ICE PRINCE & ICE PRINCESS [Su...

By dean_pure

151K 17.9K 5.7K

Menjadi anak konglomerat membuat Belva Kaylin Hartadi tak pernah takut melawan siapapun. Angkuh, intimidatif... More

Belva & Shaga
PROLOG
1. ICE
2. HELL
3. RUN
4. BEGINNING
5. FRACTIOUS
6. HUNGRY
7. ZEUS
8. ADAPTATION
9. TROUBLEMAKER
10. SHAGA
11. DODGEBALL
12. TIRED
13. ENEMY
14. DISAPPOINTED
15. UNDERSTANDING
16. CHOSEN
17. PARADE
18. ANGRY
19. MATH
20. TIPSY
21. SOUP
22. BATTERED
23. ALMOST
24. DANGER
25. LOST
26. CONFESS
27. DATING
28. GOTCHA
29. GRATITUDE
30. HELP
32. ESCAPE
33. VILLA
34. EXECUTION
35. GONE
RECALL
36. PERFECT
37. CHANCE
38. BLESSING
39. HAPPINESS
Povchat
EPILOG
Povchat I
Belvaga : Vote Cover
Pre Order Belvaga
Povchat II
Povchat III
Belvaga (Extra Part 1)

31. GANGSTER

2.5K 380 70
By dean_pure







"Belva dipaksa masuk mobil!"

Dentuman hebat di jantungnya kala mendengar nama Belva disebut dengan sebegitu paniknya, membuat Shaga seketika berlari menuju gerbang. Ia tidak memperdulikan beberapa siswa yang terdorong olehnya. Fokusnya hanya pada kerumunan di pintu gerbang yang semakin lama semakin terdengar saling tumpang tindih mempertanyakan kronologi menghilangnya Belva.

"Tadi gue dengar, Belva sempat teriak."

"Iya, tapi pas gue lari mau nolongin, dia udah digendong masuk ke mobil!"

"Mobil yang bawa dia?"

"Van putih! Van putih!"

"Kenapa nggak lo cegah, sih?"

"Gimana mau cegah! Kita tuh, sempet kedorong yang badannya gede tadi. Security kita aja sampai jatuh."

Para siswa yang sempat melihat kejadian itu saling bersahutan.

"Kemana?!" Shaga langsung bertanya sesampainya di kerumunan. "Kemana arah mobilnya pergi?!"

Para saksi mata yang terkejut akan suara keras Shaga, seketika menunjuk arah van putih itu pergi.

Tanpa pikir panjang, Shaga berlari secepat kilat menuju parkiran sekolah dimana motornya terparkir.

"Ga! B 2311 KJN!" Teriak Aruna yang sempat didengar Shaga.

Tarikan gas yang tak biasa, ia lajukan saat melewati gerbang, membuat para pelajar menepi dengan sendirinya.

Jalan raya tampak ramai oleh pengendara yang rata-rata adalah pelajar sekolah. Beberapa kali bunyi klakson Shaga membuat para pengendara lain uring-uringan. Ia tidak peduli, ia terus melajukan motornya sampai terhenti di perlintasan kereta yang sialnya sedang menutup.

Brengsek!

Shaga mengepal. Tapi pandangannya jatuh pada van putih yang berada di barisan paling depan. Ia mencoba merangsek agar bisa melihat plat nomornya. Dan matanya menyipit tajam ketika van putih itulah yang ia cari.

Shaga mencari celah agar motornya bisa mendekat. Di saat yang sama, palang pintu terbuka. Dan mobil itu kembali melaju. Harusnya ini kesempatan untuk Shaga mengejar. Tapi padatnya kendaraan membuatnya sulit untuk menyalip.

Ketika van putih itu memasuki jalan lebar, kendaraan mulai terurai. Shaga akhirnya berhasil mendekat, tapi tampaknya sang supir mengetahui keberadaan motornya yang sedari tadi mengikuti dari belakang, membuat van putih itu melaju lebih kencang.

Terjadi kejar-mengejar antara matic Shaga dengan mobil yang membawa Belva pergi.

