Geng Bratadikara

By Jaesalee06

332K 45.4K 15.4K

Sederhana saja. Hanya tentang kehidupan tiga bersaudara putra Pak Bratadikara yang akan membuatmu harus memut... More

00 | Geng Bratadikara Itu Siapa?
01 || 'Mas'alah
02 || Alarm Saka : Ayam Berkokok
03 || Weekend
04 || Budak Tugas
05 || Kembali ke Realita
07 || Pertanyaan Raka
08 || Saka, Naka dan Raka
09 || Lingkaran Setan
10 || Coretan Raka
11 || Mantra Sihir Pram
12 || Pengakuan
13 || Luka
14 || Tantangan
15 || Latihan Basket
16 || Peringatan
17 || Sebab - Akibat
18 || Hot Latte
19 || Celetukan Adik Saka
20 || Wallpaper Naka
21 || Geng Bratadikara
22 || Perhatian Saudara
23 || Catatan Saka
24 || Ikatan Saudara
25 || Selamat
26 || Ulang Tahun Bapak
27 || Keluarga
28 || Mengaku

06 || Salah Tempat Pelarian

12.4K 1.3K 157
By Jaesalee06

Haloo, ketemu lagi nihhh
Mohon feedbacknya yuk guys, vote dan komen sebanyak-banyaknya yaa. Per paragraf? Boleh banget✨

Terimakasih ✨✨💚
.
.
.

Raka berjalan sendirian di lorong gedung IPS, matanya mencari-cari keberadaan seseorang dengan raut wajah yang gelisah. Saat melihat Sherina keluar dari toilet, ia dengan cepat memanggilnya.

"Sherina," panggilnya. Gadis itu spontan menoleh, membiarkan langkahnya terhenti dan memperhatikan Raka yang mendekat.

"Raka? Tumben keliatan di IPS," ucap Sherina yang terlihat heran.

"Lo nggak papa, kan, Sher?" tanya Raka dengan nada khawatir.

Sherina tampak kebingungan. "Gue? Gapapa. Emangnya gue kenapa?"

Raka tidak segera menjawab. Dia hanya memandang gadis di hadapannya dengan ekspresi penuh rasa bersalah.

"Raka, lo kenapa?" tanya Sherina, mencoba mencari jawaban dari ekspresi wajah Raka.

Pemuda itu menggeleng pelan. "Yang penting lo nggak papa," ucapnya.

Sherina tersenyum kecil. "Lo tuh kenapa sih? Aneh banget."

"Sorry, ya, Sher," ucap Raka dengan suara pelan.

"For what?" tanya Sherina.

"Udah libatin lo di urusan yang gak penting," ujar Raka dengan rasa penyesalan.

Sherina langsung tertunduk hening. Setelah sejenak, dia tersenyum tipis, menyadari apa yang coba Raka bahas siang itu.

"Oooh, masalah kemarin, ya," kata Sherina. Ia kembali mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Raka. "It's okay. Kok lo tau sih?"

"Temen gue ada yang liat dan tadi cerita pas di kantin. Pokoknya kalo dia macem-macem, bilang sama gue, ya," tutur Raka dengan tegas.

"Kayaknya lo nggak perlu sekhawatir itu deh, Raka," ujar Sherina dengan suara sedikit lirih.

"Tetep aja. Gue harus tanggungjawab kalo si Megan macem-macem sama lo, Sher. Pokoknya kalo ada apa-apa wajib lo kabarin gue, ngerti, kan?"

"Okay." Gadis itu mengangguk sebagai tanda ia mengerti.

"Ya udah, kalo gitu gue langsung balik ke kelas, ya," ucap Raka sambil tersenyum.

Sherina hanya mengangguk. Netranya terus menatap Raka yang melenggang pergi. Namun, di luar dugaannya, pemuda itu berbalik lagi sebelum benar-benar pergi.

"Sher."

"Hmm?" tanya Sherina sembari menaikkan satu alisnya. Ia memandang Raka dengan rasa penasaran.

"Kapan-kapan gue traktir es krim," kata Raka dengan senyum tipis di wajahnya.

