KOSAN CERIA

By PaiBian

167K 16.7K 2.9K

Asti tidak menyangka Kosan Ceria yang kadang membosankan di setiap harinya karena hanya diisi oleh si Hana, s... More

1 - Kos Ceria
2 - Penghuni Baru
3 - Peluk Cium Peluk Cium
4 - Malam Pertama
5 - Keseruan Malam Pertama
6 - Telanjang Dada
7 - Link Haram
8 - Bewok Banyak Bulunya
9 - Gigit Bibir
10 - Tegang
11 - Simulasi Punya Anak
12 - Adam Sialan
13 - Keluar di Toilet
14 - Mesum
15 - Sesama Perempuan
16 - Burung Keras dan Nasib Menyedihkan
17 - Kado Misterius untuk Bang Adam
18 - Bu Kos Balik!
19 - Menusuk Sampai Jantung
20 - Bubur Penghibur
21 - Hot Sexy
22 - Tetangga Baru
23 - Es Dung-Dung yang Bikin Bingung
24 - Perhatian Prihatin
25 - Kaos Kutang Bikin Melayang
26 - Kepulangan Si Hana
27 - GUE CAPEK!
28 - BEKAS MASA LALU
29 - MASALAH SI HANA, MASALAH WARGA KOSAN JUGA
30 - Dibuat Lemas Akbar
31 - Rian Asti Emosi
32 - PASAR SIAL
33 - AKBAR BAIK TAPI KENAPA?
34 - AKBAR RIAN BIKIN PENASARAN
35 - OM DIYAT DAN PERDEBATAN YANG TIADA USAINYA
36 - AKU CEMBURU
38 - Aku Pacarnya Akbar
39 - DIBANGGAKAN
40 - DIA KABUR!
41 - Bu Kos & Ustaz Jamili
42 - Salah Semua
43 - Rian dan Perhatian
44 - Ide Liar dan Membahayakan
45 - Perjanjian Permainan
46 - Gibah
47 - Permainan Itu Ada Lagi

37 - TIAP MASALAH PUNYA JALAN KELUAR

1.2K 191 22
By PaiBian



S

EBELUMNYA, aku mau ngasih tahu kalau Kosan Ceria ada versi chat keseharian mereka. diupload di instagram @ haii.pai, di sana banyak keseruan warga kosan. mampir yaa!!

•••

37 – Tiap Masalah Punya Jalan Keluar

•••

Aku menjalani hari dengan gondok yang kupikul setiap kali mengingat cewek yang datang ke Kosan Ceria malam itu. Saat berkumpul aku selalu merasa cemburu meskipun Akbar hanya makan, aku kesal setiap kali mengingat senyuman Akbar pada cewek itu meski aku sedang melayani pembeli di Yang Kusayang. Cewek itu benar-benar membuatku tidak fokus menjalani hari.

Aku tahu kalau Akbar harus disuruh memilih antara aku dan si Asa atau siapalah namanya itu pasti pilihan paling masuk akal bagi manusia-manusia yang meninggikan kecocokan tampang akan jatuh pada cewek si paling mengembalikan charger itu. Dan hal itu membuat aku tidak suka karena membuat garis penghalang yang tidak bisa menyatukan aku dengan Akbar semakin kelihatan.

Sudah beberapa hari ini aku keki. Pada semua penghuni Kosan Ceria aku sedikit cemberut, pada si Rian yang kalau dia membuatku kesal aku tidak akan sungkan melempar wajahnya dengan kanebo basah berdebu bekas mengelap meja, pada bu Kos yang seharusnya aku ceria karena dia sudah mendingan dari sakitnya tapi aku malah tidak begitu antusias. Seharusnya aku tidak sekeki ini kalau saja waktu itu kutanya si Malik memberikan jawaban memuaskan.

"Cewek yang kemarin ke sini ... pacar lu ya?" tanyaku berusaha sok asyik agar tidak dicurigai meski kesal masih berakar di hati. Tetapi si Malik yang tengah bermain game malah semakin budeg hingga membuatku harus mengulang pertanyaan beberapa kali.

"Shit! Dikit lagi. Ganggu sih lu!" keluhnya.