Mencoba tenang, Shaga memutar otaknya mencari cara agar bisa menghentikan laju van putih itu. Dan tepat ketika mereka memasuki kawasan cluster perumahan yang sebagian rumahnya masih berupa bedeng proyek dan tanah lapang, Shaga menarik gasnya hingga maksimal. Motornya kembali mendekat. Kali ini berhasil mensejajari mobil mereka. Tanpa pikir panjang, ia menghadang jalan. Sayangnya rem mobil tak sanggup menghentikan laju secara mendadak, hingga terdengarlah suara hantaman yang begitu kencang.

"AGAAAA...!!!"

Belva berteriak histeris melihat Shaga terpelanting di depan mobil yang membawanya. Motornya masuk ke dalam kolong membuat van putih itu stuck di tempat.

"AGAAA!!" Teriakan Belva kini diselingi tangisnya. "LEPAS!! GUE MAU TURUN!! AGAAA!!" Belva berusaha meronta. Ia mau melihat Shaga. Ia mau melihat keadaan lelaki itu. Masih dengan histeris ia menggedor-gedor jendela. Tapi para suruhan papanya sigap menahannya.

Lalu tiba-tiba, dari arah lain, tampak segerombolan anak SMK datang bak pasukan siap tempur. Knalpot motor King yang jumlahnya tak terhitung itu cukup memekakkan telinga Shaga yang sedang menahan nyeri di sekujur tubuhnya.

Mereka semua turun dari motor, mengelilingi van putih dan juga Shaga yang masih tergeletak di aspal.

Lalu salah satu diantaranya berjongkok disamping Shaga.

"Lo ngapain atraksi begini, cok?"

Dengan desisan tertahan, Shaga berusaha duduk. Ia melepas helm dimana visor-nya sudah terbelah menjadi dua. Meskipun dalam keadaan pusing, ia bisa melihat banyaknya siswa SMK Garuda berdiri mengelilinginya.

Bima, menjulurkan tangannya untuk membantu Shaga bangkit. Dan ia menyambut.

"Belva diculik," terang Shaga.

"Lah, anjing! Siapa yang nyulik?"

Shaga menunjuk van putih yang masih stuck dihadapan mereka.

"Wow," Bima terpana. Sepertinya ada hal menarik yang bisa ia lakukan sekarang. Ia lantas menyipit menembus ke dalam kaca film mobil. Tampak Belva yang sedang meronta di dalamnya.

"Thank me later, bro!"

Bima melangkah lebih dulu, golok yang sempat dititipkan pada anggotanya ia ambil kembali lalu menodongkannya di depan van putih itu.

"TURUN LO BANGSAT!" Teriak Bima begitu gahar.

Semua anggotanya kini ikut mengelilingi mobil dengan senjata masing-masing di tangan mereka. Ada yang membawa clurit, golok, tongkat baseball, bahkan parang yang begitu besar.

"Lo mundur goblok!"

"Mana bisa mundur, Boss! Mobil kita kehalang motor dibawah!" Debat sang supir.

Shaga menggeleng memastikan lehernya masih bisa berfungsi, ia lalu melangkah pincang mendekati Bima. Ada darah mengalir di siku dan lututnya. Beruntung kepalanya terlindungi helm yang menyelamatkannya dari antukan keras, meskipun masih terasa sedikit pusing.

Bima menyerahkan goloknya pada Shaga. Dan bersama teman-temannya, mereka mendekat.

"KELUAR LO, WOYY!!" Suara serak Bima terdengar menggelegar mengancam sang supir, sembari menggebrak kap mobil hingga penyok. Salah satu pembawa parang sudah mengacungkan siap menggempur kaca jendela.

Tapi penghuninya tak kunjung keluar, hingga membuat satu kaca spionnya rusak akibat tendangan mereka.

"KELUARIN BELVA ATAU GUE PECAHIN KACA JENDELA LO!" Suara Bima masih menggema.

"TURUN WOY!"

"TURUN BANGSAT!"

Suara lainnya ikut menyahut, menggedor van putih itu dengan beringas hingga mobil itu terasa bergoyang.

Shaga melangkah menuju pintu tengah. Dengan tatapan paling tajam mengacungkan goloknya ke arah jendela. Dan sekali kibasan, ia berhasil mencetak baret panjang di kaca jendelanya.

