Menunggu

By Ami_Shin

31.1K 4.6K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog

Part 11

465 83 1
By Ami_Shin

Indra bertopang dagu, wajahnya cemberut sedang tangannya hanya menekan-nekan tombol mouse dengan gelagat malas. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, kantor pun sudah terlihat sepi. Tapi Indra yang malang terpaksa harus tetap berada di tempat sialan itu bersama gadis menyebalkan yang tampak sangat bersemangat di sampingnya.

"Satu jam lagi, Ndra." Alma masih betah memelototi laptop. Gelagatnya terlihat gelisah. Bahkan untuk berkedip pun Alma sedikit takut.

Indra melirik sinis. "Iya. Memang satu jam lagi. Tapi lo udah ngerepotin gue dari dua jam yang lalu ya, Al."

"Gue takut nggak kedapetan, Ndra."

"Kalau pun gue stand by dari sepuluh jam yang lalu, belum tentu juga tiket konsernya bisa lo dapetin."

Indra bersungut penuh kesal hingga Alma menoleh. "Gue baru kali ini ya, Ndra, minta tolong sama lo." sungutnya. "selama ini gue terus yang nolong lo. Jadi lo harus berterima kasih ke gue dengan cara ini."

"Nolong apaan. Lo nggak pernah lupa minta bayaran sama gue."

"Ya udah sih, nanti gue juga bayar sama lo deh."

Indra mengerjap lalu memandang Alma dengan ekspresi senang. "Serius? Lo bayar gue berapa, Al?"

"Dua ratus ribu."

"Anjing! Dua ratus ribu dapat apaan?"

"Beli mekdi cukup kok."

"Heh! Gue selalu bayar lo jutaan ya, Al. Masa giliran gue cuma dua ratus ribu."

Alma kembali menatap Indra. Helaan napas berat terdengar dari mulutnya. "Indra adik manisnya Kak Alma... tiket konser Bruno Mars itu harganya mahal. Belum lagi tiket pesawatnya. Kak Alma juga beli tiketnya dua. Indra tahu kan, sebanyak apa Kak Alma bakal ngabisin duit?" Wajah miris serta hela napas berat Alma yang penuh tipu muslihat membuat Indra mengernyit jijik. Indra paling sebal kalau Alma sudah menyebutnya adik.

"Makanya kalau nggak punya duit, nggak usah sok traktir orang lain," Indra mengambil kotak rokok dari atas meja, mengeluarkan satu batang dari dalam sana. "mana yang lo traktir lebih tajir dari lo lagi. Kenapa bukan dia aja sih yang traktir lo." kepulan asap mulai Indra hembuskan.

Indra sedang membahas tentang Arka.

Beberapa hari lalu, sejak Alma mengetahui penyanyi favorit mereka itu akan menggelar konser, Alma sudah seperti cacing kepanasan. Setiap hari yang Alma lakukan hanyalah mencari info mengenai konser itu.

Hingga saat jadwal konser telah muncul, Alma berteriak histeris dan memohon pada Indra untuk membantunya mendapatkan tiket konser.

"Dia lagi sibuk akhir-akhir ini." balas Alma. "dan nggak bakal tahu juga soal konser. Makanya gue mau kasih kejutan." Ada senyum kecil yang manis tercetak di bibirnya.

Seperti Alma, Arka pun juga menyukai lagu-lagu Bruno Mars. Mereka bahkan sering menyanyikan lagu artis terkenal itu ketika berada di dalam mobil. Setiap kali Bruno Mars menggelar konser, mereka selalu menonton bersama.

Biasanya Arka lah yang mengurus semuanya dan Alma akan terima bersih. Tapi kali ini, entah kenapa Arka tidak menyinggung tentang konser ini pada Alma. Kemarin pun ketika mereka mengobrol, Arka tidak membicarakannya.

Awalnya Alma merasa aneh, tapi setelah mengingat-ingat kalau akhir-akhir ini Arka memang sedang disibukkan dengan jadwal pekerjaan yang sangat padat, Alma rasa Arka tidak tahu tentang konser itu. Maka Alma menyusun rencana ini. Dia akan membeli dua tiket konser untuk mereka, lalu memberi kejutan pada Arka. Membayangkan bagaimana wajah sumringah Arka yang kekanakan itu saja pun kini Alma tersenyum seperti orang bodoh.

"Al,"

"Hm?"

"Lo sama Arka cuma sahabatan?"

Alma tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia menatap Indra dengan satu alis terangkat.

"Lo pernah dengar kalimat ini, kan. Nggak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan." Indra menghisap rokoknya sebentar. "Lo nggak pernah suka sama Arka selama ini?"

Alma tidak terlihat terkejut sama sekali. Karena pertanyaan dan keraguan semacam ini pada persahabatan mereka sudah bukan hal yang baru.

