Ambrosia

By genitest

9.4K 1K 23

Definition of ambrosia 1a : the food of the Greek and Roman gods b : the ointment or perfume of the gods 2 :... More

1. Fresh Start
2. Suami Istri
3. Ulang Tahun
4. Tonkotsu Ramen
5. Pena Bekas
6. Pangeran Kecil

7. Mooncake Festival

1.6K 145 5
By genitest

Clubhouse sudah sangat ramai ketika Saka tiba di sana. Penghuni Akasia—yang sebagian besar tidak Saka kenal—berkumpul di pinggir kolam renang, bercengkrama sambil memanggang daging dan makan kue perayaan Mooncake Festival.

Saka bahkan tidak tahu di dunia ini ada festival untuk menghormati bulan purnama sambil makan kue.

"Sama, cyiiiin~" bisik Simon di dekatnya. "Anak muda kayak kita cuma taunya festival musik Coachella nggak sih? Tapi ikut nimbrung aja, makanannya enak 'bo. Gratis, lagi."

Saka melihat Tante Tika dan Om Hendro melambai dari kejauhan. Senang rasanya melihat wajah-wajah ramah itu.

"Om sudah ambilin ini buat kamu. Daging protein terbaik buat atlet," Om Hendro menyerahkan sepiring penuh daging ayam dan sapi panggang kepada Saka. "Kalau masih kurang, ambil lagi."

Simon ikut mencomot daging dari piring Saka. "Nggak nyangka loh, cyin, lo dateng juga. Walau basket—basah ketek—abis maen bola. Bau lo tetep seksi."

Saka memang belum sempat pulang mandi dan hanya melapisi jersey basketnya dengan jaket. Tapi tenang, ia sama sekali tidak bau busuk.

Andri, putra Pak Jaya yang juga hadir di sana, terlihat melambai padanya dari kejauhan. "Bang Antagonis! Dateng juga, Bang?!"

Saka tersenyum kesal seraya membalas lambaiannya.

"Ngomong-ngomong, udah tau 'kan malam ini bakal ada pemadaman lampu?" Simon mencubit lengan Saka. "Kalau lo takut gelap, lari aja ke rumah gue, gue siap menemani di balik selimut."

Ada sepasang suami istri yang tiba-tiba mendatangi tempat mereka dan Tante Tika segera menyapa ramah. Tentu saja Saka tidak kenal mereka.

Tapi selayaknya orang tua yang sedang memandu anaknya untuk bersosialisasi, Tante Tika segera menggandeng lengan Saka untuk memperkenalkannya pada mereka.

"Kenalkan, ini tetangga saya Saka Barata, tinggal di 14A. Saka, ini Om Joe dan istrinya Tante Ayu. Ayu ya, orangnya secantik namanya."

Saka tersenyum kaku dan menjabat tangan mereka. Om Joe Thamrin mengatakan ia senang berkenalan dengan Saka, dan bahwa ia memiliki jaringan minimarket JoMart yang notabene saingan berat waralaba minimarket milik Om Hendro. Om Joe bicara banyak dan cukup menyenangkan, sebelum suasana menjadi sedikit tidak menyenangkan lagi bagi Saka karena Om Joe bilang ia penggemar berat Raja Barata.

"Semoga Bapak Raja nyapres ya tahun depan."

Istrinya ikut berbinar. "Iya, kita fans berat Pak Raja. Kamu juga pasti bangga ya, jadi anaknya Pak Raja?"

Saka mengumbar senyum tipis sambil mengunyah daging panggangnya yang alot.

Selepas kepergian pasangan suami istri itu, Tante Tika kembali melambai pada pasangan suami istri lain. Dan kembali menggandeng lengan Saka untuk memperkenalkannya.

"Ini Om Moses dan Tante Dani—"

Kemudian pasangan suami istri lainnya, bapak-bapak lainnya, tante-tante, om, kakek, nenek. Saka tidak lagi menghitung. Ia tidak ingin memprotes niat baik Tante Tika, apalagi cara Tante membanggakannya seakan-akan Saka anaknya sendiri, tapi terus terang saja, Saka sedikit kewalahan.

"Sudah," Om Hendro mencegah Tante Tika saat sang istri sudah kembali hendak memanggil penghuni entah blok berapa. "Biarkan Saka makan dulu."

Tante Tika tertawa sembari menepuk lengan Saka. "Habisnya kapan lagi dia menampakkan batang hidungnya, Pak?"

