Ambrosia

By genitest

9.5K 1K 23

Definition of ambrosia 1a : the food of the Greek and Roman gods b : the ointment or perfume of the gods 2 :... More

1. Fresh Start
2. Suami Istri
4. Tonkotsu Ramen
5. Pena Bekas
6. Pangeran Kecil
7. Mooncake Festival

3. Ulang Tahun

997 139 1
By genitest

"Lo kenapa, sih? Hmm? Kurang tidur?"

Ya. Betul sekali. Ia kurang tidur.

Mengabaikan pertanyaan Petra, Saka menurunkan ritsleting jaket yang dikenakannya dan menyerahkannya kembali pada kru. Pemotretan sport apparel baru saja berakhir, dan Saka tidak terlalu bersemangat menyambut jadwal berikutnya.

"Pet, lo batalin jadwal interview-nya."

"Lah? Lo mau ke mana emangnye? Latihan? Lo udah dilarang Coach dateng latihan gara-gara berantem kemaren. Eh! Wah, si anjing gila—" Petra buru-buru menahan leher kaos merk Nike yang baru saja meluncur melewati kepala Saka. "Copot! Sableng lo, Ka. Hormatin brand yang udah bayar elo lah, Ka."

Saka tetap mengenakan kaos itu dan melenggang santai melewati semua kru pemotretan yang terbengong-bengong.

"Lo mau ke mana, woi!" Petra lari menyusul Saka, tak lupa membungkuk-bungkuk maaf pada semua kru yang dibuat shock oleh sang klien.

Saka memutuskan untuk berolahraga di Clubhouse Akasia siang itu, mengingat ia tidak punya jadwal latihan basket gara-gara sanksi dari perkelahiannya dengan Ian.

Bagaimana pun, lebih baik ia mengolah kebugaran tubuhnya daripada tidur siang atau melamun tidak jelas di rumah.

Tidak banyak penghuni Akasia yang berolahraga di ruang gym siang itu. Hanya Saka dan seorang pria penghuni entah rumah nomor berapa yang berlari di treadmill. Tidak ada suara bising selain jejak sepatu yang bergesekan dengan karet mesin treadmill.

Demi mengusir semua lamunan kemarin malam, Saka mencoba mendengar sembarang musik, apa saja, dari airpods di dua telinganya.

"Hai." Sayup-sayup terdengar sapaan dari mesin sebelah.

Saka menoleh, lalu mendesah tanpa suara. Hidup lagi bangsat-bangsatnya, dan sekarang ia harus berjumpa dengan Odi.

"Olahraga siang-siang juga?" Pria berkulit dan berwajah putih bersih itu tersenyum sopan kepadanya. "Udah lama?"

Saka menaikkan volume musik. Tapi terlambat untuk tidak mendengar ucapan Odi yang terlanjur masuk.

"Selain basket, ada olahraga lain yang elo suka?" Pria itu mulai menyalakan mesin treadmill. "Gue nggak terlalu jago olahraga. Satu-satunya olahraga yang gue suka itu berburu. Iya, aneh ya. Gue bahkan nggak tau apa itu bisa masuk kategori olahraga. Waktu kecil, sebulan sekali paman gue—yang pensiunan tentara—ngajak gue buat nemenin dia berburu. Kadang di Cikidang, Serang, Garut—"

Astaga berisiknya.

"Kapan-kapan kita bisa hunting bareng kalau mau. Nggak berburu yang aneh-aneh kok, palingan burung. Kita nggak membunuh rusa." Odi tertawa. "Oh iya, gue baru inget. Malam ini ada acara? Kebetulan bini gue ulang tahun. Kalau elo free, dateng aja jam delapan di rooftop Ginza. Gue dan temen-temen mau bikin surprise di sana. Acara kecil-kecilan doang sih—"

Saka tahu terkadang ia bisa bersikap semena-mena dan menyebalkan selayaknya bajingan, tapi ia tidak bisa menahan diri. Tidak di depan pemuda yang sangat mengingatkannya pada Raja Barata ini. Saka tidak memiliki keinginan sekecil apa pun untuk mencoba bersikap sopan pada Odi. Alih-alih menjawab, ia mematikan mesin dan meninggalkan pria itu.

Odi tertegun melihatnya.

Saat Saka menyambar tas olahraganya dari kursi, pria itu mematikan mesin dan memanggil.

"Sori, sebenarnya kita punya masalah apa?"

Langkah Saka terhenti. Dengan hembusan napas malas, ia melepaskan kedua airpods dari telinga. "Apa?"

"Apa kita punya masalah? Sori, bukan itu maksud gue. Maksud gue, apa gue pernah bikin kesalahan?"

Saka menoleh.

Odi mengangkat bahu singkat dengan mimik kebingungan. "Karena entah elo memang anti sosial seperti kata orang, atau gue pernah melakukan kesalahan yang gue nggak tau apa, tapi elo udah bersikap sangat aneh sejak hari pertama gue pindah. Kalau gue pernah bikin salah, gue minta maaf. Setulus-tulusnya."

Saka memandanginya bosan.

"Kita bakal hidup bertetangga dalam waktu yang entah kapan, mungkin lama, jadi gue nggak mau punya masalah dengan orang yang tinggal dekat rumah gue. Kalau gue memang pernah berbuat salah sama lo, apa pun itu, please kasih tau gue biar gue bisa memperbaiki semuanya."

Berondongan kalimat sudah tertahan di ujung lidah Saka.

Ia bisa memilih sikap dramatis dengan mengumbar tontonan maksiat yang disaksikannya tempo hari, atau memuntahkan uneg-unegnya tentang keberadaan Odi yang membuatnya teringat pada Raja Barata, tapi setelah dipikir-pikir ... untuk apa ia melakukan semua itu? Masalah yang tadinya bukan urusannya, akan berubah panjang dan kemudian menjadi urusannya.

Saka menjawab santai. "Gue emang anti sosial."

"Mungkin sikap sok akrab gue yang salah. Sori, bro, gue nggak bermaksud apa-apa, gue cuma mencoba bersahabat dengan penghuni sekitar. Gue dan Samara selama ini terbiasa tinggal di apartemen, di sana penghuni lain nggak pernah mau bersosialisasi. Jadi gue pikir, mungkin kali ini bisa berbeda. Gue bener-bener minta maaf kalau lo merasa nggak nyaman."

