4. Pair a Dice GxG (END)

By ArungLembayung

2.9K 236 0

18+ Percaya pada takdir adalah pasrah. Berjuang merubah nasib adalah tidak tahu diri. Hidup si kembar Dice... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

19

52 5 0
By ArungLembayung

19

Katanya kebenaran adalah milik siapa memenangkan pertarungan. Di luar adil atau tidak, dengan cara jujur atau tidak. Begitu yang diyakini Hera. Dia sudah membuktikannya dan dia menang. Dengan mudah. Hera inginnya menahan sampai ronde tiga atau empat. Tapi, di ronde dua si sulung Dice sudah gerah dan merasa tidak sabar. Syukurnya tak ada yang mengenali sifat tak sabarnya sebagai Hera—saudara kembar Hana. Kecuali Hope. Tentu saja. Karena ketika Hera selesai berganti pakaian dan keluar dari belakang panggung, gadis itu mundur dan menghindarinya.

"Hope tunggu," panggil Hera. Ia percepat langkahnya. Ia tak mengacuhkan Brian yang menyongsong ke arahnya dengan rentangan tangan mirip pelukan beruang besar. Hera melewati temannya begitu saja. Ia harus bicara pada Hope. Itu tujuan Hera yang sebenarnya datang ke sini.

"Aku tidak mau bicara padamu!" bentak Hope.

Hera tidak menyerah, ia terus mengejar, menangkapi lengan, bahu atau apa pun yang bisa tersentuh olehnya dari badan Hope.

"Aku bisa memanggil petugas keamanan." Hope masih mencoba melepaskan diri dari cengkraman Hera.

"Beri aku waktu untuk menjelaskan." Hera mencicit. Tapi ia juga tidak bersikap terlalu kasar. Ia lepaskan tangannya jika Hope menepisnya. Lalu ia akan menggapai Hope lagi. Adegan itu terjadi beberapa kali. Mirip film kung fu.

"Menjelaskan apa lagi? Bukannya kamu sudah memenangkan taruhan itu?" tanya Hope akhirnya. Tajam, sinis. "Apa kamu mau memberitahuku kalau aku juga dapat bagian dari kemenangan itu?"

"Taruhan itu tidak jadi kami lakukan," bantah Hera.

"Tidak jadi kamu lakukan? Kenapa? Karena kamu jatuh cinta pada barang taruhannya? Begitu? Persis seperti dalam film?"

Hera mengangguk yakin. Hope memutar bola matanya dengan maksud merendahkan. "Ayolah, Hera. Kamu bisa lebih kreatif dari itu." Hope memijat pelipisnya.

"Ijinkan aku menjelaskan." Hera tertunduk-tunduk seperti sedang memohon. "Beri aku waktu sebentar saja."

"Aku sudah memberimu banyak sekali waktu, Hera. Ke mana saja kamu?"

Hera menghela nafas dengan gusar. "Oke. Awalnya kukira kamu orang jahat. Aku kira kamu alasan adikku ikut pertarungan ini. Aku hanya ingin melindungi Hana. Itu kewajibanku sebagai seorang kakak. Dan bukan aku yang menjadikanmu taruhan. Brian orangnya."

"Kamu membuat Hana mengakui kesalahan yang kamu lakukan. Sekarang kamu membawa Brian... Apa kamu tidak lelah melemparkan kesalahan pada orang-orang di sekitarmu?"

Hera tidak menanggapi pertanyaan Hope yang memojokkannya. Ia tetap melanjutkan pembelaannya. "Aku memang pernah bermaksud jahat padamu. Tapi, setelah mengobrol di kilometer 23, aku tahu kamu tidak seperti apa yang kupikirkan. Dan aku menyukaimu." Hera bersungguh-sungguh. Sempat ia menilai dirinya sendiri dari kaca cermin yang digantung sembarangan di dinding dekat sana.

"Bagaimana dengan Grace? Sempat juga aku mengira kamu sama kesatrianya seperti Hana. Ternyata kamu tidak. Kamu tidak berpikir untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu."

