Ndut, Balikan, Yuk! by Annie...

By temanmenulis

954 133 12

"Ya, tapi, Mbak, jujur saja saya sebagai laki-laki normal pastinya milih cewek yang selain baik hatinya, kala... More

Bab 1 - Sesuatu yang Pernah Terjadi
Bab 2 - Hantu Bernama Mantan
Bab 3 - Kalau Masih Sayang, Bilang
Bab 4 - Rasa yang Masih Ada
Bab 5 - Buka Blokir, Buka Hati?
Bab 7 - (Bukan) Angka Keberuntungan?
Bab 8 - Like or Swipe
Bab 9 - Self Love

Bab 6 - Tumis Pare dan Cokelat

93 12 0
By temanmenulis


Holaaa! Siapa yang nungguin cerita Astuti? Nah, silakan nikmati kelanjutan kisahnya di bawah ini. Jangan lupa, kasih bintang lima, yak! Terima kasih!

***

"ASTUTI ... Bangun! Buruan salat subuh. Habis itu bantu Ibu!"

Serpihan nyawaku yang terserak dibuai mimpi seketika berkumpul dan membentuk barisan yang membuatku menangkap kesadaran paripurna. Jantungku berdetak kencang ketika mendengar gedoran di pintu kamar. Astaghfirullah, Ibu. Kalem sedikit dong, kalau bangunin anak perawan.

"Tuti lagi halangan, Ibu. Iya, ini bangun ..." sahutku dengan suara parau.

Semangkuk mi kuah dingin mengembang dengan potongan sawi dan ekstra rawit yang kumakan semalam rupanya memberikan efek berlebihan pada tenggorokanku. Masa iya aku kualat sama makanan?

Aku beringsut dari kasur dan sibuk mencari ponselku. Begitu benda pipih itu kutemukan, segera kuusap layarnya yang menunjukkan pukul empat pagi lebih dua puluh lima menit.

Tumben ponsel sepi.

Aku menepuk jidatku sendiri saat mengingat jika ponselku masih berada dalam mode pesawat, karena menghindari telepon dari Adam semalam. Segera kugulir layar ponsel dengan jempol yang sudah terlatih dan mengaktifkan mode normal. Beberapa detik kemudian, banyak notifikasi pesan masuk saling bersahutan.

Aku mengerutkan kening ketika membaca notifikasi sepuluh panggilan tak terjawab dari Adam dan juga deretan pesan whatsapp darinya. Satu persatu pesan dari Adam kubaca dengan seksama.

"Ndut?"

"Astutiiii?"

"Angkat dong, teleponnya?"

"Ndut, tadi saya sengaja ninggalin coklat di pagar depan rumah kamu. Ambil, ya? Jangan pernah mikir diet segala. Kamu tuh makin berisi makin menggemaskan."

"Kamu tahu, kan, kalau saya sayang sama kamu?"

"Astutiiiiii ...."

Aku mencebik membaca deretan pesannya. Menggemaskan dia bilang? Memangnya aku ini squisy yang bisa seenaknya dia remas-remas apa?

Setelah merapikan semua pasukan bantal, guling dan juga selimut, aku bergegas keluar dari kamar. Begitu membuka pintu, indra penciumanku langsung disambut oleh wangi khas aroma tumis pare. Perutku yang seringnya tak tahu malu ini langsung menunjukkan reaksinya. Air liurku bahkan ikut meleleh begitu menghidu aroma pedas gurih yang menguar ke mana-mana. Aku celingukan mencari Ibu di dapur. Aku terkejut mendapati Ibu tidak berada di tempat yang seharusnya. Rupanya wajan berisi tumisan pare itu ditinggal sendirian di atas kompor yang masih menyala.

Wah, bahaya ini. Ke mana Ibu? Refleks aku memutar pengatur gas pada kompor untuk mengecilkan ukuran api.

Saat aku berbalik, seketika jantungku nyaris melorot saat melihat pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan Ibu muncul dari sana dengan kostum daster oversize putihnya. Allahu ....

"Ibu! Ngagetin aja, ih."

