4. Pair a Dice GxG (END)

By ArungLembayung

2.9K 236 0

18+ Percaya pada takdir adalah pasrah. Berjuang merubah nasib adalah tidak tahu diri. Hidup si kembar Dice... More

1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

5

79 5 0
By ArungLembayung

5

Agar rencana dari keempat remaja itu bisa terealisasikan, pagi-pagi Carol dan Brian mengetuk pintu kamar Hana. Mereka membawakan si bungsu Dice sepasang roti bakar dan dua telur mata sapi. Lengkap dengan bacoon dan jus untuknya.

"Hana, ini aku bawakan sarapan," panggil Carol. Suaranya lembut. Selalu demikian setiap kali berhadapan dengan Hana.

Sebentarnya pintu kamar itu terbuka. Hana berdiri di sana dengan bekas luka masih bercokol di wajahnya. Bengkaknya sudah mulai kempes. Hanya lebam yang berubah warna dan gores-gores di sekitar tulang pipi dan batang hidungnya. Benar-benar mirip buah yang baru jatuh dari pohon.

"Seharusnya kamu tidak merepotkan dirimu, Carol." Hana yang tadinya cemberut mengubah ekspresi wajahnya. "Aku tidak tahu kalau kamu menginap di sini." Ia berbisik.

Carol tidak menjawab karena pipinya keburu merah. Hana tersenyum simpul, pandangannya beralih pada Brian. "Tumben kalian sudah bangun jam segini. Kalian sudah akan berangkat kuliah?"

"Kami mengkhawatirkanmu. Lukamu kelihatan serius... kalau-kalau kamu akan demam," jawab Brian berimprovisasi. "Jadi kami menginap."

Hana menerima baki dari tangan Carol. Ujung jari mereka bersentuhan dan menimbulkan hentakan listrik statis.

"Aku akan baik-baik saja. Terimakasih." Lalu dia menunggu teman-temannya pergi agar ia bisa menutup kembali pintunya. Tapi, Carol dan Brian tetap berdiri di sana. Hana merasa suasananya semakin canggung. Jadi akhirnya ia berkata dengan nada santun, "Kalian mau masuk?"

"Tentu," jawab keduanya. Mereka melangkah dengan gugup. Brian masuk lebih dulu, sementara Carol yang jarang masuk ke kamar Hana terbungkuk-bungkuk karena kikuk. Ia menutup pintu kamar itu pelan-pelan.

Sedangkan di kamar lain, Hera sedang bersiap-siap bersama Misca.

"Sepertinya kita butuh menambahkan warna yang lebih gelap di beberapa bagian," kata Misca sambil memandangi mantan kekasihnya itu.

Hera bercermin untuk memastikan. "Terserahmu saja. Tapi jangan terlalu berlebihan, nanti memarnya terlihat tidak natural."

"Serahkan padaku." Misca berbisik sambil memainkan kuas make-upnya di wajah Hera. Hera tutup mata ketika Misca menyapukan kuas di wajahnya.

"Uh, kamu masih terlihat cantik meski dengan lebam bohongan ini." Misca memuji. Ia ingin sekali mencium Hera, jika diperbolehkan. Tapi untuk hari ini Misca terpaksa menahan diri. Ia menggigit bibirnya dan berusaha bernafas dengan lebih tenang.

Tiba-tiba Brian menerobos masuk ke ruangan itu dan mengagetkan dua orang di dalamnya. Misca menggumamkan makian, tapi cepat-cepat ia menutup mulutnya karena Hera menatapnya sambil mengerutkan kening.

"Lain kali ketuk pintunya, Brian." Misca merasa panik. Ia baru saja akan merayu Hera dan Brian sudah membuat rencananya gagal.

"Aku sudah mendapatkannya." Brian menyodorkan ponsel milik Hana. "Cepatlah, kita tidak tahu berapa lama Carol bisa mengobrol dengannya. Brian sangat antusias, ia meloncot-loncat kecil seperti anak lelaki dapat mainan baru.

