Wrong Ticket, Dummy! [Rin Ito...

By BaakaNeko

215 32 21

Namanya "Itoshi", kan? Aku sudah mengidolakan pemain sepak bola itu semenjak rona merah kecoklatan rambutnya... More

Dream-series Introduction
Jadi gini...

Wrong Ticket, Dummy! [Rin x Reader]

82 15 6
By BaakaNeko

Awalnya aku menganggap permainan bola bukanlah hal yang besar--atau sesuatu yang hebat untuk dibanggakan orang banyak. Mereka hanya menendang bola dan mencetak gol saja, apa istimewanya?

Mana lagi, ku dengar tak sedikit wanita yang juga ikut menjadi supporter-nya. Wanita menyukai bola... bukankah itu terdengar aneh? Darimana 'bola' terlihat sangat menarik di mata mereka?

Aku memegang kalimat-kalimat itu selama bertahun-tahun. Aku selalu tak paham saat ayah dan ibu membicarakan tim mana yang mereka dukung untuk pertandingan bola di televisi. Dan hanya aku yang tak mampu menjawab atau memilih. Rasanya lebih enak membaca buku di ruang tenang daripada teriak-teriak di setiap menitnya entah karena senang ataupun kesal.

Tapi... semua berubah sejak hari itu.

"Itoshi menggiring bola menuju gawang dengan cepat! Dan! Dan! GOOOOOLL!! Tendangan manis dari Itoshi Sae yang masuk begitu mulus!"

Entah mengapa suara yang menggema di lorong itu menarikku untuk berjalan menuju cafeteria kampus yang memiliki televisi lebar di salah satu dindingnya.

Sosok pria dengan warna merah kecoklatan indah memoles rambutnya. Manik miliknya tak menampakkan mimik berlebihan. Dia berjalan agak berlari ke formasi tim nya dengan kain punggungnya yang berkibas oleh angin lapangan.

Aku tak tahu jelas apa yang menabrak kepalaku saat itu. Tapi, mataku berdecak untuknya, mengkilap-kilap dengan cahaya bintang kecil di sekitarnya.

"H-hebat..." sebutku padanya, lepas begitu saja dari mulutku. "Itoshi... Sae?"

Tepat saat aku membisik nama, dia menoleh pada kamera seakan dia mengetahui. Hanya sebentar, sebelum dia kembali fokus pada bola yang bergulir lagi.

Sentuhan hangat jatuh di pipi ku. Buku pinjaman di tanganku yang menjelaskan tentang bagaimana cara manusia mendeskripsikan perasaannya tanpa kata-kata, ku genggam erat.

Jantung ku berdetak kencang, tak seperti biasanya. Mulai detik itu, aku selalu termenung tak begitu jauh dari televisi cafeteria, mengamati dirinya yang begitu lihai dan cekatan dalam menerima, menggiring, maupun menembak bola hitam-putih itu.

Itoshi.
Dia adalah idola pertama ku dalam pertandingan sepak bola.

×××

"Beneran?!" pekikku pada seorang teman di kelas. Dia terkejut padaku sambil membawa iphone nya yang menampilkan berita kalau sebentar lagi akan ada pertadingan sepak bola tingkat nasional yang akan di selenggarakan di stadion dekat pusat kota.
Berita pertandingan sepak bola itu menyebutkan kalau Itoshi akan ikut dalam pertandingan itu.

"Lah, masa' nggak tahu sih. Katanya kau fans sepak bola udahan, (y/n)." usiknya jahil menggodaku.

"Y-ya... baru juga masuk kan, aku belum aku tahu banyak," jawabku.

Temanku menggeleng sambil menghela. Dia kembali menggulir layar iphone nya yang berhiaskan foto idola sepaknya di belakangnya.

"Waduh." "Kenapa tuh?"

Aku mendekat kearahnya saat tatapnya menajam melihat layar iphone nya. Dia menujukkannya padaku.

"Tiketnya... udah mau habis, baru juga open, lho!"

"HAH?! MASA'--EH?! BENERAN DONG!"

Aku melihat bagaimana nomer tiket berkurang begitu cepat dalam hitungan detiknya. Degub ku seketika bertepuk begitu cepat.

"G-gimana ini?! Aku harus beli cepet juga--sekarang kali, ya?"

Buru-buru aku mengambil handphone android ku(berhubung iphone terlalu mahal, aku tak mampu) dan segera membuka website pembelian tiket yang.... memakan waktu cukup lama, mungkin karena banyaknya orang yang ingin membeli tiket itu.

"Ayolah... Ayolah..." Bibir kugigit menunggu lambang loading berputar cukup lama. "Akhirnya!" website itu terbuka dan menyatakan hanya tiga tiket tersisa saja.
Merasa senang, aku menekan tombol untuk membeli e-tiket itu, yang mengantarku menuju halaman website yang mengatakan...

'Maaf, tiket yang mau kamu beli sudah habis!'

Tubuhku membeku. Harapanku seketika surut, sampai-sampai temanku harus menggoyang pundakku berkali-kali agar aku kembali ke kenyataan yang kejam ini.

×××

Nafas pasrah terlepas begitu saja dari mulutku. Aku hanya bisa menatap layar televisi yang menampakkan animasi iklan silih berganti.
Masih membayang di mataku, bagaimana aku melompat kegirangan dari kursi penonton melihat Itoshi mencetak gol brilian nya. Apa dia akan tanpa sengaja melihatku yang menontonnya dari kursi penonton, ya?

Kepala ku geleng keras. Tidak, tidak! Apa yang kupikirkan sebenarnya?!
Mana ada Itoshi mau menoleh kearahku! Jelas banyak 'nggak' nya.

Menghela lagi, aku berjalan menunduk menuju ruang kelas ku hari ini.

Jurusan Psikologi. Ini adalah pilihanku sejak awal memilih dunia perkuliahan. Tujuan utama ku bukan hanya ingin menjadi seorang konselor atau psikolog profesional--aku ingin bisa memahami seseorang dengan mudahnya, sehingga aku bisa membantunya menyembuhkan 'luka tak tampak' mereka.

Kukira aku bakal jadi orang 'waras' dulu biar orang lain bisa waras juga--aku salah.

MALAH KITA DULUAN YANG GAK WARAS, MALAH NGURUS ORANG GAK WARAS JUGA PULA!

Oh astaga, tapi mau digimanakan lagi ini sudah tujuan hidupku. Mau kemana lagi? Aku cuma punya motivasi disini, selain psikologi, aku yakin aku tak akan menjalaninya sepenuh hati.

