Thank God, It's You

By Minaayaaa

3.7K 761 1.1K

Ada hari di mana aku bangun dan tak ingin melakukan semua pekerjaan menyebalkan itu, hingga melihat siapa yan... More

1. Yang Tersembunyi
2. Tutorial Jadian
3. Solo, Mungkin Berarti Sendiri
4. Metro Pop Scene
5. Pertemuan Keempat
6. Rencana - Rencana
7. Terlalu Cepat
8. Our Fears
9. Roman Picisan
10. Wild Night
12. Outcast
13. Tinggal Bersama
14. Apa Apaan!
15. Kedatangan Glen
16. Ulang Tahun Mas Wafa
17. Thank God, it's Them
18. Berlatih Punya Anak
19. Masalah Asmara
20. Huru Hara Asmara
21. Bibit Bibit Tak Baik
22. Rintangan
23. Yang Paling Baik (Menurutku)

11. Kekacauan

148 31 35
By Minaayaaa

Solo, hari Selasa 16.30

"Miss ... Miss Yudha!" Mbak Tarmi, salah satu cleaning service yang bertugas di lantai dua, di mana kelas Yudha sudah beberapa saat memanggil-manggil guru muda itu dari ambang pintu kelas. Sedari tadi dia bermaksud untuk membersihkan kelas Yudha tapi merasa tak enak sebab gadis itu masih terlihat bekerja.

Kali ini Mbak Tarmi harus nekad, sebab kalau tidak bisa-bisa dia pulang lembur. Dengan tergopoh dia segera menuju kelas Yudha ketika jam pulang cleaning sudah tiba, namun sayang, gadis itu justru nampak tertidur alih-alih masih bekerja.

Maka pelan-pelan perempuan paruh baya itu mendekat ke arah Yudha dan menepuknya, rasa sedikit tak tega, tapi mau bagaimana lagi, kelas harus dikosongkan sekarang juga atau dia yang akan kena masalah.

"Miss ... miss Yudha bangun miss"

Yudha yang telungkup di meja mengerjabkan matanya, kemudian sambil mengumpulkan kesadaran dia melihat ke arah jam dinding kelasnya.

"Hah!" Dengan geragapan dia pun mencari ponselnya sampai Mbak Tarmi kebingungan.

Sekilas melirik, tak ada satu pun pesan yang masuk, Yudha pun mendengus kecewa.

"Miss ... Miss Yudha gapapa?" Tanya Mbak Tarmi khawatir, Yudha pun segera sadar bahwa tidakannya sudah merugikan Mbak Diah yang hampir saja overtime gara-gara dirinya.

"Ngg ... nggak papa Mbak, aduh maaf ya, ketiduran!"

Yudha segera membereskan semua barang-barangnya. Lantas segera turun setelah mencuci muka di wastafel. Sekolah sudah sepi, sepertinya tinggal dirinya, Mbak Tarmi, dan satpam sekolah yang berjaga di depan.

Yudha menuruni tangga dengan gontai, hatinya sedikit resah. Ini bukan kali pertamanya Wafa mengecewakannya setelah mereka memutuskan untuk berpacaran.

Wafa sering lupa janjinya sendiri, entah janji untuk menelepon, menjemput, bahkan Sabtu minggu lalu Wafa lupa kalau mereka ada janji bertemu di toko buku dan baru ingat dua jam setelah Yudha memutuskan untuk pulang saja.

Tidak seperti masa penjajakan dulu, Wafa mulai berubah. Wafa bahkan melarang Yudha untuk menengoknya ketika dia sakit dan tak masuk kerja. Padahal dulu Wafa selalu semangat ketika mengajaknya ke rumah dan ngobrol ini itu dengan orang tuanya.

Wafa juga seperti orang yang terburu-buru ketika menemuinya, seperti menyembunyikan sesuatu, padahal Wafa sangat suka bercerita.

Yudha sudah hendak melangkah ke halte bus yang tak jauh dari tempat kerjanya, ketika dia masih ingin berusaha lagi.

Sambungan itu akhirnya diangkat, setelah lama terdengar nada sambung.

"Halo, Wafa"

"Ah Yud! Ah iya, aku harusnya jemput kamu, aku ke sana sekarang, ya?" Ujar laki-laki di sambungan itu tanpa beralasan.

"Nggak usah, aku sudah di dalam bus" Ujar Yudha berbohong.

"Kamu jangan marah ya, nanti malam aku ke rumah kamu"

"Kamu di mana?" Tanya Yudha yang sebenarnya penasaran.

"A'aku ini di ..."

Wafa ... kok lama banget Arini udah nunggu

Iya, Bu ... sebentar

Yudha mendengar suara keributan di seberang sana,mungkin Wafa sedang bersama keluarganya.

"Eh nanti aku telepon lagi, masih ribet!" Wafa pun mengakhiri pembicaraan dan sambungan itu pun di tutup dari seberang.

