Ambrosia

By genitest

9.1K 1K 23

Definition of ambrosia 1a : the food of the Greek and Roman gods b : the ointment or perfume of the gods 2 :... More

1. Fresh Start
2. Suami Istri
3. Ulang Tahun
5. Pena Bekas
6. Pangeran Kecil
7. Mooncake Festival

4. Tonkotsu Ramen

900 146 6
By genitest

"Udah gila lo yeh? Tinggal nulis surat permintaan maaf doang apa susahnya, sih?! Lo harus mengalah demi kepentingan tim, Ka, biar tim lo nggak pecah dan kalah di semifinal nanti! Eh, tadi lo bilang lagi di mana? Woi! Barusan lo bilang lo lagi di mana? Kenapa nggak mau gue anter? Hei—"

Saka mematikan ponsel dan memasukkannya ke kantung celana. Sneakers Nike-nya menjejaki jalan setapak menuju pintu gedung utama yang terlihat muram dengan cat hijau lumutnya. Tidak seperti kebanyakan yayasan-yayasan yang pernah ia kunjungi (untuk keperluan pencitraan, tentu saja), tidak ada petugas sekuriti yang menyapa di depan pintu, tidak ada pula suara ramai derap kaki atau bahkan hawa dingin AC. Terlebih lagi, tidak ada kamera yang menyorot.

Suasana di panti jompo ini begitu senyap.

Saka langsung menemukan sosok Samara di depan meja admin, sedang mengisi data pada selembar kertas formulir.

Saka membetulkan topi Yankees merah yang dikenakannya, lalu menghampiri Samara. Perempuan itu menoleh dan terlihat kaget. Bibirnya mengulum senyum. "Pak Saka."

"Bu Samara," balas Saka dengan anggukan kecil.

Saka mengambil kertas yang digeser Samara untuknya, mengisi nama dan tanda tangan, lalu berjalan mengiringi Samara menuju tempat yang telah ditunjuk perawat.

Sepanjang langkah menyusuri lorong panjang menuju gedung sayap kiri, Saka berjalan di samping Samara. Dan sepanjang jalan itu pula Saka menahan diri untuk tidak tersenyum, saat angin semilir menerbangkan aroma Samara ke hidungnya.

Perempuan itu tidak memakai parfum. Hanya harum tubuhnya saja.

Aroma segar pakaian dari mesin cuci.
Bayi yang baru bangun tidur.
Kupasan pertama apel.
Toko bunga.

Hmmm ... ia masih belum menemukan nama yang tepat untuk aroma-aroma ini.

Saka menengadah ke langit saat dihirupnya bau dedaunan kering yang kuat. Awan gelap menggelung di atas sana. "Bentar lagi pasti hujan."

Samara mendongak melihat langit yang sama, lalu mengeluarkan ponsel dan—Saka mengintip—membuka aplikasi Weather untuk melihat prakiraan cuaca. "Cuma mendung."

"Lo serius lebih percaya alat prediksi daripada apa yang lo liat dengan mata sendiri?" Saka menuding ke atas. Mustahil awan segelap ini tidak turun hujan.

"Apa yang keliatan di mata kadang bisa menipu."

Saka mengerjap-ngerjap bingung.

"Bang Saka! Dek Samara!"

Andri, putra Pak Jaya, hadir mengusik lamunannya di depan pintu gedung sayap kiri. Pria itu tertawa bahagia merentangkan dua lengan. Ada aroma kecut menyapa hidung Saka.

"Wah, saya masih nggak nyangka, waktu Bang Saka tadi pagi mampir ke rumah saya nanyain lokasi panti!" Andri memeluk Saka erat-erat. "Terharu saya!"

"Pak Jaya di kamar berapa?" tanya Samara.

"Cendrawasih 3. Mari! Biar saya antar."

Suasana gedung sayap kiri bertolak belakang dengan gedung utama tadi. Saka tidak pernah mengunjungi panti jompo, jadi ia cukup terkejut melihat suasana yang ... 'normal' di sana. Pasien-pasien bersih yang sedang berkumpul di halaman untuk melakukan senam jasmani, perawat-perawat dan suster berwajah cerah yang berjalan santai membawa barang, hingga tawa canda dan sesekali celetukan humor terdengar di ruang kumpul. Untuk sejenak, panti jompo ini tidak terlihat sebuah tempat depresi.

"Pak Andri," Samara menghentikan langkahnya tak jauh dari pintu kamar Cendrawasih 3. Berbalik menatap Andri. "Biasanya, Anna manggil Bapak dengan 'bapak' atau 'ayah'?"

"Eh? Hmm, 'bapak'." Andri gonta-ganti memandangi mereka dalam bingung.

"'Aku', atau 'saya'?" tanya Samara lagi.

"Hmmm ... 'Anna'. Tapi kalau Bayu biasanya pake 'aku'."

"Saya panggil Pak Andri dengan apa?"

"Mas."

"Lalu, nama anak kami Alisa?" Samara menunjuk dirinya dan Saka.

"Iya betul. Alisa."

Samara mengangguk singkat, Andri melirik Saka meminta penjelasan, dan Saka mengangkat bahu menandakan ia tidak tahu apa-apa. Toh, ia hanya datang karena merasa tidak enak pada Samara.

"Pak Saka sebenarnya nggak perlu datang," bisik Samara sebelum membuka pintu.

"Kebetulan doang tempat latihan gue deket sini," jawab Saka sambil membukakan pintu untuk Samara.

Perasaannya saja, atau Samara terlihat menahan diri untuk tidak tertawa.

Di dalam kamar berukuran sedang dengan jendela kayu terbuka itu, Pak Jaya duduk di kursi rotannya, menatap kosong pada pohon rindang di depan jendela. Aroma kayu tua bercampur minyak gosok, menyeruak saat Saka membawa dirinya masuk ke dalam.

Pak Jaya menoleh, tampak terkesima melihat kedatangan yang tak terduga itu.

Samara lah yang pertama menghampirinya, menyapanya dengan 'bapak' dan menanyakan apa yang sedang Bapak lakukan.

Pak Jaya menjawab ia hanya sedang melamun, beberapa menit lalu sudah makan kenyang dan bermain catur dengan Pak Adil. Sekarang sedikit mengantuk. Tak lupa Pak Jaya menanyakan apakah Anna sudah makan.

Samara menjawab sudah, lalu duduk merapat di samping Pak Jaya, menggenggam tangan keriput itu dengan erat.

Saka mendengarnya berujar, "Habis ini, Anna mau pamit."

"Ke mana, Na?"