Baiklah, kesampingkan semua itu! Cita-cita ku masih jauh untuk diraih, sekarang harus semangat! semangat semangat sema--

Ping!

Suara ponselku berbunyi. "Pesan masuk?" sebelum sempat aku memasuki pintu gedung kampus ku, aku melihat pesan yang muncul tepat di layar kunci ku.

"Hey, kau masih ingat tiket pertandingan itu, kan?"

"Aku nemu orang di sosial media yang mau jual tiketnya murah. Cuma dua doang tapi."

"Katanya pacarnya putus sama dia, jadi dia nggak bakal ngedate nonton bola--tiketnya dijual 50%!"

"Dia jual di deket stadion katanya. Pakai topi baseball, kacamata hitam."

[Foto terkirim]

Mataku berkedip-kedip tak percaya. Tepat di depan gedung aku berteriak terkejut, membuat semua orang kaget saat aku menancap gas, dan berlari menuju tempat pria itu.

Tanpa peduli jenis transportasi apa yang kuambil, yang penting sampai sana dulu sekarang!

×××

Oh, astaga... ya ampun... dada ku sesak sekali! Demi tiket sampai harus lari-lari beginian.

Dengan nafas tersenggal-senggal, tak peduli aku butuh minum atau tidak, aku berjalan agak terhuyung-huyung dibawah teriknya matahari siang bolong itu.

"Topi baseball, kacamata hitam... Topi baseball, kacamata hitam.... gguuhh.."

Aduh, perutku mana mau mual begini. Salah siapa (y/n) kau tak makan siang dulu? Mampus, kena sendiri, kan, jadinya. Promag kali ya, abis ini beli di apotek?

Setelah agak lama mencari-cari satu figur di teriknya kota saat itu. Akhirnya aku menemukan sosok paling berbeda diantara yang lainnya.

BERITA BURUKNYA ADALAH!
BARU SAJA ADA ORANG YANG SEPERTI BELI TIKET DARINYA.

Oh, tidak... tidak, tidak, tidak!
Jangan bilang habis, tolong jangaaaan!!

"Ah, halo, kak--U-uwah! Kakak baik-baik saja?!" ujarnya yang terdengar lebih muda, dia melihatku yang ngos-ngosan sambil mengacungkan jempol.

"Sumpit gapapah, dua rius nih udahan!" Aku menunjukkan dua jemariku padanya. Dia melihatku khawatir, tapi aku memotongnya. "Kau... Haaah... Tiket... masih ada?"

Pria--ah, aku tak percaya dia lebih tua dariku. Paling cuma menang tingginya saja.
Oke, laki-laki itu berkata, "Tiket?" aku mengangguk. "Ooh, ada, kak. Ini tinggal satu."

Dia mengeluarkan tiket itu yang entah-mengapa-tampak-bersinar di mataku. Sudah seperti dilamar dengan harta karun emas berlian saja. Air mata ku nyaris ku seka.

"Untuk harganya kukasih 50% saja, jadi--"

"Ambil uangku!" Kuberikan dia nominal yang dia butuhkan untuk harga tiket itu. Laki-laki itu terkejut sebentar sebelum menerima uang itu dan menghitungnya, senyumnya tampak. "Pas, ya, kak? Ini tiketnya. Selamat bersenang-senang!"

Tiket itu diberikannya sebelum melambaikan tangannya padaku, lalu dia pergi. Sementara aku termenung di tempat, mempertanyakan apa aku benar-benar masih hidup atau masih tidur. Ini bukan mimpi, kan? Aku dapat tiketnya beneran, kan?!

Dengan mata berbinar, aku mengangkat tiket itu tinggi-tinggi, dan melompat-lompat kegirangan.

"Yess! Yess!! Aku bisa nonton bola habis ini, yeeeyy!!"

Kegirangan ku itu membuat orang sekitarku bingung, tapi aku tak peduli. Yang penting aku dapat ini! Tiket ini!

Uwaaahh~ bagaimana ya nantinya aku akan bertemu Itoshi dengan mata kepalaku sendiri? Keren pasti? Ganteng nggak, sih? Aku nggak sabar banget!!

Setelah itu aku kembali ke kampus untuk kelas, lalu pulang ke rumah. Karena besok, pekan hari, aku akan menontonnya di stadion!

×××

"Hmmm.." Aku menunggu di kursi penonton, melirik kesana-kemari, terutama pada pintu tempat pemain biasanya muncul.

Akhir pekan akhirnya tiba dan aku sudah tiba disini 30 menit lebih sebelum pertandingan dimulai bahkan!
Syukur aku beli tiket sebelum yang on-the-spot. Kulihat antriannya masih panjang mengular saat berjalan masuk tadi.

Menunggu disini... panas juga sih... tapi aku sudah siap dengan minuman dalam tumblr ku, juga kipas elektrik yang kubawa, full charge!
Dengan ini, aku tak akan kepanasan atau kehausan mau menunggunya kapanpun.

Di sekitarku, orang-orang sudah mulai ramai, mereka membicarakan banyak hal, entah tim mana yang unggul, siapa yang akan menang, atau bahkan soal Itoshi!

Aku jadi semakin tak sabar untuk melihatnya muncul. Tepat disampingku, seorang pria yang membawa anaknya terduduk. Anak itu sama riangnya sepertiku.

"Wah! Stadion besar sekali, ya! Kapan mainnya? Mana pemainnya? Kok belum ada?" tanyanya bertubi-tubi, lantas ditenangkan ayahnya.

"Setelah ini pasti muncul. Ayo duduk dulu. Kalo nggak duduk, nanti mereka nggak jadi main bola, lho."

"Eh?! B-beneran, yah?"

Ayahnya dengan usil mengangguk-angguk, seakan membenarkan. "Makanya duduk tenang dulu, biar mereka mau masuk ke lapangan." Anak itu ikut mengikuti perintah ayahnya. Kebetulan sekali yang duduk paling dekat denganku itu adalah anak kecil itu.

Aku tersenyum padanya. "Baru nonton bola di stadion, ya?" Dia menoleh padaku. "Kakak juga baru ini nonton disini." tunjukku ke wajahku sendiri.

Anak itu membuka mulutnya. "Kakak penggemar Itoshi juga?" Sontak energi antusias anak itu menabrak isi hatiku. "Bener! Bener banget! Astagaaa, kita samaan ternyata. Yuk, tos dulu? Yey!" Entah kenapa aku pandai sekali berbicara dengan anak-anak kalau soal beginian.
Ah, apa sebenarnya aku juga anak-anak sepertinya, ya?

