Get Well Soon

By macafau

7.7K 886 407

Tidak ada yang tahu alasan Ris pergi ke IGD sendirian dengan kondisi fisik yang berantakan. Sementara, alasan... More

Chapter I : Datang Sendirian di Keramaian
Chapter II : Pasien Pertama Adimas
Chapter III : Teman Yang Berprofesi Dokter
Chapter IV : Ris 'Sendirian' Atmariani
Chapter V : Waktu Indonesia Bagian Overthinking
Chapter VI : Ujian Dadakan
Chapter VII : Perasaan Adimas
Chapter VIII : Siapa Keluarga Siapa?
Chapter IX : Doa Yang Baik Saja
Chapter X : Serba-serbi yang Tak Terucap di Sabtu Pagi
Chapter XI : Terjebak Ekspektasi
Chapter XII : Fungsi Kakak dan Adik
Chapter XIII : Lekas Pulih, Ris
Special Illustration
Chapter XIV : Pulang ke Rumah yang Mana?
Chapter XV : Ngobrol Tipis Kena di Hati

Chapter XVI : Di Rumah Ayah

629 58 20
By macafau

Ris membeku di depan sebuah pintu kamar yang terbuka di lantai dua rumah Suryadi yang minimalis tak jauh dari CCIH. Terkejut melihat isinya antara haru dan tak terbayang sebelumnya.

Mengharu biru sungguh Ris yang perasa ketika mendapati dia punya kamar dengan meja kerja yang nyaman dan rak-rak buku yang penuh tertata rapi. Buku-buku karangannya berjajar, warna-warni menggemaskan, bersanding dengan buku yang jadi wishlist pribadi. Terharu karena minimnya komunikasi dengan Suryadi membuat Ris tak menyangka bahwa sang Ayah masih mengenal dirinya.

Tak terbayang alias tak habis pikir. Bagaimana tidak, kasur kamarnya layaknya kasur rumah sakit. Di sebelah kasur ada nakas yang di atasnya telah disediakan laci untuk menyimpan obat-obatan. Kalau nakasnya dibuka, bisa ditemukan mulai dari tensimeter, oksimeter, nebulizer hingga kotak P3K yang remeh-temeh. Lebih mengejutkan lagi, tabung oksigen sedang yang terisi penuh.

Ada dua kontradiksi antara sebuah kamar pecinta buku yang estetik ala pinterest dan kamar rumah sakit VIP CCIH. Selayaknya sebuah standar pelayanan ganda antara jadi dokter dan jadi ayah.

Ris tertawa hambar. Bingung sungguh bingung. Mau bahagia dan miris seakan bergabung jadi satu.

"Ayah baru beli kasurnya?" tanya Ris. Suryadi mengangguk.

"Itu lebih bagus dari standar CCIH," kata Suryadi. Tepatnya, Suryadi sudah minta kasur seperti ini, tapi direktur bagian sarana dan prasarana lebih memilih beli yang lebih ekonomis.

Ketika berbaring, Ris baru menyadari adanya televisi sedang di sana. Ah, sungguh menyempurnakan sebuah kamar rawat inap VIP.

"Tinggal tunggu visit Dokter Adimas," canda Ris ketika naik dan berbaring di atas kasur. Suryadi tertawa.

"Visit Dokter Suryadi dulu aja sekarang mah," ucap Suryadi di sela tawanya.

"Makan malam jam enam, nanti jam lima dan setengah enam makan dulu obatnya, ya. Nanti Ayah siapkan." Suryadi berkata menjelaskan.

"Karena dapat surat istirahat tiga hari lalu nanti dilanjut kontrol, jadi minggu ini kamu belum bisa berangkat kerja." Suryadi terus menjelaskan.

"Untuk olahraga, ada treadmill di bawah. Jalan saja tiga puluh menit di treadmill, terus ada juga video workout dari Dokter Adimas, yang itu bisa dijalani, tidak terlalu berat untuk paru-parunya."

Ris hanya bisa manggut-manggut paham. Ya, memang mungkin seharusnya dari dulu begini. Ini tempat yang nyaman, dia senang. Harusnya biar dia dulu dianggap durhaka sekalian dengan memilih tinggal dengan Suryadi karena toh bagi Ibu, Ris tetap seorang pendosa.

"Terima kasih, Ayah." Begitu ucap Ris dengan tulus.