"Anna dan Bayu," Samara menoleh ke tempat Saka. "Mau pergi ke tempat yang jauh, bakal lama sekali meninggalkan Bapak. Alisa juga ikut. Kami semua mau pamit."

"Kapan kalian pulang?"

"Kami nggak akan pulang."

Ekspresi Pak Jaya mulai berubah. Manik-manik air membayang di kelopak matanya. Bibir yang terbingkai kumis putih itu pun tergagap. "Bapak mau ikut."

"Bapak di sini," jawab Samara tenang.

"Enggak. Bapak mau ikut!"

"Bapak, Bapak di sini jaga Mas Andri. Mas Andri masih butuh Bapak. Tugas Bapak menjaga saya dan Mas Bayu sudah selesai, sekarang, kami mau pamit. Bapak mau mengucapkan perpisahan buat kami?"

Pak Jaya menggeleng-geleng cepat. "Enggak!" Tangisan pecah dari bibir tua itu, keras dan penuh keputusasaan. Dicengkeramnya tangan Samara kuat-kuat sambil terus menggeleng.

Tidak ada reaksi berlebihan yang dilakukan Samara. Seakan tidak ada lagi yang membuatnya terkejut, baik penolakan Pak Jaya maupun tangisan dan cengkeramannya yang sarat penyangkalan. Seakan perempuan itu sudah tahu semua ini akan terjadi.

Dan ia hanya menunggu. Samara hanya menggenggam tangan tua itu dan menunggu dengan sabar.

Saka ingin berbalik meninggalkan kamar. Mungkin berkunjung memang bukan ide baik. Buat apa ia menonton semua ini? Untuk menambah beban pikirannya? Untuk membayangkan bahwa inilah yang harus ia lakukan pada Ibu? Seharusnya sejak awal ia memilih tidak peduli seperti yang selama ini telah ia lakukan setiap Pak Jaya muncul di depan rumahnya.

"Maafin Bapak, Na," Pak Jaya menunduk gemetar di atas genggaman tangan mereka. "Bapak nggak sempat menuhin janji Bapak bawa kalian ke Bintan. Bapak egois, nggak mau kalian pergi. Bapak mau kalian pulang. Pulang cepat. Kita berkumpul lagi dan Bapak janji akan selalu ada buat kalian. Bapak kangen dengar cerita kamu, kangen lihat Alisa tidur sama bonekanya, kangen minum kopi buatan Bayu. Kenapa kalian nggak pulang, Nak? Sejauh apa kalian harus pergi? Bapak mau tunggu kalian pulang."

Samara membiarkan Pak Jaya memeluk dan menangis kencang di bahunya. Kalimat demi kalimat terus mengalir dari bibir penuh keputusasaan itu. Permohonan demi permohonan yang tidak akan pernah sanggup dipenuhi Samara atau siapa pun di ruangan ini.

Lalu permohonan untuk tinggal berganti permintaan maaf, dan permintaan maaf berganti rentetan janji-janji yang tidak akan bisa ditepati, sebelum akhirnya janji-janji itu menjelma menjadi ucapan selamat tinggal.

Pak Jaya memeluk lemah tubuh Anna-nya, mengucapkan padanya untuk menunggunya di sana, untuk selalu menjaga Bayu dan Alisa-nya, dan untuk tidak mencemaskan dirinya. Kelak, kata Pak Jaya, tubuh tuanya akan segera meninggalkan semua ini dan berkumpul kembali bersama mereka.

Andri menolehkan kepala untuk menangis, dan Saka masih berdiri di ambang pintu menolak mencerna semua ini. Bagaimana bisa, sebuah perpisahan terasa begitu melegakan?

"Bayu."

Saka mendongak pada Pak Jaya yang memanggilnya.

Genggaman Pak Jaya pada Samara terlepas dan perempuan itu menatap Saka dalam hening, sorotnya memberi isyarat pada Saka untuk tidak perlu merasa terbebani, bahwa sejak awal semua ini adalah tanggung jawabnya seorang dan Saka tidak perlu terlibat.

Saka tetap tidak beranjak saat Pak Jaya kembali mengulang nama Bayu.

Pak Jaya menatapnya dengan penuh permohonan, lalu menunduk lunglai dengan isak kepasrahan. Bapak tua itu mengangguk satu kali, dua kali, menangis lirih sekaligus paham, bahwa kesempatannya untuk mengucapkan selamat tinggal telah usai.

"Maafkan Bapak ...," pinta bapak tua itu. "Seandainya Bapak masih bisa meluk kamu, Yu, Bapak mau bilang bahwa Bapak ikhlas, dan Bapak bersyukur pernah menjadi ayah kamu."

Saka menunduk pelan. Kedua kakinya tetap tidak bergerak.

***

"Saya akhirnya setuju dengan saudara-saudara saya, bahwa Bapak lebih baik tinggal di sini. Ada teman, ada banyak kegiatan, biar dia sibuk dan nggak banyak pikiran. Kalau keadaannya sudah membaik, akan kami bawa pulang."

Andri mengantar mereka sampai ke depan pintu gedung utama, lalu berhenti di sana untuk memandangi Saka.

"Saya berterima kasih banget kalian mau datang jenguk Bapak, terutama Bang Saka. Nggak nyangka saya," ekspresi lelah Andri berubah penuh binar saat memandangi wajah Saka. "Sepertinya ... sekarang saya ngerti, kenapa Bapak mengira Bang Saka sebagai Bayu."

Saka sudah bisa menebak. Karena ia tampan dan pemberani.

"Karena pembawaannya yang antagonis."

Saka hendak menyuarakan protes, tapi bibirnya memilih diam. Ia sedang tidak berselera.

Tawa Andri meluncur cepat. "Maaf, tapi abang saya juga pembawaannya begitu. Arogan, kayak pemain sinetron azab yang jahat-jahat itu. Lah iya ya, beneran, tuh, tatapan matanya aja mirip. Pantas Bapak sampai salah mengira Bang Saka sebagai Mas Bayu!"

Samara ikut meneliti air muka Saka yang telah kaku.

"Tapi tenang, walau muka antagonis tapi buktinya Anna naksir dan mau diajak nikah," lanjut Andri. "Padahal Anna itu perempuan baik-baik, pinter, ayu tenan. Semua juga heran kenapa dia mau sama Mas Bayu. Gitu-gitu, rumah tangga mereka juga akur, sampe punya Alisa segala."

Saat berpisah dengan Andri, Saka berusaha untuk tidak membiarkan ucapan Pak Jaya di kamar tadi mengganggu pikirannya. Tapi tetap saja ia merasa terganggu. Bahkan lebih terganggu ketimbang wajah tampannya yang dikatai antagonis.