Sang ayah meringis melihat kami berdua. "Mbak nya sendirian kesini? Nggak bareng temen?" tanyanya. Aku menoleh sekitar, kemudian menggeleng. "Katanya dia datang, tapi daritadi aku hubungi, nggak ada jawaban. Kayaknya sih... internetnya habis."
Aku ingat bagaimana dia selalu minta hotspot tiba-tiba padaku. Dan jelas, itu untuk beli tiket PO sebelum aku

Sang ayah tertawa lagi. "Selama menikmati pertandingan, pulang nanti pasti bisa ketemuan. Asik tuh ngomongin soal bola, mana lagi ada Itoshi, kan?"
Aku mengangguk kencang. Tepat saat yang bersamaan, terdengar suara yang mengatakan kalau setiap tim akan segera memasuki lapangan. "Mereka datang! Mereka datang!" ujar adik kecil disampingku.

Aku melihat kearah yang sama. Mataku berdetak-detak melihat para anggota dari tiap tim memasuki lapangan.

Dimana... Itoshi?

Dua kostum warna berbeda, putih dan merah mulai mewarnai lapangan yang hijau. Aku mencari warna merah kecoklatan khas surainya.

Tapi alisku mengerut saat tak menemukan surai merah kecoklatan itu dimana pun. Tunggu, tidak mungkin dia tak datang, kan?

Aku kembali meneliki para pemain, melihat tiap nomer punggung mereka dan nama yang tertulis diatasnya.

"Kakak, Itu Itoshi!" tunjuk anak itu. "Eh? Yang mana?" aku menoleh kearahnya menunjuk. "Itu! Yang rambutnya hitam," katanya.

Hah? Sejak kapan Itoshi rambutnya hitam?

Tapi apa yang dikatakan adik kecil itu tidak salah. Diatas nomer itu tertera sebuah nama. Rin. Mataku terbelalak.

"Rin... Itoshi?" tanyaku tak percaya. Sang ayah angkat bicara. "Dia adik dari Itoshi Sae. Mbak nya, nggak tahu?"

Aku hanya termenung. Mataku berdegub. "Hah..?" Jadi aku... ini... bukan pertandingan Itoshi Sae?

Sang ayah meringis melihatku. "Kaget, ya? Itoshi Sae tidak mungkin bermain disini. Kabarnya dia sedang sibuk menyiapkan diri untuk pertandingan internasional selanjutnya. Ini liga nasional, jadi adiknya yang maju."

Adik...?
Dari Itoshi Sae... Itoshi Rin, namanya?

Tidak mungkin. Bagaimana bisa aku tak tahu?
Lalu, buat apa aku disini? Untuk melihatnya yang bahkan tak ku idolakan sama sekali?

Aku mengambil potongan tiket dari saku ku. Benar. Ini liga nasional. Dan aku baru ingat kalau Itoshi Sae saat itu sedang bermain liga internasional--yang berarti... dia tak mungkin disini. Aku menonton pemain yang bahkan tak ku kenali.

"Aku... aku kemari bukan untuk melihat Itoshi Rin," ucapku gemetar, mencengkram erat perlahan tiket itu, meremukkan bagian ujungnya.

Namun suara sang ayah itu menenangkanku. "Ah, ternyata mbak nya penggemar berat Itoshi Sae, ya? Saya juga, kok. Tapi percayalah, Itoshi Rin tidak lebih buruk dari kakaknya. Dia memiliki bakat dan performa yang berusaha mengejar kakaknya. Lihat, dia sudah mulai bergerak," jelasnya, memancingku untuk melihat Itoshi Rin yang berlari di lapangan dengan lihainya mengejar bola.

Aku melihat bagaimana Itoshi Rin memainkan bolanya. Lincah, mulus, dan penuh taktik. Aku memang tak melihat ada Itoshi Sae dalam dirinya. Dia bergerak dengan dirinya sendiri. Dan tanpa sadar aku memilih untuk tetap duduk, melupakan kekecewaanku dengan tiket itu--dengan sebuah nama yang tak kukenal itu.

Itoshi Rin berpeluh keringat, tapi dia sama sekali tak tampak lelah, sama sekali tak ada menyerah tiap dia melangkah. Apa dia benar akan mengejar Itoshi Sae--kakaknya?

Permainan nyaris diusaikan. Hasil skor menunjukkan serseri dari dua belah pihak. Tinggal tembakan kearah gawang yang, entahlah, kalau tak salah itu namanya "penalti".

Saat itu bola ditendang dari tim Itoshi Rin berada. Bola muntah karena tak memasuki gawang dan perebutan terjadi disana.
Saat-saat itu entah kenapa begitu menegangkan, waktu semakin menipis, dan jarak bola yang digiring pada gawang begitu dekat. Aku sampai meraih kursi depanku untuk menompang tubuh yang menatap maju.

'Tinggal sedikit lagi! Berjuanglah!'

Itu kalimat yang kuucapkan pertama kali dalam batin kepada seorang Itoshi... Rin.

Namun saat dia nyaris mencapai gawang lawan lagi, sesuatu entah kenapa menghancurkan konsentrasinya--bola itu berhasil direnggut sebelum sempat tertendang kearah gawang.
Musuh berlari cepat membuat serangan balik. Itoshi Rin berlari mengejar, berniat menghadang, dan hasilnya....

PRIIIIIIIIT!!

3 - 4  sebagai skor akhir.

Hampir semua orang bersorak-sorai, sementara aku hanya terdiam, kembali terduduk dengan rasa tak percaya yang begitu besar.

"Apa-apaan... yang tadi itu?" gumamku kesal.

Setelah acara dinyatakan selesai, semua pemain bersalaman, dan berjalan keluar dari lapangan. Barulah para penonton dipersilahkan meninggalkan tempat.

Aku membawa tas selempang ku. Berlari bukan kearah pintu keluar, tapi ke tempat lain dimana para jurnalis pasti akan kesana untuk mengejar bintang hari ini.

Rasa kesal dalam dada ku ini ingin sekali kuteriakkan padanya. Sosok yang membuatku kecewa dan kesal bukan hanya karena hasil barusan. Tapi karena namanya dan permainannya juga yang membuat kekesalan ku bertumpuk, membuatku ingin menemuinya dan memakinya tepat di hadapannya!

