EPHEMERAL [M]

By cleonoona

786 34 6

Apa yang salah dari cinta semacam ini? Bahkan seluruh dunia menyudutkan dan menuding kita berdua, seolah kau... More

Prolog
Sorrow
He Came
Half Boiling (⚠️18+)
Deal With It
Beginning

Start From Here (⚠️18+)

106 7 5
By cleonoona

Please, jangan jadi silent readers!
Tinggalin jejak vote dan komen

Apresiasi kecil buat author biar makin cepet update <3

Jangan lupa follow!
  
  
  

 

 
  
  
     Suara alunan musik klasik jazz mengalir lembut di telinga hingga menimbulkan sensasi aneh yang nyaman— sensasi ingin memejamkan mata lalu terkapar tidur, bagian tidur yang dimaksud di sini adalah bercinta. Bagaimana tidak, bar mahal kelas atas itu selalu menyediakan suasana fantastis dengan rasa minuman yang super lezat dan tentunya hanya bisa dibeli oleh para manusia bermobil minimal Mercedes Benz.

     Tidak seperti bar murahan pada umumnya yang terlalu ramai dan heboh dengan dentuman musik-musik keras. McTerra Roscoe— bar milik seorang pengacara terkenal di West Phynestone bernama Kim Namjoon, teman bisnis Tuan Arthur dan Min Yoongi itu sudah dikelola dengan baik sejak tahun 2003. Setara bar profesional. Like owner like business, itulah pepatah yang cocok untuk seorang Kim Namjoon— yang sekarang presensinya sedang duduk di sofa merah maroon, dengan kaki menyilang bertumpu di atas kaki satunya, bersama tiga pria dan satu wanita. Botol anggur serta gelas-gelas mahal memenuhi meja mereka.

"Maaf aku benar-benar tidak bisa datang di hari pemakaman Tuan Arthur," ucap Namjoon penuh penyesalan. "Sebagai gantinya, aku akan mengirimkan guci terbaik, pembuatnya seorang seniman kenalanku orang Australia. Kudengar, sebagian abunya akan kalian simpan sendiri?"
Yoongi menunjuk Aera dengan dagunya. "Permintaan adikku."

     Namjoon beralih menatap wanita yang duduk di samping Luca sambil menyesap segelas anggur dengan tenang tanpa mau terlibat obrolan ringan mereka sama sekali.

"Aku turut berdukacita, Nona Aera. Bisakah aku mengirimkan guci untuknya sebagai penghormatan terakhirku?"

     Aera melepaskan gelas dari bibir lantas tersenyum manis ke arah Namjoon. Tangannya masih memegang ujung gelas sambil diputar-putar pelan.

"Tentu saja, Namjoon-ssi. Kau manis sekali, kami akan sangat menghargai itu. Terima kasih sudah menjadi rekan bisnis yang baik untuk Tuan Arthur."

     Tiba-tiba Kim Taehyung yang sedari tadi sibuk menunduk menatap layar ponselnya dengan bibir yang sesekali mengangkat puntung rokok untuk dihisap dalam-dalam— memekik frustasi tanpa sebab. Seperti orang yang kehabisan akal. Wajahnya begitu kesal dan tersirat akan muak.
     "Aku benci sekali dengan pelaku seperti ini, dia sangat cerdas."

     Keempat manusia di meja itu spontan menoleh secara bersamaan dengan wajah penuh tanda tanya, terutama Kim Aera. Apa maksud dari ucapan Taehyung?

"Apa maksudmu, Taehyung-ssi?" pada akhirnya Kim Aera tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Pelaku ini sangat profesional, aku yakin dia adalah pembunuh bayaran dan ada dalang asli di balik kasus ini."
"Dalang?"

