Setelah sarapan tadi, Vanya membawa Elen mengelilingi rumah sakit. Ada beberapa tempat dan benda rumah sakir yang Elen tidak tahu. Vanya dengan senang hati pun menjelaskan.
Sampai di taman belakang rumah sakit, Vanya mendudukkan diri di kursi panjang yang banyak disediakan di sana. Elen masih di kursi roda. Merasa putrinya tak nyaman, Vanya menggendong Elen hingga duduk di atas pangkuannya.
"M-ma, kita ka-kapan p-pulang?" Tanya Elen terbata.
"Besok Elen udah boleh pulang. Seneng gak?" Jawab Vanya sambil memeluk Elen dari belakang.
"Be-bener?" Vanya mengangguk di atas bahu putrinya.
"K-kalau u-udah pu-pulang, aku ma-mau sekolah la-lagi," Kabar gembira, sedikit demi sedikit Elen bisa mengucapkan kata dengan lancar.
"Eh? Beneran mau sekolah? Kalau mereka nakalin kamu lagi gimana?"
"Aku na-nakalin ba-balik!" Seru Elen percaya diri. Vanya terkekeh mengetahui putrinya sepercaya diri ini.
Kemarin, Clara belum sempat menjenguk Elen karena ternyata Elen sedang terapi bersama Chelsea. Entah hari ini beliau kemari lagi atau tidak. Tapi Vanya berharap tidak.
Tak ada alasan melarang Clara datang ke rumah sakit guna menjenguk cucunya. Hanya saja, Vanya takut kalau nanti mereka tidak diperbolehkan pulang ke desa mengetahui kondisi Elen.
Eh? Memangnya mereka menerima Elen sebagai cucu?
"M-ma, Pa-papa itu a-apa?" Tanya Elen tiba-tiba ditengah keheningan.
Vanya tercengang Elen menanyakan hal ini. Pasalnya selama ini dia tidak pernah menyinggung soal Papa.
"Elen tahu kata Papa dari siapa?"
"Ke-kemarin, dok-dokter Cel ta-ta-tanyain Papa a-aku."
Ya, Chelsea sebagai dokter terapi Elen pasti ingin tahu mengenai anak kecil itu lebih dalam. Apalagi selama di rumah sakit Chelsea tidak pernah melihat kedatangan sosok Ayah dari pasiennya.
"Setiap anak itu pasti punya Papa sama Mama. Dan Papa itu adalah orang yang bakal nemenin Mama sampai anaknya besar."
Jelas Vanya menggunakan bahasanya. Entah jelas atau tidak tapi bahasa ini menurutnya lebih mudah untuk dipahami.
"Be-berarti aku pu-punya Papa?" Vanya mengangguk kecil.
Papa?
Siapa Papanya Elen? Memang ada yang mau menganggap Elen sebagai anak selain Vanya sendiri? Jangan anak deh, memang ada yang mau menganggap Elen hidup?
Anak cacat sepertinya selalu menjadi bahan gunjingan seakan-akan mereka tak layak untuk hidup. Tidak tahu saja mereka bagaimana perasaan orang kekurangan diejek terus menerus.
Pandangan Vanya kosong menatap depan. Pikirannya tertuju pada satu orang. Sedang apa orang itu sekarang? Sudah menikah kah atau masih kuliah?
"Ma! Ma-mama ng-nggak de-dengerin aku!" Jerit Elen membuat lamunan Vanya buyar.
"Kenapa sayang?" Tanya Vanya.
"A-aku ta-tan-tanya, P-papa m-mana?"
"Nenek Ayumi, itu kan Papa Elen juga. Nenek selalu nemenin Mama kan? Nenek juga janji ke Elen kalau mau jagain Elen sampai besar, inget?" Vanya membuat alibi.
"Ja-jadi Pa-papa aku i-itu, Ne-nek?"
"Papa itu laki-laki yang menjadi kepala keluarga, Elen. Kalau nenek kan perempuan," Sial.
Bukan Vanya yang menjawab, melainkan dokter Bevan. Mata Vanya membulat mengetahui ada Bevan disini. Hendak beranjak dari duduk, Bevan menahan Vanya.
"Duduk aja gak apa," Ucapnya lembut lalu mengambil posisi duduk di samping Vanya. Tak lupa dengan jarak yang tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh.
"Dokter kok disini?" Tanya Vanya memulai basa-basi.
Bevan mengulas senyum, "Saya tadi ke kamar Elen. Tapi kata suster Elen-nya lagi jalan-jalan. Eh waktu saya mau ke ruangan salah satu keluarga saya malah nemu kalian disini, ya udah saya kesini dulu."
Vanya membalas senyumannya sambil mengangguk menanggapi, "Maaf Elen-nya saya bawa keluar."
Gadis kecil itu kembali Vanya dudukkan di atas kursi roda. Untung dia bukan tipe anak yang dikit-dikit merengek. Kecuali kalau sedang bermain karena dia pasti akan di bully habis-habisan.
"Oh justru bagus kalau Elen mau dibawa keluar. Saya cuma mau ngecek Elen aja. Kan besok si manis ini udah boleh pulang," Bevan mengusap rambut Elen penuh sayang. Ia juga kebetulan gemas sekali dengan anak kecil.
Melihat kasih sayang Bevan kepada Elen membuat Vanya termenung. Pikirannya terus melayang memikirkan sosok Papa di kehidupan putrinya.
