”Wanita itu seperti kebingungan atau apa? Atau dia memang tidak memiliki rencana yang matang? Atau memang dia senang berubah-ubah pikiran? Merefresh semua rencananya semau dia?”
”Dia mencoba melihat peluang yang lebih menguntungkan. Itu saja.”
”Apa yang dia inginkan dari Andi sebenarnya? Rafael bahkan tidak menyukai kehadirannya. Itu potensi bahayanya lebih besar kan Mas?”
Rion mengangguk dan menarik napas sangat panjang sementara Gempar membenahi kancing bajunya. Dia baru saja mandi di penginapan dan menyusul Rion dan Lintang Dianti ke sebuah klinik. Mereka memutuskan segala sesuatu dengan cepat dan menyimpulkan bahwa mereka tidak mungkin kembali ke rumah sakit di mana Lintang Dianti melahirkan.
”Bagaimana rencana kamu selanjutnya?”
”Mas Rion aman dulu. Karena aku yakin Bu Niken Palupi pasti masih menyisakan orang-orangnya di sini.”
”Kurasa kita cukup aman saat berpindah kemari dan tidak ada yang mencurigakan mengikuti kita. Bagaimana?”
”Bapak mengirimkan 4 orang kemari Mas. Begitu mereka sampai aku langsung ambil penerbangan ke Yogya.”
”Ya Allah. Ini benar-benar merepotkan semua orang.”
”Tidak apa-apa, Mas. Kita harus benar-benar teliti sedetil mungkin sekarang.”
Rion mengangguk dan mereka beranjak saat dokter keluar dari ruang rawat inap di klinik ibu dan anak itu. Rion berbicara sebentar dengan dokter dan Gempar masuk ke kamar di mana Lintang Dianti berada.
”Selamat ya Mbak.”
”Matur nuwun, Dek."
Gempar tersenyum dan tangannya terulur menyentuh pipi di pangkuan Lintang. ”Cantik sekali. Siapa namanya?”
”Bora Maulida Az-Zahra. Andi yang memberi nama.”
”Oh...anak itu...so sweet sekali.” Gempar menerima Bora dari tangan Lintang Dianti. Rasa canggung itu tetap ada mengingat mereka tidak pernah begitu akrab di masa lalu. Mereka hanya bicara seperlunya setiap Lintang berkunjung ke Griya Bausasran.
Mereka menoleh dan mendapati Rion masuk dengan plastik berisi vitamin dan obat. Pria itu meletakkan obat di atas nakas dan mendekati Gempar. Dia tersenyum dan menggenggam tangan kecil Bora lembut.
”Mas. Aku tidak mau pergi dengan wanita itu.”
Pembicaraan yang dibuka oleh Lintang nampaknya akan sangat pribadi. Ada ketakutan di suaranya. Ketakutan kalau-kalau Rion tidak percaya padanya. Gempar hendak beranjak namun Rion menggeleng.
”Aku tahu. Sekarang ada yang lebih penting. Kamu pulih, Bora sehat dan semua orang sedang memikirkan bagaimana harus membawa keluar Andi. Ada yang kamu tahu?”
”Jurnal itu. Yang ditulis oleh Rafael, aku membacanya. Sudah lama, waktu aku membeli rumah di Jalan Arjuna No 3. Di Solo.”
Gempar dan Rion menyimak dengan serius apa yang dikatakan ole Lintang.
”Waktu itu dia mengamati kegiatan Prof Garin dan istrinya dari rumah itu. Dia punya buku lusuh banget yang berisi detil-detil apa saja yang harus dan akan dia lakukan.”
”Apa dia membawanya setiap waktu?”
”Tidak. Aku yakin tidak. Dia sangat teledor. Aku yakin dia hanya melemparkannya atau melupakannya di suatu tempat.”
”Itu membuat semuanya cukup sulit. Kita tidak mungkin mencarinya di banyak tempat.”
”Tapi...”
Gempar dan Rion kembali fokus pada Lintang Dianti.
”Kalau kalian percaya padaku...aku mengingat banyak hal.”