Dulu ketika mereka remaja, orang-orang di sekitar mereka sering berprasangka kalau Alma dan Arka sedang merajut hubungan asmara. Tidak jarang beberapa di antara mereka bertanya. Mula-mula Arka dan Alma sebal sekali dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi pada akhirnya mereka memilih tak peduli.

Mereka hanya bersahabat. Murni. Tidak lebih.

Apa yang orang-orang pikirkan tentang mereka? Saling jatuh cinta? Omong kosong.

"Gue sama Arka udah bareng mulai kita kecil. Dari kita nggak bisa ngomong sampai bisa saling mengumpat satu sama lain, kita udah bareng terus. Gue bahkan perempuan pertama yang lihat tititnya Arka sebelum dia di sunat." Ada kekeh geli yang terdengar dari Alma. Indra mendengus malas mendengarnya. "Lagian, Arka itu udah gue anggap kaya saudara. Mana mungkin coba gue naksir sama saudara gue sendiri."

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, Al."

"Kaya lo yang nggak mungkin berani ngomong ke Pak Regar kalau lo mau resign?" Alma tersenyum miring.

Indra memberenggut. Sejak awal, Indra memang tidak suka dengan pekerjaan ini. Akhir-akhir ini pun Indra sering berpikir untuk mengundurkan diri. Tapi setiap kali Indra membayangkan murka Papanya jika dia melakukan itu, Indra kehilangan keberanian.

"Kalau Arka yang suka sama lo gimana?"

"Kayanya gue udah pernah kasih tahu sama lo deh, Ndra, soal Arka yang udah punya pacar."

"Iya. Lo pernah cerita."

"Nah!" Alma menjentikkan jari. "Artinya Arka nggak mungkin suka sama gue."

Indra hanya diam, lalu dia mengedikkan bahunya ringan dan kembali menatap laptop. Tangannya lagi-lagi menekan tombol mouse, me-refresh website, menunggu salah satu tombol di website itu bisa di klik agar Indra bisa pulang secepatnya. "Tapi lo tahu kan, kalau hati nggak pernah bisa ditebak." Gumam Indra, masih dengan tampangnya yang terlihat bosan memandang laptop. Jika sejak tadi Alma santai-santai saja menyikapi obrolan mereka, lalu sekarang entah kenapa Alma justru tertegun mendengar gumaman bernada bosan itu.

Hati tidak pernah bisa di tebak...

Apa maksudnya?

***

"Kamu kelihatan tegang banget." ketika Elena memberenggut, Arka terkekeh pelan. Lalu tangannya bergerak perlahan, menyentuh kepala Elena, mengacak pelan. "Cuma makan malam biasa. Papi sama Mami jarang ada di rumah, jadi setiap kali mereka pulang, Mami selalu mengundang orang-orang terdekat untuk berkumpul. Adik aku juga kebetulan ada di rumah."

"Bara?" tanya Elena. Arka mengangguk.

Arka memang banyak bercerita tentang keluarganya pada Elena. Termasuk Bara yang sedang menjalani pendidikannya di AKPOL.

"Orangtua kamu tahu kalau aku datang malam ini?"

Arka mengangguk sekali lagi. "Aku udah bilang sama Mami tadi pagi."

Elena merasa semakin gugup. "Kamu bilang apa memangnya?"

"Aku bilang malam ini mau bawa seseorang ke rumah."

"Teman, kan?"

Arka memandang wajah tegang Elena dengan senyuman miring. "Kita cuma temenan, ya?"

Pertanyaan itu menghadirkan rasa hangat yang menggelitik hingga Elena mencebik dan membuang wajah yang merona malu. "Bukan gitu..." Elena menghela napas berat. "Aku cuma gugup karena mau ketemu orangtua kamu."

Arka tahu itu. Sungguh.

Tapi entah kenapa wajah tegang dan sikap gugup Elena justru membuatnya merasa senang. Dia tidak menyangka Elena yang dewasa dan bijaksana yang selama ini dia kenal bisa terlihat kekanakan sekaligus menggemaskan seperti ini.

"Jangan gugup," Arka menyentuh jemari Elena untuk di genggam. "semua orangtua pasti berharap anak laki-lakinya mengenalkan perempuan seperti kamu, Elena."

Ada makna terselubung yang bisa Elena mengerti dari kalimat Arka. Bahkan ketika Elena memandangnya, Arka mengulas senyuman tipis. "Itu pujian buat aku, ya?"

Arka mengedikkan bahu ringan, membuat Elena berdecak lalu terkekeh pelan seraya membalas genggaman tangan Arka.

"Ayo, turun."

Meski Arka sudah berusaha mencairkan kegugupan Elena, namun dari genggaman Elena yang semakin menguat ketika mereka masuk ke dalam rumah, Arka tahu kalau gadis itu masih bergelut dengan rasa gugupnya.

Sesekali Arka memberi elusan lembut di genggamannya, menatap Elena dengan sorot mata geli karena wajah gