HER LIFE - END (OTW TERBIT)

By ay_ayinnn

4.9M 263K 16.8K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... More

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 9

102K 5K 13
By ay_ayinnn

03.45 wib.

"Aden baru pulang? Mau bibi buatin teh sama cheese cake kesukaan Aden?" Tawar seorang art yang membukakan pintu mansion untuk Bevan.

"Bibi tidur aja. Udah mau ganti shift pagi juga kan? Aman kok, aku udah makan tadi di rumah sakit."

Art itu mengangguk, "Kalau Aden mau sesuatu bilang aja. Ya sudah bibi lanjut ke dapur, permisi."

Bevan melanjutkan jalan menuju dimana kamarnya berada. Lift terbuka dilantai tiga. Kamarnya berada di lorong kiri, namun kenapa lorong kanannya gelap sekali? Tidak biasanya lorong bagian kanan gelap.

Sebelum masuk ke dalam kamar, Bevan berjalan ke lorong kanan. Sampai lah dia di sebuah ruang bersantai lorong tersebut. Tv besar yang menempel di dinding ruang itu menyala, ada seseorang yang duduk di sofa seperti huruf L.

"Kak?" Panggil Bevan sembari mendatangi kakaknya.

"Nggak tidur di rumah sakit?" Sahut si kakak dengan pandangan mata fokus menatap drama korea di tv.

"Kakak nggak tidur? Udah mau jam empat." Bevan duduk di sebelah sang kakak.

"Dokter jorok. Dateng-dateng gak ganti baju, gak mandi, pantes gak ada cewek yang mau deket sama kamu dek."

"Ngatain diri sendiri? Tadinya sih aku mau langsung ke kamar. Tapi ngelihat lorong kamar kakak gelap, aku jadi pengen nyalain lampunya dulu. Eh malah ketemu kakak disini gelap-gelapan. Why?"

"Everything oke." Jawabnya tak mau Bevan terbebani.

"Gaya banget. Ayolah, cerita."

"Gak ada apa-apa, Van. Lagian belakangan ini kakak lihat kamu lagi sibuk-sibuknya. Istirahat sana, ntar capek."

"Ck, kak..." Rengek Bevan tak suka dianggap seperti anak kecil.

Kara tertawa kecil melihat adiknya kegelian. Habisnya, goda Bevan itu seru.

"Besok kamu masuk?" Tanya Kara mengubah topik.

Bevan menggeleng, "Sea yang ke rumah sakit."

"Udah lama tuh Sea gak kesini. Kamu sama dia oke kan?"

"Oke kok. Kemarin Sea sempet ke Lombok terus transit beberapa hari di Jogja. Makannya nggak main ke rumah." Kara mengangguk, bibirnya berbentuk o menjawab jawaban Bevan.

"Kapan mau nikahin Sea?" Lagi-lagi Kara menggoda adiknya.

"Kakak apaan sih, kenapa nggak kakak aja yang nikah?" Sebal Bevan.

"Kakak mau nikah, tapi nunggu Adekmu nikah dulu. Kasian Mama kalo kakak tinggal nikah. Nanti darah tinggi terus ngadepin Gavin."

"Loh, Gavin disini?" Kara mengangguk.

"Pantes lorong tengah tadi lampunya yang nyala gak cuma lampu kecil. Terus pintu kamar dia juga agak kebuka. Kirain bibi lagi bersihin kamar."

"Ngomong-ngomong bawa oleh-oleh apa tuh dia dari Singapura?" Lanjut Bevan.

"Oleh-oleh penyakit." Dahi Bevan berkerut.

"Gavin sakit?" Kara menggeleng.

"Ntar juga kamu tahu sendiri. Sana gih ke kamar, istirahat. Kasian kamu pasti capek bolak-balik desa, Jakarta."

"Iyaa kakakku sayang. Ya udah aku ke kamar ya, kakak jangan lupa istirahat," Ujar Bevan sambil berjalan keluar lorong kamar Kara.

