Hak Asasi Money 21+ [On Going]

By barageni

31.6K 289 11

*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON... More

DISCLAIMER
INTRO
PROLOG
PERTEMUAN
TIBA
Hai, Princess
Dimulai!
Netek
Istanbul
Panas
Ronde Kedua
Siapa Ratu?
Ratu Geni
Para Singa Betina
Kejutan
Fakta
Misi Baru
Rumah Bordil Darmo
Duel Dua Kstaria
Sang Idol
Tawaran
Ingon-Ingon
Resmi
Darah Biru
Sang Penjagal
Keluarga
Idu Geni

Salam Olahraga

1.6K 12 0
By barageni

***

Redanya tawa para penghuni kost menjadi pertanda jika sudah waktunya mereka serius.

Loki selaku pemimpin Rantai Hitam mengulurkan tangan kepada Bara. "Sekali lagi. Kali ini aku akan memperkenalkan diri secara benar. Namaku Loki G. Pradana. Kalau kamu pernah mendengar mahasiswa abadi, aku salah satunya. Termasuk para penghuni di sini. Mungkin kalau dihitung, aku sudah sembilan tahun. Lumayan gak, sih?" sambil tersenyum ramah, Loki tertawa ringan.

Bara balas tersenyum tipis. "Lumayan banget, Mas. Hehehe. Oh iya, aku Bara, Mas. Bara Geni."

Dahi Loki seketika bertaut. Nama yang cukup familiar di telinga. Kilatan masa lalu menggelitik relung jiwa. Mengantarkan pada ingatan terdalam yang sudah lama terkubur jauh di dalam tanah. Tragedi yang memberi bekas luka tusukan di dada kiri, namun tersamarkan oleh tato kepala singa berukuran besar.

"Sangar namamu. Kayak nama bangsawan." Loki mencoba santai. Melirik ke arah teman-temannya yang memasang wajah heran. "Kenalan dulu sama senior-senior di sini, Bar."

"Iya, Mas." Loki memberi anggukan kepada pemuda bertato kalimat latin di dada, seraya mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan. Tetapi, si pemuda justru menampik tangan Bara kasar. "Bara, Mas."

"Udah tau. Aku Rio." Pemuda dingin bernama Rio menjawab ketus. "Nggak usah sok akrab kamu. Loki emang baik, tapi aku nggak!" imbuhnya, ngegas.

Bara tertawa hambar. Di mata Bara, Rio tipikal lelaki yang butuh pendekatan lebih dari sekadar duduk bersama memutar minuman. Ia galak. Dilihat dari wajahnya yang kurang bersahabat akan kehadiran eksistensi asing sudah dapat ditebak.

"Hahaha. Kalau belum kenal, emang gitu itu Mas Rio, Bar. Sabarin ae, lah." Tertawa tanpa rasa takut, si pemuda berwajah joker dan bertato rantai di leher berkata santai. Paling santai. "Aku Ilham Pangestu. Panggilanku di sini Ipang. Kalau kamu manggil aku jangan lupa ditambahi 'mas', ya. Aku enam tahun lebih tua dari kamu, lho."

Bara melirik ke arah Rio yang tengah berdecih kepada Ipang, lalu menatap lurus ke arah Ipang yang sedang mengambil jatah minuman. Ia mengangguk sebelum menyahut, "Siap, Mas Ipang. Salam kenal, ya, Mas."

Minuman di sloki diteguk terlebih dahulu, kemudian diserahkan kepada Leo, sebelum Ipang berkata, "Yang bawa botol sama sloki itu Leo. Dia satu angkatan sama aku. Panggil aja 'pace', atau 'bang' juga boleh, lah. Dia nggak suka dipanggil 'mas'. Kalau kamu keceplosan, bisa keluar kodamnya nanti. Hahaha."

"Bang Leo." Bara memberi anggukan kepada Leo.

Leo mengangkat gelas sloki kosong kepada Bara sebagai salam. Ia tersenyum, wajahnya sudah tak seseram di awal.

"Yang itu Bayu. Dia dari Kota Melon." Tunjuk Ipang ke arah pemuda berwajah brengsek.

