Kevin Huo's Proposal ✅

By Liana_DS

993 163 43

Berkorban untuk pekerjaan tidak pernah ada dalam kamus Zhang Ling. Jika sebuah merek, proyek, atau fotografer... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61

32

17 3 0
By Liana_DS

"Bantalku ada obat tidurnya, ya? Kok kau langsung merem," tanya Xiang sekalinya Ling menutup mata lama.

"Ini bukan obat tidur lagi, tapi obat bius," gurau Ling, masih enggan membuka mata. Wangi bantal leher Xiang mungkin tak akan seintens itu jika dicium dengan mata terbuka. "Sudah kenyang, sudah ngobrol, tinggal tidur saja. Memangnya kau tidak ingin tidur, Feng Xiang?"

Tidak ada jawaban, tetapi Ling mendengar gemerisik kain baju, bunyi sepatu yang diletakkan di lantai, dan udara di sekitarnya terasa hangat. Ling makin tak berani membuka mata; ia tahu Xiang sudah berbaring di dekatnya.

"Aku ingin, tapi beri campurku belum habis, kan sayang. Bisa tidak, sih, aku tidur sambil makan?"

Ling terkekeh. "Memang orang bisa mengunyah dalam tidur?"

Xiang menidakkan dengan lirih, maka Ling mengira pria itu sudah mendapatkan jawabannya. Namun, beberapa saat kemudian, Ling baru menyadari bahwa ada cara lain 'makan sambil tidur' ... cara yang agaknya terlalu intim buat mereka berdua—yang berstatus cuma teman.

Saking malunya dengan gagasan dalam benak, Ling membuka mata. Dilihatnya Xiang betulan sudah berbaring telentang dengan mata terpejam barang tiga jengkal darinya, berbantalkan ransel.

"Jangan-jangan, kau mau kusuapi?"

Mendengar celetukan Ling yang tak terduga, Xiang tersedak tawanya sendiri sampai terbatuk-batuk sebentar. Ia lantas menutup separuh wajah atas dengan sebelah lengan, tetapi dengan itu pun, Ling masih bisa melihat rona merah di pipi dan telinga Xiang.

"Cuma sepasang kekasih yang bisa melakukan itu."

Kupikir juga begitu—dan aku tidak tahu mengapa aku mengatakannya?!

Ling bersyukur Xiang tidak membuka mata dan melihat raut mukanya yang tak karuan. Masalahnya, wadah beri campur Xiang memang masih terisi separuh. Sebagai orang yang dengan niat menyiapkan buah-buahan itu semalam, Ling merasa lebih sayang kalau buahnya jadi tidak dingin sebelum dimakan. Jadi, menyingkirkan rasa malu dan gugupnya, Ling menyeret kotak beri Xiang dan menempelkan sepotong stroberi ke bibir sang peragawan. Xiang kaget berat sampai menurunkan lengan yang menutup separuh wajahnya demi menatap Ling.

"Jangan berpikir aneh-aneh," kata Ling terbata-bata. "Bukan cuma pacar yang bisa suap-suapan begini. Memangnya kau tidak pernah disuapi ibumu?"

Ling benar, maka Xiang menerima suapannya, berusaha menjaga rautnya tetap netral—dan gagal total. Senyum lebarnya begitu saja merekah setelah menelan buah.

"Terima kasih. Sekarang, aku benar-benar bisa makan sambil tidur."

"Hm," balas Ling pura-pura cuek, kini menyuapkan sebutir bluberi. "Macam bayi saja kau kalau begini."

Tak ada balasan. Kelihatannya Xiang tidak merasa terejek dari caranya menangkap bluberi itu di antara bibirnya, tanpa membuka mata. Dengan saksama, Ling menunggunya menelan, lalu menempelkan buah lain sebagai isyarat bagi Xiang untuk meneruskan makan. Begitu seterusnya sampai isi wadah bekal habis; barulah Ling ingat niatnya semula untuk tidur.

"Sudah habis, ya?" tanya Xiang lantaran tak merasakan lagi sejuk kulit buah di sekitar mulutnya.

"Ya, habis," lalu Ling menambahkan dengan bergurau. "Anak pintar."

Akhirnya, Xiang membuka mata, tepat ketika Ling baru meletakkan kepala lagi ke bantal tidur pinjaman yang harum. Berbaring menghadap satu sama lain, mereka bersitatap dalam jarak yang lumayan dekat. Bukan gemuruh, lagi-lagi Ling cuma menemukan kedamaian dalam mata Xiang yang berkaca-kaca.