     Aera menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangan. Ia langsung tertular oleh rasa frustasi Taehyung. Ayolah, setidaknya permudah saja kasus ini. Toh sudah tidak ada lagi yang tersisa dari ayahnya selain harta dan tahta. Anggap saja begitu.
     Titik-titik keringat dingin mulai muncul di pelipis dan dahi Aera. Seperti biasa, jika sedang gelisah atau marah, wanita itu akan berkeringat.
     "Noona, kau baik-baik saja?"
     Aera mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Luca yang mulai menunjukkan tatapan cemas.

"Kau tampak pucat."
Aera menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Luc."
"Apa kau mau pulang saja? Biar kuantar."
"Tidak... aku baik-baik saja," Aera mengisi penuh gelasnya dengan anggur lalu meminumnya hingga tandas. "Aku hanya butuh ini," lanjut wanita itu seraya tersenyum meyakinkan.
Namjoon berdehem. "Nona Aera, jika kau butuh kamar kosong, ada di atas. Maksudku, jika kau ingin beristirahat sejenak."
"Terima kasih, Namjoon-ssi. Di sini sudah cukup."

     Namjoon tersenyum lalu menatap satu persatu wajah ke empat manusia di meja itu, berpamitan untuk menyapa rekan bisnis lainnya yang juga menjadi pengunjung di bar miliknya.

"Jadi, Detektif Kim, bisa kau jelaskan maksud dari kata-katamu tadi?" pinta Yoongi.
"Baik, akan sedikit kujelaskan. Sebelumnya aku akan memberi gambaran terlebih dahulu tentang sosok pembunuh bayaran ini— dia cerdas, berpengalaman lebih dari 10 tahun, itu dilihat dari caranya menghilangkan semua jejak yang bisa dicurigai dan digunakan sebagai bahan investigasi, dia menyelesaikannya dengan sangat bersih, tidak ada sidik jari, air liur, bekas keringat, helai rambut, bahkan debu bekas sepatu sekalipun. Dia benar-benar seperti hantu."

     Luca dan Aera hanya diam menunggu penjelasan berikutnya. Tidak berusaha bertanya karena tentu mereka paham betul Kim Taehyung itu jam terbangnya sudah tinggi dan perangainya seperti AI (Artificial Intelegence) alias kecerdasan buatan di zaman sekarang. Seolah-olah selalu mampu peka dan mengerti apapun keinginan manusia di sekitarnya tanpa harus membuat mereka bertanya lebih banyak.
     "Dan maaf aku harus mengatakan hal ini," lanjut Taehyung membuat kepala Aera sedikit berdenyut lantaran pening karena dirasa kasus ini akan semakin tidak tahu diri saja, alias akan sangat panjang waktu investigasinya.

"Sepertinya, dalang dibalik pembunuhan Tuan Arthur adalah orang dekat."
Yoongi mengangkat alisnya. "Orang dekat?"
"Ini masih pradugaku, aku akan berusaha sesegera mungkin untuk meningkatkan investigasinya agar secepatnya menemukan bukti baru."
"Tapi... orang dekat? Siapa?"
Taehyung menggeleng pelan. "Mungkin untuk pertanyaan itu bisa kau simpan dulu, Yoongi-ssi. Karena aku yakin nanti di saat waktunya datang, hanya kau lah atau Nona Aera yang bisa menjawab pertanyaan itu."

     Aera menarik napas lalu membuangnya dengan kasar. Kembali mengisi gelasnya lalu diteguk hingga tandas, dan begitu seterusnya, sampai ia benar-benar lunglai seperti tak bertulang, terbang ke awang-awang dengan segala mimpi buruk yang sedang menggerogoti pikirannya.
  
  
****
  
  
     "Hyung, apa kalian akan lama?" tanya Luca sambil melirik arloji mahalnya di pergelangan tangan kiri. Sudah pukul 22.30 Kst. Dan dua laki laki di hadapannya— Min Yoongi dan Kim Taehyung memutuskan untuk pergi ke rumah seorang mantan kepala detektif, dulu seniornya Taehyung, mereka pergi untuk meminta sedikit hal agar Taehyung bisa lebih cepat menyelesaikan kasus ayahnya.