Sherina tertawa kecil, lalu mengacungkan ibu jarinya. "Oke, gue tunggu harinya."

Gelak tawa Raka terdengar menciptakan nada ceria di lorong yang sepi, sebelum akhirnya dia berlari keluar dari gedung IPS, meninggalkan Sherina dengan senyuman di wajahnya.

Di tempat lain, di sebuah gazebo kantin yang teduh yang berada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Naka dan Dirga duduk bersama, menikmati camilan di depan mereka. Di tempat duduknya, Naka terlihat fokus menatap layar ponsel yang menyala. Hal itu mengundang Dirga yang memiliki rasa penasaran cukup tinggi memutuskan untuk mengintip.

"Itu siapa?" tanya Dirga saat melihat foto seorang perempuan di ponsel Naka.

"Cewek gue," jawab Naka malas berpikir.

"LDR-an, ya?" tanya Dirga, mencoba menggali informasi.

Naka tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, ia hanya tersenyum tipis.

"Yeee, ditanyain juga. LDR atau udah putus?" tanya Dirga dengan rasa ingin tau.

"Tau nggak istilah 'putus tanpa kata putus'?" tanya Naka seraya menoleh pada Dirga.

"Huh?" Dirga tampak bingung dengan istilah yang tidak familiar baginya.

"Itu yang terjadi antara gue sama dia," tambah Naka yang mencoba menjelaskan situasi meski dengan perasaan campur aduk.

Dirga diam sejenak, putus tanpa kata, hubungan mereka berakhir tanpa penjelasan atau komunikasi yang jelas? Kayaknya gue pernah baca di google begitu deh, eh, iya bukan ya? Gatau, lah, pikirnya. mencerna informasi yang baru saja dia dengar, dan akhirnya ia mengangguk meski belum sepenuhnya memahami.

"Iya deh. He'euh aja," pungkas Dirga sambil mengayunkan kentang goreng di atas saos.

Sembari mengunyah kentang goreng, Dirga berkata, "Eh, Na. Lo pernah denger kasus kakak tingkat kita dari jurusan kedokteran yang bunuh diri itu, nggak, sih?"

Jari Naka menekan tombol power di ponselnya lalu meletakkan benda elektronik itu di atas meja. Ia langsung melirik ke arah Dirga. "Yang katanya bunuh diri karena stres itu? Kenapa tiba-tiba lo tertarik ngebahas tragedi? Digentayangin lo?"

Dirga menggeleng. "Eh! Amit-amit! Bukan maksud gimana-gimana gue tuh, cuma beberapa mahasiswa pada ngomongin itu lagi gara-gara ada berita yang serupa di sosmed."

"Dan lo kepo?" tanya Naka dengan nada skeptis.

Dirga memasang senyum andalannya. "Sebenernya sih ... iya."

Naka menggelengkan kepala, tak heran lagi. "Udahlah. Kita gak tau kebenarannya gimana. Nggak usah dibahas."

Dirga mengangguk setuju sembari minum es jeruk pesanannya. "Bener juga sih. Kurang kerjaan banget."

"Itu nyadar," ujar Naka sambil melanjutkan makan takoyaki-nya dengan sikap cuek.

Di tengah damainya istirahat, Naka dan Dirga duduk bersama, menikmati suasana santai mereka. Datang seorang pemuda mendekati mereka dengan cepat.

"Naka," panggil pemuda itu dengan suara ramah.

Naka langsung menoleh, memperhatikan pemuda yang baru datang. "Ya?"

"15 menit lagi kumpul UKM di aula buat bahas persiapan kegiatan sama materi, ya," ucap pemuda tersebut dengan antusias.

"Oh, oke Bang, bentar lagi gue ke sana," jawab Naka.

Pemuda itu memberi senyuman singkat sebelum berlalu pergi. Dirga tidak bisa menahan komentarnya.

"Lo kurang alesan buat pusing apa gimana, sih? Segala ikut UKM," ucap Dirga.

Naka hanya tersenyum santai, mengangkat bahu sebagai tanggapannya. "Kadang-kadang kita suka pengen tau lebih banyak, kan? Siapa tau aja ada yang menarik."