Aku tahu badanku memang besar, tetapi nyaliku pada makhluk astral tidak sebesar lingkar perutku sendiri. Aku penakut. Aku tahu itu. Aku mengusap kasar wajahku sendiri. Ibu hanya tersenyum tipis dan melenggang dengan santai untuk kembali meneruskan agenda memasaknya. Aku beringsut menepi. Meninggalkan kompor yang kembali berada dalam kendali tuannya.

Ah, iya, aku lupa ada sebungkus cokelat yang menungguku di pagar depan. Semoga enggak keduluan sama Siti—Si Tikus nakal.

***

Mau tak mau aku mengulum senyum sendiri saat mendapati benar-benar ada bungkusan plastik berwarna hitam yang bertengger anggun di pagar rumah dan benar-benar berisi dua buah batang cokelat dengan merk kesukaanku.

"Coklat!"

Aku segera berbalik setelah mengambilnya. Kelakuan Adam benar-benar di luar dugaan. Haruskah subuh-subuh begini aku meleleh karenanya? Haruskah aku balikan lagi? Apa harusnya aku tidak pernah memutuskan Adam sebelumnya? Aku harus bagaimana sekarang?

Peduli setan jika tiga kilo berat badanku yang berhasil kupangkas selama perjuangan panjang seratus hari dengan jadwal super ketat bersama Mbak Asma akan segera kembali dalam waktu satu kedipan mata. Cokelat adalah salah satu bahagiaku yang sederhana.

Matahari bahkan belum sempat menyembulkan kepala, tetapi senyumku sudah mekar sempurna. Aku berbalik dan bergegas masuk ke rumah.

Saat melangkah, tiba-tiba saja bulu di belakang kepalaku meremang. Aku mendengar suara bisikan yang menyebut namaku. Sialnya, kakiku seketika terasa begitu berat.

"Astutii ...."

Aku sudah bilang kalau aku ini penakut, bukan? Tentu saja suara yang kudengar barusan memberikan efek yang luar biasa. Aku nyaris tidak bisa bergerak. Ada kekuatan tak kasat mata yang membuatku merasa sulit untuk mengendalikan diri.

Aku memejamkan mata dan meremas plastik yang berada dalam genggamanku. Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara pintu pagar yang seakan-akan dibanting oleh seseorang. Berikutnya aku mendengar suara berat langkah kaki yang semakin mendekat. Tuhan, tolongin hamba!

"Allahu Akbar!" teriakku sekuat tenaga saat aku merasakan ada sebuah tangan yang memegang pundakku. Refleks aku berjongkok dan menggumamkan doa-doa sambil menutup wajah menggunakan kedua tangan.

Sedetik kemudian aku merasakan jitakan pelan yang mendarat di pucuk kepalaku bersamaan dengan suara berat Bapak yang mengomel.

"Bocah gembul! Ada Bapaknya pulang dari masjid bukannya dibukain pintu pagar, malah heboh sendiri!"

"B-Bapak?!" Aku mendongakkan kepala dan mendapati wajah Bapak yang menegang. "Ampun, Pak. Astuti pikir-"

"Apa? Kamu pikir bapakmu ini genderuwo, hah?" Bapak berkacak pinggang setelah sebelumnya membetulkan posisi sarungnya yang melorot.

Aku bangkit dan segera bergerak memijat pundak Bapak. "Pak, enggak ada genderuwo yang mukanya manis dan berkumis panjang sebelah kaya punya Bapak."

Aku meringis gelagapan saat Bapak meraup wajahku dengan sebelah tangannya.

"Bapak bukannya semalam enggak pulang, ya? Kok tiba-tiba bisa nongol, sih? Tuti punya cokelat, Tuti bagi, deh, buat Bapak." Aku mengangkat plastik hitam di tanganku. Bapak adalah pencinta cokelat dan aku adalah pewarisnya.

"Oh, itu cokelatnya. Dari Nak Adam, kan?" tembak Bapak yang mau tak mau membuat dahiku mengerut seketika.

Eh, dari mana Bapak tahu?

"Loh, kok Bapak tahu kalau coklatnya dari Adam?"

"Tadi Bapak ketemu Nak Adam di masjid, katanya dia taruh bungkusan buat kamu di pagar."