"Jangan terlalu merasa bersalah."

Saka menoleh pada Samara di sampingnya.

Perempuan itu tersenyum tenang. "Sejak awal saya memang nggak ngajak Pak Saka untuk terlibat. Jadi, jangan merasa terbebani."

Saka sadar ini bukan lagi soal enggan memberi harapan palsu kepada orang putus asa. "Gue nggak tau apa gue bakal bisa melakukan itu ke Ibu nanti."

Samara seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi Saka memotongnya.

"Lupakan." Ia tidak ingin merepotkan orang lain dengan beban pikirannya sendiri. Nggak usah cengeng. "Ngomong-ngomong, apa tampang gue memang seantagonis itu?"

Samara tertawa. "Saya belum terlalu kenal Pak Saka untuk bisa menilai."

Sedan Ioniq 6 milik Samara sudah terlihat dari tempat mereka berjalan. Samara menanyakan di mana mobil Saka diparkir, Saka menunjuk ke area yang sedikit jauh dari situ. Kemudian perempuan itu juga bertanya mengapa manajernya tidak mengantarnya hari ini, Saka menjawab Petra sedang sibuk. Padahal, Petra tidak dikabarinya sama sekali.

"Nanti malam jam tujuh, kan? Di Central Galeri?"

Barulah Saka termangu. "Hah?"

Samara membuka setengah pintu mobilnya. "Pamerannya Simon."

"Simon?" Ia tidak tahu siapa pun bernama Simon.

"Tetangga sebelah rumah saya."

Aaaaaaah~ Seniman esentrik yang sering memberinya salam kecup jauh itu. "Namanya Simon?"

Samara mengangguk. "Karya Simon masuk pameran Central Galeri nanti malam. Dia mengundang semua tetangga."

Ini berat untuk diakui tapi .... "Gue nggak diundang."

"Diundang. Kata Simon, dia pernah kasih kartu undangan dan Pak Saka bilang 'ngomong aja sama manajer gue', lalu pergi."

Saka tertegun telak. Benarkah?

Damn ... apa dirinya memang seantagonis itu?

Perlakuannya juga sama pada Samara saat sang tetangga memberinya surat pemasangan CCTV.

"Jam tujuh." Samara membuka pintu mobil dan tersenyum padanya sebelum masuk ke dalam.

Mesin mobil mulai dinyalakan dan Saka terlonjak ingat sesuatu. Ia mengeluarkan kotak rokok milik Samara dari kantung celananya, lalu mengetuk jendela mobil.

Wajah cantik itu muncul kembali dari balik kaca yang diturunkan, melirik sekilas pada kotak rokok yang disodorkan Saka, lalu mendongak tersenyum. "Buang aja. Pak Saka nggak suka baunya, kan?"

***

"Seharian ini lo ke mana, hah? Gue ke rumah lo dan elo nggak ada. Ke tempat training, kata Coach elo masih nggak dateng karena nggak mau minta maaf. Jadwal interview sama Salam Olahraga juga elo mangkir. ELO KE MANA AJA, HAH? JAWAB!"

Saka mematikan panggilan masuk Petra, dan berdiri mengamati penampilannya sendiri pada cermin setinggi badan di pintu masuk galeri.

Jas dengan dasi hitam senada yang dikenakannya sudah rapi. Rambutnya juga telah tersisir rapi. Tidak ada bulu kasar di dagunya yang telah dicukur tadi siang. Penampilannya cool, classy, elegan, khas Saka Barata, The Little Prince yang digandrungi banyak orang.

Saat mengantri masuk, dua perempuan muda cekikikan di belakangnya, saling berbisik apakah mereka seharusnya mengajak Saka foto bersama karena Saka kelihatan sendiri.

Saka kabur duluan sebelum salah satu dari mereka memberanikan diri menyapa.

Ia tidak suka mengunjungi galeri seni, baik itu lukisan, kerajinan kayu, patung dan segala jenis teman-temannya. Pokoknya ia tidak pernah dan tidak tertarik untuk mengerti seni.

Petra akan terbelalak jika sampai tahu dirinya menginjak kaki di galeri seni, atas keinginannya sendiri pula.

Mata Saka mulai bergerak mengobrak-abrik setiap sudut galeri untuk mencari sosok yang hendak ditemuinya. Sesekali ia melirik arloji, masih dua menit sebelum jam tujuh, mungkin Samara datang terlambat.

Syukurnya, ia dibantu oleh suara lengkingan laki-laki manja di balik dinding sana. Saka mengenal suara itu saat pagi-pagi Simon memanggil namanya dengan penuh kemesraan.

Saka melewati beberapa patung yang bentuknya sangat aneh itu untuk menghampiri ruangan di balik dinding. Dan, akhirnya, ia menemukannya. Tampak di sana Samara berdiri dikelilingi Simon, Om Hendro, dan juga Tante Tika. Om Hendro dan Tante Tika adalah penghuni sebelah rumah Saka yang memiliki jam lonceng biadab.

Saka reflek mencari Odi.

Odi tidak ada di sana.

Simon lah yang pertama menangkap kedatangan Saka. Mata dengan bulu mata palsu itu terbelalak dan bibir tebal yang dipolesi lipstik pink itu langsung mengerucut tak percaya.

"Aigooooooo, uri Little Prince Cha Eun-wooooooo~" kedua tangannya menepuk kaget.

Semua kepala pun ikut menoleh. Om Hendro dan Tante Tika tentu saja terlihat tak kalah kagetnya. Mereka mengerjap-ngerjap heran seakan baru saja melihat kedatangan manusia goa yang keluar dari pertapaan ribuan tahun.

Hanya Samara yang bereaksi biasa-biasa saja, seakan sudah menduga kedatangan itu.

Hari ini Samara Lee tampak cantik dengan balutan dress formal putih di atas lutut yang ditutupi blazer hitam oversize. Sepasang kakinya mengenakan heels yang sama dengan yang pernah ketumpahan lemon tea.

Rambut panjangnya tergerai begitu saja, seperti biasa. Riasan wajahnya tipis dan bibirnya berwarna merah muda lembut.

Samara tidak menyapa Saka karena Om Hendro dan Tante Tika sudah mendahuluinya.

"Dunia sudah mau kiamat. Saya belum siap!" celetuk Tante Tika.

Suaminya, Om Hendro, menggeleng-geleng kaget dengan kerutan tebal di kening. "Harus Om akui, Om lebih kaget liat kehadiran kamu dibanding bentuk patung-patung di sini."

