I Believe

By DesarDesar

1.3K 79 11

Meskipun memang pernah dialami seseorang, cerita ini bukan pembelajaran. Harap bijak dalam membaca. Pemeran... More

1. Mochi Mini
2. Bang Frank
3. One View
4. Nighttime
5. Glow Girls
6. Nobar PSJ-PBY
7. Care
9. Mengapa Berbeda?
10. Menyebalkan
11. Sangat Menyakitkan
12. Kejutan

8. Fuji Sakit??

79 5 0
By DesarDesar

Vote pas lagi membaca 🤩🤩🤩 komen pas lagi baca 🤗🤗

AKU melihat ke arah pintu yang baru terbuka dengan Bang Frank di baliknya. Penampilan nya sedikit berantakan, tak serapi tadi pagi saat sebelum dia berangkat kuliah. Maklum kini sudah malam pukul tujuh.

Frank menaruh tas gendong berwarna hitam miliknya di atas meja  belajar ku, lalu ia melangkah cepat menghampiri ku.

"Lo masih sakit?" Tanya Frank sambil menyentuh jidat ku, mengecek suhu tubuhku maksudnya. Aku menurut saja, meskipun yang sakit itu perut ku, bukan kepalaku. Segera aku meraih tangannya lalu ku cium tangan nya. Dia sedikit terkejut.

"Gue minta maaf ya bang, gue punya banyak salah sama lo." Ucap ku serius padanya, namun Frank malah meraup wajahku membuat ku melotot padanya. Dia malah tertawa.

"Ha-ha-ha, apaan sih lo? Nggak jelas?" Ujar Frank. Dia mengacak rambut ku asal, membuatnya berantakan. "Lo cuma sakit perut ya, bukan lagi menjemput ajal. Nggak usah berlebihan."

"Meminta maaf itu bukanlah hal berlebihan, lo harus tau itu." Ujarku, sedikit kesal dan meminta Frank kembali merapikan rambutku. Namun, malah semakin berantakan. Aku segera menepis tangannya.

Frank membentuk kedua jari telunjuk dan jari tengah nya, membuat simbol perdamaian. Aku segera membalas nya.

"Tapi lo nggak cocok jadi pemeran protagonis tau nggak, sih?? Cocoknya ya lo itu, jadi pemeran antagonis yang sering marah-marah nggak jelas." Ujar Frank. Dia tertawa renyah, membuat ku menggelengkan kepala.

"Lo baru ngajak gue berdamai ya, bang?? Nggak jelas lo!" Seruku. Yang memancing tawa Frank menjadi lebih keras.

"Okey... Okey. Gue nggak nyebelin kali ini." Ujar Frank sedikit mendekatkan wajahnya, apa-apaan dia??

"Lo mau ngapain deket-deket??!" Tanyaku panik.

"Ehhh ikan, lo jadi cewek nggak usah kepedean gitulah!" Tegas Frank.

"Terus lo mau ngapain deket-deket?" Tanya ku lagi, kali ini aku menaikkan sebelah alisku ke arah nya.

Frank memutar bola mata, lalu menghela napas. "Gue mau nanya sama lo."

"Apa??"

"Lo ada hubungan apa sama Bondan?"

"Hubungan apa?? Nggak ada." Ucapku sambil membenarkan sandaran bantal milikku.

"Gue seriuss, gilaaa."

"Lah, gue duariuss!"

"Fuji, jawab gue."

"Cuma teman doang, bang. Yaelah."

"Halahh. Alibi ajeee, lu!"

"Wahhh, bang. Lo nggak percaya sama gue?"

"Nggak. Menurut gue ada sesuatu gitu,
antara kalian berdua." Ujar Frank.

"Kenapa emangnya?"

"Lo mau tau nggak tadi pas jam 10 pagi kayaknya, dia nelpon gue... Untung gue lagi istirahat."

"Bilang apa dia??"

"Dia cuma kayak bikin laporan gitu ke gue. Bang, gue udah jengukin Fuji tadi di UKS. Gue juga minta ke guru kalau Fuji dipulangin aja jam 12 siang, biar istirahat di rumah. Pokoknya, bang. Semua aman terkendali. Gitu, katanya."

"Ooh, gitu ya? Pantesan guru ngizinin gue pulang tadi jam 12."

"Kayaknya dia punya feeling, deh sama lo. Menurut gue, ya... Lo juga udah tau, pasti."

"Yaa kalau dia suka sama gue, jangan heran gitu lah. Kan, gue cantik. Mana mungkin dia nggak suka??"