Ingin kulayangkan tinju ke mukanya yang tengil itu menyalahkanku padahal dia saja yang tolol tidak jago main game. Baru juga kuangkat tangan dengan kepalan, si Malik langsung memberikan senyum perdamaian.

"Serem lu ih. Apa-apa mau nonjok, apa-apa mau nonjok. Bisa-bisa gue sama kayak si Akbar, sering keluar masuk rumah sakit."

Dasar hati lemah. Mendengar Akbar yang akhir-akhir ini sering ke tempat pengobatan itu membuatku tidak tega, tapi hati ini masih gondok kalau belum menemukan jawabannya. Pikiran semakin liar saja, bagaimana kalau si Asa-Asa itu juga sering membantu Akbar?

Aku tiba-tiba saja meraih kerah si Malik, geram. "Jawab gue, cewek yang kemarin itu pacar lu, kan?"

"Sti, lu mau ngapain? Mau buka baju gue?" racau si Malik sedikit menyipit ketakutan yang langsung kuberi tamparan ringan supaya mulutnya tidak berkata sembarangan. "Bukanlah. Si Asa itu temen gue, tapi sejujurnya gue pernah suka sama dia sih," lanjutnya seraya merapikan pakaian.

"Terus kenapa gak lu lanjut suka sama dia?" Supaya gue bisa tenang suka sama Akbarnya.

"Waktu itu dia sempet kayak deket sama kakak tingkat, makanya gue gak mau ganggu."

"Jadi sebenernya lu masih suka sama dia kan?"

"Kayaknya, tapi...." Si Malik langsung menoleh, memberikan ekspresi mencurigakan seolah aku akan melakukan hal yang tidak dia sukai. "Awas lu ya bilang-bilang dia kalau-kalau dia ke sini lagi."

"JANGAN!" tiba-tiba saja aku berteriak meski tadinya ingin kulakukan dalam hati.

Hampir saja si Malik mencurigaiku, sebenarnya dia mencurigaiku setelah itu, tapi dia mencurigaiku menyukainya. Ingin kuberikan tamparan di pipi sebelah kiri supaya kepalanya seimbang karena sepertinya tamparan pertama di pipi sebelah kanan tadi membaut otaknya bergeser. Namun, tidak kulakukan karena tidak mau dia mencurigai bahwa aku menyukai Akbar, sebab aku akan sangat salah tingkah kalau tuduhannya benar.

Setelah itu aku sedikit menyerempet menanyakan tentang bagaimana hubungan Akbar dengan si Asa si paling charger laptop. Mengejutkannya ternyata mereka baru bertemu dua kali, saat mengantarkan si Malik untuk membawa Akbar ke rumah sakit, dan pada malam itu.

Seharusnya si Malik bercerita sampai situ saja karena sedikit membuatku tenang berarti bisa dibilang mereka tidak ada hubungan apa-apa, tetapi cowok sialan itu malah melanjutkan kalimatnya yang membuatku darah tinggi.

"Tapi si Akbar sama Laksani walau baru pertama kali ketemu udah ngobrol yang menurut gue mereka nyambung. Sebelum gue nganterin si Akbar ke rumah sakit, gue pergi ke wc dulu buat ngompol, lu pikir aja gue dah minum banyak terus kena dinginnye ac kafe, pokoknya udah di ujung puncak kehidupan mau keluar masa kudu ditahan. Pas balik-balik mereka lagi ngobrol yang lebih tepatnya si Asa berusaha hibur supaya si Akbar gak pingsan."

Aku menjerit saat itu juga, tapi kali ini betulan dalam hati yang sialnya tidak dapat kutahan sampai harus berlari ke kamar mandi dan berteriak dalam ember berisikan air di sana.

"Sti, lu udah di ujung gerbang kehidupan juga kah? Maksud gue mau ngompol. Unik juga, ngompol bisa bikin menular."

***

Di samping aku yang berusaha meyakinkan diri bahwa Akbar saat ini tidak sedang menyukai siapa pun, Akbar juga berusaha mengajak si Wahyu untuk bicara yang semakin hari sikapnya semakin di luar nalar. Cowok itu tidak lagi ikut kumpul-kumpul dan lebih memilih berdiam diri, tidak ikut makan bersama, juga tidak mengobrol. Bahkan, menurut si Malik si Wahyu kini lebih sering berada di kosan dan tidak pergi ke kampus.