Saka menggaruk kepalanya dengan lamban dan malas. "Oke. Kita udah selesai?"

"We all good, bro?" Odi menghampirinya dengan tangan terulur.

Harus Saka akui, selain (sok) ramah, pria satu ini pintar bicara dan memiliki karisma yang kuat. Sorot matanya tegas dan bahasa tubuhnya penuh percaya diri. Seperti ketua kelas atau ketua OSIS yang disegani banyak orang dan membuat kamu minder dengan nilai sempurnanya. Atau anak sulung para uncle-auntie yang kerap dibanggakan orang tuamu berkat jabatannya yang mentereng. Pria satu ini memiliki karisma kuat bagai pemimpin.

Tapi Saka tidak suka dipimpin.

Tangan Odi yang masih menggantung, hanya dipandangi Saka dengan tak berselera.

Pria itu menariknya tak lama kemudian.

"Tawaran gue masih berlaku," Odi tersenyum menahan sabar. "Kalau free, dateng aja jam delapan nanti. Tapi jangan merasa terpaksa, karena gue nggak mau mengganggu acara penting apa pun yang elo punya nanti malam."

***

Saka terlambat setengah jam hingga melewatkan prosesi surprise apa pun yang disiapkan Odi bagi sang istri tercinta. Ia hanya bisa menebak dari banyaknya sisa-sisa confetti dan pecahan balon yang bertaburan di lantai.

Begitu ia tiba, tamu-tamu sudah mulai bersantap malam. Suara denting peralatan makan serta ramai obrolan mewarnai kedatangannya. Samara sedang sibuk mengobrol, maka Odi yang menyambut kedatangan Saka sambil menggiringnya menuju dua kursi kosong di ujung meja.

"Seriusan, itu suami Samara Lee? Anaknya Pak Adiyatama?" bisik Petra ketika duduk di sebelah Saka.

Iya, Saka mengajak Petra bersamanya, untuk berjaga-jaga kapan pun ia bosan, ia bisa memakai Petra sebagai alasan pura-pura ada schedule.

"Lo pasti nggak tau siapa tuh cowok," bisik Petra lagi. "Namanya Odi, kan? Anaknya Pak Krisna Adiyatama. Pernah jadi cover majalah Forbes sebagai pengusaha genius muda yang diprediksi bakal membawa SunText jadi perusahaan ponsel nomor satu Asia."

Saka mengangguk kecil pada seorang pramusaji yang baru saja menuangkan red wine ke gelasnya.

Petra belum selesai. "Hebat juga si Samara Lee. Lama ngilang nggak ada kabar, tau-tau muncul udah nikah sama anak pengusaha beken. Tapi kok, berita pernikahan mereka nggak heboh ya?"

Saka mengamati menu appetizer yang baru saja diletakkan di depannya. Bruschetta dengan toping tomat, bombay, dan taburan keju parmesan. Baunya lumayan.

"Kalau yang itu Gianna Lee, adiknya Samara," Petra menyenggol lengan Saka, menunjuk dengan matanya seorang perempuan muda yang duduk di samping Samara. Dari wajahnya yang begitu muda, barangkali anak itu masih duduk di bangku sekolah. "Beda tujuh tahun sama kakaknya. Sama-sama cantik ya."

"Kayaknya elo tau semua silsisah keluarganya ya?" sindir Saka.

Saka ingin kembali pada makanannya, tapi dua tamu wanita di depan yang sejak tadi berbisik-bisik, mulai memberanikan diri menyapa Saka. Mereka mengatakan bahwa mereka terkejut seorang Saka Barata si pebasket ternama itu bisa ada di pesta ini.

Tamu-tamu di kursi sebelah ikutan menoleh.

"Eh iya, Saka Barata ya ini? Pantes mukanya familiar."
"Wah, boleh dong foto-foto abis makan?"
"Aslinya keren banget ya."
"Cakep kayak bapaknya."
"Salam buat Pak Barata, gue fans beratnya."
"Pak Barata ada rencana nyapres nggak sih? Aku pasti nyoblos beliau."
"Gimana sih, rasanya jadi anak Pak Raja?"
"Waktu sekolah disuruh belajar setiap hari, nggak?"

Seluruh tamu pesta adalah anak muda berpakaian mewah serta berpenampilan mahal. Barangkali kalangan esmud atau sosialita populer, tapi tidak ada satu pun yang Saka kenal. Yang ia pikirkan hanya aroma-aroma parfum dari berbagai merk yang menguar di udara, bercampur aduk tabrakan tumpang tindih, begitu kacau hingga perutnya menjadi sedikit mulas.

Beruntung ia sudah belajar mengendalikan indera penciumannya dengan hanya memusatkan pikiran pada satu benda. Dan saat itu, benda pengalih pikirannya adalah harum red wine di gelas.

Menusuk. Tajam. Sedikit pedas.

...

....

Sialan, ada yang bau kaki.

"Oh iya, Saka, gue nonton pertandingan kemaren loh."
"Selamat ya, Titans maju ke semifinal."
"Dari umur berapa sih Saka belajar basket?"
"Iya, jago banget, gila."

Dengung percakapan itu baru bubar ketika Odi bangkit dari kursi dan mendentingkan gelas wine-nya. Kepala-kepala serempak menoleh ke dua kursi depan.

"Pertama-tama, gue mau bilang thank you untuk kalian semua yang gue tau lagi sibuk tapi tetep menyempatkan diri datang ke sini. Berkat kalian, acara ini jadi meriah. Dan surprise-nya berhasil." Odi menunduk pada Samara yang duduk di kursi sampingnya. Satu tangannya diletakkan di atas bahu sang istri.

Saka menggunakan kesempatan ini untuk benar-benar mengamati Samara.

Si bintang utama yang berulang tahun malam ini mengenakan terusan hitam simple tanpa lengan berkerah V, rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja membingkai wajah lembutnya yang dipoles riasan tipis. Matanya bersinar-sinar cerah, senyumannya merekah tiada henti.

