Meet Me At The Window

By A-GOLDIES-2005

6K 1.3K 431

Kalau Sayudha punya kuasa, 1995 akan ia cap sebagai hak ciptanya dan ia hadiahkan sekotak memori manis ditahu... More

Prolog
01. Tatap Aku, Jangan Malu
02. Kuning Pantas Untuknya
03. Bintang Redup Malam Ini
04. Satu, Dua, Tentang Kita
05. Sejuta Hati Kamu Terima
06. Kemenangan untuk Kita
07. Lebih Dari Yang Terlihat
08. Pada Siapa "Jatuhnya" Tertuju?
09. Juangnya Masing-Masing
10. Manisnya, Pahitku
11. Mendekatlah, Kurasakan Kamu
12. Kalau Tak Sejalan, Maka...
13. Sayudha, Meriah, Juga Kiyesa
14. Semestanya Sayudha, Sempurna
16. Utuh Setelah Runtuh
17. Sampai di Persimpangan Hati
18. Perayaan, Teh Lemon, Lalu Kita
19. Tawaran Pukul Delapan Malam
20. Problematika Remaja Biasa
21. Yang Patah Nanti Tumbuh Kembali
22. Aku Lihat Kamu Redup
23. Sekotak Cokelat Pahit
24. Ada Gemas, Ada Cemas
25. Resep Rahasia Menentang Semesta
26. Bunga Tidur Sialan
27. Mereka, Sepasang Manusia Keras Kepala
28. Satu Gigit Mochi Pahit
29. Manusia dan Pandangannya
30. Pilihan Semesta, Mungkin

15. Jangan Berkelit Kalau Benci Rumit

107 27 1
By A-GOLDIES-2005

Katamu dulu kau takkan meninggalkanku. Omong kosong belaka! Sekarang yang masih tinggal hanyalah bulan yang bersinar juga malam itu dan kini muncul kembali.

Kiyesa tidak pernah merasa benar-benar terluka hanya karena sepenggal kutipan kalimat yang ia baca. Perasaannya yang berubah jadi serentan ini atau Hujan Bulan Juni yang dirakit begitu dalam sampai membekas jejaknya dengan rintik sendu yang turut menyertai?

Klaristha baik—baik sekali malah. Tapi ada bagian kecil dimana Kiyesa justru merasa sedikit menyesal sebab gadis berdarah biru itu mudah sekali melepas harta karun yang ia cari hampir ke seantero bumi. Satu, mungkin Kiyesa sebegitu berat hatinya menunaikan persyaratan Klaristha sebagai tebusan atas murah hatinya. Dua, mungkin Kiyesa mengesampingkan cecar protes hatinya. Apa ya namanya? Cemburu? Bukan, itu bukan kata yang tepat untuk menjabarkan rumit hatinya saat ini. Intinya, Kiyesa keberatan—itu saja.

Hujan Bulan Juni ia gemari dengan sangat, sebanyak ia menggemari Britney Spears. Sayangnya, tiada rasa bahagia yang sampai menyentuh hatinya selain sendu yang tak bisa ditolerir. Terlebih setiap kali netranya tidak sengaja menjumpai kamera milik Klaristha teronggok di atas meja. Besar tanggung-jawab yang menggelayut di pundaknya sampai menghambat arus perasaannya.

Hampir pecah kepalanya didesak keadaan. Sampai pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil peran wanita sejati yang tidak gentar dengan suatu tanggung-jawab. Anggap saja ini pengorbanan. Kalau Hujan Bulan Juni tidak sebernilai itu untuk Klaristha, maka Kiyesa menganggap dengan teori yang sebaliknya.

"...jangan sungkan ya, datang semau kamu, oke?"

"Siap, laksanakan!"

Hampir menyaingi ajaibnya panggilan rohani, Kiyesa bangkit, meraih seonggok kamera yang seharusnya ia perlakukan dengan penuh kasih sayang kalau tidak ingin didorong masuk ke neraka hanya karena lecetnya si kamera. Lupa gadis itu bertindak dengan kehati-hatian. Beruntungnya semesta sedang tidak menyiksa salah satu manusianya yang tukang ceroboh ini dengan cara menguras habis isi dompetnya.