"KELUAR!!" Bentak Shaga murka.

Ditambah kini Bima menghancurkan kap depan dengan tongkat baseballnya secara brutal.

Ketika Shaga mengacungkan kembali goloknya, pintu mobil tengah terbuka pada sisi dimana Shaga berada.

Salah satu bodyguardnya turun dengan angkuh dan menantang. Ada sebuah pistol diarahkan ke wajah Shaga.

"Aga! Jangan..." Belva memohon dari dalam mobil. Ia memohon agar Shaga tidak bertindak gegabah hingga memancing orang suruhan papanya ini berbuat lebih jauh.

Tapi sayangnya, Shaga tak gentar. Ia tidak mundur barang sejengkalpun. Matanya semakin memicing tajam dengan rahang yang mengeras tegas.

Disaat yang sama, anak SMK itu mendekat perlahan, mengacungkan senjata tajam mereka untuk melindungi Shaga. Dan ketika Shaga melihat kode yang diberikan Bima, Shaga bersiap.

PRANG!!

Jeritan Belva terdengar dari dalam mobil.

Suara pecahan kaca jendela mengalihkan perhatian mereka. Shaga langsung memuntir pergelangan bodyguard itu dan menjatuhkannya. Para anggota Bima yang lain sigap membantu hingga pistol glock milik bodyguard itu terguling di aspal. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, para siswa SMK itu seketika mengeroyoknya hingga babak belur.

Shaga mengambil pistol yang tadi sempat terlempar. Kini gilirannya mengacungkan senjata api itu ke dalam mobil. Ia melebarkan pintu dengan waspada. Disisi lain, Bima sedang menodongkan tongkat baseballnya dari jendela yang sudah ia pecah untuk mengancam para bodyguard yang lain.

"Lepaskan Belva!" Suara Shaga begitu dalam terdengar.

Dua orang di dalam mobil itu perlahan mengangkat tangan. Dan dengan penuh kewaspadaan, Belva turun dari mobil.

Setelah pintu tertutup, Belva berhambur ke pelukan Shaga. Beberapa anak SMK lainnya mengambil posisi melindungi. Shaga langsung menjauhkan golok dari tubuh Belva dan memasukkan pistol ke dalam sakunya. Dengan hati-hati ia membawa Belva menjauhi van putih. Sedangkan bodyguard yang tadi terkapar, kini mereka seret kembali masuk ke dalam mobil.

Bima memerintah salah satu anggotanya untuk mengeluarkan motor Shaga dari kolong mobil. Dan saat itulah, van putih itu bisa melaju pergi.

Sesaat setelah mobil itu menjauh, semua orang menghembuskan napas lega. Ada yang tertawa puas, ada yang berdecih.

"Motor lo biar dibenerin anak-anak di markas." Bima mendekat. Ia memandang Belva yang masih tampak ketakutan di pelukan Shaga.

"Mending sekarang lo pesen taksi. Kasihan cewek lo."

Shaga mengembalikan goloknya pada Bima. "Thanks."

"Itu, pistol nggak sekalian lo kasih ke gue?" Pinta Bima pada senjata api yang tampak dari sakunya.

Shaga tersenyum miring. "Fair-fairan aja kalau mau tawuran."

"Si anjing!" Dengus Bima.

Belva sontak menoleh. Dan Bima memberikan senyumnya pada gadis itu. Sedetik kemudian, Belva kembali menyembunyikan wajah di dada Shaga.

"Udah nggak mood ah, gue." Ia memandang para anggotanya. "Balik ke markas."

"Lah, nggak jadi nyerang anak Bumi Putra ini kita?"

"Lo udah dapat gebuk juga, masih kurang?" Sanggah Bima pada salah satu anggotanya yang tadi berhasil melumpuhkan si penodong pistol.

"Ntar hubungi base kita aja, gue yang pegang akunnya. Kita lanjut bahas motor lo disana."

"Thanks, Bim." Sekali lagi ia berterima kasih. Shaga menjulurkan tangan kirinya, alih-alih tangan kanan yang saat ini ia gunakan untuk mendekap Belva.

Melihat itu, Bima berdecih membalas jabat tangan Shaga.







