Ndut, Balikan, Yuk! by Annie...

By temanmenulis

954 133 12

"Ya, tapi, Mbak, jujur saja saya sebagai laki-laki normal pastinya milih cewek yang selain baik hatinya, kala... More

Bab 1 - Sesuatu yang Pernah Terjadi
Bab 2 - Hantu Bernama Mantan
Bab 3 - Kalau Masih Sayang, Bilang
Bab 4 - Rasa yang Masih Ada
Bab 6 - Tumis Pare dan Cokelat
Bab 7 - (Bukan) Angka Keberuntungan?
Bab 8 - Like or Swipe
Bab 9 - Self Love

Bab 5 - Buka Blokir, Buka Hati?

94 17 0
By temanmenulis


Heyho, Gengs! 

Penyuka Ndut ayok isi presensi dulu, jangan lupa dipencet bintangnya biar si Otor semangat untuk terus menulis dan update ceritanya.

Sudah baca tapi enggak kasih bintang ... ah, ter-la-lu! T_T

***

AKU menggigit bibir bawahku sendiri dan mengulum senyum demi melihat tingkah Adam. Kurasakan pipiku kembali memanas, aku menggelengkan kepala berkali-kali sebelum membuka pagar setinggi satu meter berwarna biru yang membatasi rumahku dengan jalanan. Ah, laki-laki itu memang aneh. Atau barangkali justru akulah yang jauh lebih aneh?

Ayolah, Astuti. Jaga kewarasanmu!

Aku mengucapkan salam setelah membuka pintu depan. Sebuah kebiasaan kecil yang selalu kulakukan setiap masuk ke rumah. Tidak ada jawaban. Ke mana perginya Ibu? Lampu ruang tamu masih menyala meski jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tumben, pintu depan juga dibiarkan tidak terkunci. Aku memutuskan untuk mengunci pintu dan mematikan lampu sebelum menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Pertanyaanku terjawab saat langkah kakiku sampai di ruang tengah dan menemukan Ibu yang tertidur pulas di atas sofa dan sedang ditonton oleh televisi.

"Bu, pindah ke kamar. Di sini banyak nyamuk." Aku mengusap pelan pundak Ibu berharap tidak akan terlalu mengejutkannya.

"Tu-ti?" Ibu mengerjap, "Kamu dari mana saja, jam berapa ini?"

"Cuma dari minimarket, kok. Tadi hujan deres, Tuti lupa enggak bawa payung. Bapak enggak pulang ya, Bu?"

"Oh, ya sudah. Bapakmu ada urusan di kantornya. Kayaknya enggak pulang. Sudah pamit sama Ibu tadi pagi." Ibu menggelung asal rambutnya dan mengikatnya dengan pita kain. "Pintu depan tolong dikunci, TV-nya matiin. Ibu mau pindah ke kamar dulu." Ibu bangkit dari sofa dan dengan langkah gontai akhirnya masuk ke kamarnya.

Aku celingukan mencari benda berbentuk persegi panjang dengan barisan tombol angka yang berjajar di sepanjang permukaannya itu. Ketemu. Rupanya remote teve itu jatuh dan bersembunyi di bawah kolong sofa. Kumatikan benda elektronik berlayar datar itu dan bergegas menuju dapur. Perutku sudah tak sabar meminta jatahnya.

Maaf, Mbak Asma. Untuk malam ini saja, biarkan aku menikmati semangkuk surga bernama mi kuah. Boleh, ya, aku membubuhkan tanda silang di kalender dietku malam ini?

Mi kuah campur sawi, telur, dan juga irisan cabai rawit sudah melambaikan tangannya memintaku untuk segera menikmatinya. Aku bergegas membersihkan diri, dan saat itulah aku baru menyadari bahwa aku masih memakai sweater milik Adam. Tiba-tiba saja wajah Adam memenuhi kepalaku. Suaranya, senyumnya, perhatiannya, juga caranya menatapku masih sama seperti yang dulu.

Aku menimang ponsel di tangan. Menimbang dengan ragu, haruskah aku menghubungi Adam untuk sekedar berterima kasih atau tidak.

Duh, chat duluan jangan, ya? Kira-kira dia bakal mikir apa kalau aku hubungi duluan? Pantas enggak kalau aku kirim pesan malam-malam begini? Ish, abaikan saja gimana? Anggap saja pertemuan malam ini enggak pernah terjadi? Tapi, apa salahnya mengucapkan terima kasih? Hanya sebatas itu, kan? Apa yang salah? Aduh aku harus apa?

Berbagai pertanyaan berseliweran di kepalaku. Kadang aku benci dengan ramainya kepalaku sendiri.

Malam ini, setelah menghitung jumlah cicak yang menempel di dinding, akhirnya aku memutuskan untuk kembali membuka status blokir yang selama seratus hari sudah kusematkan pada nomor milik Adam. Semoga saja Adam belum mengganti nomor ponselnya.

Tunggu, apa aku baru saja membuat sebuah harapan?

Tiba-tiba saja ponselku berdering dan aku terlonjak karenanya. Tanpa membaca siapa nama penelepon di layar, aku langsung mengangkat panggilan itu.

"H-Halo?"

"Wuih, Alhamdulillah sekarang sudah bisa nyambung! Mana cepet banget lagi angkat telponnya, kangen, ya?"

Eh, suara itu?

Aku segera menjauhkan ponsel dari telingaku dan membaca nama yang tertera di layar ponsel.

Adam!

Aku terkesiap menemukan nama Adam yang tertera di layar. Bisa-bisanya dia meneleponku padahal aku baru saja memutuskan untuk membuka status blokirnya. Adam seolah muncul tepat di saat aku sedang memikirkannya. Tuhan memang kadang agak berlebihan kalau sedang mengajakku bercanda.