Yudha sedikit tercekat, rasanya sedikit sakit.

Setelah memberikan ciuman pertamanya, setelah beberapa kencan dan gombalan romantis. Setelah banyak hari yang mereka lewatkan.

Wafa berubah,

Tidak langsung berubah,

Sedikit- sedikit

Pelan-pelan menjauh.

Yudha berjalan menuju halte, langit sudah mulai memerah.

Rasa bahagia ini terlalu cepat. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu terburu-buru. Perasaannya kepada Wafa tentu saja tidak palsu, bahkan semakin dalam , tapi seiring itu justru sikap Wafa menunjukkan sebaliknya.

Akhirnya bus itu datang juga, bus trans warna merah yang di belakangnya ada gambar wayang orang Srikandi, dulu dia dan Wafa sering berkeliling kota tanpa arah dengan bus ini. Sepanjang jalan hanya tertawa, menertawakan apapun yang tak lucu, bahkan.

Sebab sekeliling hanyalah kamuflase, sejatinya mereka tertawa karena senang bersama.

Tak berapa lama Yudha sampai di rumahnya, di sebuah gang sempit yang ribut itu. Ketika masuk rumah Yudha mendesah kasar sebab rumahnya sangat berantakan seperti tak ada orang yang tinggal di rumah ini.

Ayahnya tentu saja sibuk bekerja, adik perempuannya belum pulang, begitu juga adik laki-lakinya, ibunya sudah bilang kalau hari ini dia ada kegiatan dengan grup senamnya. Sebenarnya Yudha tak masalah dengan kegiatan mereka semua, tapi Yudha hanya ingin berbagi tugas mengenai kebersihan rumah.

Yudha sudah tak punya tenaga lagi untuk marah, setelah berganti baju rumahan mulailah disapunya tempat itu, dimasukannya baju-baju kotor ke mesin cuci, Yudha juga mencuci piring dan mulai menanak nasi sebab nanti malam mereka semua pasti butuh makan.

Sekitar pukul setengah tujuh semuanya sudah pulang, tentu saja tanpa menyapa Yudha mereka sudah menyerbu masakan gadis itu sampai habis dan bahkan tak membantu untuk mencuci piring, gadis itu kesal, tapi untuk marah saja tak lagi punya tenaga.

Jadi daripada ribut dia pun menyelesaikan segala perkara kebersihan ini.

Yudha masih mencoba membersihkan kerak di teflon yang sudah usang itu tatlaka Gading menyusulkan ke dapur.

"Mbak-Mbak, dicariin tu!" Ujar anak SMA bertubuh bongsor itu.

"Siapa?"

"Mas Wafa, udah lama nggak ke sini, dia juga bawa ini!" Ujarnya sambil memamerkan sebungkus martabak telur.

"Aku makan boleh?" Gading meminta izin dengan muka cerianya.

"Makan aja!" Ujar Yudha ketus dan terus mencuci gelas-gelas kotor.

"Eh Mbak, mbak buruan deh!" Kata Gading sebab kakaknya bukannya langsung menemui Wafa tapi malah menyelesaikan cuciannya.

"Bilang aja aku udah tidur!" Kekesalan Yudha kembali memuncak mengingat hari-hari menyebalkan yang dilaluinya karena Wafa selalu mengingkari janji.

Gading diam tak bersuara lagi, tapi Yudha yakin anak muda itu masih ada di sampingnya. Gading memang egois dan mengesalkan, tapi bagi Yudha dia adalah adik kecil yang mungkin belum tahu cara berpikir.

"Nih taruh di rak!" Titah Yudha sambil mengulurkan setiap gelas dan piring yang sudah dicucinya untuk ditiriskan di rak samping wastafel.

Satu persatu diulurkannya kepada Gading yang hanya diam, dan ketika cuciannya habis, giliran Gading mengulurkan lap kering.

"Tumben baik!" Ujar Yudha sedikit senang sebab tak biasanya Gadhing sepengertian itu. Dia pun mengelap kedua tangannya dan ketika tak sengaja melihat lengan kekar di hadapannya, Yudha segera mendongak,

Itu bukan Gadhing.

"Sorry" Ujar lelaki dengan tinggi 187Cm itu.

"Kenapa masuk sampai dapur?" Ujar Yudha masih ketus.

"Kata Gading boleh" Jawabnya sambil tersenyum dan baru menyadari bahwa Gading sudah tak berada di dapur bersamanya, terdengar suara televisi di ruang tengah dan Yudha yakin Gading sedang di sana sambil makan martabak.

"Ya udah, sana pulang!" Yudha hendak berbalik, tapi Wafa menahannya dengan menggenggam tangannya.

"Haus, minta minum" Katanya melas lagi sambil menatap mata kekasihnya.

Yudha mengalihkan pandangan, mana bisa dia menolak Wafa.