Dirga hanya menggelengkan kepala dengan senyum mengejek. "Ambis, ambis, ambis. Kayaknya lo sama Mas Saka sama aja deh, Na. Lo ngatain Mas Saka pengabdi kampus, padahal lo sendiri tanpa sadar ngikutin jejaknya."

Naka tertawa kecil setelah menandaskan minumannya. Sepersekian detik berikutnya, ia bangkit. "Cabut dulu, ya," ucapnya sambil memberi isyarat pamit.

Dirga yang masih menyedot minuman dengan santai menjawab dengan suara teredam. "Ini takoyaki nggak lo abisin?" tanya Dirga yang sempat melepas sedotan yang ia gigit, menunjuk beberapa takoyaki yang masih tersisa di atas meja.

"Kan ada lo. Abisin aja, duluan, ya, Dir. Assalamu'alaikum!" ucap Naka sambil tersenyum.

"Wa'alaikumsalam. Beh, rejeki anak mama," jawab Dirga sambil mengangguk, lalu melanjutkan santapannya dengan penuh selera di saat Naka mulai melenggang pergi ke arah Aula.

🌱🌱🌱

Sementara itu, Saka dan Pram melangkah dengan lesu menuju studio musik kampus setelah menyelesaikan kelas terakhir untuk hari itu. Keduanya tampak kelelahan karena sepanjang hari mereka telah memeras otak untuk memahami materi-materi kuliah ditambah tugas yang semakin hari semakin bertambah.

Setibanya di studio musik, tanpa berpikir panjang, mereka langsung melemparkan diri ke lantai yang dingin. Lantai studio terasa sejuk dan menyegarkan, membuat rasa lelah mereka sedikit terobati.

"Ya Allah, aku pinter, aku paham, aku lulus, abis itu jadi milyarder," celetuk Saka dengan nada lelah, tapi penuh kelegaan. Dia melihat ke atas, memandang langit-langit studio sambil tersenyum lebar.

Pram, yang berbaring berbantal di perut Saka, spontan tertawa kecil mendengar kata-kata temannya.

Renjana yang sudah tiba lebih awal bersama Agam langsung bersuara sembari bercermin di wall mirror, "Kenapa lo berdua?"

"Ngelu bolo, utekku ngebul!" jawab Saka, wajahnya tampak frustasi.

"Huh? Artinya apaan?" Renjana memandang Saka dengan ekspresi bingung.

"Pusing gue tuh, rasanya ni kepala udah keluar asapnya," kata Saka menjelaskan kondisinya.

"Oooh," Renjana mengangguk mengerti.

"Lo tumben udah di sini aja, Ren. Biasanya sok sibuk lo," celetuk Pram dengan senyum nakal di wajahnya.

"Anjing," ucap Renjana sembari menendang kaki Pram dengan ringan. Tawa mereka bertiga pun pecah, mengisi ruangan studio musik.

"Gue nanya malah dikatain. Sopan lo begitu? Coba buka kitab terus baca surat Al Hujurat Ayat 11, Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk! Nah! Camkan itu saudaraku!" balas Pram sambil memiringkan kepala.

Saka langsung tertawa lepas mendengar balasan Pram yang di luar dugaan. "Bjir, Anaknya Pak Dalpati dalilnya keluar."

"Itu dia inget kalo lagi dikatain doang, tapi pas sendirinya ngatain orang, auto lupa," timpal Agam, tawanya pun terdengar bersahutan dengan Saka.

"Pertanyaan lo maksa gue buat ngomong kasar. Gue nggak pernah sok sibuk, ya. Kalo disuruh pilih antara praktek sama rebahan, ya gue tetep pilih rebahan," beber Renjana dengan santainya.

"Mahasiswa kedokteran model apaan lo? Nggak kayak anak FK pada umumnya yang ambis," goda Pram, mencoba menjebak Renjana dengan kata-katanya yang cerdas namun penuh sindiran.

Pram melihat wajah serius Renjana dan tawa Saka yang menggelegar, menyadari bahwa kata-katanya benar-benar berhasil menggoda temannya tersebut. Mereka berdua saling bertatapan.

"Ampun, Ren," ucap Pram secara otomatis.