"Kalau ada yang nggak suka, mungkin dia sedang go***k."

"Apaan sihh, pake disensor segala?" Aku terkekeh kecil.

"Udah biarin aja. Biar otak lo, nggak ternodai. Ha-ha-ha-ha."

"Ha-ha-ha-ha. Aduh, masih sakit perut guee." Aku segera memegangi perutku yang kembali terasa nyeri. Frank yang panik, refleks memegangi perutku juga. Namun, dia hanya memegang punggung tanganku saja.

"Asli, bang. Kalau lo bukan abang gue, kayaknya gue udah jatuh cinta sama lo, dehh." Ucap ku asal. Frank langsung meraup wajahku agar aku kembali sadar.

"Lo gila, ya?! Gue bersikap gini biar lo nggak gampang baper sama laki-laki... Jangan malah baper beneran sama guee." Ucap Frank sambil menatap dalam mataku, deg-degan juga aku ditatap seperti itu oleh nya.

"Asal lo tau, ya... Jaman sekarang banyak laki-laki brengsek yang cuma cari mainan doang. Cuma dijadiin pelampiasan." Ujar Frank dengan serius. "Jadi, meskipun gue sama brengseknya... Seenggaknya gue ngga se brengsek itu, biarin adik gue jadi korban juga."

Aku diam sebentar menatapnya, "Kok, malah jadi dalam gini, sih. Pembahasannya??"

"Yaa gue cuma ngasih lo bekal aja. Supaya kalau lo bakal jatuh nantinya, lo nggak akan jatuh sejatuh-jatuhnya."

Aku hanya mengangguk padanya.

"Perut lo gimana?? Masih sakit?"

Aku mengangguk lagi. "Bang..."

"Apaan??"

"Kayaknya gue tau, dehh. Kenapa gue jadi sakit perut kayak gini?"

"Jadi, kenapaaa?"

"Kemarin malem sebelum gue minum es kopi, kan gue minum es durian sama temen-temen." Ujar ku, sambil sedikit tersenyum tipis padanya. Gengsi juga aku, cukup takut saat melihat wajahnya yang berubah lebih datar dari sebelumnya.

*****

"LO emang settingannya segila ini, ya, Fu??" Tanya Frank, yang entah ia tujukan kepada siapa? Aku hanya diam melihatnya menyetir mobil di sampingnya. Sesekali dia menarik rambutnya, lalu ia lepaskan lagi. Mungkin dia merasa terlalu frustasi menangani aku.

"Asli. Gue punya adik cewek satu, kok... gini banget, ya??" Frank menggelengkan kepala sejak tadi, tak habis pikir sepertinya.

Aku menyentuh lengannya, "Sabar, ya, bang." Aku membuat bibirku menjadi satu garis dan menganggukkan kepala padanya. "Iya cabal yaa, bang..."

Frank terkekeh kecil karena aku, "Lucuuuu? Gue turunin lo dipinggir jalan, mau??" Frank benar-benar menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

Aku terkejut, dan menggeleng padanya. "Jangan, bang!" Pintaku. Tidak lucu bagiku, jika aku harus turun dan berdiri sendiri di pinggir jalan.

"Gue tinggalin lo sendirian, mauu?" Tanya Frank padaku, dia menatap ku tajam.

"Gue mohon, jangan, bang!" Pintaku lagi. Sungguh, sangat menyebalkan saat melihat Frank kembali berubah dingin seperti dulu. Dia yang kasar, keras, dan penuntut adalah sikap yang sangat aku benci darinya.

Aku hanya bercanda, itu bukan untuk memancing emosinya. "Aduuh, Fuji... Lo bodoh kali inii!" Batinku tak henti memaki diriku sendiri.

Untungnya, Frank masih mendengar pintaku. Dia tak sekejam itu menurunkan aku di pinggir jalan saat malam hari seperti ini.

Selama sisa perjalanan, kami hanya diam dan tak saling bicara, apalagi kembali melontarkan candaan sampai tertawa bersama.

Aku hanya diam memandang jendela mobil, sedangkan Frank fokus menyetir mobil. Kenapa sangat mencekam seperti ini??

Hingga saatnya kami tiba di tujuan, Frank turun lebih dulu dariku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menghela napas melihat sikapnya itu, lalu bergegas keluar menyusulnya.

"Bang, Frank. Tunggu gue, bang!" Panggil ku, namun dia tak bergeming.

"Bang, gue minta maaf... Gue cuma bercanda, bang. Maafin guee." Aku memegang tangannya, namun segera ia tepis dengan kasar.

