayan parah karena dia tak berhenti batuk. Semua jadi panik dan menolongnya, melupakan apa yang hendak Mik katakan, tapi Mik tahu mamanya tidak benar-benar tersedak, sebab dia melirik tajam ke arah Mik dan dengan gestur tipis Bhia menggeleng ke arah bungsunya itu. Petanda Mik tak boleh membicarakannya.

***

Tidak ada makan pagi di rumah keluarga Sumanjaya.

Sebab kakek dan nenek sedang berlibur keliling eropa dan baru akan kembali dua bulan lagi.

Skyline sibuk treadmill di kamarnya, Syeden sudah sibuk dengan mini golf nya yang terkadang direcoki rusa-rusa. Tria masih sibuk bertelepon dengan korespondesinya di Shanghai, membahas kerjasama bisnis Joppin.Co, perusahaan penyedia layanan teknologi, yang dijalankannya bersama Gianna. Perempuan itu tak kenal waktu untuk terus hidup dengan ambisius.

Sementara semuanya sedang sibuk dengan urusan masing-masing, Reyner baru saja bangun dan tersenyum di depan ponselnya.

Dia memang sedang morning call, tapi bukan dengan pacar atau sejenisnya, dia morning call dengan kakek neneknya, dari pihak Tria.

Kedua orang tua itu tinggal di Kota S, berdua saja.

"Oma sarapan apa memangnya?" Tanya Reyner masih bergelung di dalam selimut tebalnya, padahal beberapa menit yang lalu dia sudah membuka gorden besar di kamarnya hanya untuk mendapat cahaya.

"Oma sarapan nasi goreng kampung, kamu kenapa belum bangun?"

"Malas, aku semalam pulang larut" Balas cucu bungsu kesayangan itu sambil mengucek matanya.

"Memangnya kenapa kok pulang malam, malam mingguan?"

"Bukan, Om Yolie ulang tahun, kan ke 50 hahaha udah tua kaya momi daddy"

Omanya ikut tertawa, meskipun sedikit tertegun mengingat - ingat dulu bagaimana penampilan Yolie saat masih SMA. Tidak mungkin Bu Damar lupa sosoknya kala itu. Bocah tinggi besar yang murah senyum, sering datang ke rumah untuk membantu suaminya mengecek mesin mobil tua mereka yang bahkan sampai sekarang masih ada.

Waktu memang sungguh cepat berlalu.

"Budhe Wina nggak ke sana oma?" Reyner menanyakan kakak Tria yang hidup satu kota dengan kakek neneknya itu.

"Mereka sekeluarga sedang liburan ke Kota B sama keluarganya Pak dhe"

"OOO... Oma mau nggak liburan?"

"Liburan ke mana? Opa sama oma sudah gampang capek, apalagi opamu itu, udah nggak denger apa-apa, suka marah-marah pula!"

Reyner tergelak, opa memang terlihat kurang sehat akhir-akhir ini. Anak-anaknya sudah membujuknya untuk berobat, tapi dia tak pernah mau.

"Reyner mau donk, bicara sama opa" Reyner benar-benar kangen sekarang.

Omanya pun beranjak sambil membawa benda pipih yang selalu menghubungkannya dengan cucunya itu.

Sebagai anak, Tria memang sangat jarang menghubunginya, demikian juga dengan Syeden, menantunya itu sangat sibuk. Sejak lulus kuliah dan bekerja, Elyn semakin jarang menelepon nenek kakeknya, tinggal Si Bungsu, yang selalu menaruh perhatian kepada mereka berdua.

Reyner dengan sabar memperhatikan pergerakan neneknya lewat layar, neneknya terdengar memanggil suaminya dan mencarinya ke seluruh rumah, tapi nihil. Bu Damar terus memanggil suaminya hingga hal yang tidak dinyana-nyana terjadi.

Reyner menegakkan duduknya ketika dia melihat di layar ponselnya kakenya itu terkapar di depan kamar mandi dekat dapur, membuat neneknya histeris dan ponsel itu pun terjatuh dan koneksi terputus.

Reyner segera berlari dan mengabarkan ini ke seluruh anggota keluarganya.

***

Reyner Sumanjaya merenggangkan badan bongsornya setelah 1 jam perjalanan dengan jet pribadi keluarganya, dari Kota J ke Kota S. Dia sudah cukup tenang sekarang, setelah neneknya mengabarkan bahwa kakeknya sudah dibawa ke RS atas bantuan para tetangga. Kini ketiga anak mereka Perdana, Dwina, dan Tria sedang menuju ke rumah sakit sekarang.

Tria berjalan di samping Syeden dengan tenang setelah setengah jam yang lalu mereka nyaris ribut di pesawat. Pasalnya Tria masih saja ingin bekerja sementara mereka tidak yakin dengan pasti apa yang terjadi dengan ayahnya. Tria beralasan dia harus menyelesaikan pekerjaan weekend ini agar esok semuanya berjalan dengan baik, sementara Syeden memutuskan mereka akan seminggu penuh berada di Kota S untuk memantau perkembangan kesehatan mertuanya. Tria ingin memberontak, tapi Syeden duluan yang merebut pad nya dan menyuruh seorang asisten mematikan benda sialan itu.

Skylene dan Reyner seperti biasa menonton drama itu sambil mencamil kudapan mereka, sambil sesekali mengobrol dengan santai. Skyline mempunyai sifat yang mirip ayahnya, ambisius, namun untuk dirinya sendiri, tak tampak dan lebih bisa menarik ulur sendiri. Sementara Reyner, juga mirip ayahnya, tapi pada mode lain, dia menuruni kelembutan hati Syeden. Untuk kedua anaknya, Tria sangat merasa bersyukur.

Sejak lama kedua anaknya menyadari bahwa Tria memiliki issue tersendiri dengan keluarganya. Bukan karena keluarganya tak baik, Tria dan Syeden selalu mendidik anak mereka untuk tetap dekat dengan keluarga di kedua belah pihak, mereka tak ingin membedakan apapun, tapi justru terkadang sikap Tria yang menunjukkan sebaliknya.

Bahkan di saat seperti ini, perempuan itu tetap dingin, tak menunjukkan ekspresi apapun padahal suami dan anak-anaknya sudah sangat khawatir. Bahkan beberapa bulan yang lalu Tria panik bukan main saat mertua laki-laki juga sempat sakit.

Tria juga selalu menghindar serta mempercepat waktu kunjungan ke rumah orang tuanya. Di beberapa kesempatan, dia memutuskan untuk tidur di Paradise Lounge, hotel mewah tempatnya menikah dulu dengan alasan ini dan itu, padahal Skyline dan Reyner hanya ingin tidur berdesak desakan di depan televisi di ruang keluarga bersama semua sepupunya.