Saka harus mengakui ucapan Petra benar. Pembawaan Samara paling berbeda di meja ini. Wajahnya yang lembut serta senyuman tipisnya yang tenang, gerakan tubuhnya yang anggun tanpa dibuat-buat, serta sorot matanya yang walau teduh tapi terlihat tajam dan cerdas, membuat segalanya terlihat sangat mewah, mahal, berkelas.

Vibe old money nggak pernah bohong, kira-kira begitu ucapan Petra di perjalanan mereka menuju restoran ini. Siapa pun lakinya beruntung banget.

Tak lupa Petra membacakan semua thread-thread lama yang dikoreknya dari forum Gogon—Gosip Underground. Ada thread khusus membahas kehidupan kalangan sosialita di mana Samara Lee pernah menjadi topik terpopuler.  Pernah. Karena sosok itu kemudian menghilang dan digantikan sosok-sosok sosialita lain yang juga menarik untuk digoreng.

Dia yang pernah hilang misterius pasca kepindahan ke Singapura, lalu muncul kembali tau-tau udah nikah, ckckck .... begitu ucapan Petra di mobil entah untuk yang keberapa kalinya.

Bahkan di meja makan ini pun, Saka melihat Petra tidak bisa melepaskan matanya dari sosok Samara Lee.

"Gue mau ucapin selamat ulang tahun buat Samara." Suara Odi menarik Saka kembali dari lamunannya. Dari tempatnya berdiri, Odi menunduk memandangi sang istri dengan penuh takjub. "Sayang ... nggak ada yang lebih aku inginkan di dunia ini, selain melihat kamu sehat, bahagia, dan hidup dengan penuh cinta. Aku harap aku bisa memenuhi semua itu untuk kamu. Aku orang paling beruntung sejak tiga tahun lalu waktu kamu terima lamaran aku, sejak saat itu sampai sekarang, aku selalu janji sama diri aku sendiri untuk membahagiakan kamu."

Saka melipat bibir, menunduk menahan senyum geli. Sebut ia brengsek—dan ia memang brengsek—tapi menurutnya, yang lebih brengsek lagi adalah laki-laki pengecut yang lebih memilih berpura-pura dan terus menyakiti orang yang mencintainya, ketimbang jujur saja dan meninggalkannya.

"Happy birthday, Sayang, I love you so much."

Ketika tepuk tangan bergema, Saka kembali mengangkat wajahnya dan melihat Odi tengah membungkuk ke kursi sang istri. Samara menautkan jemarinya di tangan Odi yang bertengger di pundaknya, mendongak, lalu menyambut kecupan mesra sang suami dengan senyuman di bibir.

"Gue nggak iri gue nggak iri." Petra berbisik sinis di kursi sebelah.

Usai kecupan mesra yang kira-kira memakan waktu empat detik itu, Odi mengusap pipi Samara dengan kening saling menempel, mengucapkan sesuatu dengan mata terpejam, dan Samara mendengar semuanya dengan bibir tersenyum.

"Irigasiirigasiirigasi." Bisikan Petra makin serak.

Tamu-tamu baru meninggalkan kursi mereka setelah lem di kedua kening couple of the year itu terlepas. Satu per satu mendatangi Samara untuk memeluk, menempel pipi, dan mengucapkan selamat ulang tahun.

Petra, tentu saja, segera ikutan.

Kemudian Saka melihat sosok itu. Perempuan dengan rambut bob cokelat yang (tak sengaja) diintipnya bercumbu dengan Odi. Perempuan berbodi gitar Spanyol yang dulu diduganya sebagai istri sah Odi.

Dengan gaun ketat serta sepasang heels tinggi, perempuan itu menghampiri Samara, bertukar tempel pipi kemudian berpelukan lama. Benar-benar tampak akrab dan tidak canggung sama sekali. Sepertinya sudah kenal lama. Atau mungkin lebih buruknya lagi : sahabat dekat.

Saka memandangi keduanya dan sadar mereka memiliki pembawaan yang sangat bertolak belakang bagai bumi dan langit, tapi ia tidak ingin melanjutkan perbandingan itu. Toh, ia tidak kenal keduanya.

Cukup tahu saja bahwa selera Pak Odi ternyata bervariasi.

Acara makan-makan berlanjut dan suasana menjadi meriah. Lagu-lagu kencang berdendang, botol-botol wine mulai terkuras. Petra sudah meluber bersama tamu-tamu lain di sudut ruangan, sementara Saka masih setia duduk di kursinya, menatap layar ponsel demi membunuh kebosanan sambil sesekali merancang skenario di otaknya untuk mencari alasan pulang lebih awal.

Tapi belum juga skenario tercipta, tiga orang tamu tahu-tahu menghampiri kursinya dengan wajah riang serta aroma napas bau bawang putih campur alkohol.

"Saka, kita lagi joking aja tadi, kita lagi ngobrol-ngobrol terus baru sadar kalau semua orang di sini udah couple-an. Gimana dengan lo? Single nggak, nih?" Pria sok akrab itu menepuk pundaknya. Saka tidak ingat namanya walau mereka sempat berkenalan.

"Kenapa?" tanya Saka malas.

"Jomblo nih pasti," seorang perempuan bergaun pendek warna emas menuding wajah Saka dengan kuku tajamnya.

Seorang perempuan lagi terkikik. "Mau kita kenalin nggak? Sama temen kita yang sama-sama jomblo ngenes?"

Dua dari mereka berteriak nama Gladys, Saka menoleh, dan melihat perempuan rambut bob cokelat itu menghampiri mejanya dengan wajah kebingungan. Si Kekasih Gelap Pak Odi.

"Nih, namanya Gladys. Lawyer, cantik, pinter, seksi lagi, bagus bobot bibit bebetnya—"
"Tapiiiii~"
"Sayangnya jombloooooo~"

Ketiga manusia itu tertawa dan Gladys—si bodi gitar—mengibas tangan menyuruh mereka diam dengan wajah merah padam. Bahasa tubuhnya persis seperti anak bawang yang pemalu. Aromanya perpaduan kopi, sedikit wine, dan parfum beraroma citrus yang kuat.

"Temennya Samara?" tanya Saka saat Gladys tersenyum kikuk kepadanya.

"Iya, sahabat dari sekolah."