"Feng Xiang—"

Ling tak dapat menuntaskan kalimat karena ujung-ujung jemari Xiang melekati bibirnya, mencegah lebih banyak kata keluar. Sebentar saja. Ling cukup paham situasi sehingga tetap diam bahkan setelah jemari Xiang meninggalkan bibirnya. Pria itu terus memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Meskipun hangat dan penuh syukur, di sana juga ada kepedihan yang bercampur janggal dengan binar pantulan lampu ruang latihan. Ling tidak bisa berpaling walaupun sangat ingin, tetapi di luar dugaan, Xiang-lah yang memutus kontak mata duluan. Ia membuang napas perlahan, gemetar.

"Ini pertama kalinya setelah sekian lama," tanya Xiang, kini menatap lantai runway yang mereka tiduri, "aku bisa berada sedekat ini dengan seseorang tanpa disorot kamera. Tanpa memikirkan sudut yang bagus maupun foto yang dihasilkan—cuma aku dan orang di depanku. Aku ... agak kewalahan."

"Mengapa kewalahan?" tanya Ling pelan walaupun bisa menebak jawaban Xiang; ia ingin membuktikan apakah tebakannya benar. "Aku toh cuma berbaring di depanmu, tidak melakukan atau mengatakan apa-apa."

"Entah." Xiang berdeham, sepertinya untuk meredakan getar suaranya, tetapi malah semakin gemetar setelah itu. Ia genggam longgar bajunya di bagian dada dan bergeser resah, menjauhi Ling sedikit. Ling jadi khawatir.

"Mengapa dadamu? Ada yang sakit?"

"Tidak, tentu tidak, tapi," masih menggenggam bajunya, Xiang meneruskan, "terasa penuh di sini. Biasanya begitu kosong, atau tak terasa apa-apa karena sangat capek. Ah, aku tak bisa menamainya—rasa sesak ini."

Ling terusik dengan bagaimana Xiang menyebut diri 'terbiasa kosong atau tak merasakan apa-apa'. Kalau melemparkan diri ke kasur sehabis kerja, Ling pasti akan merasakan sesuatu: jengkel, senang, malu, menyesal—apa saja. Tapi, kosong? Leher Ling tercekat.

"Kupikir rasa sesak itu karena kamu terbiasa dengan kesepian, Feng Xiang. Ketika orang lain datang, kesepian itu pergi dan kamu tidak siap."

"Begitu, ya, menurutmu?" Mungkin Ling berhalusinasi, tetapi Xiang tampak tak berdaya. "Perasaan ini dulu sering kurasakan. Ya, ini rasanya tidak asing-asing amat."

"Di mana dan kapan kamu pernah merasakannya?"

Xiang menghela napas. "Dulu, dalam rumah kami yang kecil, ketika kami berlima tidur bersama di satu ranjang yang sempit. Ayahku tidur di satu ujung, ibuku di ujung lain. Kak Yang berbaring dekat Ayah, A-Tian yang masih bayi diapit dua guling di sebelah Ibu. Ada perasaan ini kala itu, perasaan yang selalu aku rindukan sejak pindah ke Shanghai.

"Aku suka tempat tidur sempit itu. Segala yang aku sayang berada dalam jangkauanku, dalam lapang pandangku. Seakan-akan aku tak menginginkan lagi hal lain yang kuinginkan ketika hari masih siang, ketika kami berjauhan. Namun, dunia ini ternyata besar dan segala sesuatu sebetulnya berjarak amat jauh."

Astaga. Aku tahu perasaan itu, batin Ling.

Ketika ibunya datang dari Sichuan beberapa waktu lalu, Ling sempat bingung mencarikan tempat ibunya tidur di apartemen. Memangnya aku tidak boleh tidur di kasurmu? Gerutuan sang ibu membuat Ling bertanya-tanya mengapa itu tidak terpikirkan—dan ia tahu-tahu menangis ketika ibunya tidur menyebelahinya.

Ling menggenggam tangan Xiang dengan hati-hati, tanpa suara. Xiang menatapnya, hanya sebentar, tanpa berniat membuka pembicaraan baru. Tangan yang Ling genggam, Xiang balikkan agar ia dapat menggenggam tangan Ling pula.

Rapuhnya. Tangan ini ternyata kurus benar .... Aku mungkin lebih lemah fisik dan mental dari Feng Xiang, tetapi tidak salah, kan, kalau aku ingin melindunginya?

"Kehidupanku rasanya bergulir sangat cepat sampai aku tidak sempat menata perasaanku," ungkap Xiang, membuyarkan lamunan Ling. "Sekarang, aku tahu apa yang berharga untukku—dan akan kuambil semua itu kembali satu persatu."

Apa yang berharga untukmu, Feng Xiang? Apa aku termasuk?

Ling membuang napas lemah, tak menyukai 'keangkuhan'-nya yang mulai muncul hanya karena Xiang bersedia merentan di hadapannya.

"Aku bisa membantu apa?" tanya Ling hati-hati. "Untuk meraih apa yang berharga itu, maksudku."

Xiang menggeleng. Sejenak, genggamannya mengerat pada tangan Ling.

"Hari ini, kamu telah mengingatkanku akan apa yang sebetulnya penting, Zhang Ling. Aku tak butuh apa-apa lagi darimu." Dalam keterpejamannya, Xiang tersenyum. "Terima kasih banyak. Tolong tetap di sisiku hingga aku bangun."

Jam dinding menunjukkan pukul 13.00. Paling bagus, Ling dan Xiang hanya mempunyai waktu tidur 1 jam, tetapi itu sangat cukup. Membiarkan satu tangannya digenggam Xiang, Ling meraih ponselnya dengan tangan yang lain. Via aplikasi remote control, dimatikannya dentum daftar putar runway yang menyamarkan kegiatan asli mereka, lalu memasang alarm di jam 13.45.

"Selamat tidur, Feng Xiang."

Kupu-kupu mengepak dalam dada Ling ketika mengucapkan itu. Dalam kehidupan yang serbacepat, ruang senyap nan syahdu ini rupanya dapat amat memulihkan. Berkaca dari pengalaman bercintanya yang singkat-singkat, Ling pikir tidak akan pernah merasakan seperti apa cinta sejati. Namun, bersama Xiang, sepertinya ia bisa mencicip sedikit kebahagiaan yang seolah-olah abadi itu.

Orang sepertiku pun ternyata ingin didampingi sampai akhir hayat. Tapi, kalau berharap didampingi orang seperti Feng Xiang, itu bukan kurang ajar kan namanya?

Sementara itu, Xiang—meskipun tidak menjawab—memerah telinganya ... dan Ling tidak melewatkan itu.

Ah, Feng Xiang, aku benar-benar gila karena jatuh cinta padamu.

***

Salah satu target audiens dari publikasi gila-gilaan Kevin Huo terhadap koleksi Fenghuang adalah penikmat fashion luar negeri. Keunikan koleksi itu berhasil mencapai nyaris seluruh Asia Timur, bahkan negara-negara berbahasa Inggris, kalau dilihat dari engagement media sosialnya. Masuk akal kalau saat ini, Ling dan Xiang berpose untuk majalah fashion GINGER. Versi Cina majalah ini sudah terbit lumayan lama, tetapi majalah fashion tersebut aslinya berasal dari Jepang; sosok duta Fenghuang serta wawancara mereka akan dimuat dalam dua bahasa di GINGER, juga akan diedarkan di kedua negara.

Untuk pemotretan outdoor kali ini, Ling mengenakan salah satu outfit yang viral di douyin mereka: hanfu cardigan hitam dengan celana baggy, sementara Xiang mengenakan oversized hoodie berlukiskan ekor merah fenghuang, dipadu T-shirt dan celana jeans. Setelan-setelan ini diserasikan dengan GINGER yang mengusung budaya pop; sampul majalah itu tidak jarang memasang wajah idola atau aktor yang sedang naik daun alih-alih model asli, dengan gaya yang familier tapi tetap trendi, maka pakaian-pakaian yang lebih 'wah' dari koleksi Fenghuang tidak punya tempat. Namun, konsep GINGER menerima secara terbuka gaya-gaya kasual—dan duo Wei-Tian dengan cerdik menemukan cara menonjolkan jati diri sambil beradaptasi dengan permintaan pasar.

Pemotretan hari itu merupakan satu lagi angin segar bagi majalah peliput kedua duta. Fotografer dengan mudah menemukan sisi terbaik mereka, melakukan sedikit editing di tempat, dan selesai. Semua staf GINGER senang sekali karena Ling dan Xiang tampil keren tanpa berusaha terlalu keras. Salah seorang jurnalis GINGER dari Jepang sangat antusias mengapresiasi pesona dua duta sampai habis napas dan Xiang menanggapinya dengan kalem lagi santun. Ling heran betul; rekannya ternyata punya rentang keadaan emosi yang luas. Jauh sekali bedanya Xiang yang berbincang dalam bahasa Jepang itu dengan pria muda yang meringkuk di atas runway beberapa jam lalu, bingung dan kewalahan akibat perasaannya sendiri.

Selain itu—

Feng Xiang juga bisa bahasa Jepang?! Aduh, aku tidak mengerti dia ngomong apa?