"Permisi--ugh!--permisi!!" Suaraku tenggelam dalam lautan manusia jurnalis, reporter, bodyguard, dan siapapun yang ada disana.

Tubuhku yang tak sekuat mereka berakhir terdorong keluar dari kerumunan. Aku tak bisa kesana...

Kepalaku menunduk, tapi tanganku masih mengepal keras. AGH! AKU MAKI SAJALAH DIA DI SOSIAL MEDIA! PERSETAN!

Langkahku dengan kesal menapak ke sebuah lorong yang menunjukkan ada toilet di daerah sana. Syukurlah aku menemukannya.
Menghela lelah, aku memasuki pintu bilik wanita dan membasuh wajahku yang berpeluh keringat itu. Kipas tadi kurang berefek.

Sejenak aku mengambil dan melihat tiketku yang sedikit rusak dari saku. Ku tatap dalam-dalam itu. Hasil ketidakberuntungan dan keteledoranku yang tak mencari informasi dulu--uangku melayang begitu saja dan aku dikecawakan pemain sepak yang baru saja ku kenal sebagai adik dari pemain idola ku.

Ponsel kemudian kuraih. Aku melihat berita yang mengungkit soal Itoshi Sae dan Itoshi Rin.

"Oh! Ketemu." jariku menggulir berita itu dan kudapati kalau Itoshi Sae pergi ke luar negeri jauh sebelum hari ini. Dia meninggalkan adiknya sendiri untuk melatih diri di liga internasional dan hanya kembali beberapa hari yang lalu untuk mengurus paspor saja.

Aku tak mengerti bagaimana hubungan mereka keduanya. Tapi, kalau kulihat-lihat dan kubayangkan saja.... Itoshi Sae adalah bintang di Jepang, semua orang mengidolakannya, pasti adiknya juga.

Kalau aku menjadi Itoshi Rin dan tahu kakak ku sendiri pergi jauh demi sesuatu, ya... meski aku merasa senang, pasti juga ada rasa kecewa.
Lalu juga, ada rumor-rumor yang bilang kalau Itoshi Sae... tak akan kembali ke Jepang?!

Eh?! Gimana? Kenapa??

Semakin ku gulir berita dan opini orang-orang di sosial media, aku mulai bisa menarik garis semua hal yang terjadi.
Ponsel ku genggam erat. "Aku mengerti sekarang, Itoshi Rin," bisikku.

Tapi bukan berarti aku bisa memaafkannya atas waktu ku yang sudah terbuang, energi yang kukerahkan, apalagi uang yang ku gunakan untuk membeli tiket--

Pintu toilet kubuka dengan isi kepala ku yang masih penuh. Bersamaan suara pintu terbuka dari toilet pria di sebelah terdengar.

Mata ku seketika melebar. Apa yang kulihat saat ini... muncul di hadapanku kini... itu bukankah mimpi ataupun ilusi!

"Ito--umph!!"

Tangannya yang dingin membekap mulutku. Menahanku yang hendak mengucap namanya.
Tubuhku di jepitnya di dinding. Tatapnya sengit dijatuhkan padaku. Meski sekilas nampak indah dengan poni nya yang basah dengan titikan air.

Dia tampak begitu... kesal, bahkan hampir melebihi apa yang kukesali dari permainannya tadi. Tapi sebesit emosi lainnya terpendam disana, ditutupi olehnya--frustasi, dan satu lagi yang akan kuungkapkan.

Kemudian dia melepas tangannya dari bibirku.

"Aku tak punya waktu untuk fans sepertimu. Enyah. Sampai aku tahu kau menyebarkan apa yang kau temukan tadi, kubunuh kau."

Dia hendak pergi begitu saja saat memalingkan punggungnya.

Tidak, tunggu! Kok aku yang salah sih di mata dia? Dia sendiri kenapa bisa muncul disana? Kenapa tidak pakai toilet khusus pemain saja, penuh memangnya?

Dengan amarah yang sama dengannya. Aku melantangkan suaraku yang menghentikan langkahnya semakin pergi menjauh.

"Permainanmu tadi payah!"

Tiga kata itu saja sudah berhasil membekukan dirinya. Punggungnya berbalik dan tatapnya yang kembali padaku kini membuatku bergidik ngeri.

"Tau apa kau soal aku? Orang kepala dangkal sepertimu tak akan mengerti. Taunya pasti cuma gosip dan berita tak berguna diluar sana, bukan? Orang bodoh sepertimu mending diam saja nggak usah banyak bacot."

Manikku melebar dan menegang kesal. Tanganku mengepal keras, yang pada akhirnya aku mampu melampiaskan amarahku sendiri padanya.

"Dangkal, katamu? Permainanmu barusan malah lebih dangkal daripada itu. Kau kepikiran kakakmu, bukan? Pasti menyakitkan ya, ditinggal kakak tersayangmu yang sekarang sudah jadi bintang, sementara kau masih kebobolan gol dibanding dengannya. Skor dan kemampuanmu masih jauh darinya, tapi kau sudah sok-sokan, menganggap dirimu paling bisa, tapi buktinya? Apa-apaan detik-detik terakhir itu? Cuih!"

Aku pura-pura meludah kesamping, memprovokasinya. Tapi Itoshi Rin rupanya bukan orang yang mudah menyerah. Dia mendekatiku, memutus jarak, dan menjatuhkan tatap tajamnya yang berada diatasku sambil membalas sama panasnya.

"Kau dan jurnalis-jurnalis haus isu itu tak ada bedanya. Tak ada yang lebih menarik, huh, timbang mencampuri masalah orang lain? Sok? Harusnya kau katakan itu pada dirimu sendiri yang sok serba tahu," balasnya.

Tatap mata kami berperang sengit. Tubuhnya yang lebih menjulang dariku memanglah mendominasi udara sekitar. Sayangnya, jiwa ku juga tak ingin mengalah. Aura panas mengitari kami, penuh amarah, kesal, bahkan dendam.

Itoshi Rin tiba-tiba melepas pertarungan sengit itu, dirasanya tak berguna lagi untuknya. Dia pergi menjauh lagi tanpa salam perpisahan atau apalah. Saat itulah, aku salah seorang yang menyatakan salam perpisahan kita.

"Aku memang tak punya hak mencampuri urusan keluargamu! Tapi, kau tak akan pernah bisa menang dari lawanmu kalau kau terus tenggelam di kesedihanmu itu. Kau hanya akan mempermalukan nama margamu dan kakakmu, kau tau!! Ingat itu!"

