ANXI EXTENDED 2

由 wins1983

14.1K 3.5K 856

Semua berubah semenjak Ilyasa wafat. Yunan jadi lebih dekat dengan Raesha, jandanya Ilyasa, sekaligus adik an... 更多

Here we go (again)
1 - Hati-hati
2 - Malam Mencekam
3 - Malam Mencekam
4 - Malam Mencekam
5 - Luka
6 - Tersambung
7 - Berita
8 - Ketetapan
9 - Menghindar
10 - Tempat
11 - Takut
12 - Jangan Lari
13 - Hajat
14 - Husnuzon
16 - Baik-Baik Saja
17 - Korban vs Tersangka
18 - Mulia
19 - Janggal
20 - Surat Panggilan
21 - Berkah
22 - Biarkan
23 - Pengacara
24 - Perbedaan
25 - Kepingan
26 - Kenapa
27 - Kelam
28 - Sakit
29 - Baik
30 - Perdana
31 - Perdana
32 - Perdana
33 - Perdana
34 - Perdana
35 - Sudahlah
36 - Persiapan
37 - Napak Tilas
38 - Emosi
39 - Skenario
40 - Hanif
41 - Kiriman
42 - Kiriman
43 - Gila?
44 - Gila?
45 - Gila?
46 - Sidang Tanpa Rizal
47 - Jenguk
48 - Gelap
49 - Ayat Kursi
50 - Ruqyah
51 - Kembali
52 - Sadar
53 - Gemuruh
54 - Letusan
55 - Terobos
56 - Mata-mata
57 - Tali
58 - Sidang Kasus Penyusupan
59 - Ganjil
60 - Niat
61 - Alot
62 - Bohong
63 - Tanya
64 - Tolong
65 - Simpan
66 - Tepi Sungai
67 - Siap-siap

15 - Telepon Masuk

263 58 5
由 wins1983

.

.

"Percuma. Gak ada jejaknya. Sudah Kakak hapus juga nomornya di daftar telepon masuk."

.

.

***

Yunan mengembuskan napas, saat berdiri di depan pintu kamar Raesha.

Ia mengetuk pintu. Terdengar suara wanita menyahuti dari dalam kamar. Yunan berusaha mengabaikan desir dalam hatinya saat mendengar suara sahutan itu.

"Kakak?" panggil Raesha yang nampak anggun dengan gamis dan jilbab hitam. Dua garis pita mengkilap, menjadi aksen yang mempermanis gamis simpel itu. Pipi Raesha yang ada memarnya, tertutup kain kasa dan plaster, sesuai permintaan Yunan yang tidak ingin memar di wajah Raesha jadi konsumsi publik. Meski kelak nanti di pengadilan, tentunya hal itu tak terelakkan, sebab memar itu akan jadi bukti penganiayaan.

"Sudah siap?" tanya Yunan tersenyum kikuk. Mereka akan pergi memenuhi panggilan kepolisian, padahal. Tapi entah mengapa Yunan jadi ingat momen-momen masa lalu dimana mereka dulu selalu pergi bersama. Ke mana-mana bersama.

"Sudah, Kak. Ayo, Ismail, Ishaq," ajak Raesha.

Kedua putra Raesha, muncul di muka pintu. Ishaq mengenakan kemeja lengan panjang biru, dan Ismail memakai kemeja lengan panjang marun dan aksen garis melintang putih di bagian dada.

"Masya Allah. Pada keren-keren banget," puji Yunan sambil mengelus kepala kedua keponakannya. Ismail dan Ishaq tersenyum malu-malu.

"Ayo. Supir sudah menunggu di luar," ajak Yunan sambil menggandeng tangan Ismail.

"Iya, Kak," sahut Raesha menggandeng tangan Ishaq.

Raesha menatap sosok Yunan yang berjalan di depannya. Pipinya terasa hangat. Dulu sekali, dia pernah membayangkan dirinya membangun rumah tangga dengan Kak Yunan. Mereka akan berjalan menggandeng anak-anak mereka. Mirip seperti saat ini. Hanya mirip saja.