Jawaban yang cukup mengejutkan bagi Saka. Walau tidak plot twist-plot twist amat.

Saat Saka berbasa-basi nanya 'kerja di mana', ketiga manusia norak di belakangnya menyerukan 'cieeeeeee~' yang begitu kencang hingga nyaris seluruh tamu menolehkan kepala. Walau akhirnya mereka kembali sibuk masing-masing.

"Uhhhm," Gladys melipat tangan di depan pinggangnya dengan senyuman malu. "Cuma firm kecil."

Temannya memotong. "Halah, sok rendah diri lo, Dys. Dia ini kerja di firmanya Pak Sinaga, yang jadi penasehat hukum resminya SunText."

"Oh," Saka tersenyum basa-basi.

"Eh, kasih nomer hape lo ke Saka dong."

Gladys terhenyak kaget, lalu menoleh ke temannya dengan tatapan protes. "Ih, apaan sih lo!"

"Nggak usah malu-malu, Dys, daripada karatan?"
"Tiga tahun ngejomblo, apa nggak kering sumur lo?"

Gladys mendesis protes pada mereka semua, lalu diam begitu melihat Odi datang menghampiri tempat mereka. Saka ikut menghapus senyuman di wajahnya, setengah mati menahan bulu kuduknya yang meremang oleh rasa antusias pada apa yang bakal terjadi.

Odi menepuk pundak Saka. "Thanks for coming, bro. Gimana? Lo suka makanannya?"

Saka mengangkat bahu ringan. "Oke." Ia berusaha membuang pikiran ini jauh-jauh tapi ... tubuh Odi menguarkan aroma parfum citrus yang sama dengan Gladys.

"Sori ya, temen-temen gue emang norak," Odi menunjuk mereka semua. "Maklum, mereka ngefans sama lo."

"Enggak, Di. Eh, no offense ya, Saka, tapi gue nggak demen basket. Di, kita tuh lagi jodohin si Gladys sama Saka Barata. Gimana? Cocok nggak menurut lo?"

Gladys melenguh protes dengan pelototan marah. "Gila ya lo pada!" Lalu menghentakkan kakinya meninggalkan mereka semua.

"Yaaa, marah dia."
"Kok malah kabur sih, Dys?"
"Sok jual mahal."

Bak pahlawan pembela kebenaran, Odi menegur ketiga orang itu dan meminta mereka berhenti mengganggu Gladys.

"Ya abisnya kasian, Di, udah lama banget dia jomblo."
"Kayak aneh gitu nggak sih? Entah seleranya ketinggian atau dia udah punya pacar tapi nggak mau cerita sama kita."
"Atau jangan-jangan udah punya sugar daddy."

Odi kembali menegur mereka semua. Mengatakan bahwa kehidupan pribadi Gladys bukanlah urusan mereka dan bahwa tindakan mereka sudah membuat Gladys tidak nyaman.

Di saat itulah Saka tidak sengaja melihat Samara. Yang berulang tahun sibuk mengobrol dengan salah satu tamu yang sedang menimang bayi. Samara membungkuk menyentuh tangan mungil bayi itu dengan sangat hati-hati, tatapan matanya begitu lembut dan penuh antusias. Senyuman tipis di bibirnya merekah lebar. Seakan ia baru saja bertemu dengan makhluk paling indah di muka bumi.

"Minta ngemong anak tuh, Di." Rupanya salah satu dari manusia norak itu juga menonton hal yang sama. "Tunggu apa lagi sih, Di? Udah married tiga tahun."

"Pelor lo gagal berfungsi?" tembak yang lainnya.

"Perlu gue turun gunung ajarin elo?"

Mereka semua tertawa dan Odi hanya menggeleng-geleng tak habis pikir.

Saka mendorong kursinya untuk berdiri. Kepada Odi yang bertanya apakah ia sudah mau pulang secepat ini, Saka hanya menjawab dengan menunjuk ke pintu balkon. Ia butuh udara segar karena tempat ini sungguh bising dan bau.

Saka mendorong pintu geser balkon rooftop. Suara keramaian di ruangan VVIP menjadi sayup, saat ia menutup kembali pintu itu dan berjalan keluar.

Saka berdiri di ujung rooftop yang sepi, memandangi gedung-gedung tinggi di sekelilingnya ditemani angin kencang serta suara samar lagu-lagu pesta.

Dirasakan masih terlalu bising, Saka menyeret langkahnya ke sudut kanan gedung, berhenti di area pojok yang tertutupi pohon hias berlampu kerlap-kerlip. Lumayan, walau keramaian di ruang kaca itu masih terdengar sayup.

Saka menempati bangku kayu di depan pohon dan mulai mengeluarkan ponsel untuk menulis pesan buat Inge, bahwa setengah jam lagi ia akan ke rumah menjenguk.

Sang ibu membalas dengan cepat, memerintahnya untuk tidak datang.

Jangan datang setiap hari, saka. Kamu jg punya kehidupan, jgn buang wkt kamu jenguk orang sakit

Sana, pergi sama temen2 kamu

Saka mengamati sekeliling. Inge seharusnya tahu ia tidak punya teman.

Kemudian ada pesan masuk dari Coach Charles yang mengatakan ia boleh datang latihan besok, asalkan mau menulis surat pernyataan maaf. Saka membelalak kesal. Enak aja. Memangnya ia bersalah apanya? Bukankah si Kapten Tim yang mulai dulu—

Kepala Saka terangkat saat mendengar ketukan heels mendekatinya. Ia menoleh cepat, dan melihat Samara baru saja mendatangi tempat persembunyiannya.

Tanpa menyadari keberadaan Saka di kursi, perempuan itu menepi di tembok rooftop seraya membuka tas mungilnya untuk mengeluarkan sesuatu. Saka hendak menerka ponsel atau lipstik, tapi rupanya bungkusan rokok.

Samara mengeluarkan kotak rokok itu dari dalam tas, membuka tutupnya dan hendak menarik sebatang. Tapi kemudian urung. Tatapannya menerawang jauh meninggalkan benda di tangannya itu.

Saka sadar ia berada dalam situasi serba salah. Jika ia terus duduk diam bersembunyi seperti ini lalu ketahuan, Samara akan mengira dirinya sengaja mengintip.