"Duduk, udah makan?" Gadis itu menyuruh Wafa untuk duduk di kursi makan dengan meja bulat bertaplak putih berlapis plastik sederhana itu.

Wafa menggeleng

"Boleh minta makan sekalian?" Tanyanya sambil tersenyum, senyum yang tak bisa diabaikan Yudha.

Gadis itu pun membuka tudung sajinya.

Hanya ada oseng pare dan satu ikan pindang, juga sambal dadak yang hanya tinggal sesendok.

"Tinggal begini, mau?"

"Maulah!" Kata Wafa tak malu-malu.

Yudha pun mengambilkan nasi dan membuat the hangat untuk mereka berdua sambil menunggu Wafa makan dengan lahap.

"Belakangan ini kamu ke mana aja?" Tanya Yudha

"Rasanya kenapa berubah ya?" Imbuh gadis itu sebelum Wafa menjawab.

"Banyak kerjaan, terus keluarga besarku juga sedang punya gawe, om aku kan mau menikahkan anak pertamanya, jadi semuanya heboh, aku juga ikutan sibuk bantu ini itu"

"Kapan nikahannya?" Tanya Yudha lagi

"Minggu depan"

Lalu keduanya kembali terdiam. Mereka tiba-tiba merasa punya jarak. Mereka diam bahkan ketika Wafa selesai makan dan mereka mencuci semua piring kotor.

"Mau pulang sekarang?" Yudha sebenarnya masih ingin berlama-lama dengan kekasihnya, tapi dia tak ingin memasang harapan terlalu tinggi.

"Keluar bentar yuk, cari angin" Wafa tentu saja paham, dia sebenarnya juga merasakan kerenggangan dalam hubungan mereka akhir-akhir ini dan penyebabnya adalah dia sendiri.

Setelah pamit, mereka pun pergi berboncengan, awalnya hanya diam, tapi lama-lama tak tahan juga, berawal mengomentari lampu sampai membicarakan hal-hal yang mereka lewatkan selama beberapa pekan.

"Terakhir aku ninggalin solo , belum ada cofeeshop sepertinya" Kata Wafa sambil memandangi lalu lalang pengendara di balik jendela cofeeshop bergaya retro itu.

Yudha memandangi sekitarnya, kebanyakan anak muda dengan ootd hits, sementara dia hanya pakai cardigan seadanya saja, bahkan tanpa make up.

"Aku ngerasa saltum" Ujar Yudha setelah meneguk hazzelnut cofeenya yang creamernya tertinggal di ujung bibirnya, sampai Wafa mengambil tissue dan mengelapnya lembut sambil terkekeh membuat Yudha cekikikan juga.

"Yang penting kan bayar" Ujar Yudha menepis ketidak percaya dirian Yudha.

"Kamu malu nggak?"

"Kenapa malu, emang mau nunjukin ke siapa?"

"Ya siapa tahu"

"Emang kamu malu? Aku juga nggak ootd"

"Yang penting kan bayarin!" Kata Yudha membalas dan mereka berdua tertawa kecil.

"Jadi aku sudah dimaafin?" Wafa mencoba meyakinkan lagi.

Yudha mengangguk

"Jangan cuekin pesan aku lagi, rasanya nggak nyaman, aku nggak tahu aturan orang pacaran itu bagaimana sebab ini kali pertama, tapi mungkin konsepnya keduanya harus berbagi rasa senang atau sedih, bukannya tidak berkabar" Gadis itu menyampaikan closing statementnya.

Mereka pun pulang, Wafa meraih lengan Yudha agar memeluknya lebih erat, mereka melewati beberapa jalan yang sepi sebelum sampai ke rumah Yudha lagi.

Wafa menghentikan kendaraannya, membuat Yudha sedikit heran.

"Kenapa? Mesinnya mati?" Tanya gadis itu sambil membuka kaca helmnya dan di saat itulah Wafa menoleh ke belakang dan mencuri sebuah kecupan, mungkin dua atau tiga.

Sesampainya di rumah gadis itu bahkan masih tersenyum senang sambil merebahkan badannya. Diketiknya sebuah pesan kepada laki-laki yang baru saja mengantarkannya pulang, untuk mengabarinya ketika sampai di rumahnya.

Perasaan kesal berhari-hari seolah sirna begitu saja, Yudha kembali merasa bahwa Wafa memang alasannya untuk bisa bahagia.

***

"Wengi-wengi kok dolan!"

Malam-malam kok main

Omel ibu ketika Wafa baru saja membuka pintu dan kembali menguncinya.

"Hehehe maaf bu" Ujarnya sambil menuju kamar tapi ibunya mengikuti putra kebanggaannya itu.

Wafa masih sibuk menaruh barang barangnya termasuk ponselnya di atas meja belajar.

Ibunya yang duduk di ranjang memperhatikan ketika ada sebuah pesan masuk dengan nama Yudha yang diberi tanda hati.