---o0o---







Kotak obat yang sempat tertahan di kamar Shaga beberapa waktu lalu, akhirnya kembali ke tangan Belva. Perlahan dan penuh kehati-hatian, Belva menunduk fokus mengobati luka Shaga. Tidak hanya di siku dan lutut, pergelangan kaki Shaga juga terkilir. Dan ini harus ditangani oleh Diego. Setibanya di kost nanti, calon dokter itu berjanji akan memeriksa Shaga, tentu saja atas paksaan Belva.

Sedangkan sang pasien hanya diam mengamati gadis itu yang sejak tiba di rumah sibuk kesana-kemari, mengambil air dingin untuk mengompres kakinya, lalu mengambil bantal agar dirinya bisa bersandar nyaman di kaki sofa, kemudian memanggil Mpok Ida memintanya membuatkan minum. Dan sekarang, gadis itu sebisa mungkin mengobati luka di lututnya.

"Sakit?" Belva mendongak.

Shaga tersenyum tipis dan menggeleng.

"Bohong banget!" Gerutunya kesal.

"Jangan ditekan ju-ga," suara Shaga tertahan. Menahan perih akibat ulah Belva yang sengaja menekan lukanya.

Masih dengan wajah marah, Belva meletakkan sisa kasa diatas meja. Ia menatap Shaga dengan tajam. "Emang otak kamu yang pinter itu tiba-tiba nggak berfungsi? Kamu tahu nggak seandainya motor kamu nggak masuk kolong, kamu bisa kelindes? Kamu tahu nggak jantung aku rasanya merosot ke kaki denger suara kamu ketabrak gitu? Kamu tahu nggak rasanya tiba-tiba ngefreeze lihat kamu guling-guling di aspal? Kamu tahu nggak pikiran aku udah kemana-mana? Hm? Kamu tahu nggak, aku tanya?!"

Dengan mata selembut beludru, Shaga menatap Belva intens. Tidak membantah, tidak pula membela diri. Melihat gadis itu kini ada dihadapannya saja sudah membuatnya senang. Apalagi mendengar gadis itu marah-marah karena kecerobohan yang menurutnya sangat beralasan.

"Minum dulu, Bang, yak. Biar tenang.
Jantungnya pasti gerojokan dah, tuh. Lain kali diati-ati, Bang. Sampai berdarah gitu, kagak sakit apah?" Mpok Ida memotong omelan Belva. Sebuah teko berisi sirup dingin disuguhkan di meja tamu bersandingan dengan kotak obat Belva. "Mbak Belva juga nih, udeh, yang penting Bang Aga kagak ape-ape, selamet udah syukur. Toh, Bang Aga begini juga kan demi Mbak juga."

"Iya, tapi kan nggak perlu sampai nabrakin diri, Mpok!" Belva menunduk, kembali fokus pada luka di kaki Shaga. "Kalau udah begini, gimana? Dikira nggak tahu apa kalau ini, nih... sakit...," suara Belva tercekat di akhir kalimat.

"Lah, yang luka Bang Aga, napa jadi Mbak yang nangis?" Mpok Ida bingung menatap Belva dan Shaga bergantian.

Shaga menarik napasnya dalam-dalam sebelum mengambil alih betadine dari tangan Belva. Ia tersenyum tipis pada Mpok Ida yang panik mendengar tangis juragannya semakin kencang. Shaga mengangguk untuk meyakinkan Mpok Ida kalau dia bisa mengatasinya. Dan kemudian Mpok Ida bangkit, menyerahkan urusan ini pada Shaga. Dalam hal membujuk Belva, lelaki itu memang sudah dipercaya.

"Sini," bisik Shaga pelan. Ia menyelipkan lengan dibawah lutut dan punggung gadis itu, mengangkatnya seolah tidak pernah terjadi kecelakaan yang menimpanya. Lalu memangku dan mendekapnya. Belva masih terisak. Kini ia bersembunyi di potongan leher Shaga. Bergumam tidak jelas yang terdengar seperti omelan panjang. Shaga menimangnya seperti seorang bayi, mengelus punggungnya agar gadisnya merasa lebih tenang.