Wahai jantung. Aku harap kamu kuat menerima semua kejutan. Ambil napas, Astuti. Tetap tenang!

"H-Halo, halo? Maaf salah sambung!" Aku memutuskan untuk mengakhiri panggilan dan membenturkan kepalaku sendiri pada tembok kamar mandi.

Sakit!

Bodohnya aku yang selalu salah tingkah jika harus berhadapan dengan makhluk Tuhan bernama Adam. Ada apa dengan hati ini, Ya Tuhan.

Ponselku kembali berdering dan aku kembali terlonjak karenanya. Nyaris saja ponselku terlempar saking kagetnya. Nama Adam kembali muncul di layar ponsel dan tanpa harus berpikir dua kali aku memilih untuk mengaktifkan mode pesawat pada status ponselku.

Maaf, Adam. Setidaknya berikan jantungku sedikit jeda waktu untuk kembali tenang. Aku gemetaran sekarang.

Bisa-bisanya perjuanganku selama seratus hari untuk menata hati dan memantapkan pilihan untuk move on dari Adam buyar hanya dalam hitungan kurang dari seratus menit? Luar biasa bukan? Lihat, betapa rapuhnya pertahananku?

Ya, Tuhan. Astuti!

Aku menggigit bibir bawahku. Dusta, adalah kata yang paling tepat untuk mengudara saat kamu bertanya tentang keberadaan sejumput rindu yang tersisa, sedang aku lebih memilih diam seribu bahasa dan menggelengkan kepala.

Aku menyeret langkahku menuju kamar dan menghempaskan tubuhku di atas kasur, juga melempar ponselku ke sembarang arah. Secuil ingatan tentang kebohongan kecil Adam melintas di kepalaku.

Waktu itu Adam berjanji akan menjemputku di perpustakaan kota. Aku menunggunya hingga tiga jam lamanya. Tetapi dia tidak juga datang dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku mendiamkannya selama tiga hari ketika dia beralasan tidak bisa menjemputku karena harus mengantarkan sepupunya ke rumah sakit.

Satu minggu berlalu sejak kejadian itu dan aku baru tahu jika yang berada di rumah sakit bukanlah sepupu Adam, melainkan Adam sendiri karena mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju perpustakaan untuk menjemputku.

Aku membencinya.

Kenapa lelaki itu bersikap begitu egois? Dia sanggup berbagi semua keceriaan padaku tetapi tidak untuk berbagi rasa sakit. Kenapa dia lebih memilih untuk menelannya sendiri? Aku merasa menjadi seorang pacar yang tidak diinginkan kehadirannya waktu itu. Aku tidak salah, kan?

Namun, rasanya aku pun telah melakukan sesuatu yang egois. Aku memilih untuk menelan sendiri rasa pahitku karena telah menganggap Adam sebagai seorang penghianat. Aku nekat memutuskan hubungan dengannya tanpa memberikan alasan apa pun padanya. Lalu bersikeras untuk menutup semua pintu masuk yang memungkinkan untuk bertemu dengannya.

Nyatanya, seratus hari yang kulalui tanpa Adam sama beratnya dengan mengambil keputusan untuk berpisah dengannya. Mau apa lagi, nasi sudah menjadi bubur, kan?

Jika tadi Adam sungguh-sungguh memintaku untuk kembali bersamanya dan akhirnya malam ini aku memutuskan untuk kembali membuka akses komunikasi di antara kami, bukan berarti aku telah membuka hati untuk menerimanya kembali. Rasa sakit itu jelas masih terasa. Meski aku sadar, jika sudut hatiku tidak pernah benar-benar menggeser namanya.

Aku meremas rambutku sendiri. Menenggelamkan kepalaku pada tumpukan bantal dan menjerit di sana.

Kelebat episode malam-malam di mana aku dilanda keterpurukan kembali hadir. Betapa aku kesulitan untuk bernapas hanya karena melihat adegan orang bergandengan tangan di layar televisi cukup membuatku frustrasi. Bagiku, siapa pun yang bergandengan tangan di depanku seolah sengaja me-reka ulang genggaman tangan Siti Rodiah pada Adam.

Belum lagi aku yang selalu terbayang ucapan menyakitkan yang terlontar dari mulut-mulut pedas geng Lapis Legit. Aku gendut? Aku tahu itu. Aku beruang kutub? Tidak. Aku masih manusia. Aku tidak pantas dicintai? Entahlah. Sekuat apa pun aku menyangkalnya, rasa sakit itu semakin beringas menunjukkan eksistensinya.

Jadwal makanku berantakan. Tidurku berantakan. Kuliahku berantakan. Aku seolah sengaja membiarkan hidupku berantakan. Dan muara dari semua keruwetan yang terjadi di hidupku adalah Adam.

Aku memukul-mukul bantal dan mengentakkan kaki di kasur. Ah! Kenapa aku jadi galau sendiri begini? Kenapa juga takdir harus mempertemukan kami kembali? Seratus hari tanpa bertemu dengannya rasanya sia-sia!

Aku mengembuskan napas kasar. Perutku yang kembali terasa perih menyadarkanku dari lamunan panjang. Sedetik kemudian aku baru ingat nasib semangkuk mi kuah campur sawi, telur, dan irisan cabai rawit yang kutelantarkan begitu saja di meja dapur.

"Astaga, mi kuahku!"

***

Dasar, Astuti! Galaunya gak habis-habis gara-gara Adam. Harus diapain coba dia?

Ada yang bisa kasih ide buat Astuti? Biar nanti dia baca sambil nyeruput kuah mi instan-nya, wkwk.

Continue Reading

You'll Also Like

363K 19.5K 28
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
2.5M 37.5K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
776K 50.2K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...