Apakah Kita Bisa Bertemu (Lag...

By JuwitaPurnamasari

47.4K 1.9K 115

Sebuah kisah sederhana tentang kisah cinta masa kecil, penantian, janji, rindu, juga... kebingungan. Semua r... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15

Bagian 5

2.4K 108 3
By JuwitaPurnamasari

"Shinta!" Nala membuka masuk ke ruang make up dengan terburu-buru.

"Eh, ada apa?"

"Kamu kehilangan dompet?"

"Dompet? Hm... kayaknya nggak deh. Eh, sebentar aku cek dulu." Aku buru-buru mengambil tas di meja rias dan mengaduk-aduk isinya. Benar saja ternyata dompetku tak ada di sana.

"Duh, bener nggak ada? Wah jatuh di mana ya? Kayaknya di..."

"Lift apartemen kamu! Huh! Dasar ceroboh!" Nala mulai ngomel sambil memberikan dompet warna merah marun milikku. "Tadi aku periksa kayaknya kartu-kartu penting masih lengkap, uang tunai juga nggak hilang. Coba kamu periksa lagi."

"Loh kok, bisa ada di kamu?" Aku memeriksa isi dompet dan ternyata memang tidak ada yang hilang. Semuanya masih lengkap.

"Iya, tadi ada cowok keren nganter ini. Tapi aneh dia tahu namaku, ya? Dia bilang ke satpam cari Naladita Putri Darmawan."

"Hm... mungkin tahu dari infotainment."

"Bisa jadi. Nah, dia yang bilang kalau dompetmu jatuh di lift apartemen dan kebetulan dia tinggal di sebelah apartemen kamu. Itu cowok langka deh, udah keren, baik, tanggung jawab."

"Cowok keren?"

"Iya, kalau dimiripkan artis Korea dia itu mirip...."

"StopStop! Korea melulu, kamu mau sebut nama artis Korea mana pun aku nggak akan kenal. Tapi kayaknya aku tahu deh, dia itu si cowok di kamar 1155."

"Jadi benar, kamu punya tetangga sekeren itu? Astaga, kalau kamu lihat tadi, pas dia naik motor, bruuummm... aku sampai dag-dig-dug. Kalau aja nggak ingat sudah tunangan. Hahaha...."

"Dia nggak sekeren itu ah! Cowok nggak sopan, perokok, dan galak."

"Dia baik kok, tadi dia ngomong ke aku caranya sopan banget, kelihatan terpelajar gitu. Dia bahkan bilang jangan khawatir dia nggak akan membocorkan ke media tentang tempat tinggal kamu. Dan buktinya lagi dia mau repot-repot ke sini ngantar dompet kamu yang jatuh tanpa ambil untung apa-pun."

"Ya, itu kan memang sudah kewajiban tetangga."

"Kamu dingin banget."

"Lagian dia sudah punya pacar."

"Lho, memang kenapa kalau punya pacar?"

"Ya... nggak apa-apa sih. Ng... cuma supaya kamu nggak naksir aja."

"Yey! Enak aja, aku setia lho!"

Tiba-tiba wajah galaknya terlintas dalam pikiranku. Kalau boleh jujur, dia memang sebenarnya baik kok. Cuma kadang aku sebal dengan wajahnya yang selalu tidak ramah tiap menatapku, apalagi kebiasaan merokok sembarangannya dan cara bicaranya yang galak. Tapi agak aneh... dari mana dia tahu nama lengkap Nala? Sangat jarang infotainment yang menyebutkan nama lengkap Nala, Nala pun sangat jarang muncul di televisi. Siapa sih sebenarnya dia?

Duh, kayaknya aku terlalu berlebihan mikirinnya. Mungkin dia dapat info dari internet. Daripada mikirin dia lebih baik mikirin akan ketemu Rama dan keluarganya nanti malam. Setelah beberapa hari ini Rama sulit dihubungi dan kami jarang bertemu. Aku sangat rindu senyumnya yang manis dan suaranya yang selalu lembut saat menyapaku.

Aku harus dandan cantik!

##

Bunda dan Ayah sudah menunggu di ruang tengah apartemenku. Aku masih di kamar bingung memilih ingin pakai baju apa. Aku tahu ini memang bukan pertemuan pertamaku dengan Rama. Tapi setelah beberapa hari tidak bertemu rasanya aku jadi gugup lagi.

