HER LIFE - END (OTW TERBIT)

By ay_ayinnn

4.9M 263K 16.8K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... More

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 8

103K 5.1K 37
By ay_ayinnn

"MAMA!!"

Perempuan itu melerai Mamanya yang sedari tadi memukuli sang adik secara membabi buta. Awalnya memang agak sulit, tapi akhirnya Mamanya berhasil dipisahkan.

Dipeluk lah wanita yang berperan sebagai Ibu dalam hidupnya itu. Sambil memeluk ibunya dari belakang, perempuan itu menatap tajam sang adik.

"Tenang, Ma... Bibir sama hidung Gavin udah berdarah," Ucapnya menenangkan sang ibu.

"KARA, HARUSNYA KAMU GAK LARANG MAMA BUAT BUNUH DIA!" Ucap Berlin dengan emosi masih meluap.

Caramella Maldeva, Kakak perempuan dari Aditya Gavin Maldeva yang sangat sabar menghadapi seluruh anggota keluarganya. Kalau gak ada Kara, bisa hancur keluarga itu malam ini juga.

"BIBI!!! BI!!" Teriak Kara memanggil art yang bekerja di mansion ini.

"Iya non, ada apa?" Dua art datang bersamaan.

"Tolong bawa mama ke kamar. Ambilin air juga, kayaknya Mama lagi shock."

Dua art itu mengangguk. Mereka memapah Berlin menuju kamar milik Berlin. Baru setelah itu Kara menyiapkan diri bertanya tentang apa yang terjadi kepada Mamanya.

Kara menarik tangan Gavin agar duduk di sofa ruang tamu itu bersamanya. Mereka duduk bersebelahan. Sebelum bertanya, Kara mengobati luka-luka Gavin terlebih dulu.

"Harusnya lo biarin Mama bunuh gue," Lirih Gavin dengan pandangan kosong. Lukanya diobati saja Gavin tidak merasa perih. Saking mati rasanya.

"Buat masalah apa lo sampe Mama marah besar kayak tadi?"

"Ngerusak cewek."

Kara terkekeh, sepele banget? Kayaknya enggak mungkin deh. Karena kalau ngerusak cewek, Berlin tak akan semarah itu. Toh mainan Gavin dari dulu juga ngerusak cewek di club.

Bukan ngerusak yang merawanin cewek ya. Maksudnya tuh kayak Gavin main jalang gitu.

"Bohong lo," Semprot Kara menekan lebam di area bibir Gavin.

"Sakit goblok!" Gavin menonyor dahi kakaknya.

"Makannya jujur," Paksa Kara.

"Gue udah jujur. Gue ngerusak cewek."

"Gak mungkin itu doang. Pasti ada kelanjutannya."

"Ceweknya hamil."

Sontak saja Kara menghentikan acara membersihkan lukanya untuk Gavin. Lagi pula udah bersih sih.

"Lo ngehamilin jalang?"

"Bukan anjing. Gak sudi gue sampai ngehamilin jalang," Ujar Gavin malas.

"Ya terus? Yang bener dikit kek kalo gue tanya!" Kesal Kara karena dari tadi Gavin hanya mengatakan itu-itu saja.

"Waktu SMA gue ngerusak cewek. Dia hamil. Terus gue suruh dia gugurin janinnya, dan sekarang gue gak tahu dimana cewek itu. Kenapa gue gak tahu? Karena pertama, keluarga dia gak jelas. Kedua, habis gue suruh dia gugurin janinnya, dia bolos 2 minggu berakhir di DO sama sekolah."

"Bangsat," Respon Kara. Ingin juga rasanya dia memukul, menampar, mengasari Gavin kalau seperti ini ceritanya.

"Mau tampar gue? Gantian tampar pipi kanan dong. Merah sebelah nih."

Disaat seperti ini bisa-bisanya Gavin masih bercanda. Kara tersenyum penuh arti, Gavin mengernyit sebagai tanda tanya. Kakaknya ini unik, dia bisa tiba-tiba senyum, namun dibalik senyumnya, dia juga bisa tiba-tiba...

PLAK!

Menampar pipi kanan Gavin keras sesuai permintaan anak itu sendiri.

"Keras juga tamparan lo," Apresiasi Gavin.

"Bener kata lo. Harusnya tadi gue gak larang Mama buat bunuh anak terakhirnya ini."

Gavin terkekeh sambil memegangi dagu, meredam perih akibat tamparan barusan. Vanya berdiri, membelakangi Gavin yang masih duduk pada tempatnya.

"Sekarang lo udah bisa berdiri di atas kaki lo sendiri. Gak ada niatan cari cewek itu?"

"Sebenernya 2 hari ini gue udah mulai cari dia dibantu Alex, Marvel, Farel, Acel sama Juna," Terang Gavin.

"Emangnya kalo nanti lo ketemu sama dia, apa yang bakal lo lakuin?"

"Minta maaf, sujud ke dia juga gue jalanin."

"Yakin banget dia bakal maafin lo," Sindir Kara bersedekap dada. "Misal anak lo gak dia gugurin. Apa yang bakal lo lakuin buat anak kalian?"

"...."

"Gak bisa jawab?"

"Gue gak yakin anak itu masih ada."

"Tolol."

"Kak, hidup dia aja susah. Ya kali dia masih mempertahankan nyawa yang bakal lebih nyusahin dia?"

"Goblok."

"Terserah kakak mau bilang apa."

"Otak lo kecil banget, Vin. Gak ada ya kalimat gue bakal tanggung jawab di dalam otak mini lo itu, hah?" Badan Kara berbalik menatap Gavin lagi. Ia kembali duduk di sebelah adik gobloknya itu.