Tawa Saka masih menggema di ruangan itu. "Cupu lo, di tatap doang ciut," godanya terdengar sembari ia berusaha bangun.

Pram tersenyum santai. "Nggak cupu. Gue cuma lagi menerapkan ilmu bertahan hidup," ujarnya dengan percaya diri, sambil tetap memandang mata Renjana yang sekarang sudah tak bisa menyembunyikan senyuman iblisnya.

"Padahal tadi nggak ada janjian, tapi malah ketemu di sini," sahut Renjana dengan heran.

"Gue denger kalo anak FEB mau ngadain seminar dan ngundang band kampus, makanya gue ke sini, siapa tau pada ngumpul buat diskusi," sahut Agam, ia sembari memberikan penjelasan.

"Bang Zio katanya mau kesini juga, tadi dia chat gue, jadi secara gak langsung kita pada janjian buat kumpul hari ini," imbuh Renjana sembari melipat lengan bajunya.

Saka dan Pram saling memandang dengan wajah penuh ekspresi, lalu tertawa.

"Padahal kita kesini buat ngademin pikiran, lha ternyata pak ketua mau ngadain diskusi di sini. Kita salah tempat pelarian, Pram," kata Saka sambil tertawa, mencerna kekonyolan situasi yang tidak terduga.

"Kata gua tadi langsung balik aja, Sak, bisa push rank," timpal Pram dengan kekehan.

🌱🌱🌱

Diskusi serius tentang acara UKM tengah berlangsung dengan intensitas tinggi di aula, di tengah ketegangan itu, Naka memberanikan diri untuk memberi usulan. "Gimana kalau kita tambahin sesi tanya jawab interaktif sama para peserta? Mungkin dengan begitu, mereka bakal ngrasa lebih terlibat dan dapet pengalaman yang lebih berarti dari seminar ini," ucap Naka.

Pangeran, yang duduk di ujung meja, memandang Naka dengan serius sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk. "Boleh. Kita bisa atur sesi tanya jawab itu sama moderator yang kompeten. Gue setuju sama usulan Naka. Kita tambahin sesi interaktif itu ke dalam rundown acara malam puncak seminar sebelum band."

Naka merasa lega melihat usulannya diterima dengan baik. Suasana ruangan seketika terasa lebih ringan karena keputusan ini, dan semangat persiapan pun semakin membara. Setelah rapat selesai,  suasana rapat yang serius berubah menjadi obrolan ringan.

Pangeran, dengan nada jahilnya menggoda Naka yang tengah fokus membuat catatan di iPad-nya. "Naka nanti, kan, masuk di divisi dokumentasi, kalo misal rangkap jadi MC pas acara puncak, keberatan, nggak? Kalo yang sama narsum dari luar biar yang lain gapapa. Lo pegang pas seru-seruan di malemnya aja, kebetulan ada Saka juga yang bakal jadi perwakilan band, kan? Gimana?"

"Gue?"

"Iya, lo aja, ya. Biasanya kaum hawa bakal banyak yang join tuh kalo tau orang yang di atas panggung bening," sahut Roni dengan nada bercanda.

Tawa terdengar di sekitar mereka. "Gue nggak yakin, Bang," kata Naka, tetapi dia tersenyum, "tapi kalo pada setuju, InsyaAllah gue bakal berusaha siap."

"Didampingin sama Lia gimana? Biar nggak sendirian gitu," tanya Pangeran, menatap Naka dengan penuh kepercayaan.

Naka mengangguk saja. "Siapa aja boleh."

"Nggak ada yang cemburu nih? Gue ragu, takutnya abis turun panggung gue dilabrak," sahut Lia, dengan senyum ceria di wajahnya.

Naka tersenyum sembari menggeleng. "Nggak ada kok. Nggak ada."

"Oke, udah diputusin pas malam puncak Naka sama Dahlia yang jadi MC-nya. Mil, catet, ya," tutur Pangeran pada Kamila, sekretaris UKM mereka.

"Noted, Pak Ketu!" jawab Kamila cepat, mencatat keputusan tersebut dengan cermat di buku catatannya.

🌱🌱🌱

"Naka!"

