(,) sebelum (.)

By Arrinda_sell

333K 30.3K 4.3K

Koma sebelum Titik. "Tau gak Mas, soal dua tanda baca ini?" Hujan menatap pria itu lalu melanjutkan kalimatny... More

πŸ’01
πŸ’02
πŸ’03
πŸ’04
πŸ’05
πŸ’06
πŸ’07
πŸ’08
πŸ’09
πŸ’10
πŸ’11
πŸ’12
πŸ’13
πŸ’14
πŸ’15
πŸ’16
πŸ’17
πŸ’18
πŸ’19
πŸ’20
πŸ’21
πŸ’22
πŸ’23
πŸ’25
πŸ’26
πŸ’27
πŸ’28
πŸ’29
πŸ’30
πŸ’31
πŸ’32
πŸ’ending

πŸ’24

9K 898 74
By Arrinda_sell

Taman mini bermain di belakang rumah Awan cukup mengurangi rasa bosan Hujan kala netranya mengamati kegiatan Glen yang bermain.

Awan merancangnya sedemikian rupa, menyesuaikan umur sang anak yang berjalannya tahun semakin bertambah.

Melihat tingkah Glen yang aktif, Hujan kembali memikirkan niatnya sejak kemarin. Hujan berniat untuk berhenti sebab kesehatan Glen sudah jauh lebih baik. Dan tidak ada lagi alasan baginya untuk tinggal lama. Seminggu, Hujan rasa sudah cukup.

"Ama!" suara Glen menarik Hujan dari dunianya. Menatap Glen yang berjalan mendekatinya, Hujan pun turut melangkah mendekati anak itu.

"Kenapa, Sayang?" tanyanya berjongkok menyamakan tinggi Glen kemudian mengelus halus surai hitamnya.

Anak itu tak menjawab, selain memeluk Hujan dengan tubuh kotornya. Mengerti apa yang diinginkan anak itu, Hujan membawanya dalam gendongan lalu masuk ke dalam rumah.

"Glen mau mandi, ya." Hujan berceloteh sambil menjawil pipi Glen gemas. Putra Awan itu hanya tertawa, pelukannya tak mengendur saat keduanya memasuki ruang tengah.

"Appa!" seruan Glen seketika membuat Hujan menoleh ke belakang.

Sosok Awan muncul dengan kemeja yang digulung sampai siku. Tapi fokusnya lebih diberikan pada sosok yang berada di samping Awan.

Seorang wanita berpenampilan modis terlihat mesra menggandeng lengan Awan disertai senyum manisnya tidak pernah pudar semenjak masuk ke dalam rumah.

"Hai, Glen." sapanya mengambil alih Glen dari gendongan Hujan. Glen yang pada dasarnya tidak pernah sungkan bertemu orang baru, hanya diam saja menatap wanita itu polos.

"Awan lihat. Glen terlihat menyukaiku." katanya mencubit pipi Glen gemas. Tatapan wanita itu beralih pada Hujan yang diam mengamati interaksi keduanya sedari tadi.

"Sayang, siapa dia? Apa pengasuh Glen?" tanyanya dengan embel-embel sayang yang diberikan pada Awan.

Hujan menebak bahwa keduanya memiliki hubungan khusus alias kekasih.

"Kurang lebih seperti itu." jawab Awan sekenanya. Hal yang mengundang Hujan menatapnya rumit. Sementara Awan hanya mengangkat satu alisnya.

"Oh hai, perkenalkan aku Tanisha. Siapa namamu?" tanyanya ramah yang dibalas Hujan dengan senyum kikuknya.

"Hujan."

Tanisha mengangguk ringan, dirinya mengatakan akan memandikan Glen yang mana langsung disetujui Awan saat itu juga.

Melihat kepergian dua orang itu, Hujan menatap Awan.

"Tanisha, kekasihku. Kelak dia akan menjadi ibu dari Glen." tanpa diminta, Awan menjelaskan siapa itu Tanisha. Sejujurnya Hujan tidak membutuhkan informasi tersebut, toh mau siapapun Tanisha di hidup Awan, Hujan tidak peduli.

"Selamat. Semoga langgeng," jawab Hujan memilin jarinya begitu teringat akan niatnya kemarin. Mumpung Awan ada di sini, sekalian saja Hujan mengatakannya.

"Emm, sebenarnya sejak kemarin aku ingin bilang ini. Seperti yang kita lihat, kesehatan Glen sudah pulih total. Dan menurut perjanjian, aku sudah bisa pulang." akunya mengangkat kepalanya usai menandaskan kalimatnya.

"Baiklah. Hari ini kamu bisa pulang." dan tanpa ada keraguan sedikitpun, Awan menyetujuinya.

Hujan mengangguk dua kali, sebelum berbalik menuju kamar Glen untuk membenahi pakaiannya. Dalam hati sebenarnya tak menyangka bahwa Awan dengan mudahnya memberi persetujuan. Hujan kira, bakal ada drama yang cukup menguras tenaga dan pikirannya.

❄❄❄

Hujan bberdiri menatap sebuah rumah minimalis di depannya. Kali ini dia tidak menyangka bisa menginjakkan kaki di rumah Khatulistiwa.

Selepas dari rumah Awan, Hujan menuju ke sini. Dia ingin memberikan Khatulistiwa kejutan sebab beberapa hari ini komunikasi mereka terputus dikarenakan kesibukan yang tidak bisa di elakkan.

Selain itu juga, sebelum keluar dari rumah Awan, mantan suaminya itu mengatakan bahwa Khatulistiwa izin sakit sejak kemarin.

Maka, di sinilah Hujan berada.

Mendapati pagar rumah yang tidak terkunci, Hujan lanjut masuk. Tangannya terangkat memencet bel di samping pintu.

Mungkin sekitar 5 kali Hujan membunyikannya sampai pintu putih itu terbuka. Namun, bukannya Khatulistiwa, Hujan malah mendapati eksistensi Bintang—teman sekantornya dulu semasa menjadi OB.

Keduanya menunjukkan mimik terkejut, tidak lama Hujan menghambur memeluk Bintang sebab cukup lama tidak ketemu.

"Apa kabar?" tanyanya usai melepas pelukannya dan menatap Bintang semangat.

"Baik. Jenguk Bang Katu, ya? Dia baru aja abis makan bubur."

Mendengarnya, Hujan melongokkan kepalanya ke dalam rumah Khatulistiwa. Sejenak dia ragu, apa kehadirannya tidak akan menganggu?

"Masuk aja. Bang Katu juga lagi nyender kok." sahut Bintang begitu menangkap kilatan keraguan dalam netra Hujan.

"Makasih ya." balas Hujan melangkah masuk dituntun Bintang yang mengarahkan kamar Khatulistiwa.

Keduanya berhenti di depan kamar yang di sinyalir adalah kamar Khatulistiwa.

"Gih masuk." Bintang mendorong kecil pundak Hujan, sekedar menghilangkan sisa-sisa keraguan pada diri temannya itu.

Memutar pelan handle pintu, Hujan mengintip. Benar apa yang Bintang katakan. Sosok Khatulistiwa, duduk bersandar pada kepala ranjang disertai kedua mata yang tertutup.

"Siapa, Bi?" suara serak pria itu menyapa telinganya. Agaknya Khatulistiwa mengira, yang masuk barusan adalah Bintang.

"Ekhem, aku." jawaban kaku Hujan menyentak Khatulistiwa dari tempatnya. Kedua netranya melebar sempurna.

"Rain!" binar wajah Khatulistiwa terlihat jelas. Siapapun yang melihatnya akan menilai, seberapa senangnya ia akan kehadiran sosok Hujan di kamarnya.

"Tunggu, aku halusinasi pasti." gumaman Khatulistiwa masih didengar Hujan.

Hujan tak mampu menyembunyikan senyumnya lalu berjalan menghampiri Khatulistiwa yang sedari tadi mengamatinya.

"Beneran aku kok." katanya menyentuh dahi Khatulistiwa, rasa hangat menyambut telapak tangannya. Agaknya sudah sedikit turun.

Sepertinya Khatulistiwa terlalu capek hingga drop.

"Beneran kamu ternyata." gumam Khatulistiwa memegang tangan Hujan yang berada di dahinya lalu menariknya hingga Hujan duduk di sampingnya.

Sedetik kemudian Khatulistiwa memeluk Hujan erat.

"Akhirnya obatku datang." bisiknya segera mendapat sebuah pukulan kecil di lengannya. Siapa lagi kalau bukan Hujan yang melakukannya.

"Bisa-bisanya sakit masih menggombal." omelnya ikut membalas pelukan Khatulistiwa, bahkan tangannya kini sudah bertengger di kepala Khatulistiwa guna mengelusnya lembut.

"Serius, Abang rindu banget. Sampe-sampe Abang mimpiin kamu diculik oleh orang." celetuknya seraya mencium pundak Hujan singkat.

"Orang sakit, aneh-aneh, ya mimpinya." Hujan menimpali yang Khatulistiwa balas dengan anggukan.

"Takut banget, Abang gak mau ada yang menjauhkan kita. Liat kamu minta tolong dan Abang gak bisa berbuat apa-apa selain liatin kamu. Badan Abang mendadak gak bisa digerakin." curhatnya yang masih dibayangi mimpinya semalam.

Hujan tertawa kecil, Khatulistiwa seperti anak balita yang tidak mau berjauhan dengan ibunya.

"Mimpi doang itu. Buktinya aku udah ada di sini."

Mendengar hal tersebut, Khatulistiwa tersadar sesuatu. Segera dia meleraikan pelukannya dan menatap Hujan menyelidik.

"Kok kamu bisa di sini? Di izinin sama pak Awan?"

"Bukan di izinin, tapi aku udah boleh pulang. Kondisi Glen udah membaik." jawabnya seadanya.

Tak lama Hujan memekik ketika Khatulistiwa menerjang tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam pelukan hangat pria tersebut.

"Kita bisa nikah dong. Mau ya, pokoknya harus mau. Abang udah gak tahan lagi berjauhan sama kamu."

Hujan membelalakan matanya, dia baru tau orang sakit bisa sedeng juga.

"Sttt~ jangan ganggu. Abang lagi mikirin tema undangan kita."

"Ihhh! Pokoknya Bang Katu gak boleh sakit lagi. Gini nih akibatnya." celotehan Hujan tak ditanggapi berarti Khatulistiwa. Sebaliknya pria itu mengungkung tubuh Hujan, seolah dia adalah guling hidup.

Dibalik pintu, Bintang mendengarkan tanpa berani mengganggu keduanya.

Ternyata hubunga mereka sudah sejauh itu.

Bintang tersenyum ironi, apakah sudah saatnya dia mundur?

Di sela pikirannya tersebut, ponselnya bergetar. Bintang melihatnya, beberapa bait pesan yang berhasil membuatnya meremas ponselnya kuat.

|Pilihan masih berlaku.
Bila memang kamu tidak
ingin mereka bersatu,
maka lakukan perintahku.

Kamu juga harus sesekali
Egois.

Haruskah Bintang egois kali ini?

💍💍💍

Hayoloh yang misuh2 nge cek  WP cuman ingin liat update-an cerita ini.

Gimana perasaan kalian setelah membaca part ini?

Berapa persen kepuasan kalian?

Hehehe, cerita yg lama up, seminggu sekali.

Seneng banget cerita ini udah ada peningkatan.

Kira2 part ini lebih meningkat lagi gak?

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang ReLuvi banyak2😘😘


Continue Reading

You'll Also Like

102K 18.1K 31
COMING SOON...
145K 6.7K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...
914K 70.5K 51
Alessia terbangun kembali sejak malam dirinya diculik oleh orang yang tidak dikenal. Dirinya bangun di tubuh perempuan yang lebih tua enambelas tahun...
596K 84.1K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...