HER LIFE - END (OTW TERBIT)

By ay_ayinnn

4.9M 263K 16.9K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... More

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 17

100K 4.6K 59
By ay_ayinnn

"N-nenek, k-kita ka-kapan pu-pulang-nya?" Tanya Elen duduk di atas brankar sambil bermain boneka unicorn yang Bevan belikan.

Ayumi yang sedang membereskan pakaian-pakaian Elen dan Vanya selama di rumah sakit ini terhenti. Dia tersenyum lalu duduk di sebelah Elen.

"Habis ini kita pulang. Elen gak sabar pulang ya? Dari tadi tanya terus," Ucap Ayumi diangguki semangat oleh Elen.

"I-iya!! Aku ka-kangen ka-kakak El," Ungkap Elen membuat tangan Ayumi bergerak mengelus pucuk kepala cucunya.

"Sebelum nenek kesini, kakak El nanyain kamu terus. Dia bilang, Nek, kapan Elen pulang? Nek, kapan El bisa main sama Elen lagi? Nek, kok sampe sekarang Elen belum pulang? El kangen sama Elen deh kayaknya." Ujar Ayumi.

"Y-ya udah, ha-hari i-ini kita p-pu-pulang a-ja yu-yuk!"

"Boleh, kita tunggu Mama sama dokter buat ngecek Elen untuk yang terakhir kalinya, oke?" Ucap Ayumi, lagi-lagi Elen mengangguk dengan semangat.

Anak itu memang lebih bersemangat dari pada Vanya atau Ayumi. Tapi ketika dia merasa tersakiti, pasti semangatnya langsung berubah menjadi tangisan maut.

"Permisi, benar kamarnya Elen?" Tanya seorang wanita paruh baya membuka tirai yang berisi brankar milik Elen tanpa meminta izin terlebih dulu.

Ayumi terkejut, ia menoleh ke belakang lalu menghampiri orang tersebut. Tak lupa pula dia mengulas senyum kepada orang itu.

"Iya, ini kamar Elen. Maaf anda siapa ya?" Pasalnya wanita itu terlihat bukan seperti suster ataupun dokter.

"Saya Clara, ibu kandungnya Vanya."

Deg.

"Ma-mari, silahkan masuk. Vanya-nya lagi keluar sebentar mungkin bisa ditunggu beberapa menit lagi," Ayumi berusaha mengontrol diri.

Clara mengulas senyum semanis mungkin, ia mengangguk lalu masuk ke dalam. Ekspresi pertama kali saat Clara melihat orang yang terduduk di atas brankar adalah takut, cemas, senyum paksa.

"Hai? Namanya Elen ya?" Ucap Clara kepada Elen.

Gadis kecil itu tak berani mendongak ke lawan bicaranya. Ayumi yang paham pun langsung mendekati Elen dari sisi lain.

"Em, Elen kalau sama orang baru takut," Kata Ayumi dapat dimengerti oleh Clara. Dirinya kan orang baru.

Kalau berbicara soal hati, tentu saja Clara sakit hati. Bagaimana tidak? Cucunya lebih dekat dengan orang lain dibanding nenek kandungnya sendiri.

"Maaf, kalau boleh tahu, kamu siapanya Vanya?" Tanya Clara setelah hening beberapa saat.

"Saya wanita yang merawat Vanya sejak 5 tahun lalu," Jujur Ayumi dengan Elen di pelukannya.

"Terima kasih--"

"Ucapan terima kasih tidak diperlukan dalam masalah ini, Mbak. Saya ikhlas lahir batin mengambil serta merawat Vanya sampai anaknya sebesar ini," Jelas Ayumi merasa kalau Clara ingin mengambil Vanya dan Elen kembali.

"Saya mengerti. Tapi sebagai ibu yang telah melahirkan Vanya, saya sangat amat berterima kasih atas segalanya di lima tahun ini," Ucap Clara.