Reyner juga selalu tahu bahwa ibunya itu lebih kaku ketika berada di rumah masa kecilnya itu, padahal jika mereka mengunjungi Pak Dhe Dana di rumahnya, di Kota J, perempuan itu bahagia-bahagia saja.

Bagi Tria seolah berada di rumah itu adalah kenangan buruk atau mimpi yang buruk. Reyner hanya memendam perasaan itu, dia ingin berbagi dengan Skyline kakaknya, tapi dia sedikit tidak enak. Sebab Skyline tampak seperti orang yang punya banyak urusan alih-alih memperhatikan hal semacam ini.

Tak berapa lama mereka sampai ke rumah sakit pusat, seluruh keluarga berkumpul, seperti dugaan Reyner, asal tidak di rumah itu ibunya akan tampak sedikit rileks. Tapi tidak juga, Soalnya di sana ada opa. Opa yang sedang sakit itu juga menjadi momok untuk Tria. Reyner mendapati bertahun-tahun ibunya pergi ke psikiater diam diam, mungkin hanya Syeden yang tahu mengenali hal ini, di suatu masa, Reyner sempat mencuri dengar Tria sedang menangis dipelukan Syeden sesaat sebelum menemui psikiater. Tria bilang dia baru saja mimpi buruk lagi soal ayahnya dan kini dirinya sedang dilanda kecemasan.

Pada saat acara keluarga, Tria juga selalu menghindar dari ayahnya, jika hanya berdua saja, pasti dia akan menyingkir dengan macam-macam alasan. Untung Syeden selalu penuh pengertian, sehingga istrinya itu selalu ditemaninya ke mana mana.

Sebagai istri dan ibu, Skyline dan Reyner selalu merasa Tria adalah ibu yang baik dan penuh perhatian. Kadang dia terlihat sangat sibuk, tapi urusan Skyline sekolah, bergaul, dan semua kebutuhannya adalah yang paling utama, begitu juga dengan Reyner. Tria memang tak mau berhenti bekerja, sebab dia ingin keduanya, menjadi ibu yang mengurus anaknya sekaligus bekerja, itu pilihannya, ah satu lagi, mengurus dan memperhatikan suaminya.

Jadi terkadang Reyner menepis semua pikiran anehnya mengenai ibunya yang sedikit tak waras itu, sebab jika dilihat secara keseluruhan Tria adalah ibu yang sempurna.

Seluruh anak dan menantu berbagi tugas untuk menjaga ayah mereka, papi, begitu Tria memanggilnya.

Sudah tiga hari ini Reyner dan keluarganya berada di Kota S, Reyner senang senang saja, dia justru bisa bertemu dengan sepupu sepupunya dan menghirup udara yang lebih segar dari Kota J itu. Reyner juga lebih suka naik kendaraan umum yang kata ibunya tak terlalu berubah sejak dulu. Pohon-pohon rindang berjajar di pinggir trotoar, dan banyaknya populasi anak muda usia pelajar di kota ini, juga membuat Reyner sangat senang menyusuri pedestrian.

"Kok lama banget, kamu naik angkota ya?" Tanya Tria kepada Reyner yang baru datang, untuk membawakannya makanan dan beberapa baju.

"Hehehe iya, momi kok keliatan capek banget, semalam nggak tidur ya?" Reyner meletakkan semua bawaannya di meja ruangan naratama superior yang luasnya lebih besar dari dua apartemen kelas studio itu.

"Iya, semalam, kondisi opa nggak baik, tapi kamu jangan bilang oma ya, nanti oma khawatir" Ujar Tria sambil memandang ayahnya yang sedang tidur dari kejauhan. Syeden dan anak perempuannya juga berbagi bed, sebab mereka pun kelelahan, sementara Pradana dan anak semata wayangnya, Jecklyn yang sudah menikah itu baru saja pulang.

"Momi mau Reyner pijitin?" Tawar Reyner dan perempuan itu mengangguk senang.

Mereka berbincang beberapa hal ringan, sementara itu Syeden bangun dan menghampiri mereka yang duduk di sofa.

"Sayang, beliin kopi donk, aku kayaknya butuh"

"Kopi? Dingin atau hot?"

"Ice americano aja deh" Ujar Syeden lantas duduk menyebelahi istrinya dan memberi tanda kepada Reyner minta dipijit juga.

"Rey ikut momi yuk, ke bawah beli kopi" Ajak Tria mulai memakai cardigannya.

"Lah, kirain mesen aja" Tanya Syeden heran

"Badanku kaku banget rasanya, pengen jalan-jalan" Balas perempuan 49 tahun itu.

"Sana, anterin momi kamu, ntar nyasar lagi!" Ujar Syeden dan membuat Tria memukulnya manja.

***

Tria dan anak laki-lakinya pun menuju ke lantai satu, di mana foodcourt sebersar foodcourt mall itu berada. Mereka malah kalap sendiri membeli berbagai macam makanan. Karena Syeden terus-terusan menelepon, akhirnya mereka pun kembali dari wisata kuliner itu.

Tria dan Reyner menunggu cukup lama sampai lift itu terbuka dan ketika akan masuk Tria sedikit terdorong karena serombongan orang tergopoh-gopoh untuk ikut naik.

Reyner sudah hendak marah ketika ibunya terdorong ke dalam dan sedikit terhuyung, ketika dia berbalik, semuanya pun melihat dengan kaget.

"Om Yolie?"

"Bibi Tria"

"Lho Bhia"

"Reyner?"

"Ngapain kalian di sini?" Tanya Yolie kebingungan

"Papi, sudah tiga hari dirawat di sini" Jawab Tria sambil memencet ruangan ayahnya.

"Kalian?"

"Bunda" Ujar Bhia penuh khawatir

"Bunda kenapa?" Tria terlihat sangat khawatir

"Bunda masuk ICU" Ujar Yolie terlihat cemas

"Apa? Rey, kamu kasih ini ke daddy, terus bilang momi ikut Om Yolie sama tante Bhia, jengukin bundanya Om Yolie ya" Ujarnya, lalu ikut Yolie dan keluarganya keluar ke lantai di mana ICU berada.

Reyner hanya mengangguk ketika pintu belum sepenuhnya tertutup, mominya sudah berjalan di sebelah Om Yolie, sementara tante Bhia sudah di depan bersama ketiga anaknya.