"Ibu bagaimana kabarnya, Saka?" tanya Om Hendro.

Saka tidak tahu harus menjawab apa, ia hanya mengatakan ia baru saja habis menjenguk Ibu dan Pesta Perpisahan itu akan digelar minggu depan.

"Kami pasti datang."
"Yoi, cyin, bakal gue kosongin semua jadwal gue demi Bu Inge."
"Kabarin kami kalau-kalau kalian butuh sesuatu buat acara nanti."

Simon, yang sudah mencomot setengah piring Saka, tiba-tiba seperti teringat sesuatu dan mulai mendesis. "Bestie-bestie, gue baru inget gue punya teh untuk di-spill."

Gerak-gerik Om Hendro seperti sedang mencari-cari di mana gelas teh yang dimaksud Simon.

Simon menjentikkan jari menyuruh semua orang mendekat, kemudian berbisik. "Ini tentang sosok kesayangan kita semua." Jarinya mencolek dada Saka. "Bukan elo, say."

"Samara?" bisik Tante Tika.

"Yoi, siapa lagi?" Simon mendelik memeriksa ke segala arah dengan gaya dramatis, lalu kembali membungkuk dan berbisik. "Hari ini Odi si Cowok Pramuka kesayangan gue itu berangkat keluar kota, kan? Nah, pagi-pagi sebelum berangkat, gue—melalui tembok Akasia Residence yang tipis bagai lingerie sutra Victoria Secret yang gue dapet dari mantan gue—mendengar suara ribut-ribut dari rumah mereka. Yup. Pasangan suami istri idaman kita lagi tengkar mulut. Cekcok. Ribut."

Tante Tika terkesiap seakan tidak siap menerima kenyataan bahwa pasangan kesayangannya bertengkar.

Om Hendro menggeleng. "Mungkin itu bukan suara pertengkaran, Simon."

Senyum Tante Tika mulai terbit lagi. Kali ini beserta kikikan malu. "Om Hendro benar. Odi kan mau pergi jauh, bisa jadi suara ribut-ribut yang kamu dengar itu ... suara mereka lagi ... aduhhh~ saya jadi maluuuu~ ini mengingatkan saya dan Om Hendro waktu masih muda dulu."

Simon mendecak gemas. "Please ya, Tante. Gue bisa bedain suara berantem sama suara wleowleo! Kecuali servis Samara segitu jagonya sampe bikin Odi teriak-teriak dan keluar rumah banting pintu, itu suara pertengkaran, Taaaaan~"

Tante Tika dan Om Hendro saling bertatapan lesu.

"Kita kudu otoke, Tante?" Simon ikutan lesu. "Nggak siap eike liat Pasangan Abad ini berantem!"

"Ya, mereka juga manusia biasa," Om Hendro berdeham bijak. "Ada kalanya pasangan suami istri itu ribut. Wajar. Nggak ada yang harus dibesar-besarkan."

"Kasian Samara, Odi malah pergi jauh setelah mereka bertengkar," Tante Tika memelas. "Biasanya, habis berantem itu 'kan jadi nyesel, emosi nggak stabil, terus kangen ... tapi orangnya jauh."

Simon baru saja hendak mengatakan sesuatu tapi senyum cerah nan palsu tahu-tahu terbit di wajah full make up-nya. Ia melambai ke kejauhan. "Samara beibiiiiii~"

Semua orang menegakkan punggung dengan canggung.

"Jangan tanya-tanya ke Samara," bisik Om Hendro. "Biarkan saja. Tidak sopan mengusik urusan rumah tangga orang lain."

Samara mendatangi tempat mereka dengan senyum kalem tidak tahu apa-apa. Malam ini penampilannya sederhana hanya dengan t-shirt putih dan celana pendek denim. Rambutnya tergerai bebas seperti biasa, dan entah mengapa Saka seperti melihat senyumannya sedikit terlipat saat tatapan mereka saling beradu. Samara seperti menahan tawa.

"Baru datang, Dek?" Om Hendro berbalik ke meja belakangnya untuk mengambil sesuatu. "Om sudah sisain daging BBQ buat kamu."

Senyuman Samara berubah memelas seperti hendak menolak, tapi kemudian urung, mungkin tidak enak hati pada Om Hendro. Diambilnya juga piring itu.

"Ada kue bulan di sana. Mau Om ambilkan juga?"