"Loh kok tirai nya ke buka? Ibu sama Elen lagi ap--Mama?" Kedua mata Vanya membola.

Dia sangat terkejut dengan kehadiran Clara disini. Ia juga sempat menoleh ke arah Elen yang sedang ketakutan hingga memeluk erat Ayumi.

"Vanya," Panggil balik Clara.

"Mama kok ada disini?" Tanya Vanya tak berbobot.

Clara punya kaki, punya kendaraan, ya masa gak bisa kesini?

"Mama mau ketemu sama Elen," Jawabnya membuat Vanya tak habis pikir dengan Clara.

Waktu itu, Vanya sendiri yang melarang Clara datang menemui Elen sebab Vanya ingin, dia dan putrinya hidup mandiri. Namun ini mengapa tiba-tiba Clara datang? Tidak mungkin hanya untuk ketemu sama Elen.

"Balik ya, Van?" Ucap Mamanya tiba-tiba.

Ayumi langsung menatap Vanya penuh harap. Benar dugaannya, ibu kandung Vanya datang kemari pasti karena tujuan lain.

"Ma, Vanya udah bilang, Vanya bisa hidup sendiri. Mama gak lihat Elen bahagia sama kita?" Ucap Vanya membela diri, membela ibu angkatnya.

"Kamu bahagia dengan baju dan tempat tinggal dikampung desa kayak itu?" Tanya Clara cukup menyakiti hati hati Ayumi sekaligus Vanya.

"Mama ngeledek?" Clara menggeleng.

"Udah lima tahun Vanya kayak gitu. Mama kemana? Vanya bahkan sampai terbiasa hidup di desa dengan perekonomian yang pas-pasan," Lanjut Vanya meluapkan kekesalannya.

"Mama sama papa cari kamu, Van. Kita semua cari kamu."

"Udahlah, Ma. Bu, barang-barangnya udah siap? Kurang apa? Biar Vanya masukin," Vanya mulai mengabaikan Mamanya.

Ayumi sedikit kaku untuk menjawab. Melihat penampilan Clara yang sangat sosialita, begitu berbanding dengannya, Vanya, dan Elen yang berpenampilan hanya dengan baju bekas orang-orang.

"Kita udah temuin orang yang hamilin kam--"

"MA! ADA ELEN!" Sentak Vanya menatap Clara tak suka. Mendengar bentakan Mamanya, Elen sampai terkejut.

"Maaf, Mama cuman mau bilang ke kamu."

"Tapi nggak sekarang. Mending sekarang Mama pulang. Vanya capek."

"Van, kamu marah sama Mama?" Tanya Clara lemas.

"Bu, kayaknya ini tas udah siap. Tinggal nunggu dokter Bevan kan?" Tanya Vanya dibalas anggukan oleh Ayumi.

Selang beberapa menit kemudian, Bevan datang dengan seorang suster yang langsung melepas infus ditangan Elen. Ditangan Bevan pula terdapat bingkisan lucu untuk Elen.

"Elen, apa kabar?" Tanya Bevan tersenyum. "Ini, dokter punya sedikit hadiah karena Elen berhasil sembuh."

"Eh? Dok, aku rasa kayaknya dokter jangan sering kasih hadiah ke Elen," Tegur Vanya sebab sejak awal di rumah sakit ini Bevan selalu memberikan hadiah dengan alibi untuk penyemangat Elen.

"Gakpapa, santai aja," Bevan menaruh hadiahnya diujung brankar Elen.

"T-te-terima ka-kasih, Dok-ter," Ucap Elen meraih hadiahnya dan disaat itu juga kening Clara berkerut.

"Vanya? Elen... Kenapa?" Ujarnya bertanya. Melihat fisik Elen, Clara tak berpikir kalau ternyata dia kekurangan dalam wicara.