Reyner menghela nafas panjang. Dia tak pernah bertemu ibu dari Om Yolie, bahkan tak pernah dengar bahwa mominya dekat dengannya,tapi kenapa Tria terlihat lebih was was daripada ketika mendengar mertua atau bahkan ayahnya sendiri sakit.

Bahkan Tria tak kunjung kembali setelahnya,

Ketika Dwina, kakak Tria datang untuk bergantian berjaga, Syeden dan anak-anaknya pun pamit untuk pulang dan beristirahat. Syeden berinisiatif untuk sekalian menjenguk bundanya Yolie. Jujur Reyner sangat bingung mengapa mamanya masih berada di sana. Di depan ICU memang ada sebuah ruangan untuk keluarga beristirahat. Mamanya masih di sana bersama Yolie, Bhia dan anak-anaknya. Tria masih melongok sekali lagi ke dalam ruang ICU saat Syeden mengajaknya pulang.

***

Pagi itu semuanya tenang, di rumah keluarga Tria.

Saking lelahnya semalam Tria mau tidur di rumah itu. Tidur di bekas kamarnya. Tria bangun sangat pagi karena ponselnya berdering dan mengabarkan bahwa kondisi papinya sudah membaik dan segera diizinkan pulang.

Saat itu juga dia bangun dan membersihkan rumah, Syeden segera menghubungi beberapa orang yang bisa membantu mereka menyiapkan peralatan di rumah, sebab mertuanya dinyatakan stroke ringan.

Skyline membantu omanya menyiapkan makanan, sebab semua pasti lapar saat pulang dari rumah sakit nanti, sementara Reyner dan asisten rumah tangga membantu Tria bersih-bersih.

Satu jam kemudian, Tria sudah selesai bersih-bersih, dia pun akhirnya mandi dan bersiap untuk kedatangan papinya, Reyner yang sudah mandi menyelonong ke kamar dan menyisir rambut di cermin rias ibunya dan berniat meminta body lotion.

Tria mengernyit sebab ponselnya berdering dan itu nomor asing yang belum disimpannya.

"Bibi Tria"

"Ya"

"Ini Hazzel"

"Lho, kenapa Zel"

"Nenek, nenek udah ga ada, setengah jam yang lalu" Ujar Hazel di sambungan.

Tria tertegun sejenak, kemudian menyatakan bela sungkawa dan menanyakan perihal pemakaman. Tak lama dia keluar untuk mengabarkan kepada Syeden mengenai berita duka tersebut.

Syeden baru menimbang kapan waktu yang tepat untuk ke sana, mengingat ayah mertuanya juga akan pulang dari rumah sakit, namun Tria segera pergi saat itu juga, bahkan menyetir sendiri membuat Skyline dan Reyner kebingungan. Reyner hendak membahas ini dengan Syeden, namun pria itu memberikan gesture biarkan saja. Jadi Reyner hanya melanjutkan persiapan penyambutan kepulangan opa mereka.

***

Empat jam kemudian Pak Damar pun pulang dengan kursi roda, orang tua sepuh itu hanya diam dan tampak lesu, namun berusaha untuk terlihat tak apa meskipun dia kini tak dapat lagi berjalan dengan lincah seperti biasanya.

"Tria kemana Se?" Tanya Perdana

"Ke rumah Yolie" Ujar Syeden sambil menyiapkan tempat tidur mertuanya.

Pak Damar sempat melirik pembicaraan mereka.

"Ngapain?" Kakak sulung itu bertanya dengan heran

"Bundanya Yolie nggak ada pagi tadi"

"Innalillahi, kenapa?" Tanya dia lagi kali ini sambil mengode Syeden untuk bersiap mengangkat pak Damar.

"Sepertinya sakit, sewaktu papi dirawat, bundanya Yolie masuk ICU, kami sempat menjenguk juga" Jawab Syeden yang kini membetulkan posisi mertuanya.

Syeden hendak beranjak, tapi tiba-tiba lengannya tertahan oleh tangan rapuh itu.

Pak Damar bersusah payah mengatakan kepada menantu bungsunya, sehingga Syeden harus lebih mendekat.

"Papi mau melayat" Ujarnya lemah

Diliriknya Pradana, sebab Syeden tak berani memutuskan apapun.

"Pi, papi kan masih sakit"

"PAPI MAU NGELAYAT!" Kini orang tua itu terlihat setengah marah sebab Dana tak mengizinkannya melayat.

Syeden dan kakak sulung Tria itu pun saling berpandangan.

***

Jenazah Ibu Miranti akhirnya sampai di rumahnya. Tria membawa pulang Bhia dan anak-anak perempuannya, sementara Yolie dan Hazzel berada di ambulance. Rumah sudah sedikit ramai dengan keluarga mereka yang Tria tak kenal.

Tapi perempuan itu mengenali rumah kecil itu dengan sangat baik.

Tak banyak yang berubah. Tria mengeratkan pelukannya pada Bhia yang menangis tersedu, dia mencoba menenangkannya sambil dibawa masuk ke dalam rumah.

Mungkin sudah 30 tahun berlalu sejak dia tak menyambangi rumah itu. Namun rasanya masih terhubung. Terbayang dulu masa SMA dan kuliahnya, rumah itu bahkan serasa rumahnya sendiri. Bhia mengajak Tria untuk masuk ke kamarnya dan Yolie, yang tak lain adalah kamar Yolie di masa muda, jantung Tria berdetak tak karuan, rasanya sungguh sedih dan sakit sebab semuanya mungkin berawal dari sini.

Dia menghela nafas ketika duduk di ranjang besar itu. Semua furniturenya berubah, tapi Tria merasa dia tersedot di masa lalu, sewaktu dia duduk di ranjang kecil Yolie sambil membaca majalah dengan seragam abu-abu putihnya, dan tak lama anak laki-laki itu datang setelah mengantarkan teman-temannya pulang, tersenyum diambang pintu dan menyapanya dengan senyuman terbaik.

"Bhia"

Tria tergagap dalam lamunannya, di ambang pintu, Yolie di sana, dia bukan anak SMA lagi, dia kini pria 50 tahun dengan kehidupan baik luar biasa dan sedang memanggil istrinya, yang bukan dia.

Sesaat pandangan dua orang itu bertemu, se persekian detik mereka kembali ke masa lalu dan angan itu buyar sebab realita tak seberjodoh itu.

Yolie mendekati mereka dan membicarakan tentang persiapan pemakaman. Dia berencana akan memakamkan mamanya esok hari sehingga persiapannya lebih matang.

Tak lama Syeden datang sebab Tria memintanya untuk menjemput, karena dia kini terlalu tremor untuk berkendara, kemungkinan karena lapar.