•••••

"Good morning anak manis," Dokter perempuan itu tersenyum ramah kepada Elen.

Brankar Elen dibuat menjadi duduk. Tampak wajah anak manis itu yang sedang kebingungan. Sepertinya dia juga ketakutan.

"Ma-mama," Lirih Elen memegangi terus tangan Vanya.

"Elen, gakpapa. Dokter Chelsea baik kok," Ucap Vanya agar Elen tidak takut.

"Halo! Kenalin nama aku, dokter Cecel! Kamu Elen kan?" Ucap Chelsea seperti anak kecil. Bagaimana caranya dia harus berhasil mengambil hati anak kecil ini.

Elen mengangguk menanggapi perkenalan Chelsea. Setelah itu baru lah dia kembali menempel pada Vanya.

"Aku rasa dia takut bertemu orang baru," Kata Chelsea.

Vanya berdehem, "Sebenernya enggak juga dokter, di sekolah dia mau kok kenalan sama banyak orang. Walaupun ujung-ujungnya dia di bully sama mereka."

Chelsea rasa dia mengerti kenapa anak itu takut bertemu dengannya. Kebetulan disini Chelsea adalah dokter anak khusus terapi bicara. Tugasnya sekarang menerapi Elen agar bisa kembali berbicara seperti anak-anak pada umumnya.

"Kemarin udah di kasih tahu sama dokter Bevan kalau saya bakal kesini buat menerapi Elen?" Tanyanya kepada Vanya.

"Iya, dokter Bevan udah bilang."

"Oke, saya datang kemari belum mau menerapi Elen karena dia masih sakit. Jadi tujuan saya kesini cuma mau perkenalan dulu. Besok kalau Elen udah sembuh baru kita mulai terapinya," Jelas Chelsea sambil tersenyum.

Vanya mengangguk paham. Ia membalas senyuman Chelsea. Setelah itu, Chelsea duduk di samping brankar.

"Elen mau mainan gak? Kalo mau, dokter bakal kasih Elen mainan sekarang juga," Ucap Chelsea mengelus pucuk kepala Elen. Sedangkan Elen sendiri masih malu dan terus memeluk pinggang Vanya.

"Elen... Dokter lagi ajak kamu bicara loh. Nggak sopan orang bicara tapi gak kita denger," Kata Vanya.

Perlahan Elen mau menunjukkan wajahnya. Dengan ragu ia mendongak menatap Chelsea. Dokter itu cantik, satu hal yang ada dipikiran Elen.

"Mau mainan, hm?" Tanya Chelsea lagi dengan ulasan senyum manisnya.

"Ma-mainan?" Chelsea mengangguk. Elen beralih menatap Vanya untuk meminta persetujuan. Vanya pun mengangguk.

"Jangan ngelihat ke Mama. Kan yang mau mainannya Elen bukan Mama," Ucap Chelsea terkekeh lucu. Elen kembali menatap dokter cantik itu.

"A-aku ma-mau," Jawab Elen sambil mengangguk lemas.

Chelsea senang sekali karena hati Elen mudah sekali diambil. Perempuan itu keluar dari bangsal anak sebentar guna mengambil mainan yang sudah ia siapkan untuk pasiennya.

"Taraa, dokter bawain kucing-kucingan buat Elen. Dia bisa jalan sendiri tahu! Elen mau coba?" Tawar Chelsea sambil membukakan mainan tersebut untuk Elen.

Diterima lah mainan kucing lucu itu dari tangan Chelsea. Vanya mengucapkan banyak terima kasih atas pemberian mainan itu kepada Elen. Pasti harganya sangat mahal.

"Sayang, bilang apa ke dokter Cecel?" Vanya menuntun Elen agar berterima kasih.

"T-te-terima ka-kasih dok-ter C-cel," Ucap Elen. Karena gemas, Chelsea mengusap-usap pucuk kepala anak itu dengan sayang.