Raesha menggigit bibir sembari menundukkan pandangan. Jangan. Jangan menginginkan yang menjadi milik orang lain.

Pintu mobil ditutup oleh pelayan. Yunan duduk di samping supir. Raesha dan kedua putranya duduk di bangku belakang. Mobil melaju keluar gerbang, menuju kantor kepolisian.

"Ismail, Ishaq, kalian tahu kita mau ke mana?" tanya Yunan tersenyum menoleh ke belakang.

Kedua anak itu mengangguk. "Tahu, Om. Kita mau ke kantor polisi," jawab Ismail.

"Kalian tahu kenapa kita ke sana?" tanya Yunan lagi. Hanya ingin mengecek sejauh mana kepahaman anak-anak ini tentang apa yang kemungkinan akan mereka hadapi nanti di kantor polisi.

"Karena kita diminta datang sama Pak Polisi. Kita mau ditanya-tanyain soal orang jahat yang waktu itu masuk ke rumah," jawab Ishaq.

"Iya. Benar. Jadi, nanti polisi mungkin akan menanyai kita bergantian," kata Yunan.

"Bergantian? Kenapa gak bareng-bareng aja, Om?" tanya Ismail.

"Soalnya, mereka mau mastiin kalau jawaban kita gak berlainan. Jadi, nanti kalau ditanya-tanya Pak Polisi, kalian jangan takut, ya. Jawab saja seperti apa adanya. Pak Polisinya baik-baik kok, insya Allah," Yunan tersenyum saat mengatakannya. Dia tidak ingin anak-anak tegang saat ditanyai polisi.

"Kalau ada pertanyaan yang kalian tidak yakin apa jawabannya, bilang saja tidak tahu," imbuh Yunan.

"Iya, Om!" sahut Ismail dan Ishaq bersamaan.

Raesha tersenyum terharu. Kak Yunan, mengurusinya sejak dulu sampai sekarang. Bahkan anak-anaknya, sekarang diurusi juga oleh Kak Yunan. Sampai berpikir bagaimana supaya anak-anaknya merasa nyaman di kantor polisi nanti.

Ponsel Raesha tiba-tiba berbunyi nada deringnya. Siapa yang -- oh ya ampun. Raesha baru ingat, semenjak kejadian insiden Sobri menerobos rumahnya, sampai detik ini dia belum sempat membaca semua pesan masuk di ponselnya. Baru balas pesan Kak Arisa saja.

Raesha terdiam melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya. Siapa kiranya? Sempat enggan mengangkat, Raesha akhirnya memutuskan mengangkat sambungan telepon itu.

"Assalamu'alaikum," sapa Raesha.

"W-Wa'alaikumussalam. Afwan, Ustadzah. Maaf mengganggu. Saya bukannya -- ah, sebenarnya saya sudah kirim chat tapi belum dibalas. Makanya saya --," ucap sang penelepon terdengar gugup maksimal.

Raesha mengernyitkan dahi. "Afwan, ini dengan siapa, ya?" tanya Raesha. Suara pria ini terdengar familiar, tapi dia lupa ini suara siapa.

Meski Yunan terkesan cuek di depan, sebenarnya telinganya terpasang dengan radar kuat.

"Saya Malik," jawab penelepon itu.

"O-ooh -- Ustaz Malik," gumam Raesha pelan, takut terdengar oleh Yunan tapi telanjur sampai ke telinga Yunan. 

"Iya. Afwan saya lancang. Begitu saya lihat berita di TV, saya khawatir sekali. Saya langsung tanya nomormu ke salah satu staf acara studio. Saya kirim chat, tapi saya maklum kamu pasti sibuk, karena saya dengar juga, ada saudaramu yang meninggal. Turut berduka. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Afwan saya tidak datang melayat, karena tidak tahu alamatnya. Saya cuma tahu alamat rumahmu saja."

"Ooh. Syukran, Ustaz. Tidak apa-apa. Kejadiannya cepat sekali soalnya. Afwan, saya tidak sempat kirim pemberitahuan bahwa Mbah saya meninggal dunia."

"Tidak apa-apa. Saya hanya ... khawatir saja. Gimana kondisimu sekarang?"

"Oh saya baik-baik saja alhamdulillah. Hanya memar kecil saja, Ustaz," Raesha tertawa tegang. Melihat dari cermin di depan sana, sorot mata Yunan nampak kurang bersahabat.

"Apa tidak sebaiknya ke dokter untuk periksakan lukanya? Takutnya ada luka dalam."

"Emm ... sepertinya tidak ada luka dalam, Ustaz. Hanya --"

Raesha menjerit saat tiba-tiba Yunan merampas ponsel miliknya.

"Kamu masih tidak paham yang kubilang waktu itu? Perlu berapa kali mengancammu untuk menjauhi Raesha?? Urusanmu dengan dia, hanya di studio TV saja. Tidak lebih dari itu! Paham?? Kamu tidak perlu repot-repot khawatir segala. Raesha tidak sebatang kara. Ada keluarganya yang mengurusnya. Jadi menyingkirlah!" omel Yunan terdengar tenang tapi galak.

"Kakak!!" protes Raesha yang memajukan posisi duduknya, berusaha merebut kembali ponselnya, tapi Yunan mengelak.

"Hoo. Kak Yunan ada di sana juga rupanya. Kurasa aku utang nyawa padamu. Syukran sudah menolong Raesha dari penjahat itu. Jazakallah kheir, Syeikh," ucap Malik, terdengar tulus bercampur kesal. Ucapan terima kasihnya tulus, tapi kesal karena percakapannya dengan Raesha disabotase. Pantas saja dari tadi suara Raesha terdengar tegang dan tidak rileks.

"Simpan terima kasihmu. Aku tidak butuh itu. Aku menolong Raesha memang sudah semestinya. Kamu yang tidak paham seperti apa hubungan kami. Dan aku tidak berharap kamu paham," tukas Yunan sinis. Jika tak ada Ismail dan Ishaq di sini, ingin rasanya dia meluapkan emosinya lebih keras lagi. Sekarang dia masih berusaha mengontrol nada suaranya.

Malik terdengar melengos. "Tidakkah ini sudah berlebihan? Ayolah, Syeikh Yunan. Aku tidak boleh menyampaikan ucapan belasungkawa dan menanyakan kabar Raesha setelah kejadian mengerikan itu?"

"Ucapkan saja di studio TV. Tidak perlu menghubungi nomor Raesha segala," jawab Yunan sebelum memutus sambungan telepon, lalu menekan beberapa tombol di layar ponsel Raesha.

"K-Kakak ngapain??" seru Raesha yang kepalanya rasanya panas. Kesal sampai ke ubun-ubun.

"Nge-block nomor dia!" sahut Yunan dengan tatapan fokus ke ponsel Raesha.

"Kak, Malik cuma berusaha sopan. Cuma mau menyampaikan turut berduka, dan khawatir dengan keadaanku setelah melihat berita di TV! Tidak perlu sampai marahin dia segala! Dan gak perlu block nomor dia! Kakak bikin aku malu aja!" ucap Raesha dengan tatapan nyalang. Sungguh kalau Kak Yunan sudah bertingkah seperti ini, dia kesal sekali!

"Terserah kamu mau bilang apa. Kamu bisa malu pada Kakak semaumu. Kakak tetap block nomor dia. Nih!" Yunan mengembalikan ponsel Raesha, nyaris seperti melempar.

Raesha mengatur napas. Berusaha agar tidak 'meledak' di tempat. Kak Yunan benar-benar --" Raesha mengecek daftar telepon masuk.

"Percuma. Gak ada jejaknya. Sudah Kakak hapus juga nomornya di daftar telepon masuk," kata Yunan melipat tangan.

Raesha menatap Yunan dengan sorot mata tajam, dari bangku belakang. Tapi Yunan nampak tidak perduli.