Sang ibu mengernyit tak suka dan langsung ditanyainya Wafa ketika lelaki itu baru saja meletakkan jaketnya di capstock.

"Kamu belum putus sama Yudha?" Tanya ibu itu membuat Wafa menghela nafas.

"Belumlah bu" Jawabnya dengan enggan, sebab memang tak ada alasan dan niatan untuk memutus gadis yang benar-benar idamannya itu.

"Kamu nggak dengar nasihat bapak ibu, Fa?" Tanya ibunya lagi, kali ini Wafa duduk di kursi belajarnya agar ibunya tak perlu mendongak saat berbicara dengannya.

Wafa memang ingin mendiskusikan hal ini kepada ibunya.

"Wafa suka bu sama Yudha, Wafa juga merasa dia gadis yang tepat buat Wafa, Wafa ingin bapak dan ibu merestui hubungan kami" Ini adalah keputusannya, setelah berhari merenung dan mencoba menghindari Yudha yang malah berakhir dengan rasa bersalah sebab membuat gadis itu murung dan kecewa.

"Tapi ibu nggak bisa! Ibu nggak mau punya mantu kayak Yudha!"

"Tapi nanti yang jalanin hidup kan aku sama Yudha, bu, ayolah bu, ibu perlu kenal lebih sama Yudha, dia itu bai buat Wafa"

"Kamu tahu kan masalahnya bukan itu, ini masalah keluarganya dia, ibu nggak ridho anak ibu yang ibu besarkan didik, sekolahkan, biayai sampai seperti ini akan berakhir dengan pasangan dari keluarga yang tidak jelas!"

"Bu, Yudha anak dari keluarga yang jelas, bapaknya ada, ibunya ada, mereka biasa aja, ibu maunya aku dapet jodoh kayak apa sih?" Wafa mulai tak bisa meredam emosinya.

"Cari jodoh itu harus yang setara, biar tidak ada salah paham kalau kamu bahagia, kamu juga ga akan ngerasa bersalah kalau sedih, kalau yang ngomong nyambung, kondisi keluarga juga harus sama, lingkungan rumah juga yang setara, bukan yang dari gang penuh pekerja kasar begitu!"

Wafa menarik nafas panjang, dia sungguh tak terima dengan perkataan ibunya. Wafa menganggap ibunya hanya materialistis saja. Padahal keluarga mereka tak kaya-kaya amat, Wafa sendiri membandingkan dirinya dengan Glen atau Dae, dan menertawakan dirinya sendiri. Kalau semua orang berpikir seperti ibunya, pastilah dia tak bisa bergaul dengan kedua sahabatnya itu.

Tapi tak tega untuk dikatakannya. Dia bukan anak yang suka menyakiti perasaan orang tua. Tapi tak bisa dikabulkannya juga keinginan ibunya untuk memutuskan Yudha yang sangat dia cintai.

"Maaf Bu, Wafa Cuma mau putus dengan Yudha kalau kami benar-benar memang tak cocok, sejauh ini kami bahagia dan saling melengkapi, Wafa nggak pernah minta apa-apa, kali ini Wafa cuma ingin punya pasangan dan menjalani hubungan dengan Yudha saja" Bahkan Wafa tak berani menatap ibunya ketika menyatakan hal itu.

Ibu itu sedikit marah dan berdiri lantas meninggalkan kamar anaknya dengan kecewa.

***

Kudus, 21.00 WIB

Glen masih mengasak rambutnya dengan handuk putih setelah berlama-lama mandi dan melepas penat. Perjalanan Jakarta – Kudus memakan waktu yang sangat lama. Kini mereka sudah berada di sebuah rumah tiga lantai, yang lantai pertamanya adalah toko oleh-oleh paling besar di Kudus.

Ini adalah rumah masa kecil mamanya, sekaligus rumah masa kecil Glen. Jika papanya adalah anak pengusaha rokok, maka mamanya adalah anak pengusaha oleh-oleh khas Kudus.

Kali ini dia pulang ke Kudus untuk menyelesaikan beberapa urusan di pabrik rokok. Semenjak Omanya pulang ke Indonesia dan membawa pesan dari opanya, Glen jadi semakin sibuk. Opa bilang Glen mungkin tak perlu susah-susah kuliah S2 di Melbourne, cukup dengan membuktikan kompetensinya di perusahaan keluarga akan membuat dia bisa berkompetisi dengan anak Om Hasan untuk menjadi kandidat komisaris di perusahaannya, seperti kakak-kakaknya.

Sementara ibunya hanya ikut-ikutan saja, sebab dia tak tahan berlama-lama dengan mertuanya di Jakarta. Jadi dia membiarkan suaminya saja bersama ibunya untuk kangen-kangenan, sementara dia berdalih ingin menengok keluarganya di Kudus, padahal ibu dan ayahnya sendiri sudah lama tiada, tinggal sepupunya saja yang menjalankan bisnis keluarga yang masih cukup stabil itu.