"Sama-sama cantik! Cepat sembuh ya? Dokter gak sabar deh mau main sama Elen."

Tak ada tanggapan sebab sebenernya Elen masih lemas menanggapi orang. Kini saatnya Chelsea pamit. Ia berdiri, berhadapan dengan Vanya dan brankar Elen menjadi pemisah mereka.

"Vanya kan?" Vanya mengangguk. "Boleh kita bicara sebentar diluar?"

"Len, Mama anterin dokter Cecel ke depan dulu ya? Kamu gakpapa kan disini sendiri?" Elen mengangguk sebagai balasan dari ucapan Vanya barusan.

Setelah itu mereka benar-benar keluar meninggalkan Elen sendiri dikamar itu. Di luar, Chelsea menghela nafas pelan.

"Dokter mau bicara soal biaya?" Tanya Vanya takut kalau dokter itu menagih biayanya terlebih dulu.

"Kamu tenang aja. Masalah biaya itu bisa belakangan. Btw boleh kan aku anggap kamu kayak temen sendiri?" Tanya Chelsea terlebih dulu.

Pasalnya, yang ia lihat Vanya belum setua itu. Mau manggil Ibu, Chelsea rasa kurang srek. Mau manggil nyonya, Chelsea merasa tidak sopan karenya menurutnya kata nyonya itu biasa digunakan untuk usia 40 ke atas.

"Boleh, memangnya kamu gak kenapa-napa?" Tanya Vanya balik.

Chelsea mengerutkan kening, "Kenapa harus kenapa-napa? Gakpapa kok, official ya kita temen?" Vanya mengangguk membalasnya.

"Eum... Vanya boleh kan aku tanya-tanya tentang Elen?"

"Boleh, mau tanya apa?"

"Dia gagap sejak lahir? Maksudnya sebelum ini dia sudah pernah bicara lancar atau belum?"

"Belum, dok--"

"Panggil aja Cecel, biar sama kayak yang lain," Ucap Chelsea membenarkan panggilan Vanya untuknya.

"Tapi aku ngerasa kita nggak cocok jadi teman," Lirih Vanya. Cecel mengerti, ia menatap kebawah sebentar lalu kembali mendongak.

"Semua orang itu sama, Van. Nggak ada yang membatasi kita sebagai makhluk sosial. Gakpapa, nanti juga kebiasaan. Toh mungkin kita bakal lama berteman karena tugasku mengobati Elen sampai anak itu sembuh."

Vanya terdiam, dokter-dokter di rumah sakit ini kenapa sangat baik?

"Oke Cecel. Sebelumnya, Elen belum pernah bicara lancar. Pernah aku bawa dia periksa ke puskesmas terdekat. Katanya memang ada kelainan dari bayi." Vanya menjawab lagi pertanyaan Chelsea.

Chelsea mengangguk, "Gakpapa, kita pasti bisa ngebuat Elen bicara lancar kayak yang lain."

"Makasih banyak, ya Cel. Doa terbaik balik ke kamu."

"Aamiin. Ya udah Van, aku pamit. Jagain Elen, besok kalo dia udah sembuh aku kesini lagi."

Vanya tersenyum manis. Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya Vanya bisa tersenyum manis lagi. Senyuman itu muncul tanpa campur tangan Elen.






Bersambung.

Banyak vote = langsung update.

23 10 23

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 50.4K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
410K 25.6K 47
Xevira. Gadis dengan segudang sifat petakilannya. Gadis yang tidak bisa diam. Gadis yang selalu mengikuti Kevin kemana pun ia pergi. Dan gadis terane...
2.1K 229 21
Cinta. Satu kata yang sederhana, namun sangat menjadi beban bagi seorang Erik Arlando Frey untuk sekedar mengatakannya. Lain di mulut, lain pula di h...
514K 50K 48
Ardeo Mahendra. Wajah sempurna perpaduan Rio dan Tata. Cowok murah senyum yang terkesan genit dengan sejuta pesonanya. Remaja SMA yang suka sekali al...