Gempar meletakkan Bora ke ranjang dan merogoh ponselnya. ”Tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu Mbak Lintang ingat jelas sesuatu yang bisa mengarahkan kita ke sebuah petunjuk yang bisa kita urai.”
”Setelah semua percobaan gagal...aku akui...semua karena Prof Garin dan istrinya sangat solid. Mereka kompak dan yang paling penting, mereka saling percaya. Tapi, ada rencana yang mengendap dan itu sepertinya dilakukan oleh Rafael sekarang.”
”Rencana yang mengendap?”
”Teror-teror itu, termasuk hitungan tahun di mana Andi terlibat dalam skenarionya, hanya bagian-bagian kecilnya saja. Rafael memiliki rencana yang besar. Tapi apapun itu, tujuan utama Rafael adalah menghilangkan Prof Garin Mullen dari...” Lintang Dianti tidak meneruskan kata-katanya. Dia tercekat dan hanya memberikan kode-kode dengan tangannya tentang bumi dan seisinya.
”Dia benar-benar sakit.” Gempar mencebik kesal.
”Selain kemarahannya tentang masa lalunya, mereka pernah berinteraksi di masa lalu kalian ingat? Kekecewaan Rafael karena tidak menjadi bagian dari orang-orang yang menerima bantuan dari Prof Garin terkait dengan kariernya, itu membuat Rafael memiliki penafsiran yang salah. Dia berpikir Prof Garin melakukan bullying padanya.”
”Ooh...ini lebih parah dari yang aku pikirkan. Kalau dia berpikir seperti itu, maka kombinasi dari kemarahan, penafsiran yang salah dan jiwa sakit yang sudah dia miliki sejak lama, itu akan sangat berbahaya. Bukan begitu?” Rion menoleh pada Gempar yang dengan cepat mengangguk setuju. ”Dia tidak segan lagi melakukan hal-hal gila termasuk membunuh.”
”Dia membunuh Miki, kucing Tante Gia. Itu indikasi kuat kan?” Gempar mengingat hal menyesakkan yang pernah diceritakan Tante Gia namun mereka tidak memiliki bukti valid tentang itu jadi tidak bisa membuat pelaporan apapun.
”Lalu apa rencana hebatnya yang sesungguhnya? Permasalahan ini sudah melebar kemana-mana. Dari masalah harta keluarga yang melibatkan banyak orang...”
”...semua berkesinambungan Mas. Wanita itu takut pada anaknya. Dan untuk memenuhi apa keinginan anaknya, mereka harus memiliki uang yang banyak. Selain tentu saja dia memang sudah serakah sejak awal...” Lintang Dianti mencebik lirih. ”...dan kecemburuannya pada ibu. Dan kegilaan bapak pada aroma uang...”
Gempar dan Rion dengan sabar mendengarkan Lintang. Wanita itu terlihat menatap kosong ke arah dinding kamar rawat. Dan sesaat kemudian wanita itu menggelengkan kepalanya kuat seakan ingin membuat dirinya kembali tersadar sepenuhnya.
”Dia menggambar kapal di lautan, siang dan malam, seorang pria, seorang wanita, di kapal itu, pria-pria dengan pakaian aneh semacam kimono, dengan tato di seluruh tubuh...huum. Ada alat-alat rumit. Entahlah...seperti kamera-kamera? Kapal itu tidak pernah sampai di dermaga kurasa. Ya kan? Untuk apa mereka membuang sauh di tengah lautan?”
”Kalau seperti itu pasti dana uang dibutuhkan sangat banyak Lintang...”
Lintang Dianti menoleh dan menatap Rion. ”Dan kamu tidak tahu berapa banyak yang dimiliki oleh keluarga Jagadita Laksana, Mas. Yang terlihat sekarang hanya lah permukaannya saja. Permukaan yang hanya terlihat sedikit saja. Dan...yang banyak sampai orang tidak bisa menghitungnya itu...bapak masih saja melipatgandakan polis asuransi kematian ibu...serakah sudah menjadi penyakit menahun di hatinya.”
Rion menelan ludah kelu. ”Bagaimana selanjutnya?”