Beberapa kali aku melihat kesempatan Akbar mengajak cowok itu bicara, tapi diabaikan. Tidak tahu juga kenapa dia kekeh untuk bicara dengan si Wahyu, padahal cukup abaikan saja kalau tidak ada sambutan baik, tapi bagi Akbar seperti ada beban moral yang membuat penghuni Kosan Ceria harus akur dan memiliki tempat cerita. Akhirnya, setelah satu minggu aku melihat usaha Akbar tidak sia-sia. Si Wahyu mau diajak bicara.

Saat itu kami sedang berkumpul, membahas perihal kelanjutan hubungan mantan pacar si Hana dan mamanya. Cewek itu memilih akan hadir di pernikahan mereka dengan permintaan mengajak penghuni Kosan Ceria untuk ikut hadir, supaya kalau nanti ada apa-apa bisa meminta bantuan kami langsung. Ajakan itu kontan kami setujui, hanya satu orang yang tidak pasti, si Wahyu.

Tak lama pintu kamar si Wahyu seperti dilempar sesuatu. Kami yang ada di sana langsung mengecek, terlebih Akbar yang langsung menggerakkan tubuhnya dan membuka pintu itu yang ternyata tidak dikunci. Sebuah ponsel dengan layar retak berada di lantai, sedangkan pemiliknya menunduk di tempat tidur dengan menjambak rambut. Si Wahyu tampak kacau sekali.

"Lu kenapa sih, Nyet?" tanya si Malik sembari mengambil ponsel temannya itu. "Ada masalah? Ada masalah sama kita-kita atau gimana? Eh, kita semua udah coba ngajakin lu buat kumpul bareng, tapi apa yang lu lakuin? Lempar-lempar barang, banting pintu tanpa sebab. Apa masalah lu sih?"

Akbar langsung menyuruh si Malik berhenti mengoceh dengan gerakan tangannya. Aku dan si Hana masih berusaha mencari tahu sebab perilaku si Wahyu meski tidak juga menemukan karena apa itu. Kami berdua hanya berdiri di depan pintu, sedangkan dua cowok itu berusaha mengajak bicara secara lebih dekat lagi.

"Yu, gue selalu bilang. Kalau ada apa-apa cerita," kata Akbar.

Pada saat Akbar mengatakan hal itu keningku mendadak mengerut. Bagaimana pun juga tidak adil kalau kami menceritakan apa-apa yang menjadi masalah, sedangkan dia tidak menceritakan apa pun tentang masalahnya pada kami. Tetapi aku juga tidak bisa bohong kalau sudah bercerita sering kali ada jalan keluarnya, dan mungkin cara seperti itu yang harus ditempuh si Wahyu.

"Siapa tahu gue bisa bantu, siapa tahu si Malik, Asti, Hana, atau Bu Kos bisa jadi jalan keluar buat masalah lo."

"Lo pada pasti gak bisa bantuin gue," ucap si Wahyu sesak karena kurasa dia sedang menahan tangisnya.

"Ya lu ngomong dulu, Nyet! Apa masalahnya, belum juga lu cerita udah bilang kita-kita gak bisa bantuin. Kita semua ada di sini, peduli sama lu, artinya kita juga siap buat bantuin masalah lu. Sekarang kalau lu gak cerita, gimana bisa kita bantu?"

Aku setuju dengan perkataan si Malik meski cara bicaranya selalu menyebalkan, dia juga berani bicara begitu karena pasti merasa dekat dengan si Wahyu sebelumnya, berbeda dengan Akbar yang orang baru jadi kata-katanya lebih diperhatikan—mungkin juga Akbar bukan tipikal orang yang biasa dengan kalimat-kalimat menusuk begitu, huft, ternyata aku tidak cukup mengenalnya. Tetapi keduanya sama-sama memiliki sikap peduli yang patut diapresiasi, menurutku tidak semua cowok di muka bumi memiliki hal itu.

"Gue gak bisa bayar UKT kampus, udah nunggak," akhirnya si Wahyu bersuara sembari memperlihatkan wajahnya yang sembab, "karena duitnya gue pake judi slot."