Pasangan itu pun pamit dan berjanji akan datang esok hari langsung ke pemakaman.

"Mau makan dulu?" Tanya Syeden yang tadi datang diantar sopir kakak iparnya.

Tria mengangguk, ingin melupakan secuil kenangan masa lalunya yang tiba-tiba muncul. Dia merasa hal itu seharusnya tak perlu, bertahun-tahun ini dia dan Yolie pun sudah bahagia dengan takdir masing-masing, jadi apa lagi yang perlu disesalkan.

"Mau makan apa? Bubur?" Syeden tahu bahwa Tria sedang memikirkan sesuatu, hampir 25 tahun berumah tangga, tentu saja dia memahaminya. Bubur adalah comfort food perempuan itu, Tria selalu menyantapnya ketika tak enak badan, nervous, sedih, atau saat dia tak bisa makan apapun.

Lagi-lagi Tria mengangguk, kemudian meminta Syeden untuk mengikuti arahannya dalam berkendara.

Di pojokan alun-alun balai kota, ada sebuah pohon beringin rindang dan di dekatnya ada sebuah warung bubur ayam kecil dengan bangku-bangku plastik di bawahnya. Jika tidak sedang liburan sekolah, tempat ini ramai pelajar dan mahasiswa, pasti jam segini sudah habis. Namun karena ini musim libur pelajar, Tria yakin kalau buburnya masih.

Selesai memesan Tria dan Syeden pun memilih duduk di bangku yang terdapat meja kecil di depannya.

"Kamu belum pernah ngajak aku ke sini, ini baru?" Tanya Syeden sambil memperhatikan warung sederhana itu.

"Enggak, ini lama dan legend, mungkin sudah beberapa keturunan yang jual, tapi masih gini-gini aja ya" Balas perempuan yang sudah memakai setelan hitam-hitam itu sambil membuka kaca matanya dan dimasukkan ke dalam tas tangannya.

"Biasanya kamu selalu ngajak aku ke semua tempat legendaris di Kota S" Ujar Syeden sambil mengangguk mengucapkan terimakasih kepada pelayan yang mengantar bubur mereka.

Tria tidak langsung menjawab, dia sedikit berpikir untuk mengatakannya.

"Dulu aku sering ke sini, setiap hari minggu, nunggu Yolie pulang dari gereja" Ujarnya seperti menahan sesuatu.

Syeden menghentikan suapannya, ia mencoba menelisik ke mana arah kegundahan istrinya.

"Kapan terakhir ke sini?"

"Hari terakhir aku ketemu Yolie, sebelum aku ... ketemu kamu" Jawab Tria sambil mencoba mengingat apakah rasa bubur ini tetap sama atau tidak.

"Maksudnya, hari di mana kamu putus dengan Yolie?"

Tria mengangguk, dia sedikit ragu, apakah sopan mengungkit masa lalu di depan suami sendiri, dia tak pernah menceritakan apapun mengenai Yolie, mereka tak pernah membahasnya secara gamblang, sebab masalah mereka saja sudah banyak.

Kedua orang yang sudah tak bisa dianggap muda itu kembali terdiam.

Usia setengah abad, tidak membuat keduanya lupa tentang apa yang terjadi di kala muda. Cemburu, jatuh cinta, kenangan dan rasa sakit hati, bisa dirasakan semua.

"Se, aku minta maaf untuk mengatakan hal-hal ini, jujur perasaanku sungguh tak enak mengenai bunda, aku ingin sedih dan menangis, tapi takut kalau itu menyakiti perasaan semua orang"

"Maksudnya?"

"Kau tahu hunganku dengan papi mami kan? Aku pernah membahasnya, terasa hampa dan biasa saja, bukan karena aku tak menyayangi mereka dan mereka tak menyayangiku, I just feel numb, kenapa aku tak khawatir, tak sedih , bahkan merasa tak dibutuhkan ketika papi sakit seperti ini dan mengapa justru ketika bunda, yang bukan bundaku kritis dan ini lebih buruk, bunda udah nggak ada Se, aku harus gimana? Aku nggak ngerti sama perasaanku, aku punya rasa penuh penyesalan, mengapa aku tak pernah menemui bunda ketika dia ada, apa yang aku takutkan, aku bertemu Yolie setiap hari saja aku tak masalah, tapi hanya melihat fotonya saja membuatku gundah dan merasa tak enak"

Syeden mendengarkannya dengan saksama, kemudian meneguk kopi tubruknya perlahan. Usia membuatnya semakin bijaksana, dia mulai meraba di mana letak masalahnya, mungkin ini bukan soal masa lalu Yolie dan Tria yang tentu saja tak pantas untuk diungkit, tapi ini soal bagaimana permasalahan antara mereka yang melibatkan banyak orang, tak diselesaikan dengan baik.

"Di masa remajamu kamu dekat dengan bunda?"

"Sangat, dia beri aku banyak kasih sayang yang nggak pernah bisa aku rasakan dari papi dan mami, bunda yang ngajarin aku masak, bunda yang ngajarin aku jahit, main gitar, dan hal-hal kecil lainnya yang menurut papi nggak ada gunanya sebab tugasku hanya belajar, jadi ingatanku soal papi mami itu hanya tentang mereka yang menyuruh aku belajar, aku sudah pernah cerita kan?"

Syeden dan Tria kembali terdiam dan menghabiskan buburnya. Tak lama mereka membayar dan masuk kembali ke dalam mobil.

Syeden menghidupkan pendingin, hari sudah agak siang. Mereka sedikit berbicara mengenai kondisi kesehatan papi. Syeden sudah hampir mencapai gang rumah mertuanya, namun kemudian dia memutar kembali setirnya. Tria sedikit bingung.

"Mau ke mana lagi?"

Pria itu menghela nafas

"Muter-muter aja"

"Kamu marah ya, karena aku bilang tentang semua hal tadi?" Rajuk Tria

Syeden terkekeh

"Hei, kita sudah tak muda, kamu sadar diri donk, masak iya kita marahan gara-gara seperti itu!"

"Florentino Arriza bahkan masih mencintai dan menunggu Fermina Dazza sampai usia 60 tahun" Ujar Tria sambil mengingatkan suaminya pada sebuah novel yang sangat dia sukai.

"Nha, kalau ini bikin aku marah, kamu mau aku mati duluan seperti Dr. Urbino yang terhormat, terus kamu digebet Yolie? Gitu? Maksud kamu? Dasar wanita picik!" Tukasnya melirik perempuan yang sekarang terkekeh itu.

"Amit-amit Se, segoblok gobloknya aku di masa lalu, aku bisa membedakan yang mana yang bisa menguntungkan dan yang tidak!"