"Mungkin aku akan kembali pagi buta nanti, atau bisa saja aku akan tidur di mansion terdekatku dan langsung pergi ke kantor."
Luca mengerutkan keningnya. "Jadi kau tidak akan pulang ke rumah?"
"Kurasa tidak. Bahkan perjalanan menuju ke kediaman mantan detektif senior Taehyung bisa memakan waktu 40 menit."
"Baiklah, kalau begitu aku akan membawa Aera Noona pulang."
"Tolong pastikan dia menggosok giginya sebelum tidur, Luc. Dan ingatkan maid agar membuatkan sup pengar. Atau ia bisa muntah semalaman jika dibiarkan begitu saja."
"Apa kau serius?" Luca menghela napas.
Yoongi terkekeh menanggapi reaksi Luca. "Dia bisa segila itu jika sudah mabuk."
"Baiklah."
"Tenang saja, semua maid di rumah sudah hafal dan akan membantumu."

     Luca hanya mengangguk pun kemudian menatap punggung Yoongi dan Taehyung yang sudah mulai menjauh lalu menghilang di balik pintu masuk bar. Kini tersisa mereka berdua di meja itu.
     Luca melirik Aera— sedikit iba. Wanita itu masih tertidur dengan pipi yang menempel di atas meja, mulutnya terus menggumamkan hal-hal aneh, dan bau alkohol begitu kuat menyeruak bercampur dengan aroma parfum dari tubuhnya. Wangi Sugar Cane dan Tonka Bean yang manis.

"Noona, kau masih sadar?"
"Eunghh?"

     Luca merasa bodoh sekali, sempat-sempatnya ia bertanya seperti itu. Sudah jelas Aera tampak begitu mabuk sampai hampir pingsan. Lantas ia segera mengalungkan tas kecil milik Aera di lengan kirinya dan bergegas memapah tubuh wanita itu.

"Noona, ayo kita pulang."
"Aah? Pu... lang?"
"Iya, pulang. Kau tidak berencana tidur di sini sampai pagi kan?"
"Pulang kemana? Aku tidak punya rumah."
Luca menyugar rambutnya ke belakang. "Kau wanita kaya, kau punya rumah besar dan mewah, kau juga seorang bos. Ayo kuantar kau pulang ke istanamu."
"Tidaaak, kau mengarang. Sejak kapan aku punya rumah? Itu hanya gedung kosong tak berpenghuni."
"Noona, come on... oh— shit, no! Noona, kau tidak boleh— ah sial..."

     Luca memekik secara beruntun ketika tiba-tiba Aera memuntahkan isi perutnya di atas meja hingga mengenai blazer bagian dada milik wanita itu. Kacau sekali. Luca berkacak pinggang, mendongakkan kepalanya dan menatap langit-langit bar dengan frustasi.
     "Oh, Noona, aku jarang menghadapi wanita mabuk. Ayolah, jangan mempersulitku..."
     Luca menarik sapu tangan yang bersarang di saku bagian dalam jaket bomber hitamnya lantas melebarkan sapu tangan itu agar menutupi bagian dada Kim Aera yang terkena muntahan.

"Masih ada kamar kosong?" tanya Luca pada waitress bar.
"Sebentar, Tuan, akan saya cek ke bagian pemesanan kamar."
"Tolong sisakan satu, aku teman dekat Namjoon."
Waitress itu mengangguk sopan. "Baik, Tuan."

     Selama menunggu waitress itu kembali, Luca berusaha memberikan air putih ke mulut Aera agar setidaknya kerongkongan kakak tirinya bisa sedikit ternetralisir. Namun wanita itu terus menolak.

"Aku tidak mau minum lagi, Luca. Berhenti."
"Noona, ini air putih."
"Tidak, tidak... kau saja yang minum aku sudah cukup mabuk."
"Noona, ini hanya air putih, untuk mendinginkan kerongkonganmu."