Aku memutar balik punggung ku begitu kesal. Tiket yang ada dalam kantung ku itu langsung kuremas dan kubuang ke tempat sampah saat aku berjalan keluar dari stadion itu.

××××

Setelah hari itu, aku berhenti menonton siaran bola lagi. Setiap ayah dan ibu mengajak, aku menolak dengan alasan ingin belajar atau mengerjakan tugas.

Tidak, bukan berarti aku membenci sepak bola lagi. Hanya saja... rasa kesal ku pada Itoshi Rin hari itu masih menggandrungi ku masih saja belum hilang.

Aku tak ingin teriak-teriak kesal lagi kalau melihat bola malah teringat dengan permainannya hari itu--itu bukan menikmati lagi namanya.

Poster yang tertempel di dinding, dekat dengan tempat tidurku--Itoshi Sae--mataku berkedip-kedip melihatnya. Nama "Itoshi" yang jadi pusat perhatianku. Apa kucoret saja ya, tinggal "Sae" nya saja.

Spidol hitam kuambil. Kasurku menimbulkan suara decitan saat aku naik diatasnya. Saat kudekatkan spidol itu ke poster, berniat menggoresnya, tanganku berhenti. Aku tak yakin.

"A-ah... aku ingat aku ingin meminta tanda tangannya suatu hari nanti."

Spidol itu kuturunkan. Kuusap permukaan poster yang licin mengkilap. Sosok idola ku yang menendang bola itu tak merespon.
P

erlahan tatapku bergerak turun bersama dengan tanganku yang merosot kebawah.

Mulutku menguap, mungkin sudah terlalu malam untuk membayangkan sesuatu atau kesal dengan manusia bernama Rin itu.

Kesadaranku menghilang, aku tenggelam dalam dunia mimpi... dimana aku menemukam Itoshi Sae berdiri tak jauh di depanku.
Aku sudah senang sekali, berlari dan menyebut namanya, berusaha meraih tangannya...

Dan saat aku mendongak untuk melihat wajahnya. Mataku terbelalak.
Bukan Sae yang tersenyum padaku. Bukan Sae yang menerima tanganku, tapi...

HAH?! RIN?! KOK RIN???!!

××××

"AAAAGHHH!" Aku terbangun dan berteriak. Ibu sampai-sampai berlari ke ruanganku, mengira aku kenapa-kenapa, yang ditemunya aku hanya bermimpi buruk saja.

Dia mengusap-usap pundakku, mencoba untuk bertanya padaku apa yang muncul dalam mimpi ku sampai-sampai aku seterkejut itu.

Tanganku menompang setengah wajah. "Ada... laki-laki yang kubenci, muncul tiba-tiba di mimpi ku. A-awalnya aku kira dia idolaku, tiba-tiba saja berubah jadi 'dia'. Makanya..," jawabanku itu memicu tawa kecil ibu.
Dengan mudahnya dia berkata. "Waduh, biasanya yang kayak gitu jodoh, lho, malahan."

Aku yang menoleh, mendelik padanya, melempar kata tak terima. "MANA ADA!! NGGAK AKAN! NGGAK MUNGKIN!" tolakku keluar dari kasur, menuju kamar mandi, dan mencuci wajahku. Mungkin aku dikutuk. Iya, mungkin ada sihir yang menempel padaku sampai orang bangsat itu muncul di kepalaku.
Harus dibersihkan, pokoknya harus bisa dibersihkan! Aku nggak mau ketemu dia lagi!!!

Seusai menyiapkan diri, aku berpamitan pada ibu untuk pergi ke kampus. Ayah jelas sudah pergi lebih dulu pagi-pagi. Kantornya selalu punya jadwal ketat tak terbantahkan. Kasihan sih, sampai aku kepikiran untuk tak menjadi pekerja kantoran lulus nanti.

"Jadi kerjaan yang privat-privat gitu kayaknya enak, deh. Mana bayaran lebih mahal, orang yang bayarin pasti orang kaya juga harusnya," ucapku mengobrol sendiri ke stasiun.
Posisi universitas ku sebenarnya tak terlalu jauh kalau berjalan kaki, tapi pagi ini aku ingin ke perpustakaan untuk baca buku sebelum seminar kelas tamu.

Sesampaiku di gerbang area kampus, langsung saja aku berjalan membelok menuju bangunan tempat buku-buku berada. Itu adalah tempat favoritku, bukan hanya untuk sekedar tidur saja. Tapi atmosfernya mendorong motivasiku untuk belajar lebih, mengingatkanku akan mimpiku menjadi psikolog professional.

Suatu titik di pojokan jadi tempatku membaca buku-buku yang kuanggap menarik. Tempat duduk itu tertutup rak-rak tegak yang membuat siapapun yang duduk disana sulit untuk ditemukan. Dan aku nyaman dengan itu.

Duduk dengan nyaman di kursinya, aku mulai membalik halaman-halaman buku. Pikiranku langsung larut dengan waktu yang tak terasa berjalan cepat.
Seminar diadakan di ruang dalam perpustakaan, jadi enak kalau misal habis kelas, aku ingin membaca buku lagi.

Hari semakin terik dari jendela perpustakaan. Aku kembali lagi dengan buku-buku yang memperkaya pengetahuanku. Sampai ponselku bergetar memunculkan pesan bertumpuk dari teman sekelasku.

[ (Y/n), kau dimana? ]

[Perpus. Kenapa?]

[Cepat ke kelas 202!]

[Hah, kenapa si?]

[Haduhh, ada yang mencarimu disini!]
[Cepetan kesini!]

[Ogah ah.]
[Udah comfy nih.]
[Bilangin, pas pulang aja ketemuannya.]

Ponsel ku kunci, ku jadikan mode silent agar tak menganggu waktu tenang ku. Aku tak ingin diganggu. Cukup Itoshi-an itu saja. Aku ingin menenangkan diriku.

Langit mulai tampak kejinggaan, tandanya sudah sore, dan itu artinya batas waktu ku di perpustakaan. Jam di ponsel juga bilang kalau ini sudah waktunya untuk pulang.

Menghela nafas kecewa karena cepat sekali rasanya, aku membersihkan buku-buku yang kubaca--mayoritas tentang kepribadian dan cara penanganan seseorang yang punya masalah secara psikis. Entah kenapa itu modelan buku favoritku.