Bevan yang sedari tadi fokus kepada Elen pun sedikit tersentak mengetahui ada Clara disini. Harusnya sih Clara nggak tahu kalau Bevan adalah kakaknya Gavin.

"Ma, udah aku bilang kan? Mama pulang aja. Mama disini tuh gak ngebuat suasana membaik. Justru makin keruh," Ucap Vanya menghela nafas pelan.

Sebentar, saat ini Bevan benar-benar dilanda bingung. Mamanya itu Clara atau Ayumi? Menurut Gavin dan teman-teman sih Clara ya karena istri Charles cuma Clara. Lah terus si Ayumi ini siapa woi?

Masalah tes DNA selesai, muncul lagi masalah silsilah keluarga yang bikin Bevan bingung tujuh keliling. Mending juga silsilah keluarga Maldeva.

Tak apa, Bevan bisa lebih sabar lagi dan tak lama kemudian dia akan tahu semuanya. Kalau nanti dia sudah mengetahui semuanya, tentu saja dia tak mau berbagi informasi kepada Gavin ataupun yang lain. Susah-susah cari tahu, orang lain cuma nerima hasilnya ya jelas Bevan gak mau.

Biar Gavin yang memulai dan mengakhirinya sendiri.

"Ehm, Vanya bisa ikut saya ke ruangan sebentar? Ada yang mau saya bicarakan, soal Elen. Sepertinya kalau bicara disini kurang efektif," Kata Bevan memandang sekitaran kamar Elen.

"Bisa, sebentar dokter." Ucap Vanya.

Bevan mengangguk, "Saya duluan ke ruangan, saya tunggu."

"Nyonya, setelah infusnya selesai kami lepas nanti, silahkan ambil obat di tempat pengambilan obat ya," Ucap sang suster kepada Ayumi. Ayumi pun mengangguk.

"Van, kamu ke ruangan dokter Bevan aja. Ibu bisa kok ngurus Elen."

"Beneran? Nanti ibu kecapekan nggak?" Tanya Vanya memastikan.

"Enggak, buat Elen ibu gak bakal pernah capek."

Senyum Vanya mengembang. Mereka bahkan mengabaikan Clara yang masih berada di sana. Setelah Vanya merasa masalah Elen clear, dia pun pergi menuju ruangan Bevan.

"Maaf lama, ada apa dok? Apa Elen punya penyakit lagi?" Tanya Vanya cemas.

"Sebelumnya maaf saya akan menyinggung soal biaya--"

"Saya tahu, tapi tolong beri waktu. Saya belum punya uang untuk melunasi biaya Elen selama di sini." Potong Vanya.

"Justru karena biaya Elen selama disini sudah lunas, makannya saya bilang ke kamu. Kamu tenang aja, semua sudah aman."

Tentunya Vanya terdiam seribu bahasa mendengar hal ini. Siapa yang melunasi pengobatan Elen semahal itu?

"Tuan Charles yang melunasi barusan," Seakan tahu yang ada dipikiran Vanya, Bevan menjawab.

"P-papa?" Gumam Vanya gagap. Dia tak habis pikir Papanya akan melakukan hal ini. Padahal selama 5 tahun ini dia belum pernah melihat sosok Charles Lagi.

"Papa?" Ulang Bevan. "Tuan Charles dan Nyonya Clara itu orang tua kamu atau gimana? Kayaknya tadi kamu sempat panggil nyonya Clara dengan panggilan Mama?"

"Ceritanya panjang dokter. Oh iya, masalah Elen apalagi?"

"Sepertinya mulai seminggu sekali dia akan tetap terapi wicara dengan dokter Chelsea. Dia yang akan datang ke rumah kalian."

"Tapi rumah saya terpencil. Saya sendiri tidak yakin dokter Chelsea sanggup berlama-lama di rumah saya nanti."

Bevan menimang sesuatu. Chelsea memang terlalu high buat orang terpencil. Tapi sebenarnya dia mau-mau aja di tugaskan dimana-mana.