"Cuma orang yang nggak punya otak yang bercanda di waktu yang nggak tepat!" Tegas Frank. Dia melanjutkan langkah kakinya. Tak memperdulikan aku yang berjalan lambat di belakangnya. Bukan karena aku yang tak bisa mengejarnya, namun karena aku yang masih menahan sakit pada perutku. Beberapa orang terlihat bingung melihat kami, tapi mereka hanya diam.

Kami duduk di kursi tunggu sambil aku yang memegang nomor antrian. Kutanya pada orang di sampingku, sudah nomor antrian berapa sekarang? Setelah mendengar jawabannya, itu berarti aku hanya menunggu lima antrian lagi.

Satu

Dua

Tiga

Empat

Di antrian ke lima, aku segera masuk ke dalam ruangan dan sedikit terkejut saat melihat Frank yang ikut menemaniku masuk ke dalam.

"Assalamu'alaikum, dok." Sapaku.

"Wa'alaikumussalam. Silahkan duduk. "

Dokter Pamungkas menerima nomor antrian milikku tadi dan ia masukan kembali kedalam tempatnya. Dia beralih menatap kami bergantian. "Siapa yang sakit?"

"Saya, Pak." Aku menjawabnya. "Perut saya sakit, karena kemarin saya meminum es kopi setelah meminum es durian."

"Ooh, begitu?? Es durian nya satu gelas atau dua gelas?"

"Hanya satu gelas."

"Nahh, itu... Harusnya kamu membeli dua. Satu untuk mu dan satu untuk Pak Dokter." Ujarnya, membuatku tersenyum lebar. Sedangkan Frank tertawa di sampingku.

"Berapa lama jeda waktunya?"

Aku mengingatnya, "Sekitar satu jam."

Dokter Pamungkas mengangguk, "Iya, itu karena keduanya tak bisa dikonsumsi bersamaan. Harusnya diminum dengan jeda waktu yang lebih lama."

"Meminum keduanya, sama seperti meminum obat bersama minuman bersoda ya, Dok?" Tanya Frank.

Dokter Pamungkas mengangguk lagi. "Iya. Itu menjadi racun."

Aku meringis dan mengangguk, pantas saja perutku sangat sakit.

"Iya sudah saya periksa dulu, silahkan berbaring di sana." Ucap sang Dokter sambil menunjuk ranjang di sebelah meja kerjanya.

"Rasanya sangat sakit, dok. Apa karena asam lambung saya naik juga?" Tanya ku, sambil melangkah dan berbaring di ranjang.

"Iya, betul. Nanti saya buatkan resep untuk asam lambung nya juga." Dokter Pamungkas mulai mengecek tensi darah ku, pernapasan ku dan perutku. "Mau disuntik, tidak?"

Aku hanya mengangguk.

Selang menunggu beberapa menit, aku masih harus berbaring sebentar setelah disuntik tadi. Sedangkan Dokter Pamungkas sudah memberikan obat untuk ku pada Frank, dan langsung dibayar oleh abangku itu.

"Sudah cukup, Mbak Fuji."

Aku segera bangkit dan duduk sejenak di ranjang.

"Ayooo, atau mau gue seret??" Bisik Frank padaku, hanya aku saja yang mendengarnya.

"Nggak. Jangan, bang." Balasku dengan tak kalah berbisik.

"Terima kasih, Dokter Pamungkas." Ucap ku sambil menyusul Frank yang sudah keluar lebih dulu.

Dokter itu mengangguk. "Ya, sama-sama."

*****

Bersambung...

Nggak bisa ngomong banyak lagi dehh. 😕 Ikut sakiit hati soalnya, saat Fuji disakitin sama Frank, abangnya sendiri. 😖

Tapi, kita sama-sama berdo'a saja ya biar Frank kembali baik lagi ke Fuji... 😊

Thank you, next. 🤩🤩🤩

Continue Reading

You'll Also Like

95.4K 10.3K 49
Kehilangan seseorang akan selalu menjadi luka terdalam.
790K 108K 76
Ini kelanjutan story Different Soul★DERA☆ ya. kalau berkenan, mampir ke sana dulu~ ________ Bukan hanya menceritakan perbedaan sikap antara Delon dan...
620K 1.2K 33
Kumpulan cerpen bertema dewasa
393K 25.4K 31
"Ugh ini dimana?" Dirinya langsung saja terduduk dan meneliti sekitar. "Ini bukan lumah Oliv" "Ini kamal bukan milik Oliv bukan lumah Oliv sama mama...