"Tidak pantas buat dia menghubungi kamu di luar acara dakwah kalian. Dia harus tahu itu. Nanti kalau dia mencoba menghubungimu lagi dengan nomor lain, block lagi. Kalau kamu gak mau, kalau sampai ketahuan sama Kakak, biar Kakak aja yang block," kata Yunan santai.

Muka Raesha merah, ingin marah-marah rasanya, tapi tidak tega dengan kedua anaknya yang saat ini memperhatikan dirinya dan Yunan bergantian dengan ekspresi bingung.

Hiiihhhhh!!!! teriak Raesha dalam benaknya sendiri.

.

.

Raesha menelan saliva, saat melihat wartawan berjejalan menunggu kedatangan mereka di halaman kantor polisi. 

Gawat ini, batin Yunan. Mereka tidak menyangka kalau wartawan akan muncul di sini. Mereka tidak datang dengan pengawal. Hanya ada seorang supir. 

"Kakak keluar duluan. Kamu di belakang Kakak. Jangan berkomentar apapun juga. Diam saja. Kita belum ada kuasa hukum. Nanti kalau sudah ada, biar kuasa hukum kita yang bicara," kata Yunan mengomandoi.

Mobil mereka parkir. Yunan keluar lebih dulu. Wartawan segera mengenalinya. Yunan membuka pintu belakang. Raesha turun dengan anak-anak. Yunan menggandeng Ismail, Raesha menggandeng Ishaq. Raesha menempel tepat di belakang Yunan. 

"Ustadzah Raesha, apa luka di pipi Ustadzah parah?"

"Boleh lihat lukanya, Ustadzah?"

"Kami dengar dari polisi, Sobri baru saja dioperasi untuk mengeluarkan peluru di bahunya. Tapi kami belum mendapat keterangan, peluru itu dari pistol milik siapa. Apa Sobri membawa pistol saat kejadian di tempat perkara, Ustadzah?"

"Syeikh Yunan, apa anda menyaksikan saat Sobri ditembak? Siapa yang menembakkan peluru ke Sobri, Syeikh?"

Yunan dan Raesha diam saja, sampai akhirnya beberapa orang polisi datang membantu mereka menghalau para wartawan.

Tak lama, mereka akhirnya bisa duduk di dalam kantor polisi. Raut wajah Yunan dan Raesha, keduanya cemberut. Beberapa orang polisi di hadapan mereka, saling tatap. Semuanya merasakan aura permusuhan dari kedua tamu mereka. Sementara dua tamu kecil lainnya, menatap kagum sekeliling ruangan. Kedua bocah itu nampaknya baru kali ini ke kantor polisi.

Seorang polisi yang duduk di depan komputer, berdehem sebelum bicara.

"Jadi, ... begini, Ustadzah Raesha dan Syeikh Yunan, seperti kita ketahui bersama, kasus yang menimpa almarhum Ustaz Ilyasa dan Ustadzah Raesha ini, sudah bukan kasus keluarga anda lagi, melainkan sudah menjadi kasus publik. Maka sekalipun misalnya anda tidak mengajukan tuntutan hukum kepada Sobri, publik akan tetap menuntut agar Sobri dikenai hukuman."

"Baik, Pak. Tentu. Tentu saja saya akan mengajukan tuntutan hukum pada Sobri," sahut Raesha segera. 

"Baik. Kalau begitu, tolong isi formulir ini," kata polisi lainnya yang duduk di samping polisi tadi. Pria itu menyerahkan beberapa lembar dokumen isian. Raesha mengisi dokumen itu dengan pulpen yang diserahkan polisi di meja. 

"Lalu apa ada dokumen lain yang mesti saya isi?" tanya Raesha. 

"Berhubung surat tuntutan hukum sudah anda ajukan, maka langkah selanjutnya adalah visum. Sebenarnya, mestinya visum dilakukan hari itu juga saat kejadian. Tapi malam itu anda sedang melayat keluarga yang wafat, jadi kami menunda pemanggilan."

"Oh, baik, Pak. Visumnya di sini?" tanya Raesha.