”Hanya kalau kalian percaya dengan apa yang ada dalam ingatanku.”
”Kami percaya Mbak. Dan semua layak untuk dicoba. Semua celah bisa menjadi terobosan besar. Ya kan Mas?” Gempar menoleh pada Rion yang meraih Bora dan memeluknya lembut karena bayi itu seperti mendadak gelisah.
”Rafael Nadal membawa Prof Garin dengan kapal laut. Perjalanan yang sangat panjang. Itulah mengapa Rafael menggambar suasana siang dan malam di lautan dengan jelas.”
Gempar yang menuliskan semua ucapan Lintang di ponselnya, membeku. ”Dan kapal itu membuang sauh di tengah lautan, Mbak?”
Lintang mengangguk. ”Lalu siang dan malam lagi. Berlalu begitu saja. Entah menggambarkan berapa lama? Dan kapal itu berlalu meninggalkan dua buah peti berada di dasar lautan.”
Semua membisu. Bora menangis tiba-tiba dan Rion membawanya beranjak. Pria itu berdiri di depan jendela dan menatap kejauhan sambil menepuk-nepuk lembut bayi di gendongannya.
”Ini lebih dari kata serius Gempar. Pulanglah. Mas akan menyusul dalam beberapa hari. Sinkronkan semua dengan Mbak Giana dan bicarakan ini dengan keluarga. Huum?”
”Baik, Mas.”
Gempar segera sibuk dengan ponselnya dan mencoba menemukan tiket penerbangan tercepat. Suasana hening diselingi suara lirih Bora yang ditepuk-tepuk lembut oleh Rion.
”Penerbangan siang dalam dua jam, Mas. Sebaiknya saya pergi sekarang. Tidak usah diantar dan...orang-orangnya bapak sedang dalam perjalanan kemari.”
"Hati-hati.” Rion menyerahkan Bora kada Lintang sementara Gempar mengemasi tas nya dan menggulung lengan bajunya. Dia menyalami Lintang Dianti.
"Saya pulang dulu, Mbak. Sampai bertemu di Yogya.”
”Gempar hati-hati ya. Titip Andi...”
”...tentu Mbak.” Gempar tersenyum dan berjalan keluar diikuti oleh Rion. Mereka berbicara sebentar di koridor sebelum Rion kembali masuk ke ruang rawat inap. Pria itu terpaku di depan pintu dan menatap Lintang Dianti yang juga menatapnya.
”Kenapa Mas?”
”Tidak...kamu sudah melakukan yang terbaik.” Rion berjalan ke arah Lintang dan meminta Bora kembali. ”Istirahatlah sekarang. Begitu kamu pulih, kita akan pulang.”
”Pulang? Aku bahkan tidak punya rumah lagi di sana.”
”Rumah di Tirtodipuran itu, kamu bisa mencicilnya dari Mas Farel. Atau, kita bisa pulang ke rumahku.”
Rion beranjak dan berjalan lagi ke arah jendela. Dia menyibak tirai dan menatap kejauhan. Langit Singapura yang mendung walaupun tidak gelap. Lintang Dianti menatap pria itu dan menangis tanpa suara. Terbayang lagi di matanya yang mengambang air, moment saat Rion melantunkan adzan di telinga Bora begitu mereka bertemu. Semua mungkin terlambat karena ulah Niken Palupi, tapi Rion tetap melakukannya. Dan itu menciptakan rasa aneh di hati Lintang. Dia bahkan tidak bisa menjabarkan lagi bagaimana perasaannya. Lintang memutuskan untuk tidak bertanya banyak tentang ke mana dia harus pulang. Dia memutuskan bahwa dia hanya harus menurut pada pria itu.
Ketenangan dibangun dengan susah payah dan sepertinya masih bisa dikendalikan. Tapi tidak begitu dengan lautan. Semua serba tidak terduga ketika kita berurusan dengan alam. Air laut menjadi tidak tenang dalam dua hari terakhir dan itu membuat Garin merasa aman. Sesuatu yang aneh ketika seseorang merasa aman di tengah badai.