Samara buru-buru menggeleng dan mengucapkan terima kasih.

"Kenapa? Diet ya?" Tante Tika mendecak. "Hadeeeh, anak muda nggak usah diet-diet! Makan yang banyak biar montok berisi kayak Tante waktu muda dulu. Nikmati masa muda kamu, nanti kalau udah tua dan banyak pikiran kayak Tante, beuuhh~ langsung keriput kayak ... kayak apa ya, Pak?" Tante Tika menoleh pada Om Hendro.

Simon yang menjawab. "Kayak peler."

"JOROK KAMU, MON!"

Simon mengikik riang saat Tante Tika memukul dan mencubitnya.

Suasana canggung berubah normal kembali, dan hanya Saka yang masih mematung diam, menjadi satu-satunya orang yang masih memikirkan ucapan Simon tadi.

Seorang ibu-ibu berpakaian serba ungu tahu-tahu mendatangi tempat mereka sambil tertawa riang. Tubuhnya montok dan mungil, bibirnya tebal bergincu pink menyala, dan gerak-geriknya serta langkah kakinya sangat gesit. Satu tangannya membawa gelas berisi cairan merah seperti sirup.

Dari sorot mata Tante Tika yang tiba-tiba berubah penuh kebencian, Saka bisa menebak mungkin ibu itu adalah si Erni Similikiti—sosok yang disebut Tante Tika suka sekali membiarkan kotoran anjingnya tersebar di mana-mana setiap sesi jalan pagi.

"Duh aduuuuhh~ tumben banget ada Saka Barata di sini!" Ibu Ungu mengulurkan tangan. "Kenalan dong, saya Erni."

Saka menjabat tangan itu dengan senyum kaku. Mulutnya masih penuh daging dan pikirannya masih kacau.

"Ya ampuuuuun, Saka Barata ganteng banget. Mirip Pak Raja! Eh, Pak Raja 'kan waktu mudanya juga guantteeengg~ idaman banget kayak model majalah remaja! Kalau Pak Raja kenal Tante waktu muda dulu, uhhh~ pasti naksir."

Tante Tika mendengus kesal.

"Sering-sering kumpul sama kita dong, Ka, tante-tante Akasia juga butuh penyegaran mata kayak kamu. Bosen 'kan, tiap hari liatnya yang sama-sama udah peyot," Tante Erni Similikiti menunjuk Tante Tika dan Om Hendro terang-terangan. Lalu Simon. "Mana ada kaum pelangi segala ...."

Dan berhenti pada Samara.

Tante Erni mengerjap sesaat. "Eh, Samara Lee ya? Yang baru pindah itu?"

Samara mengangguk.

"Ya ampun, kenalan dong, saya Erni. Eh, suaminya mana?"

Samara menjawab dengan nada sopan bahwa Odi sedang pergi.

Dengan penuh penasaran, Tante Erni menanyakan ke mana.

Samara menjawab keluar kota.

"Kok nggak ikut? Maksud Tante, kok kamunya nggak ikut suami? Biar Tante kasih tau ya, suami istri itu sebisa mungkin jangan jauh-jauh. Nggak bagus. Pamali!"

Samara, yang masih saja tersenyum, mengatakan bahwa suaminya sedang memiliki acara keluarga di sana.

Tentu saja Tante Erni semakin terbelalak. "Lebih-lebih! Ada acara keluarga di sana kenapa kamu malah di sini? Malah makin jadi bahan omongan mertua dong? Jadi istri ituuuuuuu~ harus ikut ke mana pun suami pergi, jadi istri yang baik, nurut, biar suami seneng dan cepet punya anak. Punya wajah cantik tapi kalau nggak bisa kasih keturunan juga buat apa? Percuma. Kasian suami kamu."

Tiba-tiba saja Tante Tika terhuyung menubruk Tante Erni dan membuat gelas sirup di tangannya tumpah ruah menyiram gaun ungunya yang mewah. Tante Erni menjerit dan melengking histeris.

"Haduh, maaf," Tante Tika menoleh ke belakangnya yang jelas-jelas tidak ada siapa pun, lalu mengusap-ngusap lengannya dengan mimik merinding. "Kayak ... tiba-tiba ada yang dorong gitu. Jangan-jangan ini arwah Nona Belanda itu."

Simon menahan muncratan tawanya.

"NONA BELANDA GUNDULMU!" maki Tante Erni. "Sengaja 'kan kamu?! Memang dari dulu kamu tuh iri sama aku!"