"Vin, anak kamu udah besar. Dia kekurangan, dia sering dirundung kayak Mamanya dulu, dia sekarang mulai butuh kamu. Tapi gak apa, aku masih kuat kok buat jadi Papa sekaligus Mamanya Elen." Batin Vanya dengan air mata menetes tanpa tersadari.
"Vanya? Kamu baik-baik aja kan?" Bevan menghentikan elusan di kepala Elen. Ia kini panik melihat Vanya yang tiba-tiba menangis.
Dengan cepat, Vanya menghapus air matanya, "Baik kok! Em dokter untuk biaya, saya baru punya 100rb. Sedangkan besok Elen pulang. Jadi saya harus gimana dok?"
"Tenang aja, masalah biaya aman, bisa belakangan. Kamu fokus sembuhin Elen dulu. Kalau dia udah bisa bicara jelas jangan lupa kabari saya."
"Loh, emang terapinya masih lanjut?" Tanya Vanya.
"Iya, terapi terus berlanjut sampai Elen benar-benar bisa jelas berbicara."
"Tapi untuk biaya, saya keberatan dok. Bagaimana sementara ini terapinya di stop?"
"Kalau begitu untuk terapi biar saya biayai, setuju nggak?"
"Hutang saya ke dokter udah terlalu banyak. Tolong jangan tambahi lagi. Saya tidak semampu itu untuk melunasi semuanya."
Bevan melihat betapa beratnya menjadi Vanya. Jujur saja ia ingin menanyakan dimana suaminya? Kenapa tidak membantu soal biaya? karena selama ini yang Bevan lihat hanya Ayumi, ibunya Vanya.
"Vanya maaf. Untuk masalah biaya udah saya bilang diawal agar tidak usah terlalu dipikirkan. Dan berhubung sudah jam istirahat, saya harus pergi. Elen, dokter pamit dulu ya, mainan yang Elen mau udah ada dikamar."
Dokter itu mengelus lengan Elen sebelum pergi. Baru setelah kepergiannya, Vanya yang tadinya sudah kepikiran soal Papanya Elen, kembali kepikiran persoalan lain.
"M-ma, a-ayo ba-balik. A-ada main-nan," Elen menarik pelan telapak tangan Vanya.
•••••
"Minum dulu Vin, kasian badan lo kekurangan air," Sejak lima menit lalu Acel memaksa Gavin agar mau minum.
Pasalnya anak itu baru saja sadar setelah sekian lamanya. Masa tidak diberi minum? Ntar ada penyakit tambahan lagi, dehidrasi.
Gavin memalingkan wajah. Ia malas dipaksa-paksa terus seperti ini. Belum lagi Acel yang memaksa Gavin, ya sudah, tambah malas lah dia.
"Gak usah nyusahin lo, Vin," Sahut Farel rebahan di sofa yang tersedia dalam kamar VIP ini.
"Bibir gue sakit buat mangap," Ucap Gavin tak jelas karena memang benar-benar sakit bibirnya kalau digerakkan.
"Ha? Lo gak bisa bicara?" Ejek Farel membuat Gavin memutar bola mata.
"Ya udah, nih gue kasih sedotan. Sedot dikittt aja," Bujuk Acel seperti sedang membujuk anaknya.
"Masa lo gitu doang tepar? Lemah," Ucap Farel lagi dengan pandangan fokus bermain game di hp.
"HUSTT! Rel, diem deh jangan jadi provokator." Tegur Acel yang sudah lelah. Niatnya ingin bertemu Vanya, Eh malah Gavin kayak gini.
Ceklek.
"Gimana keadaannya?" Bevan masuk, langsung menempatkan diri di samping brankar Gavin.
"Nih kak, dia gak mau minum," Acel memberikan botol aqua itu kepada Bevan.
Bevan menerima botolnya, namun ia tak memberikan botol itu pada Gavin. Kejadian barusan membuat Acel berkerut kening.
"Diapain? Kok bisa kayak gini?" Tanya Bevan setelahnya.
"Om Charles mukulin Gavin sampai pingsan. Waktu di ronsen gak ada luka serius. Paling lebam doang yang kayaknya rada serius." Bevan mengangguk.
"Terus tadi biaya rumah sakit dibayar Om Charles," Lanjut Acel.
"Kakak kok santai?" Tanya Farel masih dengan game ditangan.
"Udah seharusnya dia dapet hukuman," Celetuk Bevan terdengar jelas oleh Gavin. "Makasih ya Cel udah bantu kakak jagain anak bandel satu ini. Kamu juga Rel, thanks!"
"Yoi kak, aman," Sahut Farel.
BRAK!
"Huh, huh, huh," Seseorang masuk terburu-buru. Nafasnya tersengal seperti baru saja melihat penampakan.
"Lo kenapa sih Vel?" Tanya Acel cengo. Kini semua pandangan mata termasuk Gavin menuju ke arah Marvel.
"D-dia ada di rumah sakit ini!" Gagap Marvel tiba-tiba saking kagetnya.
"Dia siapa?" Tanya Acel.
"Vanya! Dia ada di sini!" Jawab Marvel cepat.
"Hah? Vanya?" Beo Acel.
"Vanya?" Bingung Bevan. "Vanya siapa? Pacarmu, Vel?"
Bersambung.
Di kalian partnya masih urut kan dari prolog, part 1 - part 15 ini?
*Part ini dipublish tanpa aku baca ulang. Jd kalo ada typo or kalimat aneh gt komen aja biar aku perbaiki.
Yg kmrn belom 200 vote aku udh up, jadi skrg aku mau 200 vote baru nnt up lagi.
08 11 23