Tapi tidak malam itu. Ketenangan air laut melenakan. Kapal melaju stabil. Barang-barang di dalam kapal juga bisa berada ditempatnya dengan semestinya. Hanya saja, orang-orang yang berada di dalam kapal itu, menjadi begitu kelelahan setelah mengatasi situasi kacau kemarin.
”Tidak ada yang bisa dilakukan selain melawan dan mati lebih cepat. Aku tidak mungkin melakukan hal bejat itu bersamamu demi sebuah keselamatan. Toh...pada akhirnya aku akan mati juga dan menghilang dari dunia seperti yang Rafael mau. Ini hanya masalah waktu. Kita tidak bisa berharap terus menerus pada alam.”
Garin berbicara pelan pada Haruna yang membisu. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam di dek atas sesuai dengan permintaan para penculik.
”Kita akan bergerak sedikit lebih bebas. Tapi aku juga memiliki pemikiran yang sama. Mau bagaimana pun, aku akan mati juga di lautan ini.” Haruna menatap kejauhan.
”Aaah...aku tidak pernah begitu baik dengan air yang banyak seperti ini. Mungkin ini karmaku karena terang-terangan mengatakan bahwa aku menyukai air yang banyak. Bukan karena aku tidak bisa berenang, tapi karena aku merasa tidak nyaman ketika berada di tempat dengan air yang banyak.”
Mengulang-ulang kata air yang banyak, rasa tidak nyaman, benar-benar tanpa sengaja menggambarkan bahwa Garin memiliki kekhawatiran tersendiri ketika berada di tempat dengan situasi yang dia jabarkan barusan.
”Ngomong-ngomong, apa yang kau katakan sampai mereka memberi kelonggaran pada kita sampai bisa berbicara lebih lama?”
”Aku mengatakan bahwa kita harus membangun chemistry yang lebih erat sebelum pengambilan gambar.”
”Ah...”
”Itu tidak banyak membantu tapi setidaknya kita tidak sendirian memikirkan semuanya. Ini baru hari ke 9. Kita bisa berada di lautan selama 60 hari lebih kalau kecepatan kapal seperti ini dan seringnya terjadi badai.”
”Maafkan aku, tapi bagaimana dengan ayah anak dalam kandungan mu?”
Haruna terdiam. Dia tetap menatap kejauhan. ”Dia bisa menjadi sangat berbahaya ketika tahu kalau mereka menjebak aku dalam situasi seperti ini.”
”Heiih? Apa dia salah satu dari...”
Haruna tidak menjawab namun dia mengangguk. ”Sangat menyakitkan tidak bisa menghubunginya di saat seperti ini. Maaf aku tidak jujur tentang ini sejak awal.”
”Bagaimana dengan kemungkinan kita mengirimkan sinyal keluar?”
”Dari ruang kendali? Rasanya itu akan sulit.”
”Kita akan mencari caranya.”
Haruna tidak mengangguk. Bagaimana pun, rasanya tidak terlalu menyenangkan menemukan terobosan yang belum dipastikan bisa mereka lakukan. Keputusasaan mengalahkan semangatnya. Ditambah kehamilannya, hormon membuat mood nya tidak menentu.
”Sebaiknya kita istirahat.” Garin beranjak dan mengulurkan tangan membantu Haruna berdiri. Dan mereka melangkah dengan keheranan merambat di wajah mereka karena beberapa pria penculiknya membiarkan saja mereka turun bersama-sama.
Berjalan di sepanjang koridor dengan hati-hati dan akhirnya berhenti di depan kamar yang ditempati Haruna, wanita itu meraih gagang pintu dan berhenti.
”Seandainya tidak ada pilihan lain setelah kita berusaha sangat banyak, kalau kita melakukannya...dan hidup kita berubah selamanya...bagaimana pendapatmu?”
Garin membisu. Dia bahkan belum tahu apakah ada kemungkinan Rafael membebaskan mereka setelah mereka menuruti apa kemauan nya?
”Maafkan aku...aku hanya melihat kematian baik kita menuruti Rafael atau tidak Haruna. Maafkan aku.”
”Aku mengerti. Selamat malam.”