"IRI PALA LO PEANG, DASAR TUKANG BUANG TOKAI!"

"HEH! MASIH MENDING GUE BUANG TOKAI, DARIPADA ELO DIBUANG ANAK KANDUNG SENDIRI!"

"NGOMONG APA KAMU, HAH!"

Kedua wanita paruh baya itu saling menyerang, menjambak dan memukul seperti kucing ribut. Saka spontan membuang piringnya untuk meleraikan mereka, sementara Simon justru meloncat-loncat bertepuk tangan girang menyemangati Tante Tika.

"Gebukin, Tan! Gebukin! Awwww~ jambak, Taaaaan~ jambaaakkk! Colok tetoy palsunya, Taaaann~"

Saka terdorong, tercakar, lalu terhimpit kumpulan orang-orang yang mulai ikut berdatangan meleraikan mereka. Suasana kian riuh dan jeritan demi jeritan terdengar beradu dengan suara piring pecah.

Butuh tiga orang untuk menarik Tante Erni—yang rambut palsunya sudah copot entah ke mana—lalu menariknya meninggalkan tempat itu. Malam BBQ merangkap festival Mooncake itu berubah heboh dan piring-piring pecah berserakan. Jeritan Tante Erni melengking seperti hantu perempuan.

Barulah setelah sosok norak itu meninggalkan Clubhouse, keadaan berangsur tenang.

Saka menoleh sekeliling dan menyadari mereka telah berpencar. Om Hendro menenangkan Tante Tika di kejauhan sana, Simon entah ke mana, begitu pun Samara. Sekelilingnya penuh dengan manusia-manusia hilir mudik panik. Tangisan anak-anak dan gemuruh teriakan ada di mana-mana.

Saka merasakan tepukan ringan di bahunya. Ia menoleh cepat dan terkejut.

Perempuan itu ikut terkejut. "OMG Saka? Ini betulan elo? Setelah puluhan masehi elo nggak pernah dateng ke acara kumpul-kumpul apa pun di Akasia?"

Saka mengenal perempuan itu sebagai penghuni blok F—mungkin mantan penghuni, karena kabarnya ia telah pindah ke apartemen untuk kumpul kebo bareng pacarnya yang pengedar narkoba. Namanya Cecilia Darwin. Teman sekolah Saka dulu.

Cecilia Darwin berkacak pinggang masih terbelalak. "Seriusan ini elo? Ngapain elo ke sini?"

"Elo sendiri?"

Perempuan cantik yang dulu menjadi kapten cheers di sekolahnya itu menunjuk ke seberang kolam renang. "Nemenin emak tiri gue. Biasa. Jiwa miskinnya terpanggil kalau denger kata Makanan Gratis."

Saka menyipitkan mata memandangi seorang perempuan muda di seberang sana yang sedang—dengan gerakan diam-diam—memasukkan beberapa kotak mooncake ke dalam tas. Sesekali perempuan itu melirik kanan kiri, memastikan tidak ada yang melihat, lalu menciduk botol wine utuh ke dalam tas juga.

"Elo punya emak tiri?" tanya Saka bingung.

"Astaga, Saka Barata, elo abis bertapa di goa mana, huh? Seluruh nusantara juga tau bapak gue—Hugo Darwin—hamilin caddy girl-nya yang seumuran sama gue!"

Seseorang berteriak lagi di kejauhan, diiringi suara piring pecah, meja ambruk, dan tangisan bayi.

Cecilia tampak tidak ambil pusing. "Ngomong-ngomong, yang tadi bareng lo itu Samara Lee? The Samara Lee?"

"Elo tau dia?"

"Are you kidding me? The living goddess-nya sekolah Darma International dan kampus NUS? Gue iri mampus sama idung mancungnya. Dan lipetan matanya, please, gue aja harus oplas lipetan mata karena keturunan mata bapak gue yang jelek."

Saka terdiam. Mulai dari Petra hingga Cecilia Darwin, tampaknya semua orang tahu Samara Lee kecuali dirinya.

"Denger-denger dia baru pindah sini?" lanjut Cecilia. "Depan rumah lo, kan? Emak tiri gue yang cerita. Bener, dia udah nikah?"

Saka mengangguk. Diam-diam matanya menerawang ke sekeliling untuk mencari sosok Samara. Tapi sejauh mata memandang hanya kekacauan yang terlihat.