Tenang. Begitu tenang tanpa Ibu, tapi di lain sisi, Ris juga kasihan dan merasa punya hutang budi yang tak terhitung pada Diani. Bingung, ya mau bagaimana lagi, seperti nasibnya memang begitu.

"Sama-sama," jawab Suryadi pelan. Sudah seharusnya dan seharusnya dari dulu seperti ini.

"Gimana menurut kamu? Kamarnya?" tanya Suryadi meminta testimoni.

"Aneh, sih." Ris berkata pelan mengutarakan kejujuran. "Benar-benar kayak dirawat di rumah sakit tapi ada bukunya."

Suryadi menatap Ris khawatir. Khawatir membuat Ris tak nyaman tepatnya. Respon ini membuat Ris tertawa kecil, ekspresi persis plek ketiplek seperti Dokter Adimas.

"Ayah kalau galau kayak Dokter Adimas," ejek Ris sambil tertawa puas.

"Kayaknya semua dokter kayak gitu kalau masalah pelayanan, Ris. Takut gitu, takut tidak memuaskan," balas Suryadi mencari pembenaran.

"Tapi dokter di Puskesmas gak gitu. Aku dimarahin dong, katanya aku diet asal-asalan makanya sakit, padahal aku tuh gak makan karena gak bisa masuk, wegah, sakit gitu. Ngomong kayak gitu karena aku gemuk kali." Ris bercerita dengan nada kesal.

Suryadi menaruh perhatian. Jujur, dulu dia pernah praktik di RSUD waktu junior, banyak dokter yang begitu makanya waktu diajak ikut menjadi jajaran dokter pertama CCIH, dia langsung setuju setelah tahu visi-misi CCIH khususnya di bagian pelayanan.

"Itu tuh, kapan?" tanya Suryadi mencoba menggali.

"Jadi, memang dari masuk SMA tuh suka sakit perut tapi gak ngerti apa. Nah, awal Ris gemuk juga pas SMA, 'kan. Jadi, waktu itu dikasih tahu kalau sakit perut itu karena maag dan maag itu harus banyak makan. Obesitas deh!" Ris mulai bercerita.

"Masuk kuliah agak kurus lagi, tapi ya gitu, tiap akhir semester baru kerasa sakit."

"Ris bilang sama Ibu, gak?" tanya Suryadi.

"Ya, bilang lah!" jawab Ris penuh penekanan. "Ibu bilang pola hidupku amburadul, intinya aku terlalu banyak di luar rumah, makan gak benar jadi begitu. Harusnya aku lebih banyak menghabiskan waktu sama Ibu saja biar sehat."

"Sama Ibu di bawa ke dokter?" tanya Suryadi.

"Nggak. Katanya gak usah. Makan obat saja, terus istirahat. Kalau sakit ya, begitu," jawab Ris.

"Jadi, kalau akhir semester aku minta obat ke klinik kampus karena gratis. Kalau sakit ya, ke klinik kampus. Nah, di situ juga awal dokternya bilang harus endoskopi. Karena takut, aku coba pergi ke Puskesmas, ternyata dokter Puskesmasnya nge-judge seperti itu. Aku biarkan lah sebulan terasa sakit luar biasa."

"Ris bilang sama Ibu kalau harus endoskopi. Ibu bilang gak perlu, yang perlu Ris bertaubat saja."

Semakin banyak yang terucap semakin pelan suara Ris. Suryadi mengerti, mengerti sekali rasanya sakit ketika ada orang yang langsung menuduh hal-hal buruk padanya hingga harus bertaubat semacamnya.

"Kalau asmanya?" tanya Suryadi.

"Sebenarnya aku sering jalan kaki saja sesak. Kata Ibu ya karena aku gemuk jadi harus diet, tapi ketika aku batasi makan dan masakan Ibu tidak habis, Ibu akan marah jadi suka aku habiskan dan begini jadinya."

Suryadi menghela napas pelan. Diani masih begitu, masih sama dengan dua dekade yang lalu. Tertekan hingga menuntut kesempurnaan dari putrinya.

"Ayah gak membenarkan apa yang Ibu lakukan." Tiba-tiba Suryadi buka suara.

"Ya, benar kata Dokter Adimas. Menghukum dosa hambanya itu haknya Allah, yang bisa menentukan juga Allah. Tidak bisa umatnya yang menilai, 'Oh dia sakit karena banyak dosa jadi dihukum!', tidak bisa begitu."

"Maka benar juga kata Dokter Adimas. Manusia berdosa mah setiap hari, jadi bertaubatnya setiap hari, mau sakit atau sehat."

"Hanya, Ayah harap Ris gak benci sama Ibu. Maafkan Ibu, ya, Ris. Maafkan Ayah juga, karena Ayah yang gak berdaya kamu harus begini."

Mendengar ucapan Suryadi sontak membuat tangis Ris pecah seketika. Terasa menyayat dan hangat di hati pada saat yang bersamaan.

"Menikah dengan Ayah, punya anak itu bukan keinginan Ibu. Ibu itu jiwanya bebas, inginnya berpetualang. Ya, sayang kurang beruntung karena neneknya Ris memaksa Ibu menikah dengan Ayah, niatnya biar bisa bayar hutang kakak-kakaknya karena mereka pikir dokter itu kaya raya." Ayah tersenyum miris, jelas tersirat sedih.

"Padahal waktu itu Ayah masih residen. Ya, uang dari bapaknya Ayah habis buat bayar uang sekolah dan beli ini-itu supaya bisa lulus. Biaya sekolah spesialis itu mahal, buat keluarga sisanya sedikit. Makanya Ibu berusaha mengerjakan banyak hal sambil kuliah buat keluarga kecil kita."

"Ternyata tuntutan kakak-kakaknya banyak. Termasuk Ayah diminta berhutang ke bank atau ke kakak-kakak Ayah supaya bisa bayar hutang mereka. Kakekmu waktu itu gak setuju, apalagi karena Ayah berusaha membantu ekonomi keluarga, Ayah sempat hampir tak lulus residen. Jadi, waktu kamu kecil kami dipaksa bercerai."

"Menikah dipaksa, cerai juga dipaksa." Suryadi menghela napas ketika mengatakannya.

"Ibumu juga begitu. Sayangnya, memang budayanya di kita jahat sekali. Laki-laki bercerai seakan dielu-elukan sebagai duda keren, tapi kalau perempuan dihina-hina, perek lah, apa lah... ih ngeri pokoknya."

Suryadi memulai ceritanya lagi sembari menonton Ris menangis. Menangis itu wajar, biar saja, yang penting Ris tahu kronologisnya.

"Ayah sudah usaha supaya hak asuh kamu jatuh pada Ayah. Ayah merasa, asmamu itu juga turunan Ayah, merasa bertanggung jawab karena kamu darah daging Ayah, tapi Ibumu kukuh tak mau. Pokoknya menang Ibu atas hak asuh."

"Kasihan. Ayah kasihan sekali pada Ibu, tapi Ayah benci kakak-kakaknya yang terus berhutang. Kakak-kakaknya yang lebih memilih pengobatan alternatif ketimbang pergi ke dokter. Kakak-kakaknya yang akhir-akhirnya merugi lalu minta ganti rugi pada Ibu."

"Jadi, maafkan Ayah, ya. Maafkan Ibu juga. Kami kecolongan sampai Ris harus merasa sakitnya sendirian. Ayah sayang sekali pada Ris, apalagi Ibu. Sekarang mohon beri kesempatan buat Ayah membantu Ris untuk pulih, ya?"

Tangis Ris pecah makin menjadi-jadi. Ayah menarik anak gadisnya itu dalam pelukan. Memang benar, setua apapun Ris, walau dia sudah masuk kategori orang dewasa, dia tetap gadis kecil Ayah ketika bersama dengan Ayah.

"Sehat ya, Ris. Biar kita punya waktu untuk bahagia bareng lagi." Ayah menambahkan sambil memeluk Ris semakin erat.

~**~

To Be Continued

... as soon as possible...

Continue Reading

You'll Also Like

DEWASA II [21+] By Didi

General Fiction

165K 330 58
[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. ๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž
409K 2.8K 15
cerita-cerita pendek tentang kehamilan dan melahirkan. wattpad by bensollo (2024).
219K 12.2K 30
( sebelum membaca jangan lupa follow akunnya ๐Ÿ‘Œ) yang homophobia di skip aja gak bisa buat deskripsinya jadi langsung baca aja guys bxb bl gay homo ...
68.3K 10.2K 34
hanya fiksi! baca aja!