Hera yang sudah memakai seragam universitas Hana meraih ponsel adiknya, mencatat nomor-nomor di sana kemudian mengaktifkan aplikasi tracker milik Hana pada ponsel pribadinya. Tidak lupa ia memblokir nomor gadis bernama Hope dari ponsel kembarannya.

"Beres," katanya.

Brian menerima ponsel Hana. Ia mengangguk pada kedua temannya, lalu keluar.

"Hei, Hera." Misca memanggil.

Hera menoleh. "Ya?"

"Kamu tidak akan benar-benar jatuh cinta pada perempuan itu kan?" tanya Misca hati-hati. Tidak ingin Hera merasa digurui.

Hera berdecak dengan raut wajah jijik. "Tidak mungkin. Aku bahkan tidak memikirkan kemungkinan itu." Ia menjawab yakin. Dan Misca cukup senang mendengarnya.

Di kamarnya, Hana yang tak memiliki firasat sama sekali sedang menikmati sarapannya.

"Apa Hera sudah bangun?" tanya Hana pada Carol.

Carol menelan ludahnya. Ia mengabaikan tatapan mata Hana kemudian mengangguk. "Sudah berangkat dengan Misca."

"Kamu dan Brian tidak kuliah?" tanya Hana setelah menyisip minumannya. Ia melirik jam digital di atas meja sebelah tempat tidurnya.

Carol membasahi bibir bawahnya. "Kami memutuskan untuk menjagamu secara bergantian." Carol berkilah, tapi kebohongan itu tak nampak sekali. Suaranya terlalu lembut untuk kedengaran berbohong.

"Aku baik-baik saja."

"Aku tahu kamu akan baik-baik. Tapi Hera memaksa, dan aku... Aku khawatir padamu." Carol menunduk lagi.

"Tumben dia perduli." Hana mengerucutkan bibirnya.

"Hera khawatir padamu."

Hana mengangkat bahu. Apa pun yang ia katakan untuk membuat teman-temannya lebih santai menghadapi luka-lukanya tidak akan berguna. Bukan hanya karena terlalu perduli, teman-temannya sangat senang jika dapat alasan untuk membolos.

"Aku akan menghubungi teman sekelasku dan minta ijin untuk absensi." Hana menelan kunyahannya, hendak turun dari tempat tidur.

Carol langsung panik, ia menyentuh tangan Hana untuk menahan perempuan itu. Tapi itu membuat mereka berdua jadi salah tingkah.

"Ma-makanlah dulu, Hana. Kami sudah menelepon ke kampus. Langsung ke dosen yang bersangkutan."

"Bagaimana mungkin? Kalian tidak tahu aku akan kuliah apa hari ini." Hana tidak yakin.

Kemudian Carol terbatuk dua kali, seolah dengan begitu otaknya akan berputar dan langsung menemukan jalan keluar. "Kami menghubungi layanan administrasi kampus tadi. Serius." Carol mulai takut kalau rencana mereka akan gagal. Ini bahkan belum berlangsung setengahnya. Dan Carol tak akan rela kalau dirinya yang jadi penyebab kegagalan itu. Ia sangat berambisi.

Syukurlah Brian muncul dan menerobos masuk ke dalam kamar. Ia membuang tubuhnya ke kasur dan ikut tidur di sebelah Hana yang sedang mencari-cari ponselnya.

"Kamu mencari apa?" tanya Brian. Ia melirik Carol Sue. Mengerling dengan satu mata. Secepat angin.

"Ponselku," jawab Hana masih sambil mencari di antara lipatan selimut dan bantal.

Brian pura-pura mencari. "Ini, tak sengaja kutindih, maaf."

Hana segera menggamit ponsel itu sambil mengucapkan terimakasih. Kemudian ia berjalan mendekati jendela. "Aku harus menelepon sebentar." Ia menempelkan alat itu di telinganya.