"Bapak ketemu sama Adam? Dia salat jamaah juga?" Aku memotong kalimat Bapak saking kagetnya.

"Lah, iya, masa dia numpang tidur di masjid?"

Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal. Ada yang aneh, kenapa Adam jauh-jauh salat subuh berjamaah di masjid Komplek perumahanku? Rumahnya kan berada desa Karang Asem, lima kilometer jauhnya dari Komplek Perumahan Citra Harmoni. Atau jangan-jangan semalam Adam enggak pulang. Apa dia punya agenda untuk kembali pedekate sama Bapak?

Laki-laki kadang suka aneh memang.

***

"Tut, setelah sarapan tolong antar Ibu ke pasar, ya?" Ibu menyuap sesendok nasi yang sudah tercampur tumis pare ke mulutnya setelah mengajukan permintaan padaku.

Pagi ini kami bertiga, aku, ibu, dan bapak sarapan bersama di meja kayu yang terletak di tengah dapur. Aku menyanggupi permintaan Ibu dengan anggukan. Karena mulutku pun masih penuh dengan nasi hangat, tempe goreng, dan tentu saja tumis pare yang menjadi rebutan antara aku dan Bapak.

"Bu, jangan sering-sering bikin tumis pare, dong? Bisa gagal diet Tuti. Masa sudah seratus hari memaksimalkan usaha, mentok cuma turun tiga kilo doang? Gara-gara Ibu, nih. Kalau masak enggak pernah gagal. Diet Tuti deh yang akhirnya gagal."

Aku mencebik setelah mengunyah dan menelan sesendok penuh nasi ke dalam mulutku. Tak urung aku menambah lagi sesendok nasi ke atas piringku yang telah kosong. Heran, siapa sih yang makan nasiku barusan? Piring bisa bocor apa, ya?

Entah bagaimana ceritanya, yang jelas dari dua bersaudara akulah yang lebih mirip dengan Bapak. Mbak Asma mewarisi hidung mancung Ibu yang membuatnya tampak cantik dengan matanya yang lebar. Sedangkan aku mewarisi mata sedang milik Bapak, dan hidungku mungil bukan main. Untungnya aku masih mewarisi kulit putih bersih milik Ibu.

Bukan hanya perkara wajah, sepertinya kami berdua juga memiliki makanan favorit yang sama. Tumis pare dan cokelat adalah salah dua makanan favoritku dan Bapak.

Selisih usiaku yang terpaut lima tahun dari Mbak Asma tidak lantas membuatku lebih dimanja. Nyatanya, Mbak Asma masih merupakan anak kesayangan Ibu dan Bapak. Aku mah apa atuh? Sebagai bungsu yang belum berumah tangga dan masih tinggal bersama orang tua aku harus sering-sering latihan napas agar kuat mental ketika dibandingkan dengan Kakakku sendiri. Padahal, dulu tidak begitu. Sewaktu kecil, kami diperlakukan sama. Tetapi, rupanya waktu bisa mengubah segalanya. Terlebih saat Mbak Asma telah menikah dan menghadiahi Ibu dan Bapak seorang cucu.

Aku memiliki satu keistimewaan lainnya. Di antara kami berempat, entah mengapa Tuhan memilihku untuk menjadi yang paling subur. Mbak Asma dan Ibu sama-sama suka mengemil kue, tetapi mereka tidak pernah kelebihan berat badan. Seolah-olah kue kering hanya menguap begitu saja setelah mereka menelannya.

Aku sering cemburu untuk itu. Sedangkan Bapak, meski sudah berumur tetapi perut beliau tetap atletis dan sama sekali tidak ada tanda-tanda kesuksesan yang biasanya makhluk Adam mengukurnya dengan lingkar pinggang yang melebar.

Kalian pasti pernah mendengar bukan? Perut buncit bagi laki-laki adalah tanda kesuksesan. Tidak. Keyakinan semacam itu tidak berlaku untuk Bapak Burhan Aditama. Bapakku yang sekaligus pejabat RW yang paling disayangi warganya.

"Nanti sekalian mampir ke rumah Mbakmu. Ibu kangen sama Aliya." Sekali lagi aku menjawab permintaan Ibu dengan anggukan kepala.