Benar, itu Sayudha. Kelihatannya sibuk beramah-tamah menyedekahkan manis lesung di pipinya. Dari balik dinding rumahnya, tangannya terulur mengambil jepretan pertama tanpa bidik matanya. Sampai sini saja dia bisa berkorban, kalau sampai menampakkan presensi, bunuh diri namanya. 

Manakala Sayudha merasakan tersembunyinya sesuatu yang diutus untuk mengamati tingkah lakunya, dia menoleh berbarengan dengan Kiyesa yang berkelit masuk ke dalam rumah. Si gadis erat memejamkan matanya. Meromantisasi degup jantungnya yang bukan main gilanya. Ketidaksanggupannya diutarakan lewat desis gusar mulutnya. Bendera putih dikibarkan lebih cepat dari perkiraan.

"Nggak bisa, ini terlalu beresiko," Kepalanya menggeleng, "Nggak tahu malu namanya kalau aku terus terang bilang tentang keadaanku sementara jepret dia diam-diam kayak gini juga bukan tindakan yang dibenarkan. Ini bisa jadi kejahatan. Kalau gitu, nggak usah aku lanjutin dengan alasan melanggar hukum dan privasi, iya kan?"

Main kotor? Bukan, itu namanya insting manusia. Anggapnya begitu tanpa tahu bahwa tingkahnya saat ini adalah sebuah tameng pembenaran untuk berkelit dari rumit yang ia rakit sendiri.

"Lagian aku juga nggak tahu caranya pakai kam..."

Monolognya tidak tertuntaskan ketika mahakarya di percobaan pertamanya terkesan seperti segaris pelangi di langit kelam. Cantik rupanya, menyentuh rasa. Sepintas, Kiyesa membeku. Perlu beberapa sekon untuk berteori, dirinya kah yang memang terlahir dengan jiwa-jiwa tukang potret kamera atau objeknya yang terlampau memukau mata? Hanya Sayudha yang dikelilingi petak perumahan sederhana, itupun diambil dengan ketidaksiapan si objek foto, lantas mengapa hasilnya sebegini sempurnanya? Hanya karena dia Sayudha? Manusia yang pandai berlakon dengan tanpa cacat?

"Wah! Aku punya bakat! Aku! Punya! Bakat! Baru!"

Pikirmu, ini waktunya termehek-mehek untuk terus mengagumi Sayudha? Maaf sekali, tapi Kiyesa juga punya dirinya sendiri. Sayudha telah menerima seabrek kalimat manis yang mungkin sudah terasa hambar ia dengar sebab teramat seringnya diperlakukan begitu. Namun Kiyesa, si anak malang ini, tidak pernah didengar dunia apalagi dihujani validasi.

Jepret kedua ia ambil dengan angkasa sore hari yang jingganya cantik membingkai gubuk tempatnya berteduh sehari-hari. Mulutnya membulat. Kerongkongannya tersendat banyak kalimat sampai-sampai ia kebingungan, mana satu yang harus mengudara lebih dulu. Ujung-ujungnya, yang meraung keras sore itu adalah,

"Gila nggak sih ini namanya?! Aku cuma asal cekrek tapi hasilnya secantik ini? Nggak bisa, nggak bisa kayak gini. Aku harus beli tanah secepatnya dan bangun studio foto. Kalau bisa besok pagi."

Tubuhnya berbalik. Presensi kucing manis yang sedikit terlambat ia hujani atensi, kini menariknya untuk mendekat. Si gadis terkekeh kecil manakala buntalan abu-abu gemuk menggemaskan itu menoleh padanya. Seolah-olah menawarkan diri dan tidak terlintas di kepalanya yang lebih mungil dari telapak tangan Kiyesa, untuk menolak dipotret.

"Diam ya, anak pintar. Kamu berani banget. Manusia aja ada yang fobia kamera tapi kamu nggak takut sama sekali. Oke, tiga, dua, sa..."