Kedua temannya saling memandang. Brian mengangkat bahu, Carol menggigiti kuku jarinya. Semenit kemudian Hana kembali pada teman-temannya dengan wajah kebingungan.

"Kenapa dengan wajahmu?" tanya Brian. Ia ingin tertawa tapi ditahan sekuat tenaga. Carol melotot padanya.

"Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku harus mengumpulkan tugas hari ini." Hana seperti memikirkan hal lain. Ia mondar-mandir di dekat jendela sambil menggaruk kepalanya.

Carol terpukau sesaat, ketika melihat siluet tubuh Hana yang ramping. Rambutnya terurai dengan natural. Hana dan Hera tidak suka memelihara rambut terlalu panjang. Tidak pernah sampai melewati bahu. Dan ia lebih nyaman dengan model yang disebut-sebut sebagai wolfcut. Yang Carol tak bisa bedakan dengan model rambut mullet. Kalau boleh jujur. Tapi, sejak Hana dan Hera kembar identik, mereka kurang lebih memiliki selera rambut dan fashion yang sama. Jadi mereka semakin sulit dibedakan kalau tak kenal lama.

"Brian akan melakukannya." Carol menjawab tanpa berpikir. "Brian akan pergi ke universitasmu dan mengumpulkan tugasmu. Iya kan, Brian?" Ditinggalkan berdua saja bersama Hana adalah keberuntungan yang jarang terjadi. Carol tak akan merelakan kesempatan ini pergi. Meski gadis itu tahu dia akan menyiksa dirinya sendiri dengan rasa gugup.

"Hei, aku 'kan—" Brian ingin protes. Tapi pandangan tajam Carol berhasil mengintimidasinya. "Iya! Aku akan datang ke sana dan mengumpulkan tugasmu. Ih! Carol semakin lama semakin galak. Siapa yang akan mau denganmu? Lelaki suka perempuan lembut seperti Misca!"

"Tapi Misca tidak suka lelaki. Apalagi yang sepertimu!"

Brian merengut. "Kamu suka lelaki tidak?"

Carol melipat tangan di depan dadanya. Ia lupa kalau Misca dan Hera merahasiakan hubungan mereka dari Brian dan Hana. Dan itu mempengaruhi kemajuan perasaan Carol pada Hana.

"Baiklah. Terimakasih banyak, Brian." Hana mengalihkan topik pembicaraan dan mendekati tasnya, lalu menyodorkan secarik kertas folio pada Brian.

***

Setelah sepanjang perjalanan Hera berlatih untuk meniru gaya bicara adik kembarnya, ia akhirnya nekat turun dari mobilnya. Hera celingukan di tempat parkir. Kampus negeri tempat Hana berkuliah memang jauh penampilannya jika dibandingkan dengan kampusnya. Dari sisi kebersihan, desain bangunan dan estetika.

Memang, sejak adik kembarnya dipindahkan, Hera belum pernah menginjakkan kaki di sini. Ia mana tahu kalau ayah mereka memindahkan Hana ke tempat menyedihkan seperti ini. Ia merasa kasihan, tapi ia juga takut pada ayahnya. Hera menarik nafas panjang agar tidak panik.

Dari ponselnya Hera mengabari Misca, Carol dan Brian tentang keberadaannya. Berharap akan mendapatkan support moral. Karena sepertinya ia akan mudah tersesat meskipun belum berjarak semeter dari mobilnya.

"Aku sampai. Disorientasi," ketik Hera.

Lalu segera teman-temannya membalas.

Carol mengetik, "Semoga betah. Tawanan aman."

Misca menulis peringatan. "Ingat!! Jangan mengucek wajah!"

Brian menulis dengan hurup kapital. "ON THE WAY."

Hera memalingkan wajahnya dari ponsel ketika dari jauh perempuan itu mendengar seseorang memanggil-manggil nama adiknya. Hera menoleh. Jarinya otomatis mengunci layar telepon genggam.

"Hana. Oh, kamu baik-baik? Kupikir kamu tidak akan kuliah hari ini." Gadis itu mendekat.