"Waktu itu aku mabuk. Dan aku jadi pengecut ketika mabuk. Aku minta maaf. Kenapa sulit sekali buatmu percaya dan menerima maafku?" Hera kesal sendiri. Belum pernah ada yang berani menolak permintaan maafnya sampai hari ini.

Hope tertawa sebentar. "Kalau minta maaf bisa menyelesaikan masalah, orang tuaku pasti masih jadi pemilik Arena. Dan Grace tidak akan terpaksa menjadi petarung di sini."

"Tapi aku tidak bisa mengembalikan nyawa Grace, Hope. Kamu pun tidak. Kalaupun aku mati—"

"Jangan Hera. Jangan membuatku merasa kasihan padamu. Kalian orang kaya berpikir bisa menukar kesedihan kami dengan uang."

Hera menantang Hope. "Kalian orang miskin, berusaha menukar kebahagiaan dengan uang. Kalian pikir uang bisa membuat kalian bahagia." Hera tidak bermaksud kasar, tapi ia terpaksa. Lawan bicaranya sudah mulai keterlaluan.

Hope mengangguk. "Benar katamu. Kalau begitu minggir, aku harus bertemu joki. Kebahagiaanku atas kemenanganmu akan dibayar hari ini." Hope memaksakan diri terus berjalan ke depan.

"Berapa banyak hutangmu, aku akan membayarnya."

Hope berhenti. Wajahnya kusut. Ia hampir nekat dan menampar Hera.

"Kamu serius?"

"Paling tidak, beritahu aku bagaimana caranya agar kamu memaafkanku." Hera mengejar Hope sekali lagi.

Hope menatap mata Hera. "Jangan pernah datang ke sini, dan aku akan memaafkanmu..."

"Benarkah?" Timbul harapan di dalam diri perempuan itu. "Benarkah kamu akan memaafkanku?"

"Tentu saja. Kalau kamu tidak mencariku lagi setelah itu. Maka aku akan memaafkanmu."

Hera terdiam. Apa bedanya dimaafkan atau tidak, kalau gadis itu sudah tak mau bertemu dengannya? Meski memilih satu, keduanya terdengar mustahil. Hope sudah berlalu, kini Brian datang menyongsong Hera.

"Seorang ingin menemuimu di sana." Brian menunjuk sebuah ruangan di sebelah loket. "Kutunggu kamu di mobil. Ingat, kamu bukan Hera. Kamu menggantikan Hana."

Hera menoleh, mengangguk pada Brian dan berjalan ke arah Brian menunjuk.

***

Sementara di rumah keluarga Dice, Carol sudah mulai gelisah karena Hana tidak juga bangun. Ia memutuskan untuk menghampiri Hana dan memaksanya bangun. Pacarnya itu belum makan sejak siang.

"Bangunlah, sampai kapan kamu akan tidur?" Carol mengguncang-guncang tubuh Hana.

Hana pelan-pelan membuka matanya. "Carol," panggilnya. "Sudah jam berapa ini? Aku harus pergi ke Arena."

"Terlambat. Hera sudah menggantikanmu, dan kata Brian kakakmu memenangkannya. Kamu tidur terlalu lama, Hana. Kamu bahkan lupa kalau tadi Brian datang ke sini." Carol mengelus kening kekasihnya yang berkeringat. "Apa yang dilakukan Brian padamu?"

Hana duduk bersandar di ranjang. Pandangannya kosong beberapa detik sampai ia menjawab. "Tidak ada." Berusaha membuat jawabannya terdengar biasa, tapi Hana menghindari mata Carol.

"Jadi kamu hanya mengantuk, begitu?" tanya Carol.

Hana mengangguk pelan. "Hera menang?"

"Ya. Jadi pertarungan hanya tinggal sekali lagi, kita akan menunggu jadwal. Sampai waktunya datang, jahitanmu pasti sudah sembuh benar." Carol meraih tangan Hana dan menciumnya.

Hana tersenyum. Ia pandangi wajah Carol. "Kenapa kita tidak melakukan ini sejak awal? Sekarang, aku bahkan tidak bisa menciummu." Suaranya gemetar. Hana yang pemalu merasa gugup. Hanya pada Carol.

"Kita masih banyak waktu, sampai lukamu sembuh." Carol memberi semangat.