Keduanya kemudian terkekeh, dan semuanya kembali hening ketika tawa itu habis.

"Ini mau ke mana kita?" Tria kembali bertanya.

"Aku jadi berpikir, mungkin semua rasa tak nyaman yang selama ini kamu rasakan, bisa jadi berawal dari semua rentetan peristiwa di masa lalu, kesalahan-kesalahan yang hanya kamu tinggal lalu tanpa penyelesaian yang sempurna"

"Maksud bapak apa ya?"

"Waktu itu semua terjadi dengan cepat nggak sih? Kamu putus dari Yolie, kamu ketemu aku terus kita nikah dan yah ... semua berlalu gitu aja dengan cepat, apa kamu pernah membicarakan dengan Yolie secara baik-baik tentang apa yang sebenarnya terjadi? Aku bahkan nggak paham gimana kalian putus , cuma katanya katanya" Kata Syeden sambil memutar arah yang entah mereka akan ke mana.

Tria menghela nafas sejenak.

"Di usia sekarang, yang mungkin Skyline dan Reyner sedang mengalami krisis percintaan mereka, kamu baru mau tahu apa yang terjadi?"

"Aku selalu ingin tahu babe, tapi kamu yang nggak pernah kasih tahu, ya kan? Kamu ingat kita pernah berantem kacau banget waktu itu gara-gara perkara kamu sembunyiin fakta soal Yolie? Mantan sialan kamu itu?"

"Damn, jangan diingat ingat!"

"Aku bakalan terus ingat, kalau aku mati aku bakal aduin kamu ke Tuhan"

"Enak aja, aku juga bisa lebih ngadu, kamu hampir aja ngelakuin hal yang ga senonoh ke aku, untung kita nikah!"

"Iya, untung kita menikah" Ujar Syeden.

"Alhamdulillah kita menikah" Kata Syeden menegaskan lagi, membuat Tria mengecupnya saat mereka berhenti di lampu merah.

"Zaman sekarang kalau ada perempuan seperti kamu, kata Reyner, namanya cegil"

"Tapi aku ibu-ibu setengah abad"

"Jadi bugil!"

Mereka tergelak

"Jadi kapan kamu mau bugil? Nanti malam? Ku rasa nggak etis kalau kita melakukannya sementara papi barusan pulang dari rumah sakit dan di rumah banyak orang seperti itu"

"God damn Se! Kamu sinting?"

Syeden tergelak, senang menggoda istrinya. Tria terus mengomel dan pandangannya lurus ke jalanan sepi di weekday itu.

Sejenak kemudian Tria kembali menatap Syeden.

"Apa? Aku ganteng?" Usil lelaki yang matang, keren , berwibawa itu.

"Eh tapi" Tria menghentikan sendiri kalimatnya.

"Eh tapi apa?" Ujar Syeden terus menggodanya.

"The tension will be great, I gues!" Kata perempuan itu 50 tahun yang ditakuti pegawai-pegawainya itu nakal.

"Nggak cocok! Terlalu sepuh!" Kata Syeden tertawa bahagia.

Mereka terus menggoda satu sama lain, seolah tidak ingat bahwa beberapa bulan sebelumnya keduanya menderita krisis lansia.

"Eniwe, kita mau ke mana sebenarnya?" Tanya Tria untuk kesekian kalinya.

"Ke mana saja, ke tempat yang membuatmu selesai dengan usan psikologi di masa lalu"

"Biar apa aku harus selesai, bukannya sudah" Tria sedikit enggan melakukannya, dia merasa jauh lebih baik saat ini, meskipun jika teringat akan kepergian bunda Yolie, sebelum dia sempat menjelaskan atau berkata apapun, hatinya terasa sedikit perih.

"Yakin nggak mau? Atau tempatnya nggak ada?" Tawar Syeden lagi.

"Ada, tapi aku tak mau, kita pulang saja, aku ingin mencoba memperbaiki hubunganku dengan papi"

"Baiklah cantikku, ayo kita pulang"

***

Tawa dan keramaian bergemuruh dari rumah yang biasanya sepi menyisakan dua manula itu. Apalagi keluarga itu sudah punya setidaknya dua cicit yang menggemaskan. Reyner senang bermain dengan keponakan-keponakan balitanya, sementara Skyline asyik membuat kue dengan Budhenya.

Sementara itu Tria menjaga ayahnya di kamar, dia tak melakukan apapun. Syeden memintanya untuk tidak memegang pekerjaan sedikitpun. Demi curhatan masalalunya yang super sensitif, Tria menuruti suaminya.

Lagi pula dia dan Gianna sudah mulai mempersiapkan regenerasi untuk perusahaan mereka. Mungkin ini transisi yang terbaik.

"Papi sudah makan?" Dana membuka pintu kamar dengan pelan.

"Sudah Mas, tadi aku suapin" Kata Tria sambil memperhatikan ayahnya dari sofa tempat duduknya yang baru tadi dibawa ke kamar itu.

"Bundanya Yolie kapan dimakamkan?" Tanya Dana

"Besok, mas, mas Dana mau ngelayat?"

"Papi tadi minta ke sana, tapi nggak mungkin kan?"

"Kenapa papi pengen ke sana? Setauku papi bahkan nggak kenal sama bundanya Yolie, mas kan tahu sendiri, dulu kan ..."

"Kamu masih ingat hari itu?" Dana memotong kalimat Tria

"Ingatlah, mana mungkin aku nggak ingat" Tria tersenyum getir

Dana terdiam, menarik nafas panjang, masih terbayang dengan jelas kekacauan yang terjadi di malam itu. Malam di mana pada akhirnya Tria dan Yolie akhirnya tak bisa bersama lagi.

Malam yang ingin sekali dilupakan oleh keluarga ini, sebab menorehkan perasaan luka bagi semua. Tria hanya merasa terluka sendirian, hingga saat ini keluarganyapun masih merasa bersalah padanya dan Yolie.

"Kapan kamu terakhir ketemu bundanyaYolie?"

"Terakhir?" Tria tersenyum lagi, kemudian melanjutkannya.

"Terakhir aku bertemu bunda, adalah beberapa hari sebelum aku dan Yolie berpisah"

"Ya tuhan, kok bisa? Bukannya hubunganmu dan Yolie menjadi sangat dekat sampai sekarang?" Dana benar-benar tak menyangka.