Simon, dengan gerakan gemulainya, menepis tubuh pasangan suami istri usia lima puluhan itu untuk berjalan mendekati Saka. Ditempelnya pipi berwangi cologne tajam itu dengan pipi Saka.

"Sudah gue duga, elo cuma tsundere yang sok-sokkan nolak gue," cetusnya. "Aslinya elo diem-diem perhatian sama gue. Suka gitu dweh!"

"Saka," panggil Tante Tika lagi. "Apa yang bikin kamu akhirnya mau merakyat bersama kami? Hmm? Sekian tahun kita bertetangga, kamu cuma keliatan batang idungnya waktu pagi-pagi dijemput manajer kamu yang petantang-petenteng itu."

Saka menjawab ringan. "Kebetulan doang tempat latihan saya dekat sini." Dan sekilas, ekor matanya menangkap Samara Lee mengulum bibir menahan senyum.

"Kesambet setan nih pasti," Tante Tika menggeleng-geleng dramatis. "Ke mana kamu waktu pipa saluran air kita bocor dan warga protes ke kantor PAM? Atau waktu Bu Erni si similikiti itu buang tokai anjing sembarangan dan kita semua demo ke rumah Pak RT? Kita butuh lebih banyak anak-anak muda yang peduli, karena kalau bukan kita yang jaga Akasia, siapa lagi—"

"Sudahlah," Om Hendro menenangkan sang istri. "Yang penting orangnya sudah datang."

"Betul ...," Simon mencongkel dagu Saka dengan telunjuk lentiknya. "Nggak penting doi kesambet setan apa, yang penting, gue dukunnya."

Mereka tertawa dan mengajak Saka untuk mulai berkeliling galeri. Simon berjalan paling depan, mengatakan bahwa ia menyumbang lima jenis patung karyanya di galeri ini. Lima-limanya ia buat dengan cucuran darah, keringat, dan air mata selama dua tahun penuh. Simon juga menceritakan sumber-sumber inspirasi yang membuatnya mengerjakan mahakarya ini : mantan pacarnya yang meninggalkannya karena perbedaan usia, mantan pacarnya lagi yang harus berpisah karena beda agama, mantan pacarnya yang lain yang berselingkuh darinya dengan pematung lain, mantan pacarnya yang tobat menjadi pendeta, dan mantan pacarnya yang aktor beken tapi pura-pura tidak menyukai laki-laki dan menikah dengan perempuan.

"Saya menamakan semua karya saya sebagai ...," tubuh kurus yang dibalut kemeja transparan waktu hijau tosca itu di lorong. "Dear Bajingan."

Om Hendro dan Tante Tika mengeluarkan 'ooooh' panjang.

Samara yang berjalan paling belakang tepat di samping Saka, melirik sekilas. "Pak Saka," sapanya dengan senyum kalem.

Saka mengangguk formal. "Bu Samara."

Saka masih ingin mengobrol lebih lanjut, misalnya basa-basi menanyakan di mana Odi, tapi rupanya mereka sudah sampai di ruang pameran Simon yang bernama ajaib itu.

Simon terlihat luar biasa bangga memamerkan lima patung karyanya yang tersusun melingkar di ruangan khusus ini. Cukup banyak pengamat yang menikmati karyanya di sana, sama banyaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di benak Saka.

Lima patung seukuran tubuh manusia itu semuanya adalah objek laki-laki, terbuat dari marmer putih, dan telanjang. Telanjang. Begitu telanjang sampai-sampai semua orang bisa melihat bentuk dan ukuran kemaluan si patung pria.

Simon mulai menjelaskan satu per satu pose sang patung—yang ia katakan sebagai wujud dirinya sendiri. Dimulai dari patung pria setengah membungkuk yang sedang membekap telinganya dengan ekspresi kesakitan. Kata Simon, itu dirinya saat tahu pacar aktornya menikah dengan perempuan.

Patung berpose menengadah ke langit sembari setengah kayang dan mengangkat satu tangan ke atas, dijelaskan Simon sebagai dirinya saat mengutuk pacarnya yang tiba-tiba mengirim surat mengatakan ingin tobat jadi pendeta.

"Bukan main dramanya hidup kamu." Tante Tika memberi tepukan penyemangat di pundak Simon.

Patung ketiga berpose tidur terlentang dengan dua lengan terbuka dan ekspresi menangis. Alat vitalnya terekspos bebas. Simon mengatakan, itu dirinya waktu diputusi pacar yang beda agama. Ia menangis di tempat tidurnya kala itu. "Padahal sudah dibantu dua Tuhan," katanya. "Tapi masih nggak jodoh."

Saka melihat sisa dua patung lainnya. Tolong sudahi siksaan ini.

Patung keempat sedikit horor. Simon menjelaskan pada mereka, bahwa pose mengayun pisau dapur itu adalah saat ia memergoki laki-laki yang dicintainya berciuman dengan laki-laki lain di dapur apartemen. Padahal ia sengaja ke apartemen itu untuk menjenguk si Bajingan yang sedang sakit.

"Ckckck," Tante Tika menggeleng gemas. "Tiada ampun bagi perselingkuhan. Saya juga benci perselingkuhan."

"Betul, Tante!" Alis Simon menukik tajam. "Neraka seharusnya punya ruangan VVIP khusus buat pelaku perselingkuhan jahanam. Burung mereka dipotong dan dikasih makan ke burung gagak!"

"Ngomong-ngomong," sergah Om Hendro dengan mimik serius. "Kalau perempuan disebut pelakor. Laki-laki yang merebut sesama laki-laki, disebut apa?"

"Pelekor," jawab Simon. "Perebut Lekong Orang."

"Oh." Om Hendro menggaruk-garuk dagunya dengan kerjapan paham seakan dirinya baru saja diajari Fisika oleh Albert Einstein.

Dan pikiran Saka mulai mempertanyakan apakah ada, satu saja, tetangganya yang waras.

Patung terakhir berpose sedikit normal. Duduk dengan bertopang dagu dan tersenyum menatap ke depan.

"Ini waktu saya duduk di kafe, diputusin pacar saya yang dosen tua. To be honest, saya nggak terlalu sedih karena permainan ranjang Pak Dosen juga letoy. Lemes selemes-lemesnya, lebih lemes dari sayur pakcoy yang layu di kulkas. Psst, ini rahasia, tapi setiap kali 'main' sama beliau, saya sering berfantasi tentang cowok lain. Makanya nggak sedih-sedih amat waktu putus."

Saka berusaha terlihat seolah-olah sedang mengagumi patung di depannya, tapi ekor matanya tak kuasa melihat gerakan Samara yang sedang membaca ponsel di sampingnya.

Apa itu dari Odi? Apa suaminya mengirim pesan bahwa dia akan menyusul kemari? Apakah Samara sedang mengetik pesan balasan? Bagaimana ekspresi wajahnya? Bahagiakah?

"Semua orang punya fantasi, kan—"

Sayup-sayup, Saka mendengar percakapan Simon dengan Om Hendro - Tante Tika di dekatnya. Melanjutkan obrolan tentang fantasi tadi.

"Nggak perlu malu juga, namanya juga manusia."
"Fantasi itu bebas 'kan ya, Tante? Jadi—"
"—kok saya jadi merinding—"
"—saya juga punya fantasi—"
"—akh, saya jadi malu."
"—yaa ... namanya juga fantasi ya?"

Saka memberanikan diri terang-terangan memandangi Samara yang sedang mengetik pesan. Wajah perempuan itu terlihat biasa-biasa saja. Tidak terlalu excited tapi juga tidak terlalu murung. Jari-jari lentiknya bergerak sangat cepat di keyboard ponsel, mengetikkan entah apa untuk O—

"Gimana dengan Saka?"

Saka terlonjak kaget, lalu menoleh disorientasi menatap Simon serta pasangan om-tante di hadapannya. "Hmm?"

"Apa fantasi terdalam lo?" tanya Simon dengan tatapan menantang.

"Gue?" Saka menggedik bahu bingung dengan pikiran yang masih bercampur aduk. "Melakukan di tempat ramai?"

Semuanya berubah hening.

Simon terbelalak, Tante Tika menekan dada dengan kesiap dramatis, Om Hendro menggaruk-garuk dagu paham.

Samara berhenti mengetik ponsel untuk menoleh ke tempatnya.

Begitu hening sampai-sampai Saka membeku di tempat dan bisa mendengar jeritan kepalanya sendiri.

Bukan itu 'fantasi' yang ditanyakan mereka.

Bukan itu.

"HEH SIMILIKITI CUKURUKUK! GOBLOK ANJIIIIRRRRRR~ GUE NANYA LO PUNYA FANTASI APA TENTANG MASA DEPAN LOOOO~" Simon terbahak hingga suaranya pecah mengisi seluruh ruangan, atau bahkan seluruh galeri, hingga tempat parkir, jalan raya, pangkalan ojek sampai pelataran Monas, gunung Bromo dan barangkali sampai landasan pacu pesawat ulang alik NASA. "EMANGNYA LO PIKIR FANTASI APA, ANJIIIRRR!"

Tante Tika mengibas-ngibas tangan meminta Simon berhenti menertawakan Saka, tapi bibirnya sendiri bergetar menahan ledakan tawa.

"Anu, Dek Saka," Om Hendro melipat kedua tangannya di belakang pinggang seraya mendongak sambil tersenyum. "Kalau Tante Tika, dia berfantasi bisa main film dengan Brad Pitt di masa depan, Simon berfantasi tinggal di Paris dan mematung sampai akhir hayatnya, lalu saya, saya berfantasi menetap di desa dan jadi petani wortel. Maksudnya seperti itu."

Simon dan Tante Tika kembali terbahak, terpingkal-pingkal begitu kencang hingga seisi galeri ini seperti akan rubuh.

Om Hendro masih terlihat sekuat tenaga mempertahankan wibawanya dengan tidak tertawa.

"ELO LAGI MIKIR JOROK APA SIH, NJIRRR~" teriak Simon lagi. "KUPING LO MERAH TUH KAYAK CANGCUT GUEEEEE~"

Jahanam. Rahang Saka mengeras dan bola matanya mencuat panik. Sialan. Mereka bisa saja membuat pertanyaannya lebih spesifik, seperti 'apa cita-cita kamu di masa depan', atau 'apa impian kamu di hari tua'. Kenapa harus menggunakan kata fantasi!

"NGGAK NYANGKA ELO FETISH MAEN DI TEMPAT RAME, ADUHAIIIII SAKA BARATAAAA~ BERSYANDHAAAA~ BERSYHANDAAAAA~"

Bangke .... Air muka Saka sudah pucat pasi.

Simon tertawa seperti maniak kesurupan. Tante Tika meringkik dengan tawa sampai berurai air mata. Om Hendro mengangguk-angguk dengan bibir gemetar tak tahan lagi ingin muncrat.

Saka tidak lagi berselera melihat reaksi salah satu tetangganya yang lain.

***

"Ayolah, Dek Saka, kita makan-makan dulu sebelum pulang. Ini resto seafood kesukaan saya. Lobster tim Hong Kong-nya nomor satu."

"Saking enaknya sampe bisa bikin lo berfantasi," goda Simon yang masih saja belum puas meledek Saka sejak tadi.

Tante Tika memukul lengan Simon. "Sudah, sudah. Kasian Saka kupingnya masih merah sampai sekarang."

Om Hendro barangkali merasa kasihan pada kondisi harga diri Saka yang hancur berantakan. Pria satu itu menatapnya dengan sorot kebapakan. "Ikut saja dengan kami. Saya jamin, kamu pasti bakal suka dengan masakan mereka. Kita semobil aja rame-rame, biar nggak makan banyak tempat."

"Maaf, Om, saya sibuk."

"Dih, sombong."
"Bukan sombong, Tante, itu ngambek."
"Yakin nggak mau ikut, Dek?"

Tante Tika melambaikan tangan memanggil Samara yang baru saja selesai menelepon.

"Dek Samara malam ini nggak sibuk, kan? Baru jam delapan. Ikut makan-makan yuk. Ada resto seafood kesukaan Om Hendro yang menu lobster tim Hong Kong-nya juara. Kamu pasti suka."

"Seafood?" Entah mengapa Samara menoleh pada Saka dan menatapnya penuh pertimbangan, lalu kembali pada Tante Tika. "Sebenarnya ... di dekat sini ada resto ramen. Tonkotsu ramennya enak."

***

"Dih, ikut juga dia."
"Sudahlah, Simon, rame-rame lebih seru."
"Apalagi di tempat rame."

Tawa Simon dan Tante Tika muncrat di kursi belakang mobil X5 Saka.

Om Hendro duduk di kursi depan samping Saka, Simon duduk di tengah terhimpit oleh Tante Tika dan Samara yang menempel di samping jendela.

Melihat tawa Simon dan Tante Tika yang kian brutal, Saka sadar tetangga-tetangga gilanya itu akan membuat malamnya jadi melelahkan.

"Tapi zuzur ya, Ka, begituan di tempat rame emang sensasinya beda." Simon mulai lagi.

"Memangnya kamu pernah, Mon?" tanya Tante Tika, kompatriot Simon.

"Aku tuh di mana-mana pernah, Tante. Di kolam mandi bola aja pernah."

Saka melirik Om Hendro di sebelahnya. "Om, Om nggak merasa terganggu?"

"Oh, saya tidak keberatan," Om Hendro mengangguk-angguk bijak. "Saya pendengar yang baik, nggak milih-milih topik."

Ini sebenarnya grup apa sih?! Saka menginjak pedal gas agar mereka sampai lebih cepat ke restoran ramen.

"Dek Samara, dari tadi sibuk main hape terus?" Tante Tika melirik ke samping. "Dicari suami ya?"

"Setiap menit harus lapor banget ya, cyiin? Ugh," Simon mendecak. "Mentang-mentang pengantin baru."

Malah Tante Tika yang klarifikasi. "Eh, mereka bukan pengantin baru. Sudah nikah tiga tahun kan, ya?"

Samara menjawab iya.

"Beruntung sekali Dek Odi mendapat istri seperti Dek Samara. Udah mana cantik, lembut, pintar berkebun, pintar masak pula."

Simon langsung menepuk dua tangannya. "Eh! Sumpeh, blueberry pie yang kemarin lo kasih kita itu enduaaaangg bambang gulindang! Enak buangeeeeet~"

Om Hendro langsung menoleh ke kursi belakang. "Betul. Enak sekali kuenya. Saya sampai makan setengah loyang sendiri."

Tante Tika tertawa. "Padahal Om Hendro itu paling nggak suka kue, loh. Tapi beneran kuenya tuh enak banget, nggak terlalu manis, pas. Pokoknya pie terenak yang pernah kami makan. Kalau kamu open BO, Tante pasti langganan!"

"Open PO kali, Taaaan~" sela Simon.

Saka berusaha tetap menyetir dengan ekspresi datar, seakan pikirannya tidak sedang terganggu dan kebingungan. Blueberry pie? Blueberry pie yang mana? Mengapa hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa soal blueberry pie?

"Dek Samara, Tante minta resepnya ya!"

"Boleh, Tante. Nanti saya kasih."

"Sekalian tuker resep dong, Tan," sela Simon. "Samara kasih Tante resep pie, Tante kasih Samara resep bikin anak."

Om Hendro menoleh ke belakang. "Hus, Simon, itu ranah pribadi Dek Samara."

"Haduh, maaf, cyin!" Tapi suara Simon sama sekali tidak mencerminkan ia minta maaf.

Tante Tika malah ikut menyambar. "Tapi saya juga penasaran, Dek Samara kapan rencana nimang anak?"

Simon melenguh. "Makanya, cyin, begituannya jangan tiap hari. Eh, gue kan pernah pacaran sama dokter kandungan gitu, kaaaan~ nah, dia bilang kalau mau cepet hamil, mainnya cukup dua kali seminggu aja. Terus begitu selesai main, lo ngengkang deh tuh, angkat kaki lo tinggi-tinggi nempel di dinding biar sperma laki lo kagak keluar."

"Astaga! Jorok kali kau, Mon!"

"Ya elah, Tante Tika, kayak nggak pernah muda aja. Jangan-jangan malah Om Hendro yang ngengkang abis main."

Saka sungguh mengagumi ketenangan Om Hendro yang benar-benar tidak terganggu.

"Inget ya, cyin, jurus yang gue ajarin itu, angkat kaki lo tinggi-tinggi sehabis orgasme."

"Sebenarnya percuma," jawab Samara.

"Hah?" Simon terbelalak. "Elo ... nggak pernah orgasme, cyin?!"

Saka menoleh ke belakang. "Woi, yang sopan, woi."

Kemudian jawaban Samara membuat seisi mobil hening. "Maksud saya, percuma karena dengan cara apa pun, saya nggak akan bisa punya anak."

Saka melirik spion tengah, memandang dengan khawatir ekspresi Samara yang anehnya ... terlihat biasa-biasa saja. Bahkan senyum tenang khasnya itu tidak pernah lepas.

"Sudah periksa dokter, Dek?" tanya Om Hendro.

"Sudah."

"Lalu mereka bilang jalannya sudah buntu?"

"Eh," imbuh Tante Tika. "Kadang-kadang dokter itu suka ngaco! Nggak bisa 100% dipercaya. Pak, ceritain tuh soal Heru adiknya Bapak. Dibilangnya ada tumor otak sampe orangnya histeris nangis-nangis nulis surat warisan, besoknya langsung dibawa ke Penang, eh nggak taunya cuma salah urat!"

Samara kembali menjawab dengan tenang. "Hasilnya sudah sangat jelas. Sudah pemeriksaan lab dan segala macamnya."

"Sori, cyin, tapi ... si Odi harus minum ramuan Tongkat Ali kali?"

"Masalahnya di saya, kok."

Kembali seisi mobil berubah hening.

Samara mengeluarkan suara tawa pelan yang menenangkan. "Tapi, makasih buat saran angkat kaki itu."

Masih hening.

Bahkan Om Hendro pun kehilangan kata-kata kebapakkannya.

Tante Tika lah yang pertama memecahkan kesunyian menyesakkan ini. Ibu berambut mekar bak sarang lebah itu tahu-tahu mengembus napas marah. "Halah! Sebenernya punya anak juga nggak gimana-gimana banget kok! Ya nggak, Mon?"

Simon mengangguk. "Yoi, cyin. Gue aja durhaka sama emak gue."

"Anak saya, si Morgan, saya sekolahin tinggi-tinggi sampe ke Amrik biar jadi pinter dan nerusin perusahaan bapaknya, malah keluyuran nggak jelas, party sana-sini dan emoh disuruh pulang! Terus anak kedua saya si Rafa, dibiayain sekolah vokal mahal-mahal di Korea katanya mau jadi aidol, ujung-ujungnya malah jadi vlogger merangkap duta seblak!"

Om Hendro menoleh. "Dek Samara, yang semangat ya."

"Lagian zaman sekarang bisa adopsi, cyin. Comot aja satu di Vietnam, kayak Angelina Jolie gitu."

"Dek Odi juga nggak pernah protes kan?"

Samara menjawab tidak, dan semuanya berseru lega, lalu mengganti topik ini menjadi pemujaan Odi.

"Tapi gue suka deh, sama si Odi," seru Simon kemudian. "Cakep-cakep bersih gitu kayak anak Pramuka, jadi pengen bedakin dia abis mandi."

"Dek Samara kenal Odi di mana?"

"Dari sekolah."