"Kumaha damang, Bang?" (Bagaimana kabar, Bang?) Bara bertanya sopan.

"Edan. Bisa wae sia bahasa Sunda euy. Pangestu abdi mah. Samulihna kumaha?" (Gila. Bisa juga kamu bahasa Sunda. Baik. Kamu bagaimana?) Bayu merespon positif. Hanya saja rangkaian kata membentuk kalimat yang ia pakai terkesan kasar.

"Dikit-dikit, Bang. Aku punya temen orang Sunda di kotaku."

"Oh. Keren. Aku kira kamu introvert kagak punya temen. Ternyata di luar dugaan. Hehehe."

Bara garuk kepala. "Cuk. Ya punyalah, Bang."

Meski dimaki, Bayu justru tertawa. Ia tahulah ini masih dalam konteks bercanda. Baper karena dimaki anggota sendiri bukan ciri khas Rantai Hitam. Beda kalau dimaki musuh. Sudah dipastikan langsung mendapat bogeman tanpa tedeng aling-aling.

"Aku Erwin. Salam kenal." Si mata empat bertato ular dari lengan atas sampai pergelangan tangan memperkenalkan diri. Tangannya terulur mengajak fistbump. Bara menyambutnya sambil mengangguk. Kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyum ramah. "Kalau kau punya bokep yang bagus, bagi-bagi sama aku, ya?" sambung Erwin, jenaka.

"Lagi kosong, Bang, hehehe."

Erwin berdecak. "Pantek, lah. Sok polos kali kau, nih."

"Hehehe." Bara hanya cengengesan. Sejurus, ia beralih menatap pemuda vibes koki sambil mengulurkan kepalan tangan ke arahnya. "Mas."

"Bintang." Tidak ada tambahan kata. Hanya menyebutkan nama, Bintang balas fistbump. "Bisa masak?"

"Asu Bintang ini. Belum apa-apa udah disuruh masak ini anak baru. Nemen, cok." Ipang nimbrung.

"Hm."

"Lumayan, Mas."

"Ojok ngomong mek isok masak mie karo ndog. Tak pancal kon!" (Jangan ngomong kalau cuma bisa masak mie sama telur. Aku tendang kamu!) Bintang nyolot, melotot.

Bara terhenyak. Logat Bintang terdengar lucu saat ia mengatakannya sambil melotot. Kesan seram seakan lenyap. Menyisakan gaya bicaranya yang mengundang kekesalan.

"Nasi goreng, Mas."

"Nasi udah matang kamu goreng? Gak kreatif pol."

"Ya gimana, Mas. Hehehe." Bara bingung juga harus menjawab apa. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Beberapa saat terjadi jeda. Hening. Itu karena ada yang terlewat belum Bara ajak kenalan. Yaitu si wanita berdarah India. Keduanya saling memandang. Hanya dengan tatapan mata, Bara bisa sedikit membaca sorot kesedihan di sana. Layu dan penuh intrik masalah.

"Aku Bara, Mbak." Bara mengulurkan tangan. Lidahnya kaku. Sedikit grogi.

Si wanita berdarah India balas mengulurkan tangan. Tersenyum tipis. "Indira. Panggil sesukamu."

"Sayang boleh?" Bara refleks menggombal.

"Buajingan!"

"Kirik!"

"Pedet!"

"Taek, taek!"

"Modar wae sia, anying!"

"Pantek!"

"Puki!"

"Garangan gendeng!"

Berbagai macam makian ditujukan kepada Bara. Respon Bara? Hanya tersenyum canggung. Mana tangannya masih menggenggam tangan lembut Dira. Seolah ada magnet yang begitu kuat di antara mereka berdua.

Debaran dada kian tak menentu. Baik Bara maupun Dira sama-sama terpaku. Di mata Bara, Dira adalah wanita yang cocok dijadikan ibu dari anak-anaknya. Wanita itu setinggi telinga Bara. Cukup tinggi bila disandingkan wanita lokal. Parasnya menawan khas orang India. Turun sedikit ada dua tonjolan besar dibalik midi dress warna hitam yang ia kenakan. Cukup ketat memang. Sampai-sampai pinggang aduhai yang diimbangi pantat semok menjadi nilai Dira mendekati kata sempurna.