"Bel... Dengar." Ia menyandarkan pipinya di dahi Belva. "Apapun yang berhubungan sama kamu, itu penting. Kamu satu-satunya orang berharga yang aku punya sekarang. Apapun yang terjadi, aku akan pastikan kamu aman. Jadi ini semua bukan apa-apa dibandingkan harus lihat kamu terluka lagi."

"Tapi gimana dengan aku!" Belva menjauhkan diri demi bisa menatap lelaki itu lekat. "Kamu pikir aku bisa lihat kamu luka-luka gini? Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Aga. Ini aku sesek banget ngerti nggak, sih?" Belva menunjuk dadanya. Merasa sulit menjelaskan apa yang dirasakannya, ia frustasi. Hanya air matanya lah yang mewakili perasaannya. Dan itu membuat tatapan teduh Shaga berubah nanar.

"Maaf..." Ia mengusap air mata di pipi Belva. "Lain kali aku bakal hati-hati."

"Aku tuh sayang kamu banget, Aga. Kamu juga penting buat aku! Jangan bikin hati aku sakit lihat kamu mengorbankan diri kayak gini." Senggukannya makin terdengar. Ia melingkarkan lengannya di leher Shaga dan kembali bersembunyi di pundak kokoh lelaki itu. Suara tangisnya teredam disana cukup lama.

Shaga membalas pelukan itu tak kalah eratnya, menyalurkan perasaan yang sama. Ia mencium pundak Belva berkali-kali sembari mengutarakan kata maaf hingga gadis itu berhenti menangis. Bukan maaf untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi, tapi untuk perasaan sakit yang dirasakan gadis itu. Karena apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah berhenti melindunginya.

"Jadi...." Shaga mencoba mencairkan suasana. "Kita nggak jadi putus, nih?" Godanya.

Mendengar itu, sontak Belva kembali menjauhkan wajah. Ekspresinya berubah. "Emangnya kamu mau kita putus?"

Shaga menatap horor wajah galak Belva sambil menggeleng. Sepertinya dia salah mengambil kata.

"Terus ngapain nanya begitu?"

"Bukan. Maksud aku..."

"Kamu berharap kita putus? Atau gimana? Seneng kamu, biar bisa deket lagi sama siapa tuh kemarin, cantika? Iya?" Belva bangkit dari pangkuan Shaga. Menjauh dengan duduk di atas sofa. "Cowok dimana-mana sama aja! Sukanya mainin perasaan wanita!" Ucap Belva dramatis yang didukung suara paraunya.

Shaga mengerjap. Lalu kemudian mengaduh memegang kepalanya. "Sshh... Aduh, kepalaku sakit banget."

Hal itu membuat Belva seketika menoleh. "Tadi katanya nggak sakit." Ia turun lagi mendekati Shaga.

"Ini sekarang sakit."

"Minum paracetamol, ya?" Tawarnya dengan nada panik. Ia mendongak memastikan apakah ada luka lain di kepala Shaga tapi lelaki itu malah mengecup bibirnya sekilas.

Mereka terdiam, saling pandang beberapa saat.

"Iiih... kamu bohong!!" Gerutu Belva sebal.

Shaga terkekeh. Dan hanya pasrah menerima pukulan-pukulan ringan di pundaknya.







---o0o---








Diego datang tak lama setelah Om Derry tiba. Sembari abang kostnya itu memeriksa kondisi Shaga di kamar lelaki itu, Belva menceritakan kronologi yang dialaminya kepada omnya. Shaga tadi juga sempat bertemu dan menambahkan sedikit detail keadaannya.

Mendengar kabar dari Om Derry, tak heran jika saat ini kondisi mental Adhi kembali tidak stabil hingga melakukan banyak cara untuk memaksa Belva kembali pulang. Ternyata, istrinya yang sekarang tengah berselingkuh dibelakangnya.

Dan Belva sudah bisa membayangkan betapa suramnya rumah papanya sekarang. Pantas saja Nadia begitu kekeuh memaksanya untuk pulang.

"Seluruh hak waris papamu sudah kembali ke kamu," terang Om Derry.