Meminjam salah satu darinya, aku berjalan keluar dari gedung perpustakaan, dan menuju gedung kampus untuk bertemu dengan temanku. Biasanya kami jalan pulang bersama, nyaris setiap harinya.

Naik ke lantai dua, ruang 202, dekat sekali dengan tangga. Aku membuka pintu dan kudapati bukan hanya dirinya yang ada disana--tapi hujaman tatapan tajam anak-anak kelas yang dijatuhkan padaku.

Lah, kenapa sih? sewot amat semuanya.

Dengan perasaan bingung, aku mendekati temanku. "Hey, semuanya kenapa?" tanyaku. Dia mendongak dengan mimik kecewa berat padaku. Sesuatu ingin dia ucapkan, tapi tersangkut di mulutnya, yang kemudian ditelannya begitu saja.

"Ayo, pulang," ujarnya mengangkat tas dan beranjak keluar. Aku yang tak paham apa-apa hanya mengikutinya saja.
Setelah keluar dari ruang itu, menuruni tangga, barulah dia angkat bicara.

"Tadi... ada yang mencarimu. Tapi kau malah sibuk di perpustakaan."

Alis ku terangkat. "Ya, kan kubilang ketemuannya pas pulang. Mana dia? Sini ketemuan." Celingak-celinguk aku mencarinya.

Temanku menghela. "Lupakan. Kayaknya dia bukan tipikal orang sabar yang mau nungguin kutu buku nggak kacamataan yang semedi di perpus berjam-jam."

"Heeey! Perpus asik, lho."

"Ya, ya."

Yah, begitulah percakapan kami seringnya muncul. Walau terdengar seperti dia yang sensi dan tak peduli, kami menjalan pertemanan kami dengan baik.

Menapak lantai 1, menuju pintu utama gedung kuliah. Aku yang sudah ingin tersenyum lega mencium aroma senja sebelum perjalanan pulang--tiba-tiba rasa itu surut dan hilang begitu saja.

"Oh. Muncul juga," ujar seorang yang muncul tanpa diundang. Entah dalam realita ataupun mimpiku semalam.

"Kau!--" Aku menunjuk padanya tak percaya. Bagaimana dia bisa ada disini?!

Semua pasang mata terpesona dengan kharismanya. Bahkan mimik temenku yang biasanya jutek itu juga luluh dibuatnya. Oh, jelas, tenang saja, aku imun dengan ketampanan orang modelan beginian. Hamya Itoshi Sae yang bisa menempati peringkat paling atas.

Seseorang bersurai hitam dengan bulu mata bawahnya yang lebih lentik dariku, berjalan mendekat. Reflek, aku mundur selangkah. Dia menyadarinya, sedikit terkejut.

"Ikut aku."

"Gak," balasku sontak, yang membuat sekitarku terkejut bukan main.

Kerutan kesal di dekat pipinya sudah jelas menampakkan responnya. Oh, jelas, aku tak mau kalah dalam persaingan siapa-yang-paling-kesal dengannya. Perang tatapku bertarung dengannya, lagi. Sampai-sampai ada orang yang merekam kami untuk di upload di sosial media juga.

Mengetahui itu, Rin langsung menarik tanganku begitu saja, seperti bagaimana pacar laki-laki kesal dengan pacar perempuannya dan membawanya pulang.

"Ih! Lepasin! Ngapain, sih?! Aku teriak, lho ya, ini!" berontakku sambil berusaha melepas jemarinya yang mencengkram kuat, menyeretku dari tempatku berdiri.

"Teriak aja. Aku gak peduli. Paling juga nanti kau yang malu sendiri, bukan aku," balasnya dingin.
Gigiku menggertak padanya. Orang ini--sukanya cuma naikin tensi!!

Baru juga aku ingin sungguhan teriak, sebuah mobil menunggu di dekat gerbang utama area kampus. Seorang pria menunggu disana.

"Tuan Itoshi," responnya. Rin tanpa peduli memasukkanku ke mobil di kursi bagian belakang. Jelas awalnya aku menolak, udah kayak dipaksa nikah aja ke pelaminan!

"Lah, ngapain?! Aku nggak--"

"Diem, bacot. Masuk, gak?"

Kalimatnya kali ini sungguh tak bisa kulawan entah kenapa. Bahkan untuk melihatnya aku tak berani.

Mobil berjalan pergi, denganku juga Rin yang tak saling memandang atau angkat bicara. Aku tak tahu aku akan dibawanya kemana. Tapi DUDUK DISEBELAHNYA SAJA AKU SUDAH KEBURU MELEDAK KESAL!

Rin hanya menoleh ke kaca jendela yang mengkilap tanpa peduli apapun, melihat kearah pemandangan kota yang terus berganti.

Setelah lama terjebak dalam diam, aku jadi gemas juga dibeginikan terus. "Maumu apa sih? Sampe main bawa orang aja kek maling," sontak saja gaya bahasa ku berubah saking kesalnya.

"Bacot. Ntar juga tahu pas sampe tempat," balasnya singkat.

Ingin sekali kepalan tanganku ini kulempar dan kudaratkan ke pipinya, memutar wajahnya sampai keluar jendela--kalau saja aku bisa. Sayangnya, aku kasihan juga dengan supir yang dengan sabar menyetir mobil ini dengan atmosfer tak enak dari belakang.

Menghela nafas, aku memilih menyerah dulu sambil membuang wajahku ke arah berbeda. Ah, aku lupa, tadi kan aku pinjem buku. Baca kali, ya, biar nggak kebawa emosi mulu.

Mengambil buku bacaanku, aku mengalihkan pikiranku agar tak keburu kesulut emosi. Benar saja, perlahan aku merasa pundak menengangku bergerak turun dan merasa tenang. Aku tak merasa Rin ada disebelahku saat ini. Hanya aku, mobil berjalan, dan buku.

Tanpa ku sadari, manusia disebelah yang kuhalangi dengan buku agar aku tak melihatnya, melihat kearahku. Netra miliknya jatuh pada buku yang kubaca, tapi tak mengucap apapun.

××××

Mobil berhenti di suatu rumah yang jelas lebih besar daripada rumahku. Aku menatapnya... jijik. Rin berjalan melewati gerbangnya. "Masuk," perintahnya.

Daripada aku diluar seperti pengangguran nggak punya kerjaan, lebih baik ku ikuti saja dia.

Memasuki rumah itu. Rin menyuruhku untuk duduk di kursi dalam ruangan yang lumayan luas... sepertinya ruang tamu?
Kemudian dia pergi begitu saja meninggalkanku.