Hera menutupi kepanikannya dengan senyum. Ia mengingat-ingat gambaran tentang Hope del Faith yang dilihatnya semalam. Tapi, tempat parkir hotel terbengkalai tempat Arena dilaksanakan kemarin terlalu gelap sehingga Hera tidak yakin apa gadis di hadapannya adalah orang yang benar.

Hera sungguh tidak menyangka bahwa menyamar kali ini akan menjadi sulit baginya. Sewaktu SMA ia dan Hana sering bertukar posisi. Dan penyamaran mereka tidak pernah ketahuan. Kecuali Carol, Misca dan Brian yang memang menghabiskan waktu terlalu lama bersama mereka. Hanya temannya itu yang bisa mengenali yang mana Hana Dice atau yang mana Hera Dice.

Dan, karena tidak ingin terlalu lama disiksa rasa penasaran dan khawatir, Hera memutuskan untuk menghubungi nomor Hope. Ponsel perempuan di depannya berbunyi nyaring seketika. Hope memeriksa ponsel miliknya.

"Aku ganti nomor, Hope. Ponselku kemarin jatuh entah di mana." Hera memberitahu.

"Sudahkah kamu coba menelepon ke nomormu?" tanya Hope.

"Apa?" Hera yang memang sedang panik tidak berkonsentrasi sama sekali dengan kata-kata lawan bicaranya.

"Sudahkah kamu mencoba menelepon nomor lamamu lagi? Barangkali ada yang menemukan dan ingin mengembalikannya?"

"Oh, sudah. Nomor itu sudah tidak berdering. Kamu boleh mencobanya kalau tak percaya." Hera bicara terlalu defensif dan cepat.

Perempuan itu menunggu beberapa detik sebelum menjawab, ia memandang wajah Hera lekat. Sebentarnya ia tersenyum. "Tentu saja. Ponsel bisa terjatuh kapan saja."

"Hapus saja nomorku yang lama," desak Hera tanpa terdengar mendesak.

"Tentu. Aku tidak keberatan." Hope mengusap-usap layar ponselnya. "Oke, selesai." Ia mengangkat ponselnya, menunjukkan tampilan phone book, Hana Dice dan nomor milik Hera terpampang di sana. Hera tersenyum, hampir menyeringai puas. Tapi Hera tahu kalau Hana tidak pernah menyeringai. Jadi ia menahan diri.

"Ingatkan aku kalau hari ini ada kuliah yang penting atau ujian." Hera memancing.

Hope memandang ke langit seolah sedang berpikir. Kemudian ia kembali pada perempuan di depannya. "Tidak ada ujian hari ini."

Hera mengangguk-angguk. "Kalau begitu tidak ada masalah jika kita membolos seharian?" Hera memberanikan diri memegang tangan Hope.

Gadis itu memang tersentak sedikit, karena tak biasanya Hana yang ia kenal bersikap hangat dan manis seperti ini. Secepatnya tanpa diperingatkan, senyum mengembang di bibirnya.

"Kita akan ke mana?" tanyanya malu-malu.

"Ke mana saja boleh. Kita putuskan sambil jalan."


Continue Reading

You'll Also Like

13.1M 528K 57
"Have you tried turning it off and back on again?" •• Christian Ivonov, CEO of Ivonov enterprises, had always been the best at fucking things up. Whe...
5.7M 55.5K 16
All Clarey wants is to be one of the boys. The problem is, Evan and his best friend, Lance, are not having it. Clarey Johnson and Evan von Detten hat...
Chemistry By Teddy

Teen Fiction

6M 186K 44
The school knows Ezra as the mysterious badass who always speaks her mind, but the truth is that she is barely holding on. She is forced to work long...
346K 14.1K 16
WELCOME TO MY STORY. THIS IS MY STORY BUT NOT MY PERSOANAL EXPERIENCE WITH MY IMAGINATION, I WAS ABLE TO CREATE THIS PLOT:) [SO SEBELUM MEMBACA BUDAY...