Saka terpaksa menyimpan kembali ponselnya dan berdeham kecil.

Samara menoleh kaget, sedikit terhenyak menyadari ada orang lain di sana, dan kebetulan orang lainnya itu adalah tetangga baru yang selalu menimbulkan kecanggungan.

"Gue emang udah mau pergi kok. Lo boleh terusin itu." Saka bangkit dari kursinya seraya menggerakkan dagu menunjuk rokok di tangan Samara.

Samara terdiam sebentar. Alih-alih memasukkannya kembali ke dalam tas lalu tersenyum penuh keanggunan dan mencari seribu alasan, perempuan itu mengangkat kotak rokoknya dan menawarkan pada Saka.

Langkah Saka terhenti. Entah menguap ke mana niat 'gue emang udah mau pergi'-nya itu. Kakinya justru berbelok, berjalan perlahan mendekati tembok tempat Samara menepi.

"Enggak." Saka menolak rokok tawarannya, lalu berdiri sejauh tujuh langkah di samping Samara.

"Keberatan saya di sini?"

Saka menggeleng. "Toh, ini pesta lo." Lalu membuang tatapannya jauh ke gedung-gedung pencakar langit di depan sana. Diam-diam, sambil menyadari bahwa dirinya tidak membawa kado ulang tahun apa pun, Saka menunggu hembusan angin di sekitar mereka meniupkan aroma itu lagi.

Cepat sekali keinginannya terwujud. Angin kencang berhembus, aroma itu datang, bergelung cepat mengisi udara sekitarnya seperti awan tebal, lalu menurunkan hujannya membasahi semua indera Saka.

Saka memejamkan mata dan mengusap hidung perlahan. Ia mencoba meresap keseluruhan aroma ini, tapi kemudian kecewa karena segalanya tercium berbeda.

Malam ini Samara menyemprotkan parfum. Bebauan kimia beraroma bunga-bungaan itu menyamarkan hampir seluruh aroma khas Samara.

"Pak Saka. Boleh saya tanya sesuatu?"

"Setua itukah tampang gue sampai harus dipanggil 'Pak'?"

Samara tersenyum dan mengangguk paham. "Boleh saya tanya sesuatu? Apa saya ... sebau itu?"

Oh shit. Saka tertegun dan membuka mulut tanpa suara.

"Karena kalau berdekatan dengan saya, Pak Saka sering melakukan ini." Samara menunduk dan mengusap hidungnya perlahan, lalu mendongak lagi dan tersenyum menanti.

"Gue ... mmmm, emang punya penciuman sedikit sensitif sama bau."

Tunggu. Kemarin malam saat mereka berdiri di dinding waktu mendengar cerita Andri dan Samara tahu-tahu menyingkir dua langkah darinya ... apa perempuan itu takut bau badannya mengusik Saka?

"Gue nggak bilang elo bau," lanjut Saka. "Maksud gue, setiap orang punya aroma khasnya masing-masing."

Mata Samara menguncinya dengan tatapan penasaran. "Sesensitif apa Pak Saka?"

"Sori?"

"Penciumannya."

"Oh," Saka mengusap dagu. "Hmm ...," berpikir. "Anggap aja, gue bisa cium ...." Berpikir lagi. Lalu menunjuk tas mungil di tangan Samara. "Tas itu lama disimpan di entah lemari atau mobil, yang pengharumnya wangi jasmine."

Mata Samara membulat kaget dan bibirnya terbuka merangkai senyum kagum. "Lemari pakaian."

"Dan tas itu juga pernah ketumpahan lemon tea."

Samara tertawa kecil. "Sepatu saya." Ia mengangkat sedikit heels kanannya. "Ketumpahan lemon tea tadi siang, padahal sudah dilap bersih."

Wajah berparas lembut itu mengangguk-angguk kecil tanpa sedetik pun meninggalkan tatapannya dari Saka.

"Kalau memang sesensitif itu, pasti sulit waktu tanding basket, dengan orang yang begitu banyak."

"Biasanya kalau gue udah fokus sama sesuatu, gue nggak terganggu lagi dengan bau apa pun. Misalnya lagi basket, yang gue pikir cuma basket, bukan aroma di sekeliling gue."

"Saya jadi penasaran. Kalau Pak Saka bisa mencium aroma orang lain, berarti bisa mencium aroma sendiri juga?"

"Bau badan gue enak," jawab Saka percaya diri. "Roasted tea." Kadang bisa kaos kaki basah juga, kalau abis tanding.

Samara mengulum senyum. "Oke. Jadi ... semua orang punya aroma khasnya masing-masing."

"Iya."

"Kalau gitu, saya beraroma apa?"

Saka mengusap belakang lehernya perlahan. "Untuk saat ini cuma Louis Vuitton Rose de Vents."

Kembali bibir Samara meluncurkan tawa kaget. Keningnya berkerut.

"Gue hafal baunya karena pernah bantu Petra cari kado ulang tahun." Saka tidak mengerti mengapa ia harus menjelaskan. "Tapi biasanya ...," ia berpikir lagi. "Bau lo sedikit aneh."

"Oh?" Samara mengumbar senyum kalemnya yang khas. "Sayang sekali."

Saka membatin dalam hati, mungkin ada baiknya ia tutup mulut.

"Jadi, apa Rose de Vents yang saya pakai ini sudah menutupi bau aneh saya?"

"Iya."

"Baguslah—"

"Tapi," Saka ingin mencambuk mulutnya sendiri karena tidak bisa diam. Kepalanya menengadah dan pipinya menggelembung seperti hendak membuang napas banyak-banyak. "Tapi lebih enak bau alami tubuh elo—maksud gue, bau tubuh kita sendiri."

Samara tersenyum bingung.

"Begini. Maksud gue, tubuh setiap orang punya aroma khasnya sendiri, aroma khas tanpa parfum."

Samara menyimak.