     Bukannya menerima gelas dari tangan Luca, Aera justru kembali menjatuhkan tubuhnya ke sandaran sofa dan berlanjut tertidur begitu lelap seperti mayat.
     Luca mengusap wajahnya pelan. Sangat penat mengurus seorang wanita mabuk. Selama di Italia, Luca tidak pernah melakukan hal semacam ini, sama sekali. Meskipun ia sering berakhir di atas ranjang dengan kaki kebas akibat semalaman bercinta, namun ia tidak pernah membiarkan wanita manapun merepotkannya. Luca tidak pernah benar-benar berkencan, memiliki kekasih, atau menjalin komitmen bodoh seperti orang-orang pada umumnya di luar sana. Ia tidak terlalu suka hal-hal yang terikat seperti itu. Sangat merepotkan.

"Silakan, Tuan. Kamarmu ada di lantai 3, nomor 25," ujar waitress tadi sambil menyerahkan cardlock berwarna putih perpaduan silver ke tangan Luca.
"Terima kasih."

     Dengan cekatan, Luca menyelipkan kedua tangannya di bawah leher dan lipatan kaki Aera, menggendong dan membawa wanita itu menuju lift. Ia berencana untuk membiarkan Aera beristirahat sejenak sampai rasa mabuknya berkurang dan mereka bisa pulang ke rumah dengan tenang. Tanpa drama.
     Luca menempelkan cardlock ke pintu lalu membawa masuk tubuh mereka berdua yang sudah sama-sama lelah. Aera menggeliat kecil di gendong Luca saat pria itu berusaha menaruh tubuhnya di atas ranjang.
     Sekarang, Luca mulai tersadar dan kebingungan sendiri. Bagaimana cara membersihkan sisa muntahan di dada Aera. Jika ia biarkan begitu saja sampai pulang, muntahan itu akan mengering tapi baunya akan sangat menyiksa indra penciuman.

     Luca melepas jaketnya, menyisakan kaos putih polos pendek yang masih melekat di tubuh atletisnya. Ia menyalakan penghangat ruangan karena malam ini cukup dingin.
     Luca berjongkok di samping ranjang dan melepaskan heels hitam Aera dengan telaten. Wanita itu sama sekali tidak merasa terganggu, masih tetap tidur tenang meski ritme napasnya sedikit gusar.
     Luca membasahi sapu tangannya di toilet lalu kembali mendekati ranjang, duduk di samping tubuh kakak tirinya. Tangannya bergerak dengan pelan dan hati-hati mengelap sisa-sisa cairan muntahan yang menodai blazer bagian dada Kim Aera.
     "Noona, kau tahu? Kau harus bersyukur karena kau adalah satu-satunya wanita yang berhasil merepotkanku seumur hidupku hingga sekarang."
     Luca menikmati candaannya sendiri sambil terus membersihkan kotoran muntahan dengan telaten. Membayangkan ia melakukan hal ini pada wanita-wanitanya saat di Italia sana? Sangat menjijikkan dan bukan Luca sekali. Jauh dari seorang Luca. Ia tidak suka disuruh-suruh atau direpotkan oleh wanita. Kecuali ibunya sendiri— jika masih hidup.
     Luca melirik tas kecil milik Aera yang ia letakkan di nakas samping ranjang. Mempertimbangkan sebentar apakah ia harus membuka tas itu. Tujuannya hanya untuk menemukan parfum, barangkali kakak tirinya itu adalah tipe wanita yang selalu membawa parfum saat bepergian.
     Setelah 5 menit berlalu, akhirnya dengan ragu-ragu Luca membuka tas Aera dan mengintip isinya. Tetap saja, ia tidak akan selancang itu untuk berani mengorek-orek dengan terang-terangan tas milik orang lain.

Got it!
Ada satu botol kecil parfum di sana.