Terus?! Aku harus ngapain?
Nungguin dia balik gitu?

Aku yang semakin menggeram kesal itu, akhirnya mendapat suatu jawaban. Seorang wanita berusia cukup tua muncul.

"Aah... jadi ini temannya Rin?" tanyanya begitu lembut.

Langsung saja posisi kutegakkan, terbiasa harus sopan dengan orang lebih tua. "B-bukan, nek..? Cuma kenalan, kok."

Mana ada kenalan? Apalagi teman. Cih!

Nenek itu mengangguk-angguk padaku, seakan dia tahu.

"Maaf, ya. Kalau Rin memberlakukanmu dingin dan kasar. Aku mewakilkan permohonan maafnya padamu." tubuhnya membungkuk, tapi aku menghentikannya.

"Ng-nggak, nggak, nek. Serius, bukan apa-apa, kok. Aku maafin. Hehe!"
Anjir lah, jadi nggak enak, kan!

Nenek itu melihatku yang langsung berubah pikiran. Dia tersenyum sekilas. "Nama anak, (Y/n)(f/n), benar?"

"K-kok nenek tahu?"

Nenek itu mengangguk. "Syukurlah tidak salah orang. Apa Rin sudah mengatakannya padamu?"

Mataku berkedip-kedip, bingung. Kepalaku menggeleng. Mana ada dia bilang apa-apa tadi selain maksa orang?

Nenek itu menghela, kemudian melihatku lagi. "Aku adalah nenek darinya. Rin--tidak... kami mencarimu kemana-mana sebelumnya. Ada hal yang ingin kusampaikan padamu, nak (f/n)."

"Tunggu, tunggu. Mencariku? Gimana bisa? Kami aja nggak kenalan." Mulut langsung kututup. Waduh, keceplosan.

Nenek itu lagi-lagi tertawa kecil. "Aku tahu, kau dan Rin tak berkenalan saat bertemu. Kami mencarimu dari foto mu di stadion hari itu dan sedikit... bantuan orang lain untuk menemukanmu."

BJIR! Dia stalking?!
Serem juga nih orang. Pakai intel kah dia? Bisa-bisanya nemu!

"Maaf ya, membuatmu takut. Tapi.. niat kami disini ingin bertanya padamu dengan baik-baik. Kami tahu, nak (f/n) pasti tak akan menerima ajakan Rin kalaupun lewat sosial media. Maka dari itu, dia ingin langsung menjemput nak (f/n) dan membawa kemari untuk lebih privasi."

Ha ha. Jelas. Mana ada aku respon ke orang kayak dia. Ngomong-ngomong, maksud semua ini apa ya?

"Jadi.... tujuannya, apa?" tanyaku.

Nenek itu tersenyum sekilas lagi padaku. "Begini, setelah pertemuan nak (f/n) dan Rin pertama kali itu. Nak (f/n) bertengkar hebat dengannya, bukan? Rin sampai tak bisa melupakannya begitu saja."

Di tengah-tengah, aku nyaris nyembur tawa mendengarkan itu. Mampus, kena mental!

"Tapi ya..." lanjut sang nenek, "Berkat pukulan dari nak (f/n), Rin kembali berhasil mencetak gol yang memenangkan timnya secara berturut-turut. Kami disini, ingin menuturkan terima kasih pada nak (f/n)."

Mataku terbelalak. Barusan apa? Ini serius, kan, aku nggak salah denger?

"Uhm." Aku sampai bingung ingin berkata apa. Aku tak melakukan itu untuk menyemangatinya, tapi memakinya. Kok malah dipuji, sih? Yakin nggak salah, nih?

Belum juga aku mampu membalas apapun. Nenek itu melanjutkan perkataannya lagi.

"Kami juga punya satu permintaan untuk nak (f/n) jika tak keberatan."

"I-iya?"

Nenek itu membuka mata sipitnya sedikit padaku. "Kami dengar nak (f/n) ini mahasiswi jurusan psikologi, apa itu benar?"

Beneran intel gak tuh yang dia pakai, sampai tahu jurusanku segala.

Aku mengangguk sebagai respon. "Baguslah, berarti tidak salah. Begini, nak (f/n). Nak (f/n) pasti sudah tahu berita-berita soal Sae yang pergi keluar negeri, bukan?"

Aku melihat kearah nenek itu lagi, jelas aku tahu. Mimiknya seketika surut. "Rin 'terluka' karena hal itu. Itu bukan pertama kalinya. Sebelumnya adalah saat kakaknya pertama pergi ke Spanyol. Sae berubah setelah kembali. Setelah itu hubungan keduanya tak lagi seperti dulu, membuat kondisi Rin semakin memburuk."

Oh astaga, tebakanku benar ternyata. Kalau aku jadi adiknya, pasti rasanya menyakitkan. Tapi kenapa aku harus peduli padanya?

"Kalau boleh tahu, apakah nak (f/n) sudah 'ada yang punya'?"

Pertanyaannya sungguh keluar ekspektasi dan nalar. Aku sampai memastikan apa yang kudengar ini sungguhan atau tidak.

"Maaf? Maksudnya?"

Sang nenek menghela tawanya. "Baiklah, sepertinya tak perlu basa-basinya. Permintaan kami disini adalah... Kalau nak (f/n) tidak dimiliki siapapun, maukah nak (f/n) mendampingi Rin untuk pemulihan dirinya?"

Mulutku nyaris menganga lebar mendengarnya. Aku merasa sekitarku begitu tak nyata. Perkataan ibu soal mimpi itu juga ikut terngiang di kepalaku. Sampai-sampai kuusap keningku yang terasa berat itu.

"Kami tak memaksakan nak (f/n) untuk menjawab langsung. Dan kami berniat mempertanyakan ketersediaan tanpa ada paksaan. Anggaplah, ini seperti magang sebagai 'konsultan pribadi' dari Itoshi. Kamu juga tak akan memberikan nak (f/n) tangan kosong jika menerima tawaran ini. Bagaimana?"

Hah? Tadi bilang apa? Uang? Ada upahnya? GAS LAH!!

"Baik, saya terima!" balasku riang. Kalau soal uang mah... apa sih yang nggak? Lagipun, anggapannya ini bisa jadi batu loncatanku untuk impianku menjadi konsultan professional juga.

Nenek itu tersenyum senang. "Syukurlah~ Mungkin saat ini tidak banyak yang bisa kami berikan." Nenek itu memberikan amplop tebal yang bisa kuduga berapa isinya. "Mohon diterima, sebagai bentuk kesepakatannya."