"Aku kira bunda benar-benar tak bisa datang ketika ku undang ke pernikahanku, aku kira sewaktu Bhia melahirkan Hazzel dan kami semua menjenguknya, bunda memang kebetulan sedang tak berada di rumah mereka, tak terhitung berapa banyaknya aku mengunjungi rumah Yolie, aku tak pernah bertemu bunda, aku pun entahlah mas, ada perasaan takut ketika bertemu dengannya, bukan takut, tapi tak bisa aku jelaskan." Tria mau tak mau kembali mengungkitnya.

"Kalian sebelumnya apa sangat dekat?"

"Yah, yang jelas lebih dekat dari hubunganku dan mami atau pun papi, selama jadi pacar Yolie, aku sudah menganggapnya orang tuaku"

Tria memandang lurus ke ayahnya yang masih menggunakan selang oksigen dan infus itu.

Dana begitu miris mendengarnya.

Bahkan hingga setua ini, Tria masih menyimpan rasa sakit itu.

"Tria ..."Terdengar suara serak memanggil, itu suara papinya.

Tria dan Dana pun segera mendekat.

"Tria" Ujarnya susah payah

"Iya pi, Tria di sini" Jawab Tria

"Tadi pulang jam berapa?" Tanya lelaki itu, membuat Dana dan Tria saling berpandangan.

"Dari tadi Tria di sini, Pi" Jawab Triasedikit bingung.

"Yolie sudah pulang?" Ujar ayah itu serak

Tria dan kakak sulungnya sedikit bingung.

"Yolie kan nggak ke sini, pi, bundanya meninggal, dia nggak bisa ke sini jenguk papi" Jawab Dana

"Bundanya meninggal, terus siapa yang bayar kuliahnya? Suruh dia cepat lulus dan kerja!"

Kali ini Tria dan Dana mulai paham jika ayahnya melantur.

Saat itulah Syeden masuk ke kamar.

"Ada apa?" Tanya Syeden

Papi hanya memandangi Syeden dengan tatapan curiga.

"Bapak siapa?" Tanya papi

"Papi, ini Syeden, suami Tria" Jelas Dana

"Suami? Tria barusan lulus kuliah, pacarnya belum lulus!" Semakin kacau lah percakapan ini.

"Tadi siang papi sudah begini mas?" Tanya Syeden.

"Tadi habis maghrib aku suapin papi, masih biasa kok Se, masih nanyain cicitnya" Jawab Tria.

"Panggil dokter deh!" Ujar Syeden.

***

Semua anak dan menantu Pak Damar berkumpul di kamar, menunggu dokter Gamalia spesialis syaraf memeriksanya. Dokter itu cukup sibuk, tapi Syeden bisa mengusahakannya.

"Bapak, putranya ada berapa?" Tanya dokter itu dengan sabar.

"Tiga"

"Siapa saja namanya?"

"Pradana, Dwina, Satriarti, ini istri saya" Ujar Pak Damar sambil terus memegangi tangan istrinya.

"Oh baik, kalau ini siapa, Pak?" Lalu dokter itu memunculkan para mantunya.

"Ini ... ini , oh ini calon suaminya Dwina, kalau ini pacarnya Dana" Katanya sambil menunjuk kedua menantunya lalu mengernyitkan dahi ketika sampai di Syeden.

"Ini siapa , Pak?" Tanya dokter Gama

Pak Damar menggeleng.

"Mbak Tria sekarang kelas berapa Pak?" Pancing dokter itu.

"Kok kelas berapa? Tria sudah lulus, cumlaud dia! Tria itu paling pinter, tapi nggak tau kenapa kok nggak pernah lolos beasiswa!"

Jantung Tria terasa sangat sakit ketika mendengarnya, seluruh ingatan masa lalunya dibawa oleh papinya, bukan hanya itu yang berkecamuk, mungkin ini pertama kali dalam seluruh kehidupannya dia mendengar sendiri bahwa papi memujinya, dia yang selalu kurang itu.

Syeden merangkul Tria, dia tahu istrinya sedang terpukul.

"Tria itu pinter, tapi nggak pinter cari pacar dok, pacarnya itu nggak lulus-lulus, kerjaannya ngeband, mana bisa dia hidup begitu, tapi anak itu semakin dilarang semakin menjadi, coba dokter kasih tahu dia, semua uwaknya bahkan sudah ribut Tria punya pacar beda iman"

"Pi, sudah papi sudah, papi sudah" Mami memegangi papi yang sedang menunjuk-nunjuk Tria.

Semuanya terpaku dan syok serta sedikit bingung.

"Dokter saya rasa cukup ya, ini papi kami ada apa sebenarnya" Akhirnya Dwina berbicara.

"Ini papinya kena demensia, tapi Alhamdulillahnya masih bisa ngenalin keluarga inti, kemudian ingatannya itu sepertinya berhenti di masa Mbak Tria lulus kuliah"

Kemudian setelahnya mereka berbincang mengenai penyebabnya juga perawatannya nanti.

Tapi Tria sudah tak tahan, dia segera pergi dari tempat itu dan masuk kamar, Syeden menyusulnya.

"Nggak papa kalau mau nangi, nggak papa" Pria itu merengkuhnya dan membenampak istrinya pada dadanya yang masih bidang dan masih selalu menjadi tambatan.

Tangis Tria pecah, betapapun sampai kapanpun hingga sudah sesukses ini papinya selalu berakhir dengan menganggapnya sebagai anak yang mengecewakan. Bahkan kenangan terakhir papinya berhenti pada sebuah masa yang kelam dan menyesakkan.

Tria tak bisa membendung lagi rasa sakit dan kecewanya, tangis pulunya menggema ke seluruh penjuru rumah, di mana masa-masa itu terjadi.

Suaranya membawa ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, dan semua yang ada di rumah ini membangkitkan kenangan diamnya.

***

Mereka semua sudah berpakaian serba hitam, hari ini adalah pemakaman bunda Yolie. Keluarga Syeden Sumanjaya adalah tamu pertama yang duduk di bawah tenda keluarga, bahkan mereka menjadi among tamu dalam acara duka ini.

Siapapun tahu hubungan keluarga Yolie dan Syeden sangat erat. Kaisan pun datang menyusul sendirian sebab dia mendadak terbang dari Italy. Setelahnya yang lain datang, sahabat-sahabat Yolie, sejak SMA dulu.

Tria duduk di sebelah Bhia, wajahnya lebih tegang dari kemarin. Dia tak melepas kacamata hitamnya sebab matanya sangat bengkak akibat terlalu banyak menangis.

Yolie pun demikian, kata Bhia sejak semalam dia hanya ingin sendirian di kamarnya. Bahkan menyuruh anak dan istrinya tidur di hotel atau di kamar lain. Yolie sungguh terguncang, bundanya adalah segalanya, hanya bisa dibaginya dengan Bhia.