"Maafkan aku, Misca memaksaku waktu itu."

"Aku tahu," kata Carol. "Lain kali, kalau kamu ingin menyakitiku, kuncilah pintunya. Atau, pastikan tidak ada kamera tersembunyi. Aku lebih baik tidak tahu apa pun. Tidak dengan cara menjijikkan seperti itu." Carol lebih mirip meringis dari pada menyindir. Hatinya masih merasa ngilu. Apalagi, Misca adalah satu-satunya sahabat perempuan yang dimiliki Carol.

"Aku tidak akan menyakitimu lagi." Hana berjanji.

"Tapi, jarang rasanya punya waktu berdua saja tanpa kakakmu dan yang lain." Carol memijat lengan Hana dengan manja.

"Misca mengabarimu? Ke mana dia setelah pesta kemarin?" Hana iseng menggoda Carol.

"Pertanyaanmu bagus. Tapi aku baru saja ingin berbaring di sebelahmu. Kalau begini, sepertinya kamu lebih senang menghabiskan waktu untuk mengkhawatirkan orang lain. Aku akan menelepon Misca, kalau kamu memang rindu padanya." Carol terdengar bersungguh-sungguh. Dan itu membuat Hana resah.

"Apa kamu benar-benar mau berbaring di sebelahku?" Hana menarik tangan Carol.

"Sementara ini sepertinya aku yang perlu lebih berusaha," bisik Carol, pelan-pelan membelai pipi Hana, kemudian leher dan dadanya.

Atmosfer di sekitar mereka nampak sangat mendukung, kalau bukan karena tiba-tiba Brian dan Hera menghambur ke dalam kamar Hana. Mereka tampak sangat riang dan bersemangat. Hana terduduk karena kaget. Sementara Carol, meski agak terhuyung, ia langsung berdiri tegak. Mirip boneka Daruma.

"Berhentilah masuk kamarku tanpa mengetuk!" Hana meninggikan suaranya. Menyembunyikan rasa malu. Pipinya terasa panas.

Brian yang sudah masuk memutar badannya. Ia tutup wajahnya dengan telapak tangan, tapi masih menoleh ke belakang. "Aku mana tahu kalau kamu dan Carol sedang 'itu'. Aku lupa kalau kalian sekarang—"

"Tolong jangan diteruskan..." Carol merasa makin gugup. Ia dan Hana bahkan belum memberi nama pada hubungan mereka yang sekarang. Mereka mungkin sudah pacaran, tapi Hana belum pernah memperkenalkan Carol sebagai pacarnya di depan siapa pun.

"Aku menang." Hera mengalihkan pembicaraan.

"Terimakasih, Hera," kata Hana.

"Tapi..." Hera maju dua langkah ke arah Hana dan Carol.

"Tapi apa?" tanya Hana ingin tahu.

"Tapi, mari kita rayakan dulu kemenangan ini! Satu langkah lagi!" Brian menarik Hera keluar kamar. Hera mengikuti Brian dengan hati yang setengah-setengah.

"Jangan sekarang Hera, biarkan mereka menyelesaikan 'itu' dulu." Brian menutup pintu kamar setelah berhasil mengusir Hera dan dirinya sendiri dari sana. Kemudian ia melambai pada dua temannya. "Silahkan, nanti bergabunglah dengan kami di belakang," ajaknya.

Kini tinggal Carol dan Hana di sana. Di dalam kamar itu.

"Apa harus kita lanjutkan?" tanya Hana ragu.

Carol mendekat. Ia duduk di sebelah Hana. "Haruskah kukunci pintu kamar dulu?"

Hana tersenyum. "Kunci saja, sepertinya kita tak akan keluar sampai esok pagi."

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 105K 34
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
17K 995 34
"Hukum kami nanti. Biarkan kami saling memiliki untuk saat ini" Riska Pramita Tobing 2020
87.6K 4K 19
'Gimana rasanya punya pacar cuek+dingin?' Awalnya aku cuma kagum sama dia. Sikap nya yang dingin,cuek buat aku makin penasaran. Perasaan aneh mulai m...
4M 30.2K 34
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!