Sebaliknya. Dari awal kedatangan Bara sampai berjabat tangan dengan pemuda jangkung itu, Dira merasakan gelora panas di hati. Bukan emosi. Bukan pula ingin menghantam panci. Ia belum melepaskan pandangan barang sedetik pun dari si jangkung sampai akhirnya sedekat ini dengannya. Tatapan Bara terlalu mematikan untuk kesehatan jantung Dira.

"Awas jatuh cinta, Mbak Dir. Sini, gantian. Aku juga mau kenalan sama garangan ini." Pemuda gondrong berwajah blasteran Eropa memotong. Memecah ketegangan. Ia berdiri. Menarik pundak Bara, yang kontan membuat tangan Bara terlepas dari tangan Dira. "Aku Saga, bro."

Kecewa jelas kentara. Bara masih ingin berlama-lama memegang tangan Dira. Seakan tak rela terlepas begitu saja. Kemudian, Bara mengulurkan tangan, namun tangannya langsung dijabat dan ditarik oleh Saga. Saga, pemuda berwajah fuckboy ini mendekatkan wajah di dekat telinga Bara, lalu berucap pelan, "Habis gini ikut aku. Tak ajak nyari cewek. Daripada kamu sama Mbak Dira, bisa-bisa dimutilasi kamu sama Mas Loki."

"Waduh! Gak bahaya ta, Mas?" (Waduh! Tidak bahaya, kah, Mas?) Bara melawak. Mencoba rileks lagi.

"Matane suwek. Yo bahaya lek cewek'e bojone uwong, Bar." (Matanya sobek. Ya bahaya kalau ceweknya istri orang, Bar.)

"Jangan, Mas. Aku masih ting-ting."

"Aku yo sek ting-ting. Silitku tapi." (Aku ya masih ting-ting. Pantatku tapi.)

"Cok. Jijik!"

"Asu. Aku dipisui." (Anjing. Aku dimaki.) Saga menampol kepala Bara, pelan. Ia memiting lehernya, lalu menghadap ke arah anggota Rantai Hitam yang lain. "Ayo, guys. Kita party. Menyambut anggota baru kita." Senyum sumringah Saga sambil mengepalkan tangan ke atas. "Tapi sebelum itu ...." Saga melirik ke arah Loki.

Loki mengangguk mengerti. Ia mengkode Bara untuk mendatanginya. Bara mengikuti saja tanpa berprasangka buruk. Ia bertatapan sejenak dengan Dira, lalu meluruskan pandang. Dan sedetik ...

BAMMM!!!

"SALAM OLAHRAGA!" pukulan kuat dilesatkan oleh Loki sambil berseru. Menghantam tepat mengenai ulu hati Bara.

Wush!

Kedua mata Bara melotot. Seiring tubuhnya melayang. Terlontar ke belakang. Menghantam dinding kostan. Bedebum keras. Lalu, tertelungkup di lantai ubin. Darah mengucur di pelipis Bara karena bertabrakan dengan benda keras. Pun mulutnya menyemburkan darah merah segar. Menetes di lantai.

"Mati?" Ipang bertanya. Memastikan.

"Hidup." Loki menjawab datar. Tangan bekas memukul tubuh Bara terasa nyeri. Ia angkat sebatas dada. Ada bekas merah di sana. Loki seperti menghantam sebuah baja. "Anak ini ... kuat."

Niat hati Saga ingin menghampiri hendak mengecek keadaan Bara. Karena Saga tahu jika Loki, si pemilik pukulan terkuat di kostan ini, tidak menahan diri. Sudah menjadi tradisi Rantai Hitam untuk memberi sambutan hangat anggota baru. Namun, siapa yang menyangka jika Bara bangkit. Ia batuk darah. Mencoba berdiri sendiri bertumpukan tangan kanan yang terkepal di lantai.

Satu detik. Dua detik.

Badan kurus, tinggi, nan berotot itu berdiri tegap. Tersenyum lebar. Menampakkan rentetan giginya yang berwarna merah. Merah darah.

"Ini menyenangkan! Aku suka kostan ini! Fiks, aku tinggal di sini!" Bara berkata keras. Sambil terbatuk-batuk.

Semua penghuni kompak berdiri. Berjejer di sebelah Loki. Mereka semua memberi tepuk tangan. Standing applause.

"Welcome, Bara."

"Thank you." Bara menyeringai, lalu roboh.

***

Ipang dibantu Saga menggotong tubuh lemas tak sadarkan diri Bara menuju lantai dua. Membawanya ke kamar paling pojok yang hari ini sudah resmi sold out. Kepingan puzzle terakhir Rantai Hitam sudah di isi. Dan itu diberikan kepada anak baru. Sebuah sejarah baru telah tercatat. Meski belum mengenal seluk beluk siapa Bara sebenarnya, Rantai Hitam menghormati keputusan sepihak Loki yang mengizinkan Bara tinggal dan bergabung menjadi bagian kelompok suram ini. Terlepas apa alasan yang dipakai Elle sampai seyakin ini merekomendasikan Bara yang baru dikenalnya, Rantai Hitam memiliki firasat jika kelompok ini akan meraih kejayaan dan berada di puncak. Semua orang yakin. Semua orang menaruh harapan besar untuk si anak baru.

Sekembalinya Ipang dan Saga dari lantai dua, si pemuda rambut Paquito keluar dari kamar. Seorang diri. Bertelanjang dada dan hanya menggenakan boxer tanpa celana dalam. Membagongkan sekali.

"Berto." Loki memanggil si pemuda berambut model Paquito. Menunjuk sofa dengan dagu agar Berto duduk.

Berto mengangguk. Air mukanya masam. Terlebih teman-temannya memandang sinis. Untung saja Berto penghuni terlama di sini. Jadi masih ada beberapa orang yang menaruh respect kepadanya. Pasalnya, pacarnya si Berto, Sarah, hampir saja membuat bahaya penghuni kostan. Sudah menjadi adab Rantai Hitam jika sang pemimpin sedang berbicara, tak boleh ada yang memotong. Terkecuali ia dipersilahkan untuk berbicara.

"Pacarmu mana?" Loki bertanya.

"Tidur, Mas." Berto mengambil sebatang rokok di atas meja. Membakarnya.

"Sudah kamu kasih pelajaran?"

"Sudah, Mas."

"Bagus." Loki menepuk pundak Berto satu kali. Lalu, meremas pundak pemuda itu kuat. "Kalau sampai aku yang ngasih pelajaran, kamu sendiri yang gali kuburan."

Berto melirik tajam ke arah Loki. "Maksud sampeyan dua lubang kuburan, kan, Mas?" sembari menampik kasar tangan Loki di pundaknya. "Sampeyan sentuh Sarah. Kita duel."

"Seberharga itu lonte, sampai kamu berani mempertaruhkan nyawa nantang bosmu?" Rio bertanya dengan desisan menahan emosi.

"Nggak cuma Mas Loki. Kalau ada yang berani macam-macam sama Sarah, siapapun orangnya, akan menjadi musuhku."

"Nyalimu besar. Itulah yang menjadi Rantai Hitam disegani semua orang. Tapi!" Rio menuding Berto dengan rokok yang terselip di antara jemari tangan, lalu melanjutkan, "bukan berarti kamu bebas berkata kurang ajar kepada pemimpinmu. Ketahui posisimu, bocah!"

"Jangan mentang-mentang punya kuasa bisa mengancamku. Ingat, Rantai Hitam cuma sekumpulan mas-mas tukang ngewe biasa tanpa orang yang sampeyan panggil bocah ini."

"Berto!" bentak Rio.

Loki mengacungkan telunjuk ke arah Rio. Menyuruhnya tenang. Setelahnya, Loki menatap Berto tanpa ekspresi, sebelum berkata, "Kamu tahu, beberapa orang berakhir buruk hanya karena ucapan. Benda tertajam di dunia bukan pedang. Namun, lidah."

"Aku ngomong gini karena sampeyan yang mulai. Jangan sok merasa benar. Tolong." Berto berdiri. Masuk kembali ke dalam kamar. Meninggalkan para penghuni yang menahan emosi.

