Journal: The Lessons

By kenzaputrilia

4.4K 1K 1.4K

[BOOK #3 OF THE JOURNAL SERIES] London dan Zevania adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seolah ada bena... More

Journal
01 | Rendezvous
02 | Kensington
03 | Notting Hill
04 | Millennium Bridge
05 | Tate Modern
06 | Bankside
07 | City of London
08 | City Hall
09 | River Thames
10 | Greenwich
11 | Brixton
12 | Islington
13 | Islington Pt. II
14 | Highbury
15 | Camden Market
16 | Highgate
17 | Primrose Hill
18 | Lambeth Bridge
19 | Covent Garden
20 | Eye To Eye Gallery
21 | West End
22 | West End Pt. II
23 | Soho
24 | Andrew's Journal, Pt. I
24 | Andrew's Journal, Pt. II
24 | Andrew's Journal, Pt. III
25 | Euston Station
26 | London - Manchester
28 | The Stanleys

27 | Manchester

121 34 8
By kenzaputrilia

Kurasa aku benar-benar kehilangan akal semenjak membaca jurnalnya Andrew. Rasanya aku bukan Zevania Sylvianna enam hari yang lalu, yang datang ke London sebagai pelarian dari kisah cintaku yang tragis. Sebelumnya aku selalu tertutup, tidak mudah membuka diri kepada orang lain, bahkan ke orang terdekatku sekali pun. Namun, dengan Andrew, segalanya lebih mudah. Sejak sepuluh tahun yang lalu, rasanya selalu menyenangkan menceritakan tentang diriku kepadanya. Dan sekarang, setelah saling bertukar jurnal (meski tanpa sepengetahuanku) dan melakukan sesi tanya-jawab yang dibuatnya, aku benar-benar mengatakan apa yang kupikirkan. Tanpa saringan dan Andrew mendengarkan. Dia tidak pernah menghakimi apa pun yang kukatakan, dia pendengar yang baik, dan tampaknya dia memahamiku—setidaknya dia berusaha untuk paham dengan cara kerja otakku. Buktinya dia yang mengajukan permainan tanya-jawab ini.

Aku tidak segan menunjukkan ketidaktahuanku; seperti ketika dia menyebutkan satu kata asing dalam bahasa Inggris yang tidak pernah kudengar sebelumnya dan dia memberitahu tanpa membuatku merasa bodoh. Mungkin dia tidak sadar, tetap itu sangat berarti bagiku. Saling bertukar pikiran dengan Andrew membuatku nyaman, dia selalu membuatku terlibat dan didengar. Dulu Andrew dan aku sering berasumsi sendiri, yang ternyata justru menjauhkan kami berdua. Sekarang kami telah belajar dari pengalaman dan masa lalu. Dia selalu ingin tahu pendapatku, dia ingin tahu apa yang ada di dalam kepalaku.

Termasuk alasan aku mengatakan bahwa lagu London Boy dari Taylor Swift mengingatkanku padanya.

"Why London Boy by Taylor Swift? I understand it's about a girl who falls in love with a London boy and travels around London but these places? These are not romantic at all." Andrew langsung menyerangku dengan pertanyaan ini ketika aku membuka mata. Tidak sadar bahwa aku telah jatuh tertidur di bahu Andrew. (abaikan kacamataku yang sudah terlepas)

"Tunggu ... biarkan aku mengumpulkan jiwaku terlebih dahulu." Aku memijit pelan leherku yang terasa sakit. "Berapa lama aku tertidur?"

"Satu jam."

Satu jam bersandar di bahu Andrew? Aku sudah gila.

"Berapa lama lagi kita akan sampai?"

"Tiga puluh menit."

Rasanya aneh mendengar Andrew menjawab dengan singkat. Biasanya dia akan menambahkan sesuatu dalam jawabannya.

"Apakah jiwamu sudah terkumpul?"

Tuh kan. Dia masih menuntut jawaban dariku.

"Oke, buka Google Maps," kataku.

"Untuk? Aku sudah hapal di luar kepala lokasi tempat-tempat di London."

Astaga. Andrew kalau sudah begini sedikit menyebalkan tapi lucu. Dia terdengar tersinggung karena merasa aku menuduhnya tidak tahu peta London. "Oke, sekarang hubungkan menggunakan benang merah dari Camden Market ke Highgate ke West End ke Brixton ke Shoreditch ke Hackney ke Bond Street ke Hampstead Heath. Abaikan pengulangan tempat."

Andrew tampak kebingungan. "Wait ... what are you trying to prove now?" katanya yang secara tidak langsung mengakui dia gagal menggambar peta dalam kepalanya.

Aku menggeram kecil lalu mengetik London Boy map di Google dan menunjukkannya pada Andrew, menyerahkan ponselku padanya dan membiarkannya menganalisis peta itu. "Lihat? Rutenya berbentuk hati."

Kupikir Andrew akan mulai mengeluarkan gombalan mautnya, tetapi dia semakin kebingungan. "Seharusnya jangan kembali ke Soho, tapi bisa ke Peckham terlebih dahulu agar dapat berbentuk hati."

"Oh, God." Aku tidak tahu apakah ini efek dari datang bulan tapi sebentar lagi Andrew akan menyaksikan Zevania yang kesabarannya setipis tisu. "What do you expect from a map?"

"Still doesn't make any sense to me." Dia menggeleng keras dan mengembalikan ponselku. "What's so romantic about Camden Market? It's just an over-crowded market—you saw it yourself. What do you wanna see in Highgate? A cemetery? And Hackney? Oh, Taylor Swift clearly lied when she said she enjoyed nights in Brixton. I doubt she ever went to Brixton at night."

"I doubt it too, but I went there and the London boy who brought me to Brixton at night was drunk." Berani-beraninya Andrew mencela lagu yang selama ini kujadikan lagu kebangsaanku. Bukan hanya karena Andrew, melainkan London itu sendiri.

Andrew akhirnya diam.

"You said these places aren't romantic, do you? That's the point. Doesn't matter what places she visits, as long as she is with her London boy, she enjoys every moment in London." Mungkin kesabaranku tidak setipis tisu karena aku berhasil menjelaskan makna dari lagunya pada Andrew.

Namun, sepertinya tidak setebal itu juga karena Andrew kini kembali tersenyum miring. "Oh, that's what you're trying to say to me? So you enjoy every moment in London as long as you are with me? Your London boy?" Andrew kini menyandarkan kepalaku pada bahuku, menghentikan detak jantungku. "I see your vision now. I like this song."

Aku tidak habis pikir dengannya. Andrew benar-benar berbahaya sekarang. Dia tidak segan-segan untuk menyerangku dengan rayuan mematikannya. Keberadaan Andrew saja sudah cukup mengintimidasi, apalagi sifatnya yang genit seperti ini? Ke mana Andrew yang pendiam dan malu-malu itu? Tertinggal di London?

Selama sisa 30 menit dalam kereta yang membawaku dari London ke Manchester, Andrew terus memutar lagu London Boy, dia mengajakku untuk ikut mendengarkan menggunakan earphone-nya—agar seperti di film-film—tetapi aku menolaknya karena malu dan muak. Aku hanya memperhatikan jendela kereta yang memasuki wilayah Manchester, sesekali membalas pesan dari keluarga dan teman-temanku, termasuk Sabil dan Nerissa yang menggila karena aku mengabaikan pesan mereka dari kemarin dan tiba-tiba mengabari bahwa aku ke Manchester bersama Andrew. Aku menceritakan garis besarnya saja melalui pesan grup kami bertiga dan telah sepakat menggunakan Tatang sebagai nama samaran Andrew. Aku merasakan kepala Andrew yang masih bersandar pada bahuku bergerak, barangkali mengintip layar ponselku—beruntung dia tidak mengerti bahasa Indonesia.

Atau dia diam-diam mengerti isi pesannya?