"Ada bau yang mereka sadar dan bisa menciumnya sendiri, tapi ada bau-bau lain yang terlalu samar buat dicium hidung orang normal. Contohnya, bau badan manajer gue, si Petra, kayak bau tengik matahari campur keringat bapak-bapak campur kacang rebus yang biasa dijual gerobakan. Nah, dia bisa endus that aroma Tengik Mataharai Campur Keringet Bapak-Bapak waktu dia ngendus keteknya yang belom mandi, karena itu aroma yang bisa dicium semua orang. Tapi dia nggak akan pernah bisa endus, dan nggak akan pernah sadar, kalau tubuhnya juga punya aroma kacang rebus gerobakan itu. Itulah bau khasnya. Selain bau khas badan orang, gue juga bisa mencium bau-bau khas yang nggak bisa dicium orang di tempat sauna, toilet umum—"

Babi Ngepet, mending elo diem sekarang.

Ide bagus. Saka berhenti bicara. "Lupakan."

Bola mata Samara bergerak-gerak mencerna semua badai informasi itu dengan seksama. Kadang matanya menyipit, alisnya bertautan, dan bibirnya menyunggingkan senyum bingung. Kemudian ia tertegun lama dan dari sorot matanya yang penuh rasa ingin tahu itu, Saka tahu pertanyaan apa yang sudah tersimpan di ujung lidahnya.

"Bau lo ... campur aduk," Saka berusaha semampunya untuk mengurai. "Kayak bau pakaian segar yang baru diangkat dari mesin cuci, napas bayi, apel yang baru dikupas, sama toko bunga."

Alis Samara kembali bertautan dengan bibir terbuka tipis seperti menahan tawa. Sorot penasaran di bola matanya berubah menjadi sorot tak percaya, takjub, lalu paham-paham-tapi-bingung.

"Seenggaknya sekarang saya tahu, saya nggak bau keringat bapak-bapak." Perempuan itu tertawa pelan. "Ada bau yang Pak Saka nggak suka?"

Saka menggedik bahu. "Mostly gue masih bisa toleransi, tapi kaos kaki busuk, daun bawang, kaporit, seafood amis, dan rokok."

Samara melirik kotak rokok yang masih di dalam genggaman tangannya, lalu mengangguk kecil dan membalik tubuhnya menatap gedung depan.

Saat kedua lengan Samara menjuntai melewati tembok pembatas, Saka melihat luka lecet di lengan kiri dan memar di pergelangan lengan yang sama. Ia tidak menyangka cengkeraman Pak Jaya bisa sekuat itu.

Tatapan Samara menerawang jauh. "Ngomong-ngomong, tadi pagi saya berkunjung ke rumah Pak Jaya. Saya ketemu Pak Andri, dan dia bilang Pak Jaya akan tinggal di panti jompo mulai besok."

"Kenapa bukan di RSJ?"

"Karena dia nggak punya gangguan jiwa."

Saka tidak pernah mengerti mengapa ada jenis manusia yang sudi repot-repot mengurusi dan mengkhawatirkan orang lain, bahkan sampai berkunjung ke rumah seperti yang dilakukan Samara.

"Rencananya," lanjut Samara. "Besok saya akan jenguk ke panti."

"Buat apa? Biar dia bisa terus-terusan nganggep elo Anna? Elo nggak bisa sekejam itu kasih harapan palsu ke orang putus asa."

"Saya cuma mau mengucapkan selamat tinggal. Sebagai Anna."

Saka mengernyit bingung.

"Pak Jaya kehilangan banyak dalam satu hari. Anak, menantu, cucu, semua direnggut tiba-tiba tanpa dia sempat memberi perpisahan. Nggak ada manusia yang kuat kalau orang yang dia cintai direnggut tiba-tiba begitu aja, semua orang berhak diberi kesempatan untuk mengucapkan perpisahan ke orang yang mereka cintai. Pak Jaya cuma mau itu."

Saka tertegun lama.

Semua orang berhak diberi kesempatan untuk mengucapkan perpisahan ke orang yang mereka cintai.

Kalimat Samara membuatnya teringat pada Inge Barata, tentang bagaimana sang ibu begitu menginginkan sebuah pesta perpisahan karena ia ingin berpamitan baik-baik ketimbang pergi tiba-tiba.

Gelombang mual menyergapnya.

Ia belum siap.

Perpisahan baik-baik atau pun tiba-tiba, ia belum siap kehilangan Ibu.

"Bullshit," Saka tertawa sumbang. "Perpisahan tetap aja perpisahan. Buat apa repot-repot ngucapin selamat tinggal, kalau ujung-ujungnya pergi juga."

"Ayah saya meninggal tanpa kami sempat berpamitan," Samara menatapnya. "Serangan jantung, beberapa menit setelah menelepon saya menanyakan apa saya sudah makan. Saya lagi di sekolah waktu itu."

Samara menoleh dan mendaratkan tatapannya pada Saka. Tersenyum. "Pak Saka benar, perpisahan tetaplah perpisahan. Tapi setidaknya kalau saya bisa memilih, saya bakal memilih ada di samping Ayah ketimbang berlama-lama di sekolah mengobrol dengan teman yang sejujurnya nggak saya sukai. Seandainya saya dikasih kesempatan, saya cuma mau mengucapkan selamat tinggal."

Saka tertegun lama, lalu membuang wajahnya menghindari tatapan Samara. Hatinya kini terombang-ambing dilanda rasa takut. "Setelah ayah lo meninggal ... gimana caranya elo pulih?"

"Saya nggak pernah pulih," jawabnya.

"Kenapa?"

"Saya rasa, karena waktu berduka yang saya punya enggak pernah cukup. Saya punya Gianna," Samara terdiam sesaat. "Saya nggak punya kebebasan untuk bersedih lama-lama."

"Bagusnya gue nggak punya siapa-siapa," Saka tertawa sekali lagi dengan kecut. "Jadi kalau itu terjadi, gue bebas bersedih selama apa pun."

Bola mata Samara bergerak menelitinya. Kemudian paham. Semua orang di negeri ini mengenal Ibu Inge Barata, semua orang tahu penyakit apa yang tengah dideritanya.

Saka menengadah menatap langit dan mengeluarkan tawa sumbang yang terdengar kian pilu. Kemudian menyugar rambut dan menggeleng kesal.