"Good to hear that." Cecilia menggedik bahu.

Saka kembali memandanginya. "Maksudnya?"

"You know, setelah semua yang terjadi, good to hear Samara Lee udah nikah dan hidup baik-baik."

Apa yang dimaksud dengan 'setelah semua yang terjadi'? "Apa ini tentang kematian ayah Samara?"

"Masa lo nggak tau? Soal pamannya itu loh."

"Paman? Paman siapa?"

"That asshole motherfucker, hellow?"

"Siapa?"

Barulah bola mata Cecilia membulat, seakan perempuan itu baru sadar bahwa Saka jelas bukan manusia sefrekuensi dengan dirinya yang tahu rahasia-rahasia insider para sosialita. Saka hanyalah manusia goa yang bahkan tidak pernah mendengar kabar tentang dirinya yang notabene supermodel terkenal. Saka adalah si Ansos Sombong—masih tidak berubah sejak masa sekolah dulu—yang tidak seharusnya mendengar semua ini.

Dan seakan menyesali kebodohan mulutnya yang bocor, Cecilia tertawa sumbang. "OMG, nggak seharusnya gue numpahin teh sampe kembung gini. Gue cabut dulu ya, sebelum emak tiri gue nyolong speaker sekaligus panggung kondangannya—"

Saka langsung menahan lengan Cecilia dan menatapnya tegas. "Siapa yang lo maksud dengan That Asshole Motherfucker? Paman apa, paman siapa?"

"Aw!" Cecilia menepis cengkeraman Saka dengan kesal. "Sakit, tau!"

"Sori, tolong cerita—"

"Nggak ada yang perlu gue ceritain, oke? Itu cuma gosip nggak penting yang belum tentu bener juga," Cecilia menyipit mata bingung. "Lagian, kenapa lo harus peduli sih?"

Saka terbungkam telak.

Ibu tiri Cecilia—dengan tas mengembung—mendatangi tempat mereka dan mengajak Cecilia pulang sambil terkekeh-kekeh. Cecilia memandangi Saka untuk terakhir kalinya sebelum berpamitan, dan Saka tidak punya pilihan selain membiarkannya pergi.

Om Hendro datang tak lama berselang. Sang tetangga meminta tolong padanya untuk mengangkut kursi-kursi rotan yang hancur berserakan ini menuju gudang. Saka memandangnya bingung, ia bahkan tidak tahu di mana letak gudang.

"Di bawah," jelas Om Hendro.

Saka hendak kembali bertanya tapi memilih diam, terlebih setelah ia melihat kekacauan di sekelilingnya di mana Om Hendro yang biasanya kalem sekarang tampak sangat kalut, dan Tante Tika terduduk di atas hamparan rumput dengan rambut serta pakaian compang-camping.

Setidaknya ia harus membantu sesuatu.

Saka memungut satu per satu pecahan kursi rotan di sekitarnya, lalu memasukkannya ke dalam kardus kosong, sekaligus memungut pecahan piring dan remah-remah kue juga, dan mengangkut semuanya ke dalam kardus sebelum membawanya ke 'bawah'.

Bawah yang dimaksud Om Hendro pasti di area parkiran basement, kan? Saka meninggalkan Clubhouse dan menuruni tangga sambil memeluk kardus bawaannya.

Area parkir basement sepi, tidak banyak mobil diparkir di sana karena penghuni Akasia lebih suka berjalan kaki ke Clubhouse. Saka terus berjalan mencari ruangan yang bisa disebut Gudang, tapi semakin ia menelusuri, semakin ia tidak menemukan ruang sempit dengan label Gudang itu.

Sebaliknya, ia justru menemukan Samara.

Sang tetangga tengah memeluk kardus yang sama seperti dirinya, berdiri melamun di depan ruang sempit dengan pintu berlabel Ruang Genset yang terbuka.

Saat menyadari kedatangan Saka, Samara tersenyum miris. "Saya nggak tau di mana gudang."

Jangankan Samara Lee yang baru pindah beberapa hari, Saka yang sudah tinggal bertahun-tahun saja tidak tahu.

Diliriknya kardus Samara yang berisi pecahan piring. "Daripada disimpan, mendingan dibuang kan?"

Saka meletakkan kardus isi rotannya ke samping tong sampah besar di depan ruang genset, lalu mengambil kardus di pelukan Samara dan meletakkannya ke tempat yang sama.