     Luca melepaskan beberapa semprotan parfum di area muntahan tadi. Setidaknya cara ini bisa membantu menyamarkan aroma tidak sedap yang akan menyiksa hidung siapapun. Terakhir, pria itu membentangkan selimut di atas tubuh Aera agar kakak tirinya merasa hangat dan segera pulih dari mabuknya— setidaknya sedikit.

"Luc..."

     Suara lembut itu mengayun lemah, melebur bersama hening malam yang dingin. Luca membuang sapu tangan kotor miliknya ke tempat sampah lantas beralih penuh pada sosok wanita yang kini terbaring nyaman di atas ranjang.

"Kau butuh sesuatu, Noona?"
"Aku benci sekali."

     Kening Luca berkerut, merasa bingung dengan jawaban Aera. Ternyata wanita ini masih mabuk berat.

"Noona, tidurlah. Kita akan pulang setelah kau sedikit sadar."
"Bajingan!"

     Luca tersentak kaget dan sedikit memundurkan wajahnya saat tiba-tiba mulut Kim Aera mengumpat tanpa basa-basi. Sungguh, apa wanita mabuk memang semengerikan ini?

"Noona, kau mengigau. Tidurlah."
"Tidak, kau tidak berhak bicara seperti itu, bajingan! Kau pikir kau siapa? Memerintahku dengan seenaknya, huh?"
"Astaga, Noona... kau mabuk sekali."
"Kau tidak dengar aku? Kau tidak boleh — semena-mena — memerintahkanku! Apa kau mengerti? Jika tidak, aku tidak segan-segan akan membunuhmu!"

     Mata Luca membelalak penuh saat Aera sudah mulai mencengkeram kaosnya dan menarik tubuhnya dengan sedikit kasar. Pria itu berusaha melepaskan tangan Aera. Pikirannya jadi melanglang buana pada adegan film di mana seorang wanita mabuk menembak kepala kekasihnya setelah mereka selesai bercinta. Meskipun keadaan yang saat ini sedang terjadi jauh berbeda dengan adegan film yang ia maksud, namun tetap saja, Luca harus waspada jika sewaktu-waktu Aera meracau marah-marah lalu mengambil vas bunga besar yang berdiri cantik di atas meja dekat pintu— lalu dilempar dengan brutal ke kepalanya hingga dirinya pingsan di tempat. Menakutkan.

"Noona, lepas... kau mengerikan."
"Kau bilang aku mengerikan? Akan kutunjukkan seperti apa itu kata mengerikan."

     Tiba-tiba, Aera duduk dan melingkarkan kedua tangannya di leher Luca, membuat pria itu seketika menahan napas. Kakak tirinya ini kenapa?

"Kau bilang kau mencintaiku? Tapi kau berlaku sesuka hati padaku, berani-beraninya kau— dasar pria nakal."

     Dengan gerakan secepat peluru, tanpa jeda dan tanpa ancang-ancang, bibir Aera sudah mendarat di bibir tebal adik tirinya yang sekarang terdiam mematung seperti orang bodoh, ah atau bahkan seperti pria polos yang baru saja dinodai.
     Luca masih bergeming, berusaha memproses apa yang sedang terjadi. Ia — dan kakak tirinya-— berciuman. Bibirnya dilumat habis oleh bibir bergincu coral red itu.
     Tiba-tiba secara mengejutkan, satu tangan Aera bergerak dan bekerja membuka kancing celana jeans milik Luca. Ini gawat, gawat darurat. Bahaya. Luca yang masih menjadi satu-satunya orang paling waras pun langsung menarik tangan Aera agar menjauh dari sana.
     "Mmhh, No-noona, stop."
     Luca berusaha mengeluarkan suara saat bibirnya masih dilumat brutal oleh kakak tirinya yang saat ini sudah mendorong tubuh Luca dengan kesetanan agar berbaring di ranjang.
     Tangan Aera masuk ke dalam kaos dan meraba perut Luca, membuat tubuh pria itu sedikit bergetar di bawah kuasa tubuh kakak tirinya. Jemari lentik Kim Aera bergerak dengan pelan serta sopan, menyusuri permukaan perut Luca yang sudah mulai basah oleh keringat. Entah keringat panik atau keringat yang lain.
     Tiba-tiba, Aera melepaskan ciuman mereka dan menghentikan pergerakannya. Tangan kanannnya masih berada di dalam kaos namun tatapannya beralih mengunci mata si pemilik kaos yang kebingungan.
     Napas mereka tersengal-sengal. Luca menatap dengan seksama wajah Aera dari bawah. Rambut panjangnya yang sudah jauh dari kata rapi, warna lipstiknya yang berantakan akibat ciuman panas mereka tadi, dan bulir-bulir keringat yang mengalir lembut di sepanjang leher hingga dada bagian atas. Cantik. Luca akui, kakak tirinya ini sangat cantik, dan seksi. Entah pria mana yang sudah menyakiti wanita secantik ini hingga membuatnya menjadi sangat mengerikan ketika mabuk. Karena Luca yakin, yang sejak tadi disebut-sebut oleh mulut Kim Aera adalah seseorang yang sedang berada dalam hidupnya, dalam hidup wanita itu. Sepertinya, kakak tirinya sedang terjebak di dalam posisi yang sulit saat ini.