Lampu kamera menyorot tepat pada mata si kucing manis. Dia agaknya terkejut, kiranya jepret kamera Kiyesa adalah muasal dari sebuah marabahaya. Itu kenapa kaki-kaki mungilnya membawanya melarikan diri sebelum raksasa ini menerkamnya. Bersamaan dengan tiup angin senja yang sedikit kencang, si kucing manis mendorong gerbang rumahnya. Terbuka pelan sebab si kucing tidak punya kuasa sebesar manusia untuk membuka gerbang hanya dengan telunjuknya.

Pada satu garis lurus, keduanya saling menemukan.

Kiyesa yang masih berjongkok dengan kamera tergenggam di tangannya, mengangkat kepalanya. Hanya saja, entah bagaimana, dia tertarik memotret langit alih-alih Sayudha yang menyapa jelaganya. Pun Sayudha sendiri tidak mengerti kenapa harus ia jeda langkahnya tepat di rumah nomor 7. Terjadi begitu saja dan tanpa alasan, mereka bertemu berkat siasat semesta dan seizin waktu.

"...tu."

Kalimatnya yang sempat mengambang diudara, terselesaikan dengan lirih seiring jarinya yang untuk kali keduanya menjepret Sayudha. Termasuk tingkahnya barusan, tubuhnya seolah-olah bertindak membangkangi perintahnya.

Yang terhormat ibu jari, siapa yang mengizinkanmu menyimpan pemuda manis itu dengan cara yang paling mendebarkan untuk nonanya?

Syarat utama menjadi budak adalah tidak tahu malu.

Bukannya Kiyesa tengah menyebut Klaristha—si ibu peri—sebagai tokoh serupa penyihir yang mengubahnya jadi budak tanpa harga diri, tapi Kiyesa secara tidak langsung merasa bahwa Klaristha adalah majikannya untuk saat ini. Dia terlalu bermurah hati membuat Hujan Bulan Juni menginap dipetak kamar yang sama dengannya untuk beberapa hari. Besar sekali jasanya menurut Kiyesa.

Mungkin orang tuanya terlalu baik merawatnya sampai-sampai ia berat hati menerima sesuatu tanpa membalasnya dengan setimpal. Selain air, Kiyesa benci hutang. Entah kaitannya dengan budi atau uang. Karena itu, seringkali si gadis kerepotan mengatur dirinya sendiri. Ada saat dimana jasa yang ia terima diluar dari kuasanya untuk ia kembalikan dengan nilai yang sebanding. Tapi menyangkut dengan balas-membalas, Kiyesa si kepala batu ini pasti pemenangnya, tak peduli konteks baik atau sebaliknya.

Sudah setengah jalan. Kiyesa kadung basah, jadi kenapa tidak sekalian menyelam? Dengan begitu, impas sudah pengorbanan Klaristha merelakan Hujan Bulan Juni sebanding dengan pengorbanan Kiyesa mengesampingkan ikat rumit antara dirinya dan si bungsu rumah nomor 11.

Komputer gemuk yang dulu ia olok-olok sebab bagian belakangnya (pantat kalau kata Kiyesa) menggembung besar, menyala dengan nomor faksimili Sayudha. Ini acara tukar pesan pertamanya dengan si pemuda. Sudah begitu terlaksananya di tanggal krusial yang tajuknya merenggangnya dua insan. Kiyesa lebih dulu yang mencampakkan, Kiyesa juga yang mesti mempertahankan?

Kiyesa

Ngapain? |

Lama sekali ia menimbang-nimbang kalimat apa yang sekiranya terkesan wajar. Tapi kata pertama yang sepintas mengelibat di benaknya, tersingkir dari opsi begitu saja.

Kiyesa

Aku minta maaf |

Bukan ini tujuannya. Kiyesa tidak hadir untuk mengibarkan bendera damai. Saat ini ia sadari bahwa bukan saat yang benar untuk mengangkat ke permukaan mengenai apa yang terjadi beberapa hari lepas. Juangnya sejauh ini bukan untuk dirinya, melainkan untuk Klaristha. Maaf bukan awal yang baik untuk menunaikan misinya.