Kukunci layar ponsel. Andrew tampaknya menyadari pergerakanku ini, dia menarik kepalanya dari bahuku dan kami saling berhadapan; pria itu melepaskan earphone dari telinganya. "Ada yang ingin kutanyakan," kataku.

"Bukannya dari tadi kita sudah tanya-jawab?" Dia melipat kabel earphone dengan rapi. Katanya dia tidak suka wireless earphone karena malas mengisi daya baterainya. "Tanyakan saja. Aku bersedia melakukan tanya-jawab denganmu seumur hidupku."

Aku mengatup bibir untuk menahan senyum, berusaha sekuat tenaga menunjukkan bahwa aku tidak tersipu olehnya. Kembali ke tujuan awal. "Bagaimana bisa kau mengerti isi jurnalku?"

Andrew terkekeh, topik tentang jurnal bukan lagi bahasan sensitif sekarang. Bisa dibilang jurnal menyatukan kami.. "Google Translate," jawabnya.

"Did you scan every page?"

"No, I typed every word of it."

Lagi-lagi tidak habis pikir dengan jalan pikiran Andrew.

"Lihat betapa besar usahaku?" Mata Andrew beralih ke jendela, lalu mengecek jam tangan. "Kita sudah sampai. Selamat datang di Manchester."

Sontak aku membalikkan badan, memandangi stasiun yang menjadi gerbang ke kota favoritku (karena Manchester United). Zevania yang berumur 10 tahun pasti amat sangat kegirangan mengetahui bahwa dia berhasil mengunjungi kota ini. Ya, dulu aku lebih suka Manchester daripada London (karena Manchester United.)

Andrew bangkit dari kursinya setelah kereta sepenuhnya berhenti, mengambil ransel dan koper milikku. "Don't tell me you're only bringing this one little baggage to London?" Dia menurunkan koperku ke lorong kereta, meletakkannya di depan tubuhnya berdiri sementara ranselnya telah bertengger di punggungnya.

Setelah memasukkan sampah roti dan kopi ke dalam totebag dan mengait kacamata ke kerah kaus yang kukenakan, aku ikut berdiri, menyusul di belakangnya. "No, there is a bigger one that I left in the hotel," kataku sambil memeriksa sekali lagi apakah ada barang yang tertinggal di kursi.

"Then why did you bring this extra baggage as if you already planned this little trip to Manchester?" Dia bertanya lagi, sedikit memiringkan kepalanya untuk menoleh. Kami berjalan perlahan menyusuri aisle untuk keluar kereta. Berhimpitan dengan penumpang lainnya.

"Oh, no. Trust me. I bought this for souvenirs," jawabku, sedikit malu, berharap Andrew tidak menganggapku kampungan. "Cheaper than buying extra baggage here."

"Souvenirs?"

"Yeah, for my family, friends, co-workers." Aku tidak tahu pasti apakah membawa oleh-oleh ini hanya budaya Indonesia atau orang Inggris seperti Andrew juga melakukannya. "I'm planning to buy them on the last day." Ah, menyebut hari terakhir membuatku berhenti melangkah selama dua detik, kemdian mengejar ketinggalanku. "Do you know where I can buy them? You know, some London-ish stuff?"

"Of course, I know."

"Can you take me there?"

"Yes, ma'am."

Lututku lemas.

Andrew telah turun dari kereta, membalikkan tubuhnya menghadapku yang masih berdiri di ambang pintu, memandangnya seperti orang linglung. Dia tertawa. "Kau menghalangi orang." Lalu, terdengar geraman orang lain dari belakangku.

Sinting. Andrew benar-benar berbahaya.

Aku pura-pura bersikap biasa di depan Andrew padahal jantungku berdegup kencang, seperti baru saja berlari mengelilingi lapangan bola. Untungnya ponsel Andrew berdering sehingga menundanya untuk membahas reaksiku. Aku hanya diam, memandang ke sembarang tempat, memperhatikan detail dari Stasiun Manchester Piccadilly dan memotretnya menggunakan ponselku sambil menunggu Andrew selesai menelepon. Aku juga membuang sampah cup kopi dan bungkus roti ketika melihat tempat sampah tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Ayo," katanya, sambil menyeret koperku. Namun, langkahnya terhenti tepat di depan papan pengumuman yang bergantung di langit-langit stasiun yang melengkung. "Kau mau ke toilet dulu?"