"Tol—" Perkataan aku dan si Hana mendadak terhenti harus ditelan karena Akbar langsung menoleh. Melihat raut mukanya aku langsung tahu kalau tidak baik mengata-ngatainya begitu. Padahal apa yang dilakukan si Wahyu ini memang pantas dimaki-maki karena tolol, goblok, dan bodoh. Jadinya aku hanya memaki dalam hati dan saling menyiku dengan si Hana karena gemas.

"Lah bocah ada-ada aja," sahut si Malik geleng-geleng kepala. "Kok bisa? Kok gue baru tahu?"

Si Wahyu tidak bisa menyembunyikan wajah sedih dan canggungnya. Mungkin merasa bersalah karena beberapa waktu lalu sikapnya sudah keterlaluan tapi kami masih memedulikan. Tetapi seperti itulah teman kan? Berusaha tetap ada semampunya, tapi bukan berarti dapat diperlakukan sesuka hati.

"Waktu itu orangtua gue ngasih duit pas-pasan banget buat bayar UKT. Sedangkan duit gue juga udah tipis. Temen kelas gue rame ngomongin soal slot dan mereka dapet untung gede. Gue nyoba, beberapa kali pake duit UKT ternyata menang dua kali lipat, tapi gue jadi pengin lebih lagi sampe akhirnya duit gue abis karena gak pernah menang lagi. gue juga minjem ke beberapa temen, belum bisa bayar makanya akhir-akhir ini enggak ke kampus." Si Wahyu menelan ludahnya. "Di saat gue lagi stres-stresnya, gue lihat lo pada malah ketawa-ketawa, enggak ada beban bersalah kayak gue. Gue kesel karena kayaknya cuma gue yang punya masalah gede kayak gini di sini. Gue takut orangtua gue tahu, gue takut kuliah gue kacau. Karena itu semua gue gak mau deket sama kalian, sakit hati rasanya tahu kehidupan kalian baik-baik aja kayak biasa, sedangkan gue hidup aja rasanya gak tenang."

"Apa yang lo lakuin itu murni kesalan lo, tapi kenapa kita-kita yang jadi harus nanggung sikap egois lo sih, Yu?" ujar si Hana dengan tatapan nyalang tak berkedip, perlahan dia masuk dengan tangan bersilang. "Lo bilang sakit hati karena lo ngerasa kehidupan kita-kita baik-baik aja? Lo tahu enggak kalau gue harus ngehadepin kenyataan nyokap mau kawin sama mantan gue sedniri?! Lo tahu enggak kalau Akbar dalam seminggu dua kali ke dokter karena insiden-insiden yang lo tadi anggap kehidupannya baik-baik aja! Lo kayaknya bahkan gak tahu kalau si Asti juga kacau, bokapnya sakit dan sempet dirawat di rumah sakit, tapi dia baru tahu itu setelah bokapnya udah enggak di rumah sakit!"

Si Hana benar, semua yang dikatakan olehnya adalah fakta. Aku menceritakan semua yang kutahu pada dia termasuk soal Akbar dan bapak yang sedang sakit, juga kata-kata ibu tiri di pasar waktu itu. Aku mendadak ingin memaki juga, tapi semua sudah terwakilkan, Akbar dan si Malik juga tidak dapat menghentikan si Hana yang sedang berapi-api. Kalau semua memasang api di ruang sempit ini, mungkin ledakan besar akan terjadi. Jadi ... tidak kulakukan.

"Lo mikir dong! Jangan kira kita-kita ini hidupnya baik-baik aja. Egois banget lo ngerasa sakit hati sendirian. Lo pikir kita yang merhatiin lo akhir-akhir ini kayak orang gila gak sakit hati saat niat baik kita lo cuekin? GUE! Lo pikir gue gak sakit hati waktu lo maksa pinjem duit ke gue di saat gue baru nerima undangan dari nyokap gue sendiri?" Si Hana sampai kesulitan menelan ludahnya, kulihat matanya mulai berair. "Kita juga sakit hati, Yu. Kita juga punya masalah. Cuma kita enggak egois, enggak bertingkah seolah-olah penghuni lain yang salah."

Setelah berdecak, si Hana mengatur napasnya seraya mengusap pipi dan pergi keluar kamar untuk duduk di sofa tempat kami biasa berkumpul dengan sedikit menangis. Dia emosional, tapi melihat kejadian akhir-akhir ini yang menimpanya membuat sikap ini wajar saja. Mungkin dengan meluapkan emosinya seperti sekarang bisa membuatnya merasa lebih baik.