Selang berlalu, para pelayat pun mulai pamit. Begitu juga Tria dan Syeden.

Skyline dan Reyner masih tetap tinggal sebab Hazzel dan Zaya meminta mereka untuk menemani, ayah mereka sedang tak bisa diandalkan, jadi mereka butuh support system.

Maka kedua anak Tria dan Syeden itu pun ikut pulang ke rumah bunda Yolie. Masih banyak tamu yang ke sana, mereka sibuk membantu tante Bhia mengurus katering dan sebagainya. Di tengah -tengah kesibukan itu Yolie tiba-tiba pergi, pada saat keluar, dia berpapasan dengan Reyner.

Entah mengapa Reyner merasa sangat curiga, maka diikutilah mobil lelaki itu.

***

"Tawaranmu kemarin masih? " Tanya Tria melepas kacamatanya

"Tawaran yang mana?" Tanya Syeden

"Pergi ke tempat yang mungkin bisa membuatku menyelesaikan semuanya" Ujar Tria.

Syeden mengangguk, diarahkannya sedan hitam itu sesuai arahan Tria.

Keduanya melangkah ke dalam gerbang gedung sekolah yang sunyi karena sedang liburan itu setelah izin kepada satpam yang usianya tentu saja jauh lebih muda dari pada Tria.

"Ini SMA ku, sudah banyak berubah" Ujar Tria sambil menggandeng Syeden

"Aku selalu ingin kembali ke masa lalu dan menemukanmu sejak SMA" Kata Sang suami.

"Gombal, kenapa tidak dari bayi?" Tanya Tria

"Tidak, aku tak bisa jatuh cinta dengan perempuan yang pernah ku lihat pup di celana!"

"Se!" Tria tertawa hangat bersama suaminya.

Mereka semakin melangkah ke dalam, Tria nyaris tak mengenali gedung ini lagi, dia sedikit kecewa, mungkin ini bukan tempat yang tepat untuk menyelesaikan semua kenangan dan mengiklaskan masa lalunya yang terlalu pelik.

"Kau ingin melihat apa?" Tanya Syeden

"Ada sebuah hal, tapi aku tak yakin masih ada atau tidak" Ujar Tria dan langkah mereka kemudian terhenti di sebuah lapangan.

"Hmm... aku nggak bisa bohong lagi kalau aku sekarang cemburu, ternyata ikatan kalian masih sekuat itu" Kata Syeden tidak bercanda saat melihat di seberang sana terlihat Yolie sedang berdiri menghadap ke arah lain, masih dengan pakaian dukanya.

Tria hanya terdiam dan terpaku.

"Jika kau keberatan, kita pulang saja, aku tak apa" Kata Tria tapi Syeden menggeleng.

"Aku selalu percaya padamu, kau bisa lihat, bahkan sampai kini aku pun setia mendampingimu tanpa topeng apapun, fakta seperti lirik lagu Dewa 19, bahwa aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu itu tak bisa kau tampik" Ujarnya sambil menggandeng Tria perlahan melintasi lapangan.

"Tapi aku tahu Se, karena itulah aku pun mencintaimu seperti caramu mencintaiku" Mereka berbicara cinta sampai di usia senja, langkah keduanya terhenti di belakang Yolie yang sedang menghadap pohon jambu air yang berbuah lebat.

***

Reyner memukul kasar setirnya ketika dia kehilangan jejak Yolie, tapi pemuda itu tidak menyerah, tetap dicarinya Om Yolie, sebab dia merasakan sesuatu yang sangat tak wajar. Intuisinya yang tajam membenarkan bahwa ini pasti ada kaitannya dengan mominya.

Usahanya tak sia-sia. Reyner menemukan mobil Yolie terparkir di sebuah bahu jalan. Segeralah anak laki-laki Sumanjaya itu memarkirkan mobilnya juga di sebelahnya. Reyner segera turun dan menanyai orang-orang sekitar apakah mereka sempat melihat Yolie, dengan menunjukkan foto teman ayah ibunya itu.

Salah seorang penjual rokok berkata bahwa orang yang dia maksud tadi masuk ke dalam SMA di seberang jalan.

Tak menunggu Reyner pun menyusulnya.

Tak perlu susah payah untuk izin kepada satpam, sebab setelah menunjukkan foto Yolie, Reyner segera diizinkan masuk.

Reyner ingin tahu apa yang dilakukan Yolie di SMAnya dulu, tentu saja SMA yang sama dengan ibunya. Sangatlah tak lazim untuk seseorang yang baru saja menguburkan ibunya malah pergi untuk reuni, dan mana ada reuni di sini.

Setengah berlari Reyner semakin ke dalam dan benar saja, sesuatu yang ada di dalam benak terdalamnya, kenyataan yang sangat dia tak harapkan itu terjadi. Meskipun dari kejauan dia bisa melihat, ibunya, Tria, dan Yolie sedang duduk di bangku menghadap ke arah sebaliknya, Rener ingin segera menghampiri namun langkahnya tertahan saat melihat kedua orang itu berpelukan sangat erat dan mendalam.

Reyner sudah sering melihat Tria dan Yolie berpelukan, namun tak seperti itu, setelah Yolie mabuk dan memanggil-manggil namanya, setelah ibunda dari Yolie meninggal, dan setelah semua keanehan di antara mereka berdua. Reyner muak!

Dia memutuskan untuk kembali ke rumah dan membawa amarahnya, dia akan mengadili ibunya sendiri. Di rumah.

***

Syeden mendadak harus kembali ke Kota J bersama Kaisan. Mereka tak bisa lagi menunda hal yang sangat penting meskipun Yolie sedang berduka.

Hujan turun dengan deras dan Tria belum kembali.

Reyner menunggu dengan rasa kesal di hatinya, dia enggan kembali ke rumah Yolie meskipun Mik memintanya.

Hujan badai membuat suasana muram, ini di bulan yang sama, seperti waktu itu.

Saat Yolie mengantar Tria pulang untuk terakhir kalinya.

Tapi kali ini berbeda, mata keduanya sudah sembab dan Yolie hanya mengantar istri Syeden Sumanjaya itu sampai di pagar putih rumah orang tuanya.

Pagar putih yang sama, di mana pertama kali Yolie yang berbaju putih abu abu, berkenalan dengan Pak Damar, ayah Tria.

Mobil Yolie berlalu, Tria melongok dan memastikannya menghilang di tikungan, sesaat dia melihat kembali bayangan dirinya terjatuh, demi mengejar mobil kekasihnya waktu itu dengan seluruh remuk hatinya.