Aku menerima amplop itu dengan kegirangan yang kutahan sebaik mungkin.

"Baiklah, karena sudah sepakat. Dari nak (f/n) mungkin bisa memilih sebutan... ingin menjadi 'pacar' dari Rin, atau 'konsultan pribadi' milik Rin."

Kegiranganku langsung berubah mendengar panggilan pertama tadi.
Pacar?! Gila apa aku jadi 'pacar' dia?!

"Uhm... takutnya nanti dikira skandal atau apa. Apalagi Itoshi pesepak bola terkenal, kan? Mungkin 'konsultan pribadi' saja," jawabku dengan senyum paksa.

"Baik, akan saya sampaikan pada Rin nantinya. Terima kasih atas ketersediaan dan waktu nak (f/n) ya disini. Kami harap kita bisa bekerja sama dengan baik kedepannya." dia membungkuk lagi padaku. Kali ini aku tak cukup cepat untuk menghentikannya, mana perhatianku daritadi cuma berputar di segepok uang yang ku pegang itu.

Nenek itu kemudian menoleh ke suatu lorong. "Kemarilah, Rin, sudah selesai," sebutnya. Tiba-tiba saja, seakan dia sudah ada disana, mengamati sejak tadi, dia muncul dengan cepatnya.

Buru-buru aku menyembunyikan amplop itu dibelakangku. Tak mungkin aku menunjukkan sisi mata duitanku padanya! Atau dia tadi lihat juga, ya? Waduh.

Rin berjalan mendekat. Dia berdiri di dekat neneknya. Nenek itu kembali melihatku. "Tolong jaga Rin baik-baik, ya, nak (f/n)?"

Senyum kusunggingkan meski tak sepenuhnya ikhlas padanya. Kemudian sang nenek berjalan pelan ke lorong, meninggalkan kami sendiri disana, menatap satu sama lain. Oh jelas, bukan berarti tanpa api permusuhan lagi diantara kami.

"Ho, jadi kau masih butuh babysitting, toh, ternyata?" tanyaku memprovokasi.

Dia menatapku dingin. "Penting kau bisa makan pake uang sekarang, kan, mata duitan?"

Mulutku berdecih, berusaha menyembunyikan fakta tapi dia sudah mengetahuinya. Begitu juga aku yang mengetahui kebenaran miliknya.
Sudah seperti dua orang berniat menarik pelatuk pistol kearah kepala musuh didepannya.

"Ikut aku." Dia memecah suasana dan berjalan ke lorong tempat nenek nya pergi tadi. "Kemana?" tanyaku. Dia cuma melirik sekilas. "Keliling. Biar kau nggak merepotkanku pakai bingung nyari apa-apa," jawabnya ketus.

Aku tak mengerti kenapa dia berlaku begitu mengesalkan setiap bersama denganku. Apa dia melakukannya ke semua orang juga? Sabar juga yang mau bersama dengannya, tensinya tahan bener.

Rin membawaku berkeliling rumahnya. Tak kusangka rumah ini cukup luas. Bahkan ada lapangan belakang rumah untuk latihan, mini gym, tangga ke lantai atas, balkon, dan lain sebagainya yang biasa sebuah rumah besar punya--kecuali kolam renang. Mungkin tanahnya lebih dipakai untuk lapangan di belakang tadi.

"Yang ini kamarku," jelasnya setelah menunjukkan beberapa ruang yang terlewatkan tadi. Walau dia menjelaskan soal kamarnya, mataku tertuju pada pintu sebelahnya yang bisa kutebak itu milik siapa. Mataku berdetak pada aura ruangan yang tak berpenghuni itu.

Rin menyadari itu, makanya dia menarik perhatianku kembali dengan suaranya yang mengejutkan. "Hoy!"

Saat aku kembali melihatnya, tatapnya sudah menajam, seakan mengancam. "Mulai sekarang kau hanya mengurusku. Ingat itu."

Hah?! Apaan coba? Sok ngatur.

"Hmph! Itu juga aku sudah tahu, nggak perlu diingetin lagi." Kepalaku menoleh kesamping.

Rin sedikit memiringkan kepalanya, seperti sedikit mengikuti kemana gerakku pergi. Perasaanku makin tak enak.

"Oke. Kalau kau sudah paham. Aku tak perlu pusing mengingatkan lagi." Dia berniat pergi entah kemana lagi. "Oh. Ya. Mulai besok aku yang akan menjemputmu kemari. Pulang pun, kapanpun."

Ujarannya sebelum benar-benar pergi itu membuatku bergidik ngeri. Kenapa sih dia sebenarnya?!

Saat dia beranjak pergi, aku mendengar tapak kaki dari arah tangga. Suara bingung dari mulutnya begitu familiar di telingaku.

"Hm? Siapa wanita ini?"

Langsung kepalaku menoleh kebelakang. Rambut merah kecoklatan itu, benar ada nyatanya berdiri di depanku.

Itoshi Sae.
Idola ku bertemu langsung di depanku!

"A-ah! Salam kenal, namaku (y/n)(f/n). Aku... erm... konsultan pribadinya Rin! Iya!"

Sae menatapku masih agak bingung. Seakan berkata ngapain Rin nyewa konsultan segala? 

"Ooh, pacar-pacarannya Rin, toh. Permisi, aku tak ingin mengganggu hubungan kalian."

Tusukan tajam menembus dada ku. Bukan, bukan itu! batinku menjerit.

Sae Itoshi melewati pundakku, tepat saat manikku membelalak menolak kenyataan yang ditangkapnya itu. Tanganku ingin bergerak--ingin kubalikkan pundak berbaju putih itu dan kuteriakinya apa yang sebenarnya harus dia ketahui.

Tapi... tidak. Seharusnya tidak seperti ini.

Tanganku hanya mampu mengepal dengan bibirku yang tak bisa menyatakan apapun.

====================
To be continued...

Fakta unik : Setiap author nyari merch blue lock selain Rin(ini dihindari), kayak Bachira, Sae, Isagi, atau Nagi--ketemunya atau sisanya PASTI  Rin, kalau nggak ya Kaiser. Gatau kenapa.

[Edit ] Author : "Hmm... Kaiser yang past model ganteng jugak. Bikin Fanfict juga gak, ya?"

Continue Reading

You'll Also Like

611K 61K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
456K 46K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
148K 15.1K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
95K 13.3K 29
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...