Ling belum lupa bagaimana Xiang berbicara dengan teknisi Australia di Wanhuazhen. Sekarang, pria itu kembali memukaunya dengan kemampuan berbahasa asing yang—meskipun logatnya masih kentara—cukup luwes. Kelihatannya, percakapan itu cukup menyenangkan si jurnalis karena berlangsung lama.

"Kak Mei," bisik Ling pada manajernya yang baru saja menyodorkan minum, "apa agensi model kita setertinggal itu, ya? Aku tidak pernah ditawari kursus bahasa asing, tuh?"

"Dasar. Telingamu itu di mana? Sudah berkali-kali aku menyampaikan tawaran itu, tapi kau malah 'aku tidak mau sekolah lagi!', 'aku jadi model biar tidak usah menghadap buku lagi, tau!', dan lain-lain, dan lain-lain." Dengan mulut menceng-menceng, Mingmei menirukan dalih Ling setiap ditawari kelas ekstra dari agensi untuk meningkatkan nilainya. "Sekarang mati kutu, kan, kau, berhadapan dengan orang yang multitalenta seperti Feng Xiang?"

"Ya ... dulu mana kepikiran kalau mau jadi duta Kevin Huo?" Lagi-lagi Ling beralasan. Mingmei memutar bola mata ketika peragawatinya kembali memandang Xiang dengan mata berbinar-binar. "Lagipula, mau berusaha seperti apa pun, Feng Xiang itu dewa. Kemampuannya tidak akan bisa dikejar!"

"Ah, kau cuma kurang niat saja." Mingmei bersedekap, tapi tangannya menunjuk laptop fotografer. "Buktinya, lihat itu. Kalau kau tidak latihan sampai gila, baik di rumah maupun di studio, mana bisa menghasilkan foto sebagus itu?"

Setelah melihat sekilas barisan foto yang dimaksud dalam layar laptop, Ling meringis salah tingkah campur kepedean. Ia lantas menyikut Mingmei agak terlalu keras, membuat wanita mungil itu mengaduh.

"Kakak bisa saja! Aku jadi malu, nih."

"Sakit, sialan." Meskipun diumpati Mingmei begini, Ling masih cengar-cengir saja. "Eh, Feng Xiang ke sini."

Benar saja. Usai menanggalkan hoodie-nya, Xiang menghampiri Ling dengan tergesa-gesa, tetapi wajahnya berseri. Rona mukanya lebih ceria dibanding ketika bercakap-cakap dengan si jurnalis Jepang. Tentu saja Ling tertulari senyum itu; ia tidak membuang waktu untuk memuji Xiang ketika pria muda itu sampai di hadapannya.

"Kau sebetulnya bisa berapa bahasa, sih? Aku cuma mengerti arigato dan konnichiwa kalau bahasa Jepang."

"Aku juga cuma mengerti beberapa kalimat pendek, sekadar minta dukungan untuk proyek-proyekku, serta beramah-tamah." Xiang merendah. "Ada yang mau kubicarakan denganmu. Kita segera beri salam pada para staf, lalu ke belakang panggung sebentar. Tidak sampai sepuluh menit, kalau kamu tidak keberatan."

Ling selalu suka bagaimana ia termasuk dalam 'kita'-nya Xiang. "Jangan main rahasia-rahasiaan. Mau ngapain, sih?"

Bukannya menjawab, Xiang malah meraih pergelangan tangan Ling dan berpaling pada Mingmei. "Nona Xu, saya pinjam Zhang Ling sebentar!"

Mingmei mengangguk kosong. Matanya melebar, tertuju pada tangan Xiang yang tampak besar melingkari lengan ramping Ling. Yang digandeng sama terenyaknya dengan si manajer. Darahnya berebut naik ke ubun-ubun, bisa-bisa meledakkan kepala cantiknya yang berhias tusuk konde perak.

Ini bukannya namanya pamer kemesraan?! []

alhamdulillah masih bisa update despite kesibukan rl. hbd dsc smg makin rajin mengobrak abrik hati anak perawan!

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 61K 32
It started with 3 seconds. When your eyes meet 1 2 3 And the magic begin. You'll fall in love even before your heart realize it. Amada Putri Rahadi...
3.1K 912 17
Adam selalu mendengus keras, mendesis sinis dan menukik tatap tajam tiap kali menghadapi Je. Padahal Je tidak melakukan apa-apa. Actually, mereka han...
1.1K 317 31
Balas dendam mempersatukan Seruni Bae dan Shawn Ambrose. Lalu perasaan yang awalnya terasa asing perlahan-lahan membawa ingatan masa kecil keduanya y...
22.8K 1.3K 22
Cantik. Hanya satu kata. Hanya satu orang. Dia.