Tria mengeratkan kepalan tangannya, berharap kini Syeden menggandengnya dan menenangkannya,bahwa semua sudah berakhir berpuluh tahun yang lalu dan bahwa dia tak perlu lagi memanggul beban kesalahan demi kesalahan, sebab dalam kehidupan, kita perlu melepaskan beberapa hal , sebab tak mungkin membawa semuanya.

Tria memaknai hujan dan pertemuannya dengan Yolie kali ini dengan berbeda, semua sudah ditinggalkannya di bawah pohon jambu ayang akan segera ditebang itu atas permintaan mereka berdua.

Segalanya sudah mulai terangkat.

Ketika Tria berbalik, betapa kagetnya dia. Seolah melihat Syeden di waktu mudah dengan tatapan yang mengerikan, penuh cemburu dan siap mencabiknya setiap waktu.

"Ya Tuhan Reyner! Kenapa kamu ngagetin!" Tria nyaris jantungan melihat putranya seperti itu, tapi Reyner tidak bercanda, dia mengikuti Tria sampai masuk kamar dan bahkan menguncinya.

Tria sempat keheranan, dia hendak bertanya tapi Reyner mendahuluinya.

"Momi selingkuh sama Om Yolie?"

"Apa?" Tria mengernyit tak paham.

"Jawab Mi!"

Tria hanya terdiam mencoba memahami apa yang baru saja dia dengar.

"Momi tau nggak? Tiap kali mabuk Om Yolie ngigauin nama mommi? Nggak pantes mommi begitu, pikirin papi, pikirin tante Bhia Mi, mau ditaruh di mana muka keluarga kita, ya tuhan momi for God Sake!" Reyner tidak membentak tapi dia sangat marah, semua perkataannya penuh intimidasi, dia memang titisan ayahnya sendiri.

"Kamu nggak ngerti apa-apa!"

"Oh aku nggak ngerti! Makanya aku tanya! Jawab Mi!"

"Reyner, mommi akan cerita tapi tak sekarang!"

"SEKARANG ATAU NANTI SAMA SAJA!" Reyner tak tahan lagi, membuat semua saudaranya yang sedang berada di luar menoleh ke kamar itu.

"JANGAN BENTAK MOMI! KELUAR KAMU SEKARANG!" Tria pun bukan tipe ibu penyabar.

Reyner hanya diam

"KELUAR!" Tria semakin histeris, Reyner pun terguncang dan memilih keluar kamar kemudian pergi dengan sopirnya dan tidur di hotel.

***

Reyner membuka matanya karena tiba-tiba ada suara alrm ponsel berbunyi, padahal dia yakin, dia tak memiliki nada dering seperti itu.

Matanya sungguh berat, semalam dia terpaksa minum sebab merasa sangat kesal dengan semua fakta yang menurutnya nyata.

"Bangun"

Reyner tersikap dan perlahan mengumpulkan nyawanya. Pemuda itu mengerjabkan matanya dan tak lama dia baru menyadari bahwa Satriarti Damarjati Sumanjaya yang tak lain adalah ibunya sedang duduk di kursi tepat di sebenarng ranjang kingsize itu.

"Mommi?" Ujarnya kebingungan

Tria melemparkan satu setel track suit milik Reyner ke arah anak muda itu.

"Pakai!" Ujarnya tegas.

Reyner pun tergagap, kemudian pamit ke kamar mandi untuk membasuh muka dan berganti baju, bahkan Tria pun membawakan sepatu jogging untuknya.

Hari masih pagi berkabut di Kota S, kota kelahiran Tria yang menjadi saksi bisu masa-masa mudanya. Anak dan Ibu itu masih saling diam sementara sopir mereka melajukan mobil mewah itu ke sebuah perbukitan agak jauh dari kota.

Semalam hujan deras, pagi sungguh dingin, aroma pohon cengkih menyeruak membuat indra mereka merasakan sensasi yang berbeda.

Padang ilalang itu nampak kurang indah.

Reyner bingung, mengapa ibunya meminta sopir mereka untuk meninggalkan mereka di sana.

"Dulu mom dan Daddymu pernah bertengkar hebat di sini" Ujar Tria sambil melangkah kecil-kecil menyusuri jalanan sepi itu.

Reyner masih diam mengikuti ibunya.

"Mommi nampar daddy sampai dia linglung, sebab sudah mengatakan hal yang begitu menyakitkan, kamu hampir saja tak jadi menikah, meskipun rukun kembali perjalanan kami semakin terjal"

Tria kini mengajak anaknya untuk masuk ke semak-semak itu.

"Terus mommi kenapa bawa aku ke sini? Jangan bilang mommi juga pernah berduaan sama daddy di sini?"

"Bukan dengan daddy, tapi dengan Om Yolie"

Reyner tak bisa bicara lagi, dia sungguh takut dengan apa yang akan didengarnya.

Tria tersenyum dan terus melangkah ke dalam. Hingga mereka mencapai ujung bukit itu, di mana mereka bisa melihat seisi kota.

Reyner sedikit tersikap.

"Do you mind to sit here?"

Tanya Tria yang begitu saja duduk di atas rumput basah itu, tentu saja Reyner tak punya pilihan, selain untuk ikut duduk.

Pemuda itu semakin ingin tahu tentang apa yang akan mominya sampaikan.

"Mommi mau berterima kasih dulu ke kamu dan Skyline, kalian menjalani kehidupan dengan baik, kalian anak yang sangat baik dan mommi bersyukur untuk itu"

Perasaan Reyner menjadi semakin tak enak, dia sudah membayangkan bahwa setelah ini Momminya akan berkata bahwa dia dan ayahnya akan bercerai sebab sibuk selingkuh dengan Om Yolie.

"Langsung saja ke intinya, mom!" Reyner mulai kesal.

Tria menghela nafas dalam, Reyner memang anaknya dan Syeden, tidak sabaran.

"Baiklah, seperti keinginanmu semalam, momi akan menceritakan, sesuatu yang terjadi, antara momi dan Om Yolie, di masa lalu, mungkin ini sebuah rahasia ... "

Bersambung 🌼

Dear readers

Ceritanya berlanjut di Karya Karsa ya, aku akan menaruh link pada chapter selanjutnya.

Jujur menulis bagian pembuka ini sangat menguras energiku.

Tapi aku benar-benar menulisnya sepenuh hati, semoga kalian suka dan membaca kelanjutannya di Karya Karsa, klik link di bioku ya.

Thank you so much.

Minaya 🧡

Continue Reading

You'll Also Like

920K 170K 54
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...
453K 2K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
570K 22K 47
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
1.4M 72.4K 69
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...