"Gue tolol banget, Bar," lirih si Wahyu dengan memukul-mukul kepalanya.

"Udah, Yu." Akbar berusaha menghentikan sikap cowok itu. "Udah cukup lo nyalahin orang lain, gak usah ditambah nyalahin diri sendiri. Kalau lo tahu lo salah, lo harus mau berubah. Tinggalin slot apalah namanya itu."

"Ngomong sih enak, Bar. Gue juga mau, tapi gue gak tahu harus gimana. Gue gak tahu gimana bayar temen-temen gue, bayar UKT yang bentar lagi. Temen gue bahkan udah ada yang ngancem-ngencem mau naikin thread di Twitter kalau gue belum bayar dia dalam dua hari. Mati ajalah gue."

Ingin rasanya kupukul kepala si Wahyu saat ini juga. Dia salah, tapi dia lebih salah lagi merasa putus asa dengan tingkah seolah menjadi keharusan untuk kami membantunya. Tidak ada kata tolong atau sikap meminta kasihan, apa orang terlilit hutang memang selalu tidak tahu diri ya?

"Kalau gitu mati aja." Perkataan si Wahyu sudah membuat kaget, tapi sahutan Akbar semakin membuat kaget lagi. "Tapi lo harus tahu hal itu gak bakal bikin semuanya jadi beres. Lo mungkin gak bakal dapet spam chat dari orang-orang yang lo pinjem duitnya, tapi orang tua lo bisa jadi sasaran berikutnya. Dan ... thread yang lo bilang tadi bisa mencuat ke internet. Bukan cuma nama lo, nama kosan ini, nama orang tua lo dan kampus lo juga akan ikut jadi buruk."

Aku menelan ludah. Kurasa kami semua di sini menelan ludah sama sulitnya. Aku tidak menyangka Akbar akan mengatakan kalimat realistis dengan cara yang cukup menusuk seperti itu. Bahkan si Malik juga menganga sembari melirikku seolah kami mempertanyakan hal yang sama "Kok bisa?".

"Gue malu, Bar. Gue tolol gak bisa mikirin jalan keluarnya." Si Wahyu kembali menunduk, kini tangisnya mulai terdengar isakannya. "Gue minta maaf buat sikap gue beberapa saat ini. Gue beneran gak tahu harus apa."

Akbar beranjak dari ranjang. "Gue bakal bantu lo. Seenggaknya lunasin hutang temen lo yang nagih dalam dua hari ini."

Si Wahyu langsung mengangkat wajahnya begitu juga aku dan si Malik. "Se-serius, Bar?"

Akbar mengangguk. "Gue mau lo percaya kalau setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, jadi enggak usah bikin penghuni lain ngerasa bersalah atas apa yang enggak mereka perbuat. Juga ... minta maaf secara layak ke si Hana. Dia kecewa karena kalian udah lama sama-sama di sini, dan sikap lo, Yu, malah mengecewakan."

Aku menutup mulut saat itu juga, terkesima atas apa yang baru saja kulihat dan kudengar. Akbar mungkin belum lama di sini, tapi sikapnya sangat berdampak besar. Walau si Hana yang mendapat pembelaan, tapi aku merasa meleleh mendengar seseorang sepengertian itu dan semembela itu atas hak orang lain.

•••

Lanjut >>>

•••

Continue Reading

You'll Also Like

69.9K 4.2K 24
Dilamar karena saling mencintai ❌ Dilamar karena mendoakan waktu bersin ✅ Seorang gadis bernama Najla Faqihatun Nissa yang baru memulai hijrahnya aki...
324K 16.3K 17
menyukai kembaran sendiri wajar bukan? bxb area awas salpak
804 292 20
Dengan hidup menumpang di sebuah keluarga elit, Morae tumbuh dengan penuh kasih sayang di keluarga itu. Hanya satu orang yang membenci Morae, yaitu M...
8.5K 1.1K 20
Tentang Lita dengan masalah kulit jerawatnya yang bikin insecure. Ternyata, dari dikucilkan, dia menjadi sosok penutup. Jerawat yang membandel membua...