"Tidak, Ustadzah. Visum akan dilakukan di rumah sakit rekanan kami. Petugas kami akan mengantar anda. Ah sebelumnya, yang mengalami luka yang diakibatkan langsung oleh pelaku, siapa saja?"

"Adik saya dan saya. Ismail ada luka juga, tapi dia luka karena terjatuh. Bukan karena dilukai pelaku," jawab Yunan.

"Kalau begitu, yang divisum anda berdua saja. Petugas kami akan mendampingi anda ke rumah sakit."

Mereka pergi dengan mobil milik kepolisian. Mobil toyota fortuner hitam bernomor plat tulisan kuning dan lambang kepolisian di kiri nomor. Anak-anak diantar supir keluarga Danadyaksa ke rumah sakit, mengekor mobil milik polisi.

Di dalam mobil polisi, Yunan dan Raesha diam saja. Duduk berjauhan, persis orang yang bermusuhan. Di depan, dua orang polisi turut merasakan aura tak bersahabat di belakang mereka. 

Tak lama, mereka tiba di rumah sakit yang ternyata lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor polisi. Hanya berjarak sekitar lima belas menit perjalanan. Yunan dan Raesha memasuki lobi rumah sakit bersama dua orang polisi mengawal mereka. Anak-anak menunggu di parkiran mobil bersama supir keluarga mereka.

"Mari, Ustadzah Raesha. Anda yang duluan divisum," kata seorang suster. Raesha berdiri dari kursi ruang tunggu.

"Tunggu!" cegah Yunan. "Yang visum adik saya, semuanya harus perempuan. Saya tidak mau ada laki-laki satu orang pun!" 

Sang suster saling lirik dengan petugas kepolisian yang duduk di samping Yunan.

"Baik, Pak. Akan kami aturkan supaya semua petugas yang terlibat visum Ibu Raesha, semuanya perempuan," sahut sang suster tersenyum pada Yunan.

"Hapemu ada di tas, 'kan? Kalau ada apa-apa, telepon Kakak," kata Yunan pada Raesha. 

Cuma mau divisum, padahal. Tapi Raesha seperti mau diapakan saja, batin suster dan dua polisi yang menyaksikan mereka.

Raesha tidak menjawab, malah melengos dan pergi meninggalkan Yunan di ruang tunggu. Kak Yunan selalu membuatnya malu. Aku malu, Kak! Maluuu!! batin Raesha menjerit. Mukanya terasa panas. Dia diperlakukan seperti anak bocah saja.

Yunan menghela napas lega. Biar saja. Biar Raesha memusuhinya. Dia tidak perduli. Semuanya dia lakukan untuk kebaikan Raesha. Semuanya. 

"Maaf, Pak. Pak Yunan ini, Kakaknya Bu Raesha?" tanya salah seorang staf polisi yang duduk tepat di samping Yunan.

"Iya," jawab Yunan.

"Oh. Maaf. Saya kira suaminya. Wajahnya gak mirip soalnya," komentar polisi itu sambil tertawa santai. Polisi ini pasti tidak mengikuti perkembangan kasus mereka di televisi, tebak Yunan.

Yunan tersipu. Seperti itukah kelihatannya? Dia seperti suami Raesha? Yunan sudah bosan dari dulu dikomentari tidak mirip dengan Raesha. Lelah menjelaskan kalau mereka kakak-adik tidak sedarah.

Lelah.

Yunan menghela napas sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Menunggu Raesha selesai divisum.

.

.

***

继续阅读

You'll Also Like

72K 2.5K 11
Diandra merasa keluarga suaminya tidak menyukainya. Pasalnya selama sepuluh tahun menikah Diandra belum memiliki anak. Tidak hanya harus menghadapi m...
216K 12K 30
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
343 65 13
" Bagaimana bisa kamu mengejarnya dengan mencari kesempurnaan, kamu ga lihat aku yang berusaha menjadi sempurna untuk kamu." Ucap Shezi dengan derai...
476K 57.9K 16
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...