"Gue gak mau nikah sama dia," Bulat Gavin tanpa melihat ke depan.

"Ck gini nih kalau bocil sok-sokan ngehamilin cewek. Otak lo tuh masih otak bocah, Vin. Makannya gak ada cewek yang mau jadi pacar lo."

"Abisnya dia bukan tipe gue. Kalau gue maksa nikahin dia, sama aja ntar rumah tangga gue hancur."

"Gue pegang omongan lo yang gak mau nikah sama dia. Suatu hari nanti, kalo lo ngejar-ngejar dia, gue gak peduli."

Kara menegaskan ucapannya, "Inget Vin, gak ada cewek yang mau ditinggal terus didatengin pas butuh. Gini deh, jauh dari itu, lo gak ngebayang apa kalo gue yang ada di posisinya? Siap, cukup tahu gue sama lo. Bajingan."

•••••

Rumah Sakit Internasional Jakarta.

Rumah sakit ini milik dokter Bevan. Dia seorang dokter muda yang berhasil mendirikan sebuah rumah sakit besar walau dibantu sedikit oleh ibu tercintanya.

"Dokter, b-buat biayanya--"

"Anda tenang saja, biaya boleh dicicil mulai dari sekarang. Berhubung ini sudah larut malam dan sudah waktunya untuk saya pulang, maka saya sarankan untuk anda menjaga anak anda dengan baik. Besok pagi saya libur. Akan ada dokter anak dan dokter Chelsea selaku dokter khusus terapi bicara anak yang kemari."

Ucap Bevan panjang lebar. Untung dapat dipahami oleh Vanya. Vanya pun jadi tersentuh mendengar betapa baiknya dokter itu.

"Terima kasih banyak dokter Bevan. Kalau gak ada dokter saya gak tahu harus bagaimana dengan putri saya."

"Tenang aja, oh hasil cek darah keluar besok karena ini sudah malam dokternya juga kebetulan sudah pulang. Tidak apa kan?"

"Oh, gak apa dokter! Sekali lagi terima kasih," Vanya menunduk memberi hormat kepada Bevan.

Dokter Bevan terheran-heran dengan wanita muda dihadapannya ini. Sepertinya sangat berat untuk membayar perawatan di rumah sakit. Makannya dia terus berterima kasih kepada Bevan karena tak disuruh mengurus administrasi terlebih dulu.

Setelah kepergian dokter Bevan, Vanya kembali masuk ke dalam bangsal anak. Terdapat empat ranjang rumah sakit di sana. Juga dengan masing-masing sekatnya.

Walau terdapat banyak ranjang pasien, ruangan ini tetap saja terasa sepi. Hanya ada Elen dan Vanya di ruangan itu. Mengenai Ayumi, wanita itu tidak ikut ke Jakarta sebab harus membawa pakaian untuk Vanya dan Elen. Dia juga harus ke sekolah Elen untuk meminta izin.

Di ranjang ujung kanan sana terdapat putrinya yang sedang tertidur lelap dengan tangan yang diberi infus. Nafasnya mulai teratur membuat Vanya sedikit lega.

Vanya duduk di kursi yang tersedia disebelah ranjang Elen. Menatap sayu tubuh putrinya yang terlihat semakin kurus.

"Elen..." Air mata Vanya menetes.

"Maafin Mama. Cepat sembuh ya Sayang?"

Malam ini, Vanya menangis. Hingga tak sadar jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Dia pun terlelap.

Mimpinya pula terasa sangat indah, dan dia berharap mimpi itu menjadi kenyataan.

"Mama, ini beneran rumah kita? Besar banget. Mama habis dapet banyak uang ya?"

Vanya tersenyum melihat putrinya yang begitu bahagia, "Elen suka sama rumahnya?"

"Suka! Elen selalu pengen tinggal di rumah istana barbie kayak gini."

"Sekarang ini istananya barbie Elen."

"Beneran Ma?" Vanya mengangguk bahagia.

"Rumah ini Mama beli buat Elen. Semuanya atas nama Elen."

Kalau jalan hidup Vanya mengharuskan dia hidup hanya berdua dengan Elen, maka akan Vanya lakukan. Setidaknya mereka bisa bahagia tanpa kepalsuan.

Makin kesini Vanya harus sadar, tidak selamanya dia bergantung kepada Ayumi. Walau yang Ayumi punya sekarang hanya Vanya dan Elen tapi mereka tidak sepantasnya hidup terus-terusan dengan Ayumi.

Memang Vanya sudah banyak berhutang kepada Ayumi, maka sekarang Vanya harus menebus hutang-hutangnya itu. Menjadikan hidup Ayumi lebih layak dari pada ini.



Bersambung.

Banyak vote = langsung update.

Continue Reading

You'll Also Like

15.6K 1.2K 59
Squel dari cerita : Vettara "Kalau penyesalan memang datang di akhir cerita,mungkin seharusnya dari awal gue ga sebodoh ini"Ucap Milo. "Tidak ada kat...
514K 50K 48
Ardeo Mahendra. Wajah sempurna perpaduan Rio dan Tata. Cowok murah senyum yang terkesan genit dengan sejuta pesonanya. Remaja SMA yang suka sekali al...
1.1M 50.4K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
1M 55.4K 56
Yang satu Cuek, dingin, irit bicara, acuh tak acuh. Yang satu lagi Pendiam, pemalu, lugu nan polos. Apa jadinya jika mereka berdua terikat suatu hubu...