Cup!

     Aera mengecup bibir Luca dengan lembut dan tidak terburu-buru. Hanya sebuah kecupan ringan. Namun entah kenapa tiba-tiba saja hal itu membuat darah Luca berdesir tidak karuan selama 30 detik. Ya, kecupan singkat dalam waktu 30 detik.
     Aera melepas kecupannya dan menempelkan dahi mereka, menatap mata Luca begitu dalam seakan ia benar-benar akan menusuk mata itu lewat tatapannya.
     Lagi-lagi Luca dibuat gagal fokus oleh wajah Aera yang sekarang semakin cantik dan seksi di matanya. Tangan kiri Luca terangkat, menyingkirkan helaian rambut Aera yang berjatuhan. Ia tidak rela jika wajah cantik itu tertutupi.
     "Noona, kau mau bermain-main denganku, hm?"
     Luca mengusap kepala Aera dengan lembut, membuat wanita itu memejamkan matanya erat. Dan tangan lainnya ia gunakan untuk mendekap pinggang kakak tirinya lalu mengubah posisi mereka berdua. Saat ini, Aera sudah berpindah di bawah kungkungan tubuh Luca.

"Noona, sejujurnya aku suka bermain-main tetapi tidak suka dipermainkan..." bisik Luca pelan.
"Aku tidak mempermainkanmu, kau yang mempermainkanku."
Luca terkekeh lirih. "Aku tidak tahu pria mana yang sedang menguasai otakmu sekarang, tapi pada kenyataannya yang sedang mendekap tubuhmu saat ini adalah aku."
"Kau sangat menyebalkan, tetapi kau berlaku seenaknya padaku."
"Aku bukan pria jahat seperti priamu itu, siapapun dia dan setinggi apapun derajatnya, ia sama sekali tidak pantas memperlakukan wanita secantik ini dengan buruk," ucap Luca sambil mengusap pipi Aera. "Siapa pria itu? Berani sekali dia menyakiti putri kesayangan Tuan Arthur," lanjutnya diselingi tawa halus.

     Tidak sampai 10 detik, Luca sudah menabrakkan bibirnya dengan bibir Aera, melumat pelan serta dalam, menggigit bibir tipis itu, meraupnya sedikit rakus dan mencecapnya seperti hak milik pribadi.
     "Noona, kau mau aku melepaskanmu sekarang juga, atau melupakan status kita sebagai kakak adik dan mengubah malam ini menjadi malam yang luar biasa?"
  
  
  
Vote jangan lupa!
Jangan jadi silent readers

Continue Reading

You'll Also Like

93.5K 14.3K 19
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
84.7K 5.8K 26
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK 1YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ M...
134K 10.4K 88
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
71.9K 6.5K 49
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...