"Kita coba dulu satu bulan ini," Ucap Bevan, Vanya mengangguk. "Kayaknya cukup sampai disini aja. Ambulan udah siap kok di depan, mari saya antar."

Tanpa banyak suara, Vanya mengikuti Bevan dari belakang. Sebelum pergi ke lobby, mereka menemui Ayumi dan Elen yang sudah menunggu di ruang tunggu. Juga masih ada Clara di sana.

"Bu, sini biar Elen aku gendong," Vanya mengambil alih Elen dari pangkuan Ayumi.

Gadis kecilnya ini masih terlihat lemah sekali. Kasian, padahal biasanya dia sangat aktif.

"Vanya, kamu yakin gak mau balik?" Tanya Clara menghentikan langkah mereka bertiga yang hendak menuju lobby rumah sakit.

Vanya memutar badan, "Yakin. Kenapa enggak?"

"Kamu gak mau ketemu Papa?"

"Harusnya Papa yang temuin aku."

"Bener juga. Papa ada disini kok. Dia lagi ngurus sesuatu."

"Sepenting itu sesuatunya sampai gak bisa prioritaskan anak sendiri? Eh lupa, aku kan bukan anaknya Papa ya?"

"Van..." Ucap Clara tak suka. "Sampai kapan pun kamu tetap anak kami. Mau ya pulang ke rumah? Kita ulangi masa-masa yang kosong di lima tahun lalu."

"Mama lupa aku punya Elen?" Tanya Vanya sebab ucapan Clara seakan hanya ingin Vanya yang balik ke rumah, tidak dengan Elen, cucunya yang cacat.

"E-elen juga. Kalian semua," Terdengar seperti nada terpaksa tidak?

"Udah lah, Ma." Vanya kembali melanjutkan jalannya. Ia tak mendengar lagi teriakan Clara yang memanggil namanya.

Ditempat yang sama, Clara berdiri sambil meneteskan air mata. Baru saja dia dibuat shock karena ternyata cucunya kurang dalam bicara. Lalu sekarang, dari kejauhan ia melihat Vanya naik ke dalam ambulan.

Semakin lama, ambulan itu lenyap dari pandangan Clara. Vanya benar-benar pergi entah pulang kemana. Harusnya Clara bisa mengikuti Vanya dari belakang, namun sayang tubuhnya sudah sangat lelah walau hanya sekadar berjalan.

"Tante kok gak bilang udah ketemu sama Vanya?"







Bersambung.

Pelan-pelan aja ya, gausah cepet² nanti kalo Vanya udah ketemu sama Gavin kayaknya bakal cepet end.

Apa Vanya gak usah diketemuin sama Gavin? Jadi ya dibuat mati, gatau yang mati Vanya ato Gavin ntar ketemunya udah jadi nisan😭 blm ada kan cerita wp gitu?

TIAP PART VOTENYA HARUS 200+ BUAT NGELANJUTIN KE PART BERIKUTNYA✨

14 11 23

Continue Reading

You'll Also Like

19.4K 1.4K 47
"Kata siapa dia pacar gue?" Tanya Kavi yang masih belum melepaskan cekalan tangan nya pada tangan Khira. "Aku ngeliat sendiri tadi siang kakak senyum...
514K 50K 48
Ardeo Mahendra. Wajah sempurna perpaduan Rio dan Tata. Cowok murah senyum yang terkesan genit dengan sejuta pesonanya. Remaja SMA yang suka sekali al...
2.1K 229 21
Cinta. Satu kata yang sederhana, namun sangat menjadi beban bagi seorang Erik Arlando Frey untuk sekedar mengatakannya. Lain di mulut, lain pula di h...
1M 55.4K 56
Yang satu Cuek, dingin, irit bicara, acuh tak acuh. Yang satu lagi Pendiam, pemalu, lugu nan polos. Apa jadinya jika mereka berdua terikat suatu hubu...