Dihapus bersih rentetan huruf acak itu tanpa menyisakan apapun.

Kiyesa

Sayudha, belajar ya? |

Kiyesa lelah kalau harus mempertimbangkan segalanya sampai ke akar-akarnya. Ketimbang begitu, ia babat gusarnya meski masih tersisa sedikit bibit-bibitnya. Kepalanya jatuh tertunduk menimpa lututnya yang tengah ditekuk. Menanti ya? Kiyesa jago. Tapi entah, kali ini rasanya tidak semenyenangkan yang biasanya.

Komputer gemuk yang seringkali harus dipukul karena penyakit ngadatnya, tidak bersuara sekalipun datang sebaris pesan dari kawan tukar pesannya. Kiyesa yang terlambat menyadari balasan Sayudha, mengangkat kepalanya teramat pelan. Matanya terbuka penuh kehati-hatian seolah tengah menantinya sebuah senapan dengan puluhan luncuran peluru.

Sayudha
| Rumah nomor 7?

Jawabnya begitu. Alih-alih mengiyakan atau tidak, tanda tanya yang Kiyesa beri, Sayudha malah mengajukan tanya tak jauh berbeda dari yang Kiyesa lakukan. Tapi Sayudha, secara tiba-tiba, Kiyesa merasa sudah terbentang jauh sekali dia dan si pemuda. Rasanya asing, rasanya harus kembali berjabat tangan, rasanya harus memulai dari garis awal lagi. Hanya Kiyesa satu-satunya yang mampu mengoperasikan komputer di rumah nomor 7, jadi kenapa tidak ia sebut namanya terang-terangan?

Kiyesa
Iya |
Kalau kamu punya waktu, aku mau minta tolong |

Sayudha
| Aku mampir, pulang les nanti

Ada beberapa hipotesa yang kemudian menimbulkan badai untuk Kiyesa dan benaknya yang melilit rumit. Sepenglihatannya, Sayudha yang menyatakan kesanggupannya semudah ia mengerjapkan mata, mungkin boleh jadi terkesan seperti sudah jengah dirinya terlibat lebih lama dengan si gadis rumah nomor 7. Mungkin perutnya mual, mungkin dia terlanjur muak sebab Kiyesa seenak hati memperlakukannya dengan tidak adil.

Dibohongi dunia, sudah merubah Kiyesa sebanyak ini. Ada ratusan ribu prasangka buruk yang seringkali bertamu sebab gadis rapuh ini terlalu mengandalkan semesta dahulu, sampai ia melebur jadi debu setelah tahu bumi ini akan senantiasa menipunya.

Sayudha
| Lakuin apa yang kamu
| Atas nama kamu sendiri, jangan atas nama orang lain
| Atau karena orang lain
| Kamu pernah bilang gitu
| Nggak apa-apa
| Nggak ada yang berubah

Sayudha merelakan, gampangnya dibilang begitu bukan? Lantas kenapa bagi Kiyesa, kalimat-kalimat itu malah berbentuk sebuah pernyataan yang tujuannya menyakiti dirinya? Kiyesa merasa buruk—sebagai seorang teman ia merasa begitu. Namun kalau bukan, apa artinya itu?

Sialan yang namanya asmaraloka.

Jangan datang. Tolong, jangan datang Sayudha. Dengan begitu, Kiyesa punya alibi tanpa harus merekayasa kenyataan. Dengan begitu, Klaristha tak akan mencecarnya. Dengan begitu, Kiyesa tidak akan merasa sejahat ini melakoni peran manusia. Namun Sayudha, anak baik yang tidak suka bermain janji, memenuhi undangan temu Kiyesa dengan suara yang masih sama hangatnya. Seolah-olah tidak pernah terjadi yang namanya ketidakselarasan rasa.

Sayudha inginnya berdamai, sayangnya Kiyesa tak sehati.