"Tangan Pak Saka berdarah."

Saka melirik lengan kirinya. Ia bahkan tidak sadar ada luka memanjang di sana, sepertinya terkena pecahan gelas Tante Erni. "Oh." Toh, darahnya tidak banyak. Ada sesuatu yang jauh lebih penting.

Saka berbalik menghadap Samara seraya memasukkan satu telapak tangannya ke dalam saku jaket. Lalu mengeluarkan pena yang ditebusnya dengan harga seratus ribu di apotik.

Samara memandangi pen itu, lalu wajah Saka, dan tawa kecil di bibirnya meluncur tidak tertahankan lagi.

Saka segera menyadari kebodohannya. Memangnya buat apa perempuan itu membawa-bawa surat pemasangan CCTV ke kolam renang lalu sekarang ke festival Mooncake?

Tapi Samara tersenyum merogoh kantung belakang celana pendeknya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah kertas yang terlipat rapi. Ia membuka lipatan itu dan menyerahkannya pada Saka.

Saka menunduk menahan senyum dan mulai membubuhi tanda tangannya ke atas kertas. Sebuah aksi basa-basi yang mereka sama-sama tahu tidak lagi dibutuhkan, karena toh, CCTV sudah terpasang.

Saka mengembalikan surat itu dan menyimpan kembali pena-nya. Ia memandangi Samara yang sedang melipat kertasnya dalam diam. Suara keributan di Clubhouse sana masih terdengar sangat jelas, sekencang suara-suara yang bergemuruh di benaknya saat ini.

"Kata Simon, elo bertengkar sama Odi tadi pagi."

Samara mendongak kaget. Lalu menyimpan kembali suratnya ke saku belakang celana sambil memulas senyum. Jawabannya mengalir ... dengan begitu tenang.

"Odi cemburu. Karena blazer kemarin."

"Karena gue balikin blazer elo?"

Samara mengangguk.

"Apa dia tau kalau Tante Tika, Om Hendro dan Simon juga ikut mobil gue?"

Samara kembali mengangguk. "Sudah saya jelaskan."

"Dan dia masih cemburu? Elo mau gue bantu jelasin ke Odi?"

"Nggak perlu. Sudah beres."

Kemudian Saka melihat Samara kembali mengumbar senyum tenangnya. Saka bertanya-tanya dalam hati, apakah senyuman tenang nan kalem itu memang sungguhan atau hanya kamuflase belaka? Apakah pertengkaran yang didengar Simon tadi pagi sungguhan hanya perkara kecemburuan biasa, atau lebih dari itu? Lalu siapa dan apa yang dimaksud Cecilia Darwin tadi, hingga perempuan itu mengatakan bagus jika Samara Lee sudah menikah dan hidup baik-baik?

Saka mendecak kesal. "Sebenarnya—"

"Tapi mungkin ada baiknya," Samara memotong dan terdiam sesaat. "Kita nggak terlihat bersama dulu. Untuk mencegah ada penghuni-penghuni lain yang melapor pada Odi."

Kemudian lampu di sekitar mereka padam total. Ruang basement menjadi gelap total.

Kebisingan di Clubhouse dengan cepat berganti menjadi gemuruh lenguhan protes para penghuni Akasia akibat pemadaman lampu bergilir ini.

Tapi sedikit pun Saka tidak peduli. "Jadi gue nggak boleh terlihat berduaan sama lo? Biar Odi nggak cemburu?"

"Pak Saka—"

"Ya pake hape bantu nyalain senter dong!"
"Lah hape aku aja ketinggalan di atas!"
"Gimana sih!"

Saka menoleh pada suara percakapan yang tiba-tiba bergaung di tengah kegelapan lantai basement. Ia ingin bergerak untuk menarik Samara meninggalkan tempat ini, tapi perempuan itu mendahuluinya.

Samara menarik lengannya lebih dulu, menuju ruang genset di sebelah mereka dan menutup pintu.

***

Part berikutnya sudah bisa dibaca di Karya Karsa, nama aku di sana tetap Genitest

Continue Reading

You'll Also Like

6.5K 352 3
[cerita ini tayang eksklusif di Cabaca] Bagi Widha, Athena adalah rumah yang sudah lama ingin dia kunjungi. Bagi Nathan, Athena adalah penjara yang s...
45.1K 8.1K 6
Semoga romcom semoga romcom semoga romcom....
1.9M 91K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.8M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...