"Mah, mamah lagi ngapain sih?" Tanya Glen melihat makanya asyik cekikikan di ruang tengah sambil memandang jendela dari lantai tiga itu.

"Eh sini-sini, lucu banget, cepetan!" Ujar ibu berambut gradasi hijau itu sambil masih cekikikan di sofa kulit yang mahal, mau tak mau Glen pun bergabung.

Mamanya masih tertawa terkekeh-kekeh ketika Glen mengurut dadanya sendiri.

Betapa tidak, Ibunya yang biasa dikenal sebagai tacik-tacik galak itu sedang memainkan pointer infrarednya ke jalanan di depan toko oleh-oleh yang baru tutup. Beberapa pegawai yang masih menunggu jemputan di gelap malam itu jejerikan ke sana ke mari, ketakutan dengan sinar merah yang tidak mereka ketahui dari mana berasal, sebab lampu penerangan di depan toko juga minim.

"Mah, mamah apa apaan sih!" Glen memprotes perilaku mamanya yang tidak dewasa itu.

"Ih lucu Glen... Glen itu embaknya kenapa? Hahahahah ngompol ya?" Mamanya semakin kewalahan menahan tawa.

Glen melongok ke bawah dan benar saja, beberapa perempuan muda itu sedang jejerikan.

Glen pun merebut pointer yang dibawa ibunya.

"Stop Ma!" Ujar Glen bersungut membuat ibunya merengut.

"Ih, kamu kenapa sih? Mama kan juga butuh hiburan!"

"Ya nggak gitu caranya! Kasihan lho embaknya seharian udah capek kerja malah ditakut-takutin!"

"Lagian masih percaya hantu!"

"Ya mungkin mereka ga takut hantu, mungkin mereka takut kalau itu snipper!" Sungut Glen

"Ih! Kamu akhir-akhir ini nggak asik tau nggak! Makin mirip kayak cicik kamu, kayak kokom, kayak papa, semua sibuk dan spanneng, ninggalin mama sendiri!"

"Dih! Itu kan masalah mama!" Ujar Glen cuek lantas mulai memainkan ponselnya.

"Padahal dulu mama tuh mau sama papa karena papa kamu humoris!" Kata Ramona melipat tangannya kesal.

"Bohongnya ... palingan juga karena papa kaya!"

"Ya itu juga, kaya, cakep, humoris, bucin, ya kan! Itu semua yang dibutuhkan perempuan, coba tanya Chalize! Tarohan dia mau sama kamu karena itu semua!"

Glen tertarik dengan ucapan mamanya. Selama ini dia memang tak pernah tahu mengapa Chalize masih mau dengannya. Diletakkannya ponsel pintarnya itu dan fokus berbicara dengan mamanya.

"Menurut mama, apa Glen punya kriteria itu semua?"

"Kamu? Ya jelas lah!"

"Emang cewek nggak pengen punya cowok pinter ya ma?"

"Yah itu tambahan aja sih, kalau udah kaya, cakep bucin , humoris, maruk banget mau minta pinter, eh Glen Glen, kalau kamu kenapa sih, mau sama Chalize, ya kan yang cantik banyak Glen!"

Glen berpikir sejenak kemudian tersenyum sendiri. Sudah lama juga dia tidak ngobrol ngalor ngidul dengan mamanya. Dia tak bilang bahwa Chalize juga memiliki kriteria pintar dalam mencari pasangan, Glen tak ingin mamanya tahu betapa serakahnya Chalize dalam berkriteria.

"Ya Chalize itu, setia dan mau maafin Glen kalau Glen salah, ya pakai ngamuk dulu sih, tapi pasti dimaafin, jadi Glen tuh, betah sama dia" Ujar Glen sambil tersenyum sendiri membayangkan wajah gadis yang beberapa jam yang lalu berpisah dengannya karena harus melanjutkan perjalanan darat ke Jepara sementara dia dan mamanya menuju Kudus.

"Terus mentang-mentang Chalize maafin kamu terus, kamu hidup seenak jidat Glen, mama nggak mau ya, anak mama gitu! Jangan nyakitin hatinya Chalize!"

"Ya enggak gitu mah, kan tadi mama tanya kenapa mau sama Chalize, yang ada sekarang makin sayang, Glen ngerasa dibebasin tapi nggak dikekang"

Ramona tersenyum dan memijit hidung bangir anak bungsunya itu.

"Cie, yang bentar lagi nikah" Candanya.

"Kalau mama, suka nggak punya mantu Chalize"

"Suka donk, dia kan pilihan kamu, kalau kamu suka, mama juga suka! Dah lah mama mau tidur, besok mau jogging terus makan soto kebo! Ikut nggak?"

Glen menimang sejenak, tapi belum selesai mamanya langsung menentukan.

"Ikut! Siangnya mama temenin ketemu Om Hasan, biar kamu nggak dipersulit urusannya!"

Glen langsung berdiri dan menyalami mamanya.