Oh, sungguh perhatian. "Tunggu sebentar." Dan, aku meninggalkan Andrew untuk beberapa saat ke toilet. Tidak lupa merapikan penampilanku setelah tidur selama perjalanan, mataku masih tidak baik-baik saja tapi pasti tidak sopan bertemu dengan keluarga Andrew dengan kacamata, aku mencoba menutupnya dengan consealer.

Setelah selesai dari toilet, kupikir Andrew akan membawa kami naik kereta atau bus, tetapi dia justru berjalan ke arah parkiran mobil. Mungkin seseorang menunggunya, pikirku. Dan memang, seorang pria berambut pirang menunggu melayangkan tangan pada kami—pada Andrew lebih tepatnya. Pria itu bersandar pada bagian belakang mobil.

"That's Ethan, my cousin." Andrew berbisik padaku.

"This is Zevania, United's fan." Andrew memperkenalkanku pada Ethan itu yang langsung tertawa padaku. Aku bersalaman dengannya.

"Ethan, your noisy neighbour," katanya dengan aksen yang berbeda dengan Andrew. Aksen Manc kurasa. Sesaat aku bingung dengan 'neighbour' hingga teringat sesuatu.

"City?" Dugaku, bukan hanya Ethan yang tertawa, melainkan Andrew juga. Oh, aneh rasanya bertemu dengan seorang penggemar Manchester City di Manchester. Katanya klub Manchester biru itu memang banyak di pusat kota Manchester, sementara Manchester United di pinggirannya. Aku tidak terbiasa dengan ini. Klub tetangga itu sekarang lebih unggul daripada klub jagoanku.

Kami bertiga mengobrol singkat tentang Liga Inggris musim kemarin dan aku harus membiasakan diri dengan aksen Ethan yang kadang berbeda dari yang biasa kudengar. Rasanya seperti mendengar Marcus Rashford bicara tapi tanpa subtitle. Andrew sepertinya paham, beberapa kali dia menjelaskan ulang maksud dari Ethan padaku tanpa membuatku merasa bodoh.

Kupikir Ethan akan ikut dengan kami, rupanya dia hanya mengantarkan mobil dan katanya mau pergi ke tempat lain. Andrew membuka bagasi dan meletakkan koperku dan ranselnya. Aku menarik pintu depan. "Whose car is this?" tanyaku karena merasa aneh Ethan hanya mengantar begitu saja.

"Dunno, stolen car?" Andrew menutup kap belakang mobil dan berjalan ke pintu di seberangku. Satu tangannya sudah membuka pintu mobil, satu tangan lagi di bagian atap mobil Audi berwarna hitam ini.

"Are you going to kidnap me?" Aku membuat suaraku terdengar seolah-olah aku takut. Aslinya memang takut.

Alis Andrew terangkat. "Too little too late to realise, innit? If I were you, I'd run by now. I let you the time."

"What do you mean? That's exactly what I'm doing." Aku membuka pintu mobil semakin lebar dan mengatakan, "Running." padanya setelah kami berdua di dalam mobil.

Andrew menggeleng-gelengkan kepalanya seraya memasang sabuk pengaman. "Nobody's gonna kidnap you because you're a danger, Zevania."

What does that supposed to mean, Andrew? Bagaimana aku bisa disebut bahaya kalau mendengar Andrew menyebut "danger" saja rasanya jiwa ini sudah terangkat dari ragaku. Aku tidak bermaksud berlebihan—tidak! Tapi segalanya yang menyangkut Andrew rasanya berlebihan untukku. Mulai dari mata biru lautnya; ada banyak mata biru yang telah kutemui di London tapi hanya Andrew yang berhasil menjeratku dari pertama kali bertemu dengannya. Mata biru lautnya. Dan sekarang, aksennya. Aku benci dengan fakta bahwa Andrew selalu menarik di mataku padahal dia tidak melakukan apa-apa. Suara dan mata itu sudah didapatkannya dari lahir. Dia lahir dengan begitu dan itu menarikku.