Loki geleng kepala. Menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia membakar rokok. Menghisapnya dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Menikmati kepulan asap rokok yang ditinggalkan Bara.

Bara.

Ya. Mengingat nama Bara, Loki jadi terpikirkan sesuatu. Ia menatap Dira, sebelum membuka suara, "Dir, berapa sisa waktumu?"

Dira mendesah kecil. "Tiga jam sebelum Aura diangkut, dan hilang."

"Ada yang mau ngambil misi ini?" Loki bertanya kepada para inti.

"Sejujurnya, Mas Loki. Aku siap-siap aja. Cuman, ada tapinya." Bintang menjawab.

Sebelah alis Loki terangkat naik. "Dan itu?"

"Suaminya Mbak Dira, Mas Ibnu ini, dia kan teman sampeyan. Kita semua di sini sudah menganggapnya seperti kakak. Sama seperti sampeyan. Jelas di sini aku secara pribadi belum siap."

"Kami juga." Kecuali Rio, semua penghuni menyahut kompak.

"Begitu, ya?"

Jeda lagi.

Hanya aktifitas putaran minuman dari Leo yang aktif. Denting sloki di atas meja diletakkan di depan Loki. Sekarang gilirannya. Loki mengambilnya. Memutarnya menggunakan jemari tangan. Ia sedang berpikir.

"Mas Loki." Dira memecahkan kesunyian. Setelah terjadi jeda panjang kecanggungan.

Loki meminum jatahnya. Tandas. Lalu, mengulurkan sloki kepada Leo. Leo mengambil kembali, lalu menuangkan air terakhir untuk Rio.

"Kenapa, Dir? Sebenarnya sih aku mau nyuruh Bara, soalnya kan dia anak baru. Jadi nggak ada hubungannya sama Ibnu. Jelas dia bakal lepas tanpa beban. Sekalian ngetes kepantasan dia bergabung Rantai Hitam."

"Ja-jangan, Mas!" Dira tiba-tiba panik sendiri. Ia tak mau pemuda jangkung itu berada dalam bahaya. Apalagi Dira sedikit banyak masih penasaran akan sosok Bara. Dan ada setitik rasa mendesak di dada. Kemudian, Dira kembali berkata, "Aku tahu permintaanku ini mustahil untuk Mas dan yang lain. Mas Ibnu jelas berharga bagi kalian. Aku nggak mau salah satu dari kalian hidup dalam penyesalan. Tapi jangan anak baru itu."

Loki manggut-manggut. "Paham. Tapi di sini anakmu dalam bahaya. Ibnu dan kelompoknya sudah melampaui batas. Aku paham kalau kami bukan kelompok suci. Kami di dunia bawah ini bermain di Rumah Bordil, narkoba, senjata, dan banyak lagi. Tapi kalau menculik anak dan menjualnya, kami sama sekali nggak pernah terpikir sejauh itu demi uang. Dan sekarang, Ibnu tega menumbalkan anakmu sendiri demi permintaan klien dia. Bedebah!" jelasnya, panjang kali lebar. Loki menghembuskan nafas kuat, lantas menajamkan mata lurus ke arah Dira. "Aku yang akan berangkat."

"Biar aku aja."

Rio meminum jatahnya. Baru sampai tenggorokan, ia langsung tersedak dan terbatuk. Suara itu ... si bajingan,























BARA GENI!

Continue Reading

You'll Also Like

346K 112 9
FOLLOW AKUN INI DULU, UNTUK BISA MEMBACA PART DEWASA YANG DIPRIVAT Kumpulan cerita-cerita pendek berisi adegan dewasa eksplisit. Khusus untuk usia 21...
13.1K 143 5
18+ Adult Only Sebelum membaca jangan lupa follow, vote, and share agar teman-teman kalian bisa ikut membaca apa yang kalian baca, dan berbagai cerit...
84.3K 4.9K 20
namakamu & iqbaale story's
95.1K 10.1K 17
Kim Doyoung tidak tahu harus merasa bahagia atau menyesal ketika ia diterima bekerja menjadi manager artis sekelas NCT yang namanya sedang naik daun...