Jendela kamarnya terbuka lebar namun tirai oranye floral menengahi keduanya. Sayudha dan kakinya yang butuh tempat untuk disinggahi, berakhir menyandarkan diri tepat di sisi kanan jendela si nona. Kalau saja tidak sedingin ini gelembung-gelembung atmosfer antara mereka, Sayudha pasti sudah berkelakar mengajukan pinta agar si nona pemilik kamar mau menyediakan sebuah kursi spesial untuk ia tempati tiap kali berkunjung.

Kelihatannya sedang belajar kalau ditengok dari siluetnya. Tergenggam pena diantara jemari lentiknya dengan kepala yang seringnya menunduk.

Sayudha bertamu bukan tanpa permisi. Beberapa kali dia berdehem sebatas mengabari Kiyesa bahwa telah tiba dirinya di sini. Bagian yang paling disayangkan, tirai jendela kamarnya terus saja dibiarkan terurai, bukannya disibak dan keduanya bisa mudah bertukar tatap. Lantas Sayudha mengerti. Ada sesuatu yang mesti dilakukan namun dasarnya atas sebuah keterpaksaan.

Berharapnya Kiyesa, Sayudha padat jadwalnya yang pada akhirnya mendesaknya untuk segera pergi dari sini. Namun Sayudha berlebihan—menurutnya. Dia tidak minta dibawakan buah tangan, tidak pula menuntut perlakuan manis. Hanya karena sekotak jus alpukat mendarat di atas meja belajarnya, Kiyesa gundah kembali. Wajar sepatutnya memberi hadiah kecil selayaknya yang Sayudha lakukan. Toh, dulu ia dapat roti moka, sebotol air mineral sampai jaketnya. Tapi situasi rumit saat ini membuatnya terpaksa menggigit bibir kelewat gusarnya ia menyimpulkan perasaannya sendiri.

"Lagi belajar ya?"

Si gadis membeku. Tidak punya tenaga untuk terbahak keras sebab Sayudha rupanya menanam prasangka yang begitu baik kepadanya. Oh, tapi kalau memahami perasaan termasuk sebuah tahap belajar, maka Sayudha benar. Belajar mengerti soal perasaannya. Sebuah persoalan yang sulit sekali dipecahkan sebab Kiyesa tidak tahu sama sekali teori macam apa yang harus ia rangkum.

"Kamu mau minta tolong apa?"

Sayudha menutup pintu kesabarannya untuk menanti jawab Kiyesa atas tanda tanya pertamanya. Berkat tanya keduanya, Kiyesa mengerjap selepas hanyut dibawa pergi jiwanya hanya karena terlalu lamat mengamati sekotak jus alpukat dari Sayudha.

Tangannya meraih secarik kertas, sudah tergenggam pula pena di tangannya, namun Sayudha dan suara beratnya yang terkadang berhasil membuat orang merindu, kembali mengudara dibekap langit malam.

"Aku nggak sengaja ngomong aneh waktu itu. Aku nggak ada niat bilang itu tanpa pertimbangan apapun sebelumnya. Aku juga sama sekali nggak mempersiapkan apapun buat bilang itu. Dari semua ketidaksiapan aku, kamu boleh lupain apa yang pernah aku ucap dari mulutku yang nggak tahu filter ini."

Kiyesa bersikeras menutup telinga seolah-olah rakit kalimat Sayudha tidak selamat sampai ke pendengarannya. Berkelibat sepintas sebelum angin meniupnya dan berakhir melebur.

"Minta tanda tangannya," Terulur secarik kertas lengkap dengan pena dari dalam tirai jendela, "Teman sebangkuku penggemarmu."

Pertamanya, Sayudha terbengong-bengong manakala Kiyesa menodongnya dengan kalimat paling mustahil. Mengudara juga akhirnya kekeh kecil dari si pemuda setelah selesai mengamati semuanya hari ini.

"Oh gitu? Itu kenapa kamu foto aku diam-diam?"

Diterimanya secarik kertas dari si gadis yang kini terpaku bersama matanya yang membulat sempurna. Tertangkap basah jadinya?