Kabar itu bukanlah hal yang ingin ia dengar. Sebab ia tahu, semua harta kekayaan itu adalah boomerang untuknya. Dengan mewarisi perusahaan, maka dirinya harus siap menuruti semua perintah papanya termasuk melanjutkan pendidikan sesuai dengan apa yang papanya inginkan.

"Kondisi wanita itu... gimana?" Tanya Belva enggan menyebut namanya.

"Vera sempat masuk rumah sakit akibat lemparan vas bunga dari papamu. Saat ini Vera dan putrinya sedang melapor ke polisi."

Belva mengangguk.

"Tapi kamu tahu sendiri permainan papamu seperti apa. Mana ada polisi yang mau menindak kasus itu."

"Terus, sekarang?"

"Papamu nggak mau menceraikan Vera."

Dan dari tatapan Derry, Belva tahu maksud dibalik keputusan papanya. Ya, seperti mengulang pola yang sama. Nasib Vera akan seperti mamanya.

"Om, Belva nggak mau pulang. Tolongin Belva."

Tentu saja dirinya tidak mau terlibat lagi. Sudah cukup penderitaan yang ia terima, ia tidak mau menjadi korban atas kesalahan orang lain.

"Bel, surat perjanjian antara papa kamu dengan Mbak Sarah masih berlaku. Setelah usia kamu genap delapan belas tahun, maka kamu berhak tinggal sendiri. Seperti yang sudah disepakati mama dan papamu."

Masih ada beberapa hari sebelum hari ulang tahunnya tiba. Dan sebelum hari itu datang, ia harus bersembunyi dari kejaran papanya. Sempat terlintas di pikirannya, jika saja hari ini Shaga tidak berhasil mencegah, mungkin dirinya sudah tak lagi berada di Jakarta. Ia mengernyit ngeri.

"Sekarang, mana senjata yang kamu ceritakan?"

Belva menyerahkan bungkusan berisi pistol glock 19 kepada Om Derry.

"Ini bisa dijadikan barang bukti pengancaman dan penculikan jika sampai ada hal darurat terjadi. Jangan khawatir, Om akan melindungi kamu."

Belva bisa sedikit merasa tenang mendengar penuturan Derry.

"Om pamit dulu. Kamu hati-hati dan jaga diri. Sampaikan ke pacar kamu. Terima kasih sudah jaga keponakan Om." Pria itu tersenyum sembari mengusap kepala Belva.

Tapi... darimana Om Derry tahu?

Ekspresi Belva membuat Derry tertawa. "Jangan kaget gitu, Om bisa lihat mana orang yang kelihatan tulus sama kamu," kekehnya. "Om kasih restu. Tapi bilang ke pacar kamu, jangan sampai bikin ponakan Om lecet barang sedikitpun. Om akan layangkan gugatan kalau itu sampai terjadi."

Kini giliran Belva yang terkekeh geli.





***
To be continued

***


Jadi, seandainya Belva berhasil di culik, dia bakal langsung diterbangkan papanya ke New York saat itu juga. Soalnya papanya merasa masih berhak mengasuh Belva sebelum dia genap 18th.

Thanks to Bima and the gang yang niatnya mau tawuran malah ngebantu Shaga.

Spill dulu mas mas gagah berani ini

Bima

Tapi masalah belum kelar ya gengs, mau nimbun chapter dulu boleh. Mau langsung baca boleh. Mau neror supaya cepet update juga boleh. Senyaman kalian aja, pokoknya tujuan baca belvaga ini supaya bahagia 🤗💙

Thank you and see yaw 🙌

Btw ini udah jam 6 pagi dan aku belum tidur. Enjoy lah kalian, aku mau tidur dulu, bye 👋

Continue Reading

You'll Also Like

2M 30K 45
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
107K 7.8K 34
Di mata Shalsa, Farhan itu aneh. Cowok itu bisa sangat menyebalkan tetapi juga menyenangkan di waktu yang sama. Jeno x Somi *** Cover by pinterest
15.4K 3.3K 55
[COMPLETED] Ada banyak hal yang tidak Sasa (Aresha Lynelle) ketahui tentang teman sekelasnya, Arkana Jeno. Entah mengapa lelaki yang memiliki tahi l...
2.3M 22.4K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...