"Waaaaaah, lama juga ya? Berarti kalian nikahnya begitu kamu selesai kuliah ya?"

"Iya."

"Cantik-cantik gini, Dek Samara pasti banyak yang ngejer. Terus apa yang bikin Dek Samara akhirnya milih Odi?"

"Pasti karena otongnya gedwooong~" goda Simon.

Samara tidak langsung menjawab, entah sedang tersenyum atau mungkin sedang malu-malu—karena Saka sedang menyetir jadi tidak bisa mengintip spion tengah—tapi perempuan itu butuh waktu lama untuk memikirkan jawabannya.

"Pasti karena dia ganteng," Tante Tika tertawa. "Dek Odi memang ganteng. Sopan, lagi. Aduh, gimana ya jelasinnya, tapi kalau liat dia tuh ... kayaknya adeeeeem gitu. Ya nggak? Pasti karena itu kan, kamu jatuh cinta sama Odi?"

"Hmm," suara Samara seperti mengambang.

"Tuh 'kaaaaaan," sergah Tante Tika. "Perempuan baik-baik memang jodohnya cowok baik-baik—"

"Bitch please!" Simon mendecak jengkel. "Nggak usah ngomongin soal cowok baik dweh! Basi, basi, basiiiiii~ Eh, gue kasih tau elo-elo pade ye. Di dunia ini cuma ada dua tipe cowok : cowok brengsek dan cowok pura-pura baik kalo ada maunya doang. Nggak ada tuh, yang namanya Cowok Baek Beneran. Lo pikir hidup ini drakor dan elo Bae Suzy?"

"Lah, kok malah senewen? Enggak bisa dipukul rata begitulah, Mon. Kamunya aja yang belum ketemu. Ada kok, cowok baik, tulus, nggak neko-neko, perhatian dan setia sama pasangannya. Itu baru namanya laki-laki sejati. Nih, buktinya."

Tante Tika menjulur tangannya ke kursi depan, menuju punggung Saka, lalu lewat dan mendarat di bahu Om Hendro.

"Nih. Pria sejatinya," ditepuknya bahu sang suami dengan senyum bangga. "Baik, nggak macem-macem, setia, matanya Om Hendro tuh udah kayak dipasang kacamata kuda, nggak bisa ngelirik perempuan lain."

"Yang boneng, Tan?" Simon mendesis sinis.

"Percayalah, Mon, laki-laki baik itu masih ada. Kamunya aja yang harus buka mata lebar-lebar."

"Udah buka mata sampe buka celana lebar-lebar, Taaannn~ Tante Tika cuma hoki aja ketemu laki-laki baik, Tante nggak tau kalo lekong durjana kayak aku udah cuapeeeek~ disakiti terus-terusan. Hayati lelah, Tan!"

Perdebatan tentang pria sejati itu benar-benar menyita semua waktu perjalanan mereka. Bahkan ketika mobil Saka sampai di restoran ramen pun, perdebatan sengit masih terjadi.

Sepanjang perjalanan mereka di tempat parkir, Simon tetap bersikukuh bahwa semua pria di dunia ini layak menenggak racun tikus, sementara Tante Tika tetap bersikeras hidup ini adil dan Simon hanya kurang beruntung.

Saka berjalan di belakang Samara, terus memikirkan kalimat untuk menghiburnya setelah apa yang didengarnya di mobil.

"Hei," bisiknya sambil mengiringi langkah Samara.

Samara menoleh dengan senyum kalem. "Pak Saka."

"Bu Samara," Saka mengangguk. "Hmm ... gue cuma mau bilang ...."

Memangnya lo mau bilang apa, Kambing Buduuuuukk?!

'Nggak papa lo nggak bisa punya anak karena dunia belom berakhir?'
'Nggak masalah nggak punya anak karena yang penting Odi tetep sayang lo?'

Makin dipikir, makin tidak terasa penting apa pun yang ingin diucapkan Saka karena semuanya akan berakhir canggung.

"Nggak jadi hujan, kan?" Samara tersenyum.

"Hah?"

"Nggak jadi hujan," perempuan itu menunjuk langit dengan matanya.

Fuck it. Gimana kalo lo bilang aja ke dia 'anak bukan segalanya dan kalau Odi selingkuh cuma gara-gara itu, elo kasih tau gue aja biar gue hajar muka Suneo-nya pake ring basket'. Saka membuka mulut siap bicara, tapi Tante Tika menoleh ke belakang dan memerintahkan mereka untuk berjalan lebih cepat karena perutnya sudah keroncongan.

Saka mengatup mulutnya dan tidak punya pilihan selain membiarkan Samara mendahuluinya.

Restoran pilihan Samara yang konon hidden gem ini ternyata sepi. Bangunannya sedikit sempit, hanya memiliki lima meja bundar dan satu meja panjang di depan ramen bar. Nuansanya sangat tenang dengan pencahayaan kuning remang dan iringan musik tradisional Jepang.

Mereka bebas memilih meja mana pun karena memang tidak ada pengunjung, dan Simon memilih meja bundar yang memiliki kursi terbanyak.

Tentu saja Simon dan Tante Tika duduk bersama demi melanjutkan debat kusir mereka. Saka bersyukur Om Hendro yang duduk di sampingnya mengajaknya ngobrol tentang hal-hal normal. Bapak kalem itu menanyakan banyak hal tentang basket.

Kapan mulai suka basket?
Latihan berapa jam sehari?
Bagaimana rasanya jadi atlit nasional?
Bagaimana rasanya kemenangan pertama?
Apa rasanya kekalahan pertama?
Berapa tinggi badan dan berat badannya?

"184, berat 72."

"Kenapa pakai nomor 14?"

"Waktu pertama kali masuk tim sekolah, satu-satunya kaos tersisa cuma yang nomor 14. Nggak ada yang mau ambil itu, jadi saya yang ambil. Dan sejak saat itu 14 seakan jadi nomor keberuntungan. Saya bahkan sengaja beli rumah yang nomor 14."

Samara masih berdiri di depan meja kasir untuk memesan makanan bagi mereka semua. Karena menjadi satu-satunya yang sudah sering makan di restoran ini, Samara memesankan menu terbaik. Tonkotsu ramen untuk lima orang.

Kemudian ia berputar dari kursi kosong di sebelah Tante Tika, untuk duduk di samping Saka.

Saka tidak terlalu memperhatikannya, tapi sepertinya perempuan itu kembali sibuk bermain ponsel.

Ketika Om Hendro mulai bercerita tentang pengalamannya mengelola waralaba minimarket yang telah memiliki puluhan cabang di Jakarta saja, Saka bisa menangkap suara percakapan kecil yang dilakukan Samara.