"Lain kali biar jangan ngerepotin kamu, aku sendiri yang bakal samper rumahnya. Fan service, iya kan?"

Kiyesa mencibir diam-diam. Narsis sekali manusia raksasa ini. Kendati tahu betul popularitasnya menyaingi tingginya Everest, paling tidak dia harus tahu cara yang tepat untuk mengatur percaya dirinya yang seringkali meluber kemana-mana itu. Kejam sekali Kiyesa memperlakukan dirinya sendiri dengan cara membungkam mulutnya semata-mata untuk tidak mencecar Sayudha sebab dia masih mempertahankan konsep pertikaian.

"Udah," Kembali lagi kertas yang sama pada si nona, "Ada lagi?"

Dari siluetnya, Sayudha menyaksikan kepala sang gadis menggeleng. Selain karena hipotesa melencengnya yang menganggap Kiyesa tengah sibuk belajar alih-alih menghayati Hujan Bulan Juni, Sayudha menghormatinya, atau lebih tepatnya Kiyesa dan perasaannya. Bukan tidak mungkin kalau manusia yang paling tidak ingin Kiyesa jumpai beberapa saat kedepannya, adalah Sayudha.

"Aku pulang ya."

Sayudha beranjak dari tempatnya. Kaki-kaki panjangnya yang sekali melangkah bisa lebih dari satu meter, sengaja menapaki tanah dengan longkap mungilnya. Sedang bernegosiasi dengan waktu dia itu, barangkali Kiyesa mau menunda perpisahan ini seperti adegan klise yang terjadi di film-film kebanyakan.

Sudah hampir menyentuh pagar, ketika itu,

"Sayudha!"

Langkahnya terhenti. Senyum kecilnya terbentang dengan sedikit rasa kemenangan dalam dirinya. Manakala tubuh bongsornya berbalik, ia temukan Kiyesa yang tengah menyibak lebar tirai jendelanya. Kedua alisnya terangkat naik, menyembunyikan bibirnya yang bergetar hebat saking lebar senyum yang ia tahan-tahan. Sayudha sendiri mati-matian mencaritahu. Ada apa gerangan sampai dia berubah segila ini? Karena si gadis dan lekuk wajahnya yang merasa sedikit ditiban ketidakadilan itu sampai bibirnya menukik ke bawah samar-samar, atau karena surai legam yang malam ini ia satukan menjadi ikat kepang rambutnya?

"Kamu tulis, ini jimat keberuntungan, kenapa?"

"Aku kasih harapan paling baik setiap hari buat orang yang simpan itu. Sampai langit tahu, aku bakal bantu lima kali sehari lewat mulut ini."

Kiyesa membiarkan sunyi menengahi untuk beberapa saat.

"Kamu bakal doain orang yang simpan kertas ini?"

"Kalau soal negoisasi, kamu nggak bisa ngalahin Sayudha. Sekalipun kaitannya sama langit atau semesta, itu bukan pengecualian."

Sayudha si tukang ngeles, seolah-olah tengah menggoda Kiyesa dengan kalimat yang kurang lebih beginilah artinya, jadi Kiyesa, masih maukah kamu mengasingkan Sayudha jauh dari hari-harimu?

Continue Reading

You'll Also Like

28.8K 1K 3
[Now Available on Gramedia Digital] Bermodalkan cita-cita untuk berhasil debut sebagai seorang idol, Briana Kim rela meninggalkan San Francisco untuk...
Spaces By Ritonella

Teen Fiction

134K 11.5K 25
Awalnya Sabil berada di sisi Satria dengan sebuah permintaan dari lelaki itu. Tapi masalahnya, Sabil sudah terlalu jauh jatuh, sedang Satria masih sa...
1.1K 122 13
Flora berhasil keluar dari lingkungan yang tidak menyenangkan dan masuk ke dalam lingkungan perkuliahan baru. Harapannya, dia bisa berhadil menyelesa...
22.5K 3.3K 11
people aren't made for each other; they make themselves for each other.