"Oke, Deal!"

Om Hasan adalah sepupu papanya yang kini memegang pabrik rokok di Kudus. Dia sering tak sejalan dengan ayah Glen bahkan keduanya sering adu mulut, tapi Om Hasan punya kelemahan ; Ramona.

Dia takut dengan ibu-ibu galak itu, yang juga temannya semasa SMA dulu, sebab konon kabarnya semua rahasia Hasan, Ramona telah memegangnya.

***

Jepara, 21.30 WIB

"Lhoh nggak bisa gini donk , Pa!" Chalize sungguh lelah dengan rapat keluarga malam ini. Jauh-jauh Chalize datang dari Jakarta dan bukannya disambut dengan aneka masakan mamanya, dia malah langsung dihadapkan dengan rapat antara dia, papa, Dae, dan mamanya.

Chalize sampai harus cuti untuk menghadiri rapat penting yang tak bisa diganggu gugat ini.

"Kenapa nggak bisa? Lagi pula kamu nggak akan buru-buru menikah, Glen juga cepat atau lambat harus ke Melbourne! Ngapain kamu di Jakarta lama-lama Lize, nggak ada juga yang jagain kamu selama di sana?"

Ujar Dae sedikit emosi sebab adiknya itu selalu mengelak tanggung jawab mengelola bisnis keluarga yang padahal selalu menghidupinya lebih daripada hasilnya menjadi budak korporat tak jelas di Jakarta.

Mebel Jatiwara sedang dalam puncak kejayaannya. Selama ini Dae dan ayahnya yang mengelola showroom mereka di Jepara. Seiring pesatnya pesanan eksport dan mulai berkurangnya sumber daya kayu di Jepara, mereka melakukan ekspansi ke daerah Solo dan membuka showroom kedua di sana. Awalnya Pak Wara sendiri yang bolak-balik Jepara -Solo sebab ada Dae yang membantu. Tapi permasalahan baru muncul, Dae mendapat channel agar produknya bisa semakin dilirik pembeli di luar negeri, tapi syaratnya dia harus ikut ke beberapa pameran ke Amerika dan Eropa, tentu saja tak bisa diwakilkan. Ayahnya juga belum mempercayai orang lain untuk mengelola showroom baru di Solo yang juga mulai ramai.

"Tapi aku belum pernah dan nggak punya pengalaman apapun!" Elak Chalize yang aslinya masih senang dengan kehidupan Jakartanya.

"Lize kamu punya, kamu dari kecil lihat papah kerja, lihat mamah bantu pembukuan dan urus pegawai!" Bujuk ibunya.

"Di sana kamu juga punya team, papah yakin kamu bisa memimpin!"

"Tapi aku nggak suka!" Ujar Chalize marah berdiri lalu meninggalkan ruang keluarga dan memilih pergi langsung ke kamarnya.

Sedari kecil dia punya cita-cita hidup tanpa bayangan keluarganya, hidup bebas bersenang-senang tanpa tanggungan apapun. Chalize adalah anak bungsu manja dan diperlakukan seperti putri di rumahnya.

Dia anak perempuan banyak ide dan ngeyelan.

Dia lebih tertarik hidup susah dan mengembangkan diri dengan namanya sendiri, dia masih memiliki cita-cita menjadi pemimpin redaksi yang entah kapan akan terwujud. Tapi sejujurnya Chalize takut memimpin, dia takut tidak bijaksana.

Sejak kecil dia melihat ayahnya memimpin, bahkan ayahnya yang dianggapnya bijaksana itu pun ternyata tak bisa memenuhi seluruh keinginan pegawainya.

Ayahnya yang berpendidikan baik juga harus menunduk saat berbicara dengan para kuli agar selevel dan diterima idenya, lain waktu ayahnya harus pasang badan sok jago menghadapi pungli dan orang pajak yang nakal. Dae?

Tentu saja Dae bisa melakukan itu semua, tapi Chalize merasa tak sanggup.

"Lize, Chalize, boleh papah masuk?" Pintunya diketuk dengan lembut.

Chalize mengusap air matanya, lalu dengan parau menjawab.

"Masuk pah" Ujarnya sambil tetap duduk di tepi ranjang.

Bapak itu kemudian duduk menyebelahi Chalize dan diusapnya rambut anak perempuannya yang super lincah itu dengan penuh kasih sayang.

"Waktu kamu lahir, papah senang sekali, tuhan begitu baik memberi anak laki-laki dan perempuan, papah punya kesempatan mendidik baik laki-laki dan perempuan, papah jadi semangat bekerja dan menurut papah waktu itu, alangkah baiknya bila papah keluar dari perusahaan dan fokus memiliki bisnis sendiri" Ujar ayah yang sabar itu.

"Ini maksudnya papah mau bilang kalau papah sukses lantaran memutuskan resign?!" Chalize mulai menangis lagi mengeluarkan sikap manjanya.