Aku bisa gila. Semakin lama bersama Andrew semakin tidak masuk akal. Apakah kesempatan untuk lari yang diberikannya masih berlaku?

Terdengar suara pintu mobil yang terkunci.

Kesempatan itu sudah hilang.

Tangan kananku terulur untuk mencari sabuk pengaman di sisi kiri jok. Sekali lagi bersyukur karena setir mobil di Inggris berada di kanan, seperti di Indonesia. Rasanya nyaman dan tidak merasa ganjil. Ketika hendak memasang sabuk, aku dikejutkan oleh tubuh Andrew yang condong ke arahku, tangan kirinya berpangku pada sisi atas jok dekat kepala, sementara yang kanan pada kemudi. Aku membeku di tempat dan menahan napas, memperhatikan sisi wajah Andrew, wajahnya yang sedikit memerah, janggut tipis di sekitar rahangnya yang sepertinya belum dicukur lagi seperti hari kedua, dan tentunya mata birunya fokus pada bagian belakang mobil dan sesekali menoleh ke depan. Aku buru-buru memasang sabuk dan menyibukkan diri dengan ponsel sebelum Andrew menangkap basahku terpaku dengan keindahan wajahnya.

Keknya gue pulang besok aja deh ke Indonesia, aku mengirim pesan ke grup pesan teman-temanku. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan respons mereka yang selalu heboh. Sudah kutebak pasti mereka akan bertanya, "Kenapa?" dan aku menjawab, demi kewarasan jiwa soalnya si Tatang bikin gue sinting. Kemudian mereka semakin menggila dan ingin tahu detailnya. Aku sempat tergelak membacanya hingga tiba-tiba mendengar...

We can go drivin' in, on my scooter

Uh, you know, just riding in London

Mataku sontak melirik head unit mobil, lalu ke Andrew yang sudah berhasil mengeluarkan mobil dari parkiran dan kanan-kiriku sudah dipenuhi oleh gedung-gedung kaca dan bata berdiri berdampingan. "Kita di Manchester dan kau memutar lagu London Boy?"

"Kita di Manchester dan kau malah sibuk main ponsel?" balasnya, melirik sekilas sambil membuat suara kecewa seperti ck, ck, ck.

Aku meletakkan ponsel pada pangkuan. "Sejujurnya aku tidak tahu apa-apa tentang Manchester kecuali Old Trafford, Etihad, dan University of Manchester. Berbeda dengan London."

Andrew membuka mulutnya tidak percaya. "Kupikir sebaiknya kau mendukung Ar—"

"Tidak, tidak." Aku menutup telinga. "Jangan dilanjutkan." Pria satu ini gencar sekali mencuci otakku agar menjadi penggemar Arsenal.

"Kalau kau hanya boleh memilih antara tidak bisa ke London selamanya atau tidak bisa ke Manchester—termasuk ke Old Trafford tentunya—maka mana yang kau pilih?"

Lagi dan lagi pilihan yang sulit. Mengapa harus memilih kalau bisa keduanya? Tapi aku mengikuti permainan Andrew. "London."

Jawabanku pasti sesuai dengan keinginan Andrew karena dia kini tersenyum puas. "Tapi itu artinya kau tidak bisa menonton pertandingan United di Old Trafford."

"Aku bisa menonton laga tandang," aku mengangkat satu per jari kananku ke udara. "Arsenal, Chelsea, Spurs, West Ham, Palace, Fulham, Brentford, hmm apa lagi? Ya, pokoknya ada banyak. Oh, Wembley tentunya. Mereka pasti ke Wembley setidaknya satu kali dalam satu musim."

"Oke, aku suka dengan kegigihanmu." Andrew menjentikkan jari. Kemudian, ponselnya berdering, dia menjawabnya melalui head unit mobilnya sehingga dapat terdengar olehku. Kakaknya yang menelepon.