Tapi demi alasan kesopanan, Saka tidak ingin menguping apa pun.

Ia memusatkan perhatiannya hanya kepada Om Hendro yang kini sedang menyemangatinya untuk terus berkarir hingga jadi pemain terbaik. Sesekali Om Hendro menepuk dan memijat bahunya, memberinya kalimat-kalimat bijak yang membuat Saka merasa dihargai oleh ayah sendiri.

Lima mangkuk ramen beraroma luar biasa sedap akhirnya terhidangkan di meja mereka. Saka tidak tahan untuk tidak tersenyum saat menghidu wangi kaldu tulang yang bercampur daging panggang, biji wijen, telur rebus, serta rumput laut panggang itu.

Masih sambil mendengar setiap ucapan Om Hendro, Saka meraih sumpit kayu di wadah, mengelapnya dengan tisu, lalu membalikkan badan dan membenamkan sepasang sumpit itu ke dalam mangkok ramen Samara di sebelahnya.

Tas kecil Samara yang terhimpit di antara mangkuk-mangkuk ramen dan wadah condiment di atas meja sempit ini, diambilnya dan dipindahkannya ke atas dua pahanya sendiri.

Kemudian ia kembali menoleh ke tempat Om Hendro seakan tidak terjadi apa-apa.

"Bagus, kalau kamu bisa fokus ke satu hal yang kamu suka, yaitu basket," Om Hendro mengaduk ramennya. "Saya kagum sekali dengan anak-anak muda yang bisa mendedikasi hidupnya dengan total, seperti kamu."

Samara—yang sudah berhenti menelepon—menjulurkan tangannya melewati Saka untuk mengambil bubuk cabai di tengah. Wangi khas tubuhnya menguar, dan untuk sesaat Saka tidak fokus pada Om Hendro.

"Sesuatu yang kamu cintai, pokoknya ditekuni terus, nggak boleh menyerah apalagi patah semangat," seru Om Hendro lagi. "Om tahu, belakangan hari ini pasti berat bagi kamu untuk membagi waktu antara basket dan Ibu Inge. Tapi kamu juga harus jaga kesehatan, jangan ikutan sakit."

Tante Tika yang sedang serius menabur wijen ke atas ramennya, langsung mendongak pada Saka. "Gimana kabar Bu Inge, Ka?"

"Masih bertahan."

"Bu Inge orang baik. Saya selalu mendoakan yang terbaik buat kalian semua," Tante Tika mengambil telapak tangan Saka dan menepuknya hangat. "Pasti berat ya, hari-hari kamu? Nggak cuma capek badan, tapi juga capek pikiran."

Bahkan Simon pun menatap Saka dengan tulus. "Yaaaa~ walaupun lo manusia terkutuk yang sombong najis dan dikit-dikit 'talk to my manager!'" Simon mengacungkan telapak tangan meniru wajah sombong Saka. "Tapi kalo lo butuh bantuan atau temen curcol, lo tinggal bilang. Tetangga-tetangga lo orang baik semua kok."

Simon menyambar ponsel Saka yang tergeletak di meja, mengangkatnya tepat di depan wajah Saka untuk membuka face ID, lalu mulai mengetik sesuatu di sana.

"Ini nomor hape gue," serunya. "Nomor hape kita-kita semua." Simon mengoper ponsel Saka kepada Tante Tika untuk diisi nomornya, lalu Tante Tika mengopernya kepada Samara.

"Kalau lo tau-tau mau curcol atau nanya nomer togel, contact kita," seru Simon. "Udah nggak zaman dweh, jadi cowok emoh yang sok cool nggak butuh temen. Basi! Lo bukan cowok Wattpad."

Samara meletakkan kembali ponsel Saka ke atas meja. Nomornya sudah disimpan di sana.

"Saka," Om Hendro mengangguk-angguk bijak. "Anak muda selalu merasa kuat menanggung semuanya sendiri. Jangan. Kalau kamu butuh apa-apa, beri tahu kami. Kami akan senang sekali bisa membantu."

Saka memandang bimbang mereka satu per satu. Terus terang saja, ia tidak menyangka kumpulan orang asing ini bisa memberinya efek lembut yang tak terduga. Yang terjadi barusan sebenarnya sederhana saja, hanya sentuhan dan ucapan yang tidak jauh berbeda dengan yang akan diberikan orang lain kepadanya. Tapi para tetangga ini ... mereka terasa tulus.

"Sebenarnya," Saka diam sebentar. Menimbang-nimbang. "Ibu saya mau mengadakan pesta perpisahan. Waktunya belum tau. Tapi ... uhmm ... dia minta saya ngajak teman. Saya nggak punya teman."

Seakan mengerti maksud Saka, Tante Tika mengangguk singkat. "Tentu aja kita bakal datang."

"Perlu gue bawain patung gue nggak, cyin?" Simon mengerling manja. "Mana tau di sana ada cowok ganteng baik hati. Bapak-bapak bangkotan bau tanah juga nggak pa-pa."

Om Hendro menepuk hangat punggung Saka. "Nanti kalau udah tau tanggalnya, kabari kami. Kami akan datang. Sudah, sana dimakan dulu ramennya. Makan yang banyak. Atlet 'kan butuh banyak tenaga."

Saka mengangguk-angguk dengan senyum sungkan, lalu mengambil sumpit lagi dan mulai mengaduk ramennya. Diseruputnya mi ramen lezat itu sebanyak-banyaknya yang ia bisa.

Tak lama kemudian, kedua matanya mengerjap menyadari satu hal. Hati-hati, diintipnya mangkuk ramen semua orang di meja, lalu kembali pada mangkuknya sendiri.

Semua mangkuk ramen di sana dipenuhi potongan daun bawang yang besar-besar, kecuali mangkuknya. Mangkuknya tidak dihiasi daun bawang seiris pun.

Tunggu. Saka menoleh pada Samara yang sedang menyeruput kuah dengan tenang. Perempuan itu yang tadi memesan untuk mereka semua.

Jadi ternyata diam-diam, ia ingat Saka tidak menyukai aroma daun bawang.

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 33.2K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
81.8K 14.7K 35
"Datenginnya pas bosan doang, emang gua playstation?" warning : contains lot(s) of swearing(s) or harsh word(s) highest rank #180 in fanfiction [3-31...
272K 15.7K 30
[COMPLETED] Kamu yang membuatku berubah dalam sesaat tapi kamu juga yang membuatku kembali saat kamu pergi dariku. (Tulisan pertama, maafin kalo anc...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

2.9M 204K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...