Pak Wara menggeleng.

"Bukan, papah cuma mau bilang, kalau papah bukan pewaris, papah sama mamah merintis Mebel Jatiwara berdua saja, tanpa dibantu saudara atau siapapun, bangkrut, ditipu, untung banyak juga pernah, papa cuma mau minta tolong, warisan dari kerja keras papah dan mamah untuk dijaga, syukur-syukur sampai anak cucu nanti, kalau bukan kamu sama Dae siapa lagi yang mau papah mintain tolong?" Pak Wara menarik nafas panjang, bicara dengan Chalize memang harus seperti ini.

"Papah kan bisa minta orang lain untuk jalanin showroom di Solo, kenapa harus Chalize, bayar orang kan bisa!" Chalize tetap bersikukuh.

"Papah Cuma percaya kamu sama Dae, kalian yang membuat papah bekerja keras sampai usaha ini ada, ini saatnya papah mulai mengembalikan ke kalian." Bujuk ayahnya.

Mereka terdiam cukup lama. Hingga Pak Wara yang bicara.

"Papah sudah menghitung, selama dua tahun kalau showroom sudah berjalan stabil kamu bisa menikah dengan Glen, kalau setelah itu terserah kamu mau outo pilot atau bagaimana, tapi untuk sekarang, harus kita sendiri yang mengelolanya, masih riskan untuk diserahkan ke orang."

Chalize mulai menimbang. Selama dua tahun berjauhan dengan Glen pastilah sangat sulit, kalau dia tak menyibukkan diri, sudah bisa dipastikan penyakitnya untuk mencurigai apapun yang dilakukan Glen pasti akan kambuh dan itu tak baik untuk keduanya.

"T'tapi Chalize takut Pah, Chalize takut jadi pemimpin dadakan, pasti banyak yang mencela, mengkritik, Chalize kayaknya bakalan stress"

"Nothing worth comes easy, ya kan? Justru ini saatnya kalau kamu pengen making your own name, kamu susah susah kerja di ibu kota dengan bayaran segitu segitu aja sebenarnya juga ingin membuktikan ke diri kamu kalau kamu punya potensi kan? Kenapa tidak kamu buktikan di Jatiwara?" Pak Wara benar-benar selalu yakin kedua anaknya punya kemampuan memimpin , baik Dae atau pun Chalize, tak ada satupun yang dibedakannya.

Chalize terdiam cukup lama, menimang kembali untung dan ruginya.

"Besok pagi, Chalize kasih jawabannya ya"

Ayahnya mengangguk kemudian mengecup kening anaknya dan mengucapkan selamat malam.

***

Sehari kemudian Chalize kembali ke Jakarta. Dia belum sempat bercerita kepada Glen mengenai dirinya yang akan segera pindah ke Solo sementara dia pindah ke Melbourne seperti rencana terakhir yang dia dengar.

Chalize memilih untuk tidak bercerita sebab Glen sangat sibuk dengan urusan bisnis dan keluarganya. Belakangan ini mereka hanya bicara singkat atau yang ringan sambil mengirimkan sebuah foto setiap harinya.

Karena lelah Chalize memutuskan untuk menambah sehari lagi cuti, lagi pula dia akan segera resign. Ayahnya sudah setuju untuk membayar penalti dari perusahaannya yang menurutnya tak sebanding dengan keuntungan jika Chalize bersedia untuk memimpin showroom mebelnya di Solo.

Chalize memutuskan untuk pergi ke salon untuk spa dan merawat dirinya, dia juga memutuskan untuk memangkas rambut panjangnya, dia hanya bermaksud untuk merefresh penampilannya barang sehari.

Chalize ngobrol banyak dengan capster langganannya, mereka lama tak bertemu. Si Capster menawarinya untuk membuat style yang berbeda. Rambut pendek dengan keriting gantung plus cat burgundy terang yang akan terlihat lucu di bawah cahaya.

Chalize menyetujuinya. Glen pasti tak senang dengan ini, lelaki itu sangat suka dengan rambut hitam legam lurus lebat milik Chalize serta selalu mewanti-wanti untuk menanyainya dulu sebelum dipotong atau distyling.

Chalize tersenyum sendiri, membayangkan apa reaksi Glen nanti. Dia pulang ke apartemen dengan mood yang lebih baik, lantas dibuatnya surat resign yang akan diemailkannya ke HRD sambil menunggu pesan dari Glen.

Chalize benar-benar membuat rencana mengageti Glen.

Tuan Muda Glen

Lize, aku prolong, negosiasi sama Om Hasan rada alot

Sayangku

Terus, kapan pulang?

Tuan Muda Glen

Seminggu lagi kira2

Sayangku

Lama banget, keburu kangen

Tuan Muda Glen

Aku sih udah kangen, eh gimana kemarin rapat keluarganya?