"Lo tau?" serunya tiba-tiba. "Fuck perpisahan dan segala jenisnya, yang gue nggak ngerti adalah ketidakadilan hidup ini buat Inge Barata. Nyokap gue orang paling baik sedunia, ibu paling sabar, istri paling setia. Terus, kenapa harus dia yang dikasih kemalangan; diselingkuhi suami, sakit keras, terus sekarat? Masih banyak orang brengsek di dunia ini, gue misalnya, kenapa harus nyokap gue? Gue nggak peduli mau pisah baik-baik kek, tiba-tiba kek, gue cuma mau nyokap gue berjuang untuk hidup lebih lama lagi. Dia ... dia bisa aja berobat, nambah waktu seminggu atau sebulan, gue nggak peduli seberapa lama, yang penting dia ada di dunia ini. Tapi dia malah milih nyerah. Dan sekarang gue nggak dikasih pilihan apa-apa selain liat dia meninggal?"

"Jadi menurut Pak Saka—kamu," koreksi Samara. "Lebih baik Bu Inge berobat dan terus menahan sakit setiap hari?"

"Kalau lo jadi gue dan lo dikasih pilihan, elo juga pasti mau bokap lo bertahan 'kan?"

Saka menarik napas dalam-dalam seraya menendang dinding di depannya dengan kesal.

Ia tidak sempat lagi mempertimbangkan rasa malu dari meluapkan keputusasaannya pada orang asing, atau rasa sungkan setelah melampiaskan semua itu pada orang yang semestinya sedang berbahagia hari ini.

Debaran di dadanya terasa sangat menyekik. Cangkang berisi kemarahan itu pecah dan meledakkan semua isinya. Ia tidak sanggup memberi ruang pada kepasrahan-kepasrahan yang harus ia telan bulat-bulat tanpa bisa berbuat apa-apa.

Saka Barata bisa menjadi MVP atau juara basket, tapi ia tidak bisa mencegah Ibu pergi meninggalkannya. Untuk melindungi orang yang ia cintai, Saka Barata tidak berguna.

"Gue benci harus berpangku tangan nggak bisa ngapa-ngapain," Saka berkacak pinggang marah dengan menyibak ujung jasnya, suaranya menjadi sangat serak. "Gue benci harus bangun setiap pagi dan bertanya-tanya ... apa Ibu masih hidup hari ini."

Samara memandanginya seperti orang dewasa memandangi anak kecil pemarah yang sedang ketakutan.

Kemudian suaranya melantun pelan. "Ibu Inge akan pergi. Semua orang juga. Yang tetap tinggal adalah kenangan Pak Saka bersama mereka, kenangan saya bersama Ayah. Selama kita masih memiliki itu, hidup yang kita jalani tanpa mereka akan terasa sedikit lebih baik. Sedikit. Sampai akhirnya lama-lama kita terbiasa dan memilih berjalan terus."

"Gue nggak mau cuma sedikit lebih baik."

"Kita nggak punya pilihan."

"Itu kalimat hiburan terbaik yang lo punya?"

"Saat kematian terjadi, nggak akan ada kalimat hiburan yang ampuh."

Saka mendongak padanya dengan kerjapan putus asa. Saat kematian terjadi. Bibirnya terkatup rapat menahan gemetar. Ia berusaha merajut kata demi kata yang terasa mengambang tanpa arti di telinganya. Mungkin ia sedang tidak ingin mencoba mengerti. Atau mungkin ia hanya terlalu takut untuk mengerti, bahwa suatu saat nanti ia hanya akan hidup bersama kenangan Ibu saja.

"... gue benci perpisahan." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Saka kembali membuang wajahnya ke tempat lain. "Mungkin ada bagusnya juga jadi Pak Jaya, percaya bahwa orang yang dia sayangi masih hidup."

"Ada apa dengan ucapan 'elo nggak bisa sekejam itu kasih harapan palsu ke orang putus asa'?" Samara membalik kalimat Saka.

Saka tertawa serak, menyugar rambut tebalnya dengan kesal, lalu terdiam begitu lama hingga perlahan-lahan napasnya mulai berangsur tenang.

Bahunya melemas dan tatapan intensnya melunak. Kemarahannya mulai reda, atau lebih tepatnya lagi ... pasrah.

Saka berdiri hening di sana untuk waktu yang tak lagi dihitungnya. Keinginannya untuk segera beranjak pergi tidak lagi ada. Di luar dugaan, keheningan ini justru terasa menyenangkan. Saka yang tidak pernah merasa nyaman dengan keberadaan orang asing apalagi berurusan dengan mereka, justru tidak keberatan berlama-lama dengan orang asing yang juga tetangga barunya.

"Selamat ulang tahun, by the way." Masih menatap barisan gedung di depan sana, Saka teringat pada lilin berangka 24 di kue ulang tahun Samara. "Umur lo berapa waktu kehilangan bokap lo?"

"Tujuh belas."

"Sejak saat itu elo cuma berdua sama adik lo?"

Saka merasakan anggukan kepala Samara.

"Sori. Semestinya gue nggak bahas soal kematian di hari elo merayakan ulang tahun."

"Bagi saya, hari ulang tahun nggak ada bedanya sama hari lain."

"Boleh gue tanya kenapa lo keluar dari pesta lo, dan diam-diam merokok di sini?"

Samara menoleh ke tempatnya.

Saka membalas tatapan itu. Ia tidak pernah keberatan dengan perempuan yang merokok, hanya saja terlalu aneh di matanya, seorang Samara Lee—yang ia pikir lebih ke tipe perempuan yang bakal menyeduh teh dan duduk di balkon minum teh bak bangsawan Inggris—meninggalkan pesta sempurnanya dan mengendap-endap kemari seorang diri hanya untuk merokok.

Apa ia sedang bermasalah dengan Odi?

"Apa Odi bikin masalah sama lo?" Seharusnya ia tidak tanya ini.

Perempuan itu menggeleng dalam raut bingung.

"Kalian baik-baik aja?"

"Kenapa Pak Saka tanya gitu?"

Bibir Saka terbuka dengan bimbang. Samara sepertinya perempuan baik-baik yang menyenangkan dan tidak pantas dikhianati. Mungkin ada baiknya ia memberitahu Samara tentang Odi dan Gladys.

Tapi ... sungguhkah itu perlu?

Sial. Kenapa ia tiba-tiba jadi setolol ini?