Garin merunduk dan menunggu hingga Haruna masuk ke kamarnya sebelum dia kembali melangkah di koridor dan menuju sayap lain di mana kamarnya berada. Dia sampai di kamarnya dan koki bisu kapal itu sudah menunggunya di dalam kamar. Dengan bahasa isyarat pria itu mengatakan bahwa dia diminta mengantarkan minuman ke kamar itu. Pria itu menunjuk nampan di atas meja.
Garin mengangguk dan pria itu keluar. Dia memeriksa minuman itu dan membauinya seiring suara anak kunci diputar dua kali. Garin tertawa miris. Tawa sumbang nya tertahan dan dia segera menahan kemarahannya. Aroma jahe dan ginseng yang kuat membuatnya marah karena dia tahu manfaat dua akar tanaman itu.
Garin menyalakan lampu utama dan kamar itu seketika benderang. Dia duduk di atas ranjang dan menatap lautan yang gelap. Tidak ada cahaya bulan malam itu. Atau belum muncul. Air laut terlihat samar-samar. Mengkilat ketika tertimpa cahaya lampu di galangan kapal.
Kali ini kelelahan menghadapi situasi lautan yang menggila, yang membuat mereka, orang-orang itu menunda semuanya. Atau belum ada perintah lagi dari Rafael?
Pria dengan kegilaan level maksimal yang nyatanya nampak tenang dan tidak rusuh selama berhari-hari. Dia terlihat anteng di rumah barunya di Sosrowijayan. Mobilnya tidak pernah meninggalkan rumah itu sejak beberapa hari belakangan. Penjaga rumahnya juga terlihat anteng saja di pos jaga. Rumah itu sepi seperti tidak berpenghuni. Tidak terlihat kesibukan apapun. Tidak terdengar suara apapun.
Tapi itu bagi mereka orang luar yang tidak mengerti apa-apa. Tidak mengerti bagaimana sejatinya rumah itu didesain. Suara-suara gaduh terdengar selama berhari-hari. Hanya saja, Rafael satu-satunya yang mendengar suara itu.
”Lepaskan aku!” Bisikan lemah seorang wanita terdengar. Dia tak segarang kemarin-kemarin. Suaranya yang lemah mengendap begitu saja pada dinding-dinding dengan pelapis kedap suara yang tebal.
Lampu terang benderang membuat gadis itu berpeluh. Rafael mematikan lampu-lampu itu dan menyisakan lampu utama yang sedikit redup. Dia melepaskan ikatan di tangan gadis itu.
”Oh...maafkan aku harus melakukan ini." Rafael mengangkat wanita itu keluar dari ruangan terang benderang itu. Membopongnya melintasi aula rumah dan menapak tangga naik ke lantai dua.
Berakhir dengan membasuh tubuh telanjang wanita itu dengan air hangat. Menikmati rintihan kesakitan wanita itu.
”Aku menyerah...”
Rafael melepas bajunya dan bergabung dengan wanita itu di dalam bathtub berisi air hangat. Air luber dan membasahi lantai kamar mandi. Rafael memijat pindak wanita itu dengan lembut.
”Sampai kapan ini...”
”Apa kamu tidak mau bersamaku? Huum...”
”....aku sakit...”
”...ini yang terakhir. Setelah ini tidak akan terjadi lagi. Aku janji. Istirahatlah sekarang.”
Pijatan lembut. Usapan tangan halus dan bisikan-bisikan di telinga yang melenakan. Membuat sosok Enggar Pramesti yang terjebak di rumah itu merangkak ke fase di mana dia tercuci otaknya dan mengakhiri perjuangannya untuk keluar dari rumah besar itu.
Enggar Pramesti memejamkan mata. Tertidur karena efek obat penenang dan kelelahan yang mendera raganya.
Rafael tersenyum. Dia meraih ponsel yang berada di sampingnya. Sambil memeluk tubuh telanjang Enggar Pramesti di depannya, dia mulai sibuk dengan ponselnya. Dia menuliskan pesan singkat disertai beberapa gambar ke sebuah nomor.
”Mulai pengambilan gambar dalam dua hari ini.”
*
👑🐺
MRS BANG