Terdengar ketukan pintu dari luar, "Ta, lama sekali? Ayo toh, nanti telat kan ndak enak sama keluarganya Om Bram. Kamu mau Bunda dandanin?"

"Nggak Bun, sebentar lagi kok. Ini cuma lagi sisiran aja. Sebentar Bun." Aku buru-buru memulas bedak dan lipstik warna pink nude

Saat aku membuka pintu Bunda menggeleng-geleng takjub, "kamu ini ya, dandan kayak mau ketemu presiden saja. Kok lama sekali? Ayah sudah mengomel dari tadi kelamaan nunggu kamu." Bunda menarik tanganku buru-buru menunju ruang tengah. Saat melihatku Ayah cuma tersenyum sambil menunjukan ibu jarinya. Ibu masih mengomel karena aku dandan terlalu lama.

Saat kami membuka pintu, tak sengaja berpapasan dengan si cowok tetangga sebelah. Hari ini pakaiannya terlihat rapi. Dia mengenakan kemeja hitam yang dibalut jas abu-abu. Dia menatapku sekilas aku langsung membuang mukaku ke arah berlawanan.

"Hei, sama tetangga ndak boleh gitu." Bunda yang melihat wajah jutekku langsung menyenggol sikuku. Aku pura-pura tak dengar dan buru-buru memasang kaca mata hitam.

Sekilas aku melihat cowok galak itu menundukan badannya hormat dan tersenyum manis ke arah bunda dan ayah. Serta merta bunda menghampirinya, "Wah, Shinta punya tetangga gagah begini. Beruntung sekali. Titip Shinta ya, Cah Bagus, kalau ada apa-apa. Soalnya kami ndak setiap hari di Jakarta ini lagi main saja. Biasanya kami di Semarang."

"Ih, Bunda apaan sih? Nitip-nitipin aku, memangnya aku tas?"

Aku buru-buru menarik Bunda menjauh. Tampak ayah menepuk pundak si cowok tetangga sebelah itu beberapa kali setelah dia menunjukan sekali lagi rasa hormatnya sambil sedikit membungkuk dan tersenyum. Meski tidak mengucapkan apa pun, dia terlihat sangat berbeda malam ini.

"Itu kan cowok baik, sopan, dewasa, yang kamu ceritakan ke Bunda?" Bunda masih belum bisa diam, meski mobil yang ayah kendarai sudah berjalan di tengah kemacetan Jakarta sekitar tiga puluh menit. Bunda sepertinya sangat tertarik dengan si tetangga sebelah itu.

"Iya Bunda, tadi kan aku sudah bilang iya. Kok nanya-nanya terus?"

"Kamu jutek sekali sih sama dia. Padahal anakanya kelihatan baik. Kalau Rama mungkin seumur dia sekarang ya, Yah?"

"Iya. Omong-omong Rama katanya sudah di Jakarta duluan sekitar sebulanan lalu loh Ta. Memang dia tidak menghubungi kamu?"

"Ng..." aku mulai gugup mendengar pertanyaan ayah, "sebenarnya aku sama Rama sudah pernah ketemu Yah, beberapa kali."

"Oalah... baguslah kalau begitu. Sudah Bunda jangan menggoda anaknya dengan tetangga tampan itu. Toh, Shinta sudah kecantol sama Rama."

"Ya kan, siapa tahu kalau Rama ndak mau sama Shinta, Bunda jodohkan saja sama si tetangga sebelah itu."

"Ih, Bunda!" Aku pura-pura cemberut, ayah dan bunda tertawa jahil bersamaan.

Setelah melewati lama perjalanan sekitar lima puluh menit, sampailah kami di tempat tujuan. Sebuah restoran tradisional khas Jawa ada di lantai paling tinggi salah satu gedung pencakar langit di daerah Jakarta Pusat. Bumantara Resto. Kata Ayah, Om Bram yang merekomendasikan restoran ini. Meski sudah lama di Jakarta aku baru pertama kali ke sini. Kami memilih ruang terbuka sehingga langsung terhubung ke balkon. Dari balkon ini tampak kota Jakarta versi miniatur. Gedung-gedung terlihat kecil dan berbaris cantik, lampu-lampu jalan dan kendaraan membuat suasana makin indah, seperti hamparan luas bertabur bintang warna-warni.