"Andrew, kau sudah di Manchester? Ethan bilang mengantar mobilnya ke stasiun." Suara Kate terdengar dari ujung telepon, bising orang bercakap terdengar di belakangnya.

"Ya, baru sampai," jawabnya singkat.

Aku menyimak pembicaraan mereka, seperti yang kulakukan sepuluh tahun yang lalu di bandara. Kali ini berbeda, posisinya aku berada di mobil bersama Andrew, hendak bertemu dengan Kate. Di Manchester.

"Dan kenapa tiba-tiba minta dibawakan mobil?" Kate menanyakan hal serupa denganku. Kami bisa menggunakan transportasi umum seperti yang selalu kami lakukan di London. Mengapa Andrew membuat keputusan yang berbeda saat berada di Manchester?

"Supaya tidak makan waktu," jawab Andrew, dia sempat melirikku sekilas sebelum fokus pada jalanan.

"Then the rumour that Mum said is true."

"What did she say?"

"You're coming with a plus one."

Kurasa pipiku menghangat mendengarnya. Kate tidak tahu aku akan datang ke pernikahannya dan aku penasaran setengah mati bagaimana responsnya ketika melihatku.

"Oh," Andrew tertawa, aku menutupi pipi dengan rambut. "Yes, the rumour is true."

"WHO? JUNE?"

Wah, untuk pertama kalinya aku merasa cemburu dengan June pasca mendengar keantusiasan Kate dengan kemungkinan bahwa Andrew membawa June ke hari pernikahannya.

"Why would I bring her?" Senyum yang tadi Andrew perlihatkan kini luntur. Tanganku saling menggenggam di atas paha.

"I invited her." Benar kan tebakanku. Kate dekat dengan June.

"Oh, perhaps she would come with her boyfriend. We've talked about this, Kate. Stop." Sangat kentara perubahan dalam intonasi suara Andrew. Kurasa dia sekarang menyesal telah membiarkan panggilannya dalam mode loudspeaker, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku terlanjur mendengar percakapan ini.

Terdengar helaan napas Kate. Dia ... kecewa? "Okay then. Who is she? Your new girlfriend?"

Andrew terkekeh, senyumannya kembali. "Yeah, maybe. Soon to be."

"Soon to be? You're always like this." Kate terdengar geram, seperti kakak perempuan pada umumnya yang kesal terhadap adiknya. Aku juga kerap memberi ekspresi yang sama terhadap Zevo ketika dia lama membuat keputusan.

"Chill, this time will work out. I promise. I've worked hard on this. We just take things slow. You'll like her." Senyuman Andrew semakin lebar sementara aku semakin merasa kecil dalam mobil ini. Tiba-tiba menciut.

"Who? Do I know her?"

"You'll find out. We're on our way. She hears all of this anyways."

"Huh? Oh, I'm sorry, Andrew's soon-to-be girlfriend. See you soon! Mum!" Dan sambungan telepon terputus.

Andrew menghela napas sambil memijit kening kepalanya menggunakan tangan kanannya yang bertumpu pada jendela, sementara tangan kirinya berada di kemudi. "Sorry for my sister."

"That's fine." Yang tidak baik-baik saja hanya hatiku.

"Kau baru bertemu dua dari keluarga Stanley. Masih banyak yang akan jumpai besok."

Keluarga Stanley, aku mengulang dalam hati dan merasakan lututku semakin lemas.




————————————————

author’s note:

maaf banget gais, mulai hari ini aku updatenya cuma seminggu sekali ya dan tiap hari minggu karena tabungan babnya sudah habis 😔 dan udah mulai kuliah semester akhir🧍🏻‍♀️ semoga masih bisa update weekly dan kisah zevandrew cepat berakhir ♥️

Continue Reading

You'll Also Like

3M 151K 62
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.8M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
270K 758 7
Vote masa cuma sange aja vote juga lah 21+
3.4M 36.8K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...