"Lupakan." Saka menggeleng. Ia tidak ingin tercebur dalam lumpur masalah orang lain. Samara Lee maupun Odi Adiyatama bukan urusannya.

"Saya cuma nggak suka keramaian," jawab Samara dengan senyum ringan. "Jadi keluar sebentar. Pak Saka sendiri, kenapa keluar?"

"Karena gue juga nggak suka keramaian. Dan please berhenti manggil gue 'Pak', kecuali elo mau gue panggil 'Bu'."

Perempuan itu tertawa. Kotak rokok yang sejak tadi tidak jadi dibukanya itu, berputar-putar di genggaman jari lentiknya. "Tapi semua pertandingan basket ramai."

"Gue nggak keberatan selama gue punya sesuatu yang bisa gue fokusin. Arena basket emang ramai, bau minta ampun juga, tapi kalau gue udah fokus sama basket, semua bisa gue lupain."

"Sejak kapan suka basket?"

"Umur dua belas." Terhitung sejak Saka malas berada di rumah melihat Raja Barata. Ia enggan pulang, lebih memilih berlama-lama di sekolah, memainkan bola oranye bundar itu hingga lupa waktu. "Sebenernya gue telat mulai. Idealnya, kalau mau serius belajar basket itu di bawah umur sepuluh—"

"Kak?"

Samara berbalik kaget pada suara perempuan yang memanggilnya di kejauhan. Saat suara derap kaki itu terdengar semakin dekat, Samara bergeser ke dekat Saka. Saka menunduk bingung, merasakan kotak rokok itu tiba-tiba diselipkan Samara ke dalam saku jasnya.

"Kak?" Gianna Lee, adik perempuan Samara, tiba di sana dan memandangi mereka bingung. "Waktunya potong kue."

"Oh." Samara tersenyum pada sang adik dan berjalan tenang meninggalkan Saka.

Gianna berjalan mendahuluinya, Samara mengikuti dari belakang. Kemudian aroma Rose de Vents yang lembut terbawa angin saat Samara menoleh mengintip ke tempat Saka, menunjuk kantung jas Saka dengan binar matanya yang tersenyum, dan bibirnya bergerak tanpa suara : sorry.

Saka bergeming di tempat. Diamatinya sosok Samara Lee yang semakin menghilang dari pandangannya. Diam-diam, ia sedikit menyayangkan percakapan mereka usai terlalu cepat.

***

Saka meninggalkan pesta lebih awal dari siapa pun. Ia melepaskan penatnya dengan menyeduh Pop Mie, bermandi air hangat, lalu mengetik pesan kepada Ibu untuk memberi tahunya bahwa ia baru saja pulang dari pesta ulang tahun teman.

Ibu membalas dengan cepat. Selayaknya orang tua yang senang anak anti sosialnya tahu-tahu keluar dari goa dan menjalin persahabatan dengan manusia normal, Ibu mengatakan bahwa ia bangga dan Saka harus membawa temannya ke pesta perpisahan nanti.

Saka masih ingin meminta Ibu membatalkan pesta tidak penting itu, tapi ucapan Samara Lee menahan jari-jarinya. Semua orang berhak diberi kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal. Termasuk Inge Barata.

Deru halus mesin mobil terdengar meluncur di jalanan depan, dan Saka spontan meninggalkan tempat duduknya untuk menepi ke jendela kamar.

Damn. Ia menjadi tukang intip lagi.

Lexus yang dikendarai Odi baru saja terparkir sempurna di carport. Pintu pengemudi terbuka, si Pahlawan Pembela Kebenaran keluar dari mobil sambil menenteng beberapa kantung hadiah pemberian teman mereka.

Samara turun tak lama kemudian. Di pelukannya terdapat sebuket karangan bunga cantik pemberian suami tercinta.

Mereka melangkah menuju pintu. Samara menunggu Odi memutar kunci dan membuka pintu. Keduanya masuk ke dalam, lampu rumah menyala, dan Samara terlihat duduk di sofa sembari melepaskan heels-nya yang melelahkan.

Odi datang membawakan segelas minuman, mengusap puncak kepala Samara dengan lembut, lalu duduk di samping Samara dan mengucapkan sesuatu dengan senyuman penuh cinta. Lalu mengecup bibirnya.

Pasang gorden jendela sialan itu, Bodoh!

Samara tersenyum pada Odi, mengucapkan sesuatu barangkali terima kasih atau I love you.

Kemudian Samara meninggalkan sofa sembari menenteng heels-nya entah ke mana. Odi menyusul. Lampu ruang depan dipadamkan.

Berganti lampu lantai dua yang menyala. Lampu kamar tidur.

Mengingat jendela kamar di depan sana belum juga dipasang gorden, kedua kaki Saka spontan melangkah mundur meninggalkan tempatnya mengintai.

Pasangan suami istri itu barangkali akan melakukan ... melakukan apa tadi yang Petra bilang di mobil?

"Abis pulang party pasti langsung birthday sex. Wajib. Gue juga bakal gitu kalau bini gue Samara Lee! Birthday sex, Christmas sex, new year sex, valentine sex sampai halloween sex! Hari Batik Nasional sex juga!"

Bibir Saka menyunggingkan senyum miring, lalu berbalik menuju tempat tidur dan mematikan lampu di nakas. Kotak rokok yang diselipkan Samara ke dalam saku jasnya masih tergeletak di sana.

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 112 9
[Mature] ⚠️🔞⚠️🔞⚠️🔞 Namjoon hilang !!! Semua bermula ketika Namjoon tak mau melepas Harvard demi kekasihnya. Satu demi satu laki-laki menghilang se...
623 96 22
Pada pesta dansa musim dingin bertema masquerade, siapa sangka kalau Lyra berpasangan dengan laki-laki yang paling didambakan di Foxcroft Academy? Me...
5.4K 5K 30
Tahun ajaran baru, Syera Alesha Daifullah masuk ke sekolah SMA yang cukup populer di kotanya namun hal tak terduga terjadi saat ia berulang kali bert...
6.6K 1K 2
Mingyu polisi bodyguard AU Antinomi : Dua hal yang bertentangan, namun tak terpisahkan. *** Bagi Maura, berhasil kuliah di London adalah babak baru...