Aku melirik pergerakan Bapak yang merogoh saku belakang celananya kemudian meletakkan tiga lembar uang berwarna merah di atas meja dan mendorongnya ke arah Ibu yang membuat mataku seketika membola.

Tiba-tiba saja tenggorokanku terasa menyempit. Aku hampir tersedak, tetapi lebih terasa sesak napas.

"Buat pegangan. Sama beliin jajan buat Aliya. Salam dari Akung, gitu, ya?" ucap Bapak disela-sela kunyahannya.

Aku mendorong nasi yang tiba-tiba saja sulit untuk kutelan dengan segelas air putih sebelum melayangkan interupsi, "Buat Tuti mana, Pak?"

Aku meletakkan kedua telapak tanganku di depan dada dengan posisi menadah sambil memasang wajah se-unyu mungkin. Kalau dipikir-pikir aku tak kalah imut dengan Aliya, keponakanku yang baru berumur sepuluh bulan itu. Toh, kami sama-sama memiliki pipi yang bulat, bukan?

Bapak dengan sigap merogoh kembali saku celananya, kali ini aku melihat Bapak merogoh saku depannya di sebelah kiri. Aku mengulum senyum membayangkan berapa lembar uang yang akan kuterima. Namun, senyumku menguap seketika saat Bapak meletakkan selembar uang kertas lusuh berwarna keunguan di tanganku.

"Frans Kaisiepo banget, nih, Pak?" Aku cemberut merentangkan lembaran kucel itu dengan kedua tangan.

"Cukup itu. Buat beli coki-coki juga sudah dapat banyak."

Tadinya aku bersemangat karena Bapak langsung merogoh saku celananya ketika aku menengadahkan kedua tangan sebagai bentuk interupsi karena Bapak mengangsurkan tiga lembar uang berwarna merah ke arah Ibu yang berada di sampingku.

Aku mencebik begitu menyadari bahwa sampai kapan pun jika aku menantang Aliya, maka aku enggak akan pernah menang. Usahaku untuk mengingkari takdir bahwa aku tidak kalah unyu dari Aliya—bocah gembul dengan dua gigi kelinci yang baru tumbuh di gusi bawahnya itu—berakhir sia-sia. Padahal, gigiku pernah lebih besi dari pada bocah itu. Kurang apa, sih, aku?

Aku mendesah pelan. Nasib badan!

"Bapak enggak adil." Aku kembali menyuap nasi ke dalam mulutku, mengunyahnya kasar dengan kombinasi perasaan kesal yang mendesak keluar.

Bapak tertawa geli melihatku dan mengedipkan sebelah matanya pada Ibu. Aku semakin cemberut dibuatnya.

Akhirnya tumpukan nasi kedua yang berada di piringku tandas. Aku bergegas menaruh bekas piringku ke tempat cucian dan ketika aku kembali melewati meja. Bapak mencegat langkahku dengan menangkap satu tanganku.

"Ngambek? Nih, Bapak tambahin." Bapak meletakkan dua lembar uang kertas berwarna merah di atas lembaran lusuh bergambar Frans Kaisiepo di meja yang sempat kutinggalkan.

"Yeay! Makasih, Pak. I love you full!" Aku serta merta memeluk Bapak dan menghujaninya dengan ciuman di pucuk kepalanya. Aku menyesal karena tadi sempat mengatakan Bapak berlaku tidak adil.

"Cukup! Hei, kamu pikir Bapak laki-laki apaan?" ucap Bapak sembari berusaha memberontak.

"Sudah, cukup. Tut, itu uang buat jajan sebulan, ya?" suara Ibu berhasil membuat hujan ciuman di kepala Bapak berhenti seketika.

Aku mengerjap beberapa kali sambil menatap lurus ke dalam manik mata Ibu. "B-Buat sebulan, Bu?"

"No protes, Cah Ayu!"

Aku menatap nanar ke arah Bapak yang hanya disambutdengan juluran lidah. Susah payah aku menelan ludah. Nasib badan!

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 203K 32
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
2.2M 33.1K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
359K 28.1K 37
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini ⚠️⛔ Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. 🔞⚠️. ...
1.8M 86.5K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...