Sayangku

Yah ga gimana gimana, besok aja pas sampai Jakarta aku ceritain lengkapnya

Tuan Muda Glen

Iya deh, eh PAP donk

Kemudian Chalize mengirimkan foto dengan penampilan barunya

Tuan Muda Glen

What The Fuck! Itu editan kan?

Sayangku

Asli kok

Tuan Muda Glen

BOHONG!

Kemudian Chalize mengirimkan lagi gaya rambut pendek keritingnya ala ala Emmy Mayers yang membuat Glen berkali kali mengumpat dan diselingi istighfar.

Tuan Muda Glen

Aku nggak sukak!

Chalize

Aku nggak minta kamu suka, gimana keren nggak?

Tuan Muda Glen

Nggak mau tahu aku marah! Seminggu lagi harus item! Harus udah panjang lagi!

Chalize

Dih ngatur!

Chalize mengetik sambil terkekeh kekeh, tawanya kian membahana ketika Glen memblokirnya.

***

Seminggu pun berlalu, Chalize sudah kembali menghitamkan rambutnya, juga meluruskannya lagi lengkap dengan poni lempar yang Glen suka. Glen cukup lega ketika Chalize bilang rambutnya sebenarnya tidak sependek itu dan masih lebih dari sebahu. Waktu itu Glen memang memblokir Chalize tapi hanya tahan setengah hari saja, malamnya Glen sudah merengek rengek minta video call.

Chalize merasa mungkin nantinya dia dan Glen akan lebih sering seperti ini jika Glen dan dia LDR nanti. Chalize cukup tenang sebab ternyata tak seburuk itu, meskipun alangkah lebih baik kalau mereka tak LDR.

Sementara Glen masih sangat berharap mereka tak LDR, baru seminggu saja Chalize sudah membuatnya ketar ketir dengan rambutnya, apalagi kalau sampai dua tahun.

Chalize menyambut kekasihnya yang datang sendirian di bandara sementara ibunya masih betah di Kudus sebab mertuannya belum menunjukkan tanda-tanda pulang ke Australia lagi.

Glen merangkul kekasihnya sambil mendorong trolly yang membawa aneka oleh-oleh yang diangkutnya sembarang dari toko oleh oleh keluarga mama.

"Mau ke mana abis ini?" Tanya Chalize

"Ke apart kamu aja, mau bobok!" Jawab Glen datar tapi Chalize tahu maksud lainnya.

Gadis itu pun mengiakannya saja.

***

Glen yang pertama masuk ke apartemen Chalize, dia sedikit mengernyit mendapati ada yang sedikit berbeda. Glen mendekati sofa yang separuhnya diisi beberapa kado dan karangan bunga. Dia merasa Chalize tidak baru saja merayakan ulang tahun.

Chalize tersenyum di belakang Glen dan menutup pintu, sementara Glen mendekati beberapa buket bunga itu.

"Tada.... Surprize..." Ujar Chalize dengan ceria.

"A'apa, surprize apa?"Glen mendadak gugup.

"Aku udah resign, itu kado perpisahan temen-temen buat aku, aku juga udah bagi donat ke semua temen, bulan depan aku pindah Solo" Kata Chalize tak bisa menahan lagi berita yang akan dibeberkannya kepada Glen.

"Solo?" Tanya Glen heran sambil memegang salah satu buket berwarna biru.

"Aku udah setuju sama Papah, aku bakalan ngelola showroom Jatiwara di Solo selama dua tahun sambil nunggu kamu pulang dari Melbourne" Chalize senang karena sudah mengatakan berita bahagia itu. Dia pernah berdiskusi dengan Glen kalau nanti dia tinggal di Jakarta sendirian sudah pasti sangat sedih dan bisa bisa tiap hari memutar Glimse of us tiap kali melintasi jalanan ibu kota atau berada di apartemennya.

Brug

Chalize kaget ketika Glen menjatuhkan buket bunga itu.

"Glen?"

"Lize! Kenapa nggak bilang? Opa Oma udah setuju aku ngelola anak perusahaan di Jakarta dan nggak perlu kuliah di Melbourne, aku udah tanda tangan!"

Kini pupil keduanya sama sama membesar dan jantung tak beraturan. Salah komunikasi ini kembali menyulitkan keduanya.

Bersambung 🌼🧡

Vomennya donk kakak

Continue Reading

You'll Also Like

53.1K 9.3K 60
"Gue pacarin, kalo lo bilang suka gue." "Suka aja nggak apa-apa. Gue udah soalnya."
1M 154K 50
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
12.9K 1.7K 21
Semester tua = Kemacetan lalu lintas kehidupan. BTS - RED VELVET/ FANFICTION / Storyline and Art by Purpleperiwinkle / 2021
156K 8.5K 25
Seri THE CONUNDRUM - Buku 1 Pemenang Naskah Fantasi Terbaik Wattpadlit Awards 2017. "Faux, kemustahilan yang indah selagi kepakan sayap burung terlih...