Aku mulai gelisah setelah waktu berlalu agak lama sedangkan Om Bram dan keluarganya belum datang. Mungkin kami memang datang terlalu cepat. Aku sedang membayangkan sapaan hangat Rama seperti biasanya. Membayangkan senyumannya dan celotehan manisnya yang sedang memujiku di tengah keluarganya. Tiba-tiba pipiku terasa hangat.

"Wah, Mas Dido dan Mbak Ayu, lama nunggu, yo? Maaf, maaf, tadi saya ada urusan sebentar. Ketemu teman lama di lantai bawah jadi ngobrol-ngobrol dulu."

Sosok tambun dengan jas cokelat itu kini ada di hadapan kami, seorang ibu anggun dengan kebaya sederhana warna krem melingkarkan tangannya di sana. Itu pasti Om Bram dan istrinya. Kami berdiri menyambut mereka. Tapi... kenapa mereka hanya berdua? Rama mana?

"Ndak kok, kami saja yang datangnya kayaknya kecepatan." Bunda menyambut teman lamanya, Tante Lestari dengan pelukan hangat. 

Terlalu cepat katanya? Padahal tadi sudah heboh ngomel saat aku lagi dandan karena takut telat. Huh, dasar bunda! 

"Omong-omong Rama mana toh, Les? Dari tadi Shinta sudah gelisah nunggu Rama, sudah kangen katanya."

Aku menyikut pinggang Bunda, Bunda hanya mengedipkan matanya.

"Oh, iya, Rama dan Mawar masih di jalan. Jadi mungkin agak telat. Rama juga pasti kangen sama Shinta. Sudah lama ya nggak ketemu. Shinta makin cantik saja, Rama pasti klepek-klepek ini nanti." Tante Lestari coba mencairkan suasana, tawa renyahnya membuat pipiku merona.

"Mawar? Kakaknya Rama itu? Sudah menikah sekarang?"

"Iyo, Jeung. Mawar yang itu, yang mana lagi? Kan anakku cuma dua. Mawar masih single, sibuk bisnis terus sama Rama lagi berencana bikin sekolah musik di Indonesia. Ya, itu juga salah satu alasan kami pulang ke sini."

Ayah, Bunda, Om Bram, dan Tante Lestari sibuk mengobrol. Aku masih gelisah terus-terusan melihat jam tangan. Sudah hampir lewat empat puluh menit masih belum ada tanda kedatangan Rama. Aku coba mengiriminya pesan teks, hanya terkirim tapi tidak ada balasan. Duh, aku sangat khawatir.

"Hallo? Ya, kamu di mana? Lama sekali. Sudah ditunggu Shinta." Suara Om Bram membuatku hampir tersedak. Itu telepon dari Rama. "Cepat ke sini, iya lantai 68, restoran Bumantara, tanya saja ke satpam."

Tak lama sejak telepon tertutup, aku melihat sosok wanita cantik dengan gaun hitam dan syal merah marun melilit lehernya dengan anggun. Sekitar jarak beberapa meter namun senyumnya sudah merekah dengan lambaian tangan ceria ke arah meja kami.

"Ah, itu pasti Mawar." Bunda menunjuk ke arah kedatangannya.

"Oh iya itu Mawar dan Rama." Tante Lestari mengiyakan sambil ikut melambai ke arah sana. 

Gadis cantik tinggi semampai itu adalah Mbak Mawar, saat kecil aku memang tidak terlalu dekat dengannya karena dia jarang bermain denganku. Mbak Mawar rasanya aku pernah melihatnya sebelum ini. Tapi di mana ya? Aku coba mengingat-ngingat sosok cantik dan anggun itu. Mbak Mawar tidak sendirian dia bersama seorang laki-laki di sampingnya. Itu pasti Rama. Tapi aku belum bisa melihat wajahnya dengan jelas karena terhalang sebuah pilar yang agak besar. Semakin dua sosok itu mendekat semakin jantungku terpacu dengan cepat.

Rama...!


- bersambung -

Continue Reading

You'll Also Like

5.8M 309K 73
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
47.2K 5K 24
~Paralel itu dua jalur yang sama persis, kembar, bahkan pada dasarnya adalah jalur yang satu. Tapi nyatanya tak pernah benar-benar satu~ *FF Yang Did...
1M 48.9K 51
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