Mendengar seseorang memanggil namanya, Naka praktis berhenti dan berbalik, "Hmm? Kenapa?" wajahnya penuh tanda tanya.

Dahlia terlihat tersenyum canggung. "Nggak ada apa-apa sih, cuman mau bareng aja ke parkiran. Boleh, kan?"

"Oooh, boleh."

Detik berikutnya, keduanya melangkah beriringan meninggalkan aula.

"Lo pulang bareng siapa?" tanya Dahlia, mencoba memecah keheningan.

"Sendiri," jawab Naka singkat.

Dahlia mengangguk mengerti. Lalu, hening kembali menguasai.

"O iya, berarti pas seminar nanti kakak lo ikut tampil dong? Kak Sakala, nggak cuma jadi perwakilan pas sesi ngobrol, kan?" coba Dahlia memulai pembicaraan lagi.

Naka mengangguk tanpa menoleh. "Tampil."

"Wah, pasti keren," kata Dahlia yang sudah tak tau harus mengatakan apa lagi.

Di tengah perjalanan mereka ke parkiran, ponsel Naka di genggaman tangannya berdering, panggilan dari Dirga. Pemuda itu spontan menghentikan langkahnya dan Dahlia secara otomatis ikut berhenti.

"Na, flashdisk lo kebawa sama gue nih, mau lo ambil, nggak? Atau besok gue bawain?" kata Dirga melalui telepon.

"Nggak bisa lah, Dir. Nanti malem mau gue pake buat nugas. Gue ambil aja deh, lo masih di kantin?" tanya Naka.

"Enggak lah gila, mau ngapain gue dua jam di kantin. Gue di studio musik. Ada mas Saka juga nih di sini, atau mau gue titipin aja?"

"Ya udah, gue susulin ke sana, lo jangan kemana-mana kalo gue belum dateng, jangan dititipin ke mas Saka pokoknya."

"Kenapa jangan? Kan kalian serumah."

"Jangan! Mas Saka pulang ke rumah tuh kalo inget doang. Pokoknya tungguin gue," ucap Naka, mengakhiri percakapan.

Panggilan itu terputus. Naka kemudian menoleh pada Dahlia. "Lia, sorry banget, gue harus ke tempat lain dulu. Lo nggak papa, kan, ke parkiran sendiri?"

"Ooh, gitu. Okay, gapapa kok," sahut Dahlia mencoba tersenyum.

Naka mengangguk. "Sorry banget, ya. ByeLi!" ucap Naka sembari melambaikan tangannya singkat sebelum berlalu ke arah yang berlawanan.

"Hmm, bye," balas Dahlia. Gadis itu menatap punggung pemuda itu sembari menghela napas. Saat ia melanjutkan langkahnya, ia bersenandung, "Tak segampang itu ...." Suara kecilnya hilang dalam keheningan sore itu.

🌱🌱🌱

Nah, gimana nih? Seru nggak? Atau ngebosenin?

Gemes sama tingkah siapa nih?

Follow akun sosial media aku juga biar kita gampang interaksi dan kamu juga nggak akan ketinggalan info.
Instagram : Dearlysalsa.lee6
Twitter : Salsaa_by
Tiktok : Jaesa_lee06

Buat yang mau gabung grup WA readers bisa DM aku yaa

✨✨✨

Ziolard Alastair

Pangeran Agadimas

Agam Avan Jayantaka

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 147K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
8.8K 1.1K 31
;"Tidak ada yang bisa mencegah dan dicegah" "Satu nyawa tidak bisa menebus satu kesalahan " Akan banyak kejutan dan plot twist di versi Novel yg memb...
417K 33K 55
[SUDAH TERBIT + PART MASIH LENGKAP] ❥Buku hanya tersedia di TBO- ‼️BUKAN BXB‼️ Haidar Anataka, Menyewakan Rumah peninggalan orang tuanya. Niat Haida...
Untuk Haidan By Kaii

Teen Fiction

753 215 31
Bagi Naya, Haidan seperti bunga mawar di hidupnya. Indah ketika dipandang, tapi menyakitkan ketika digenggam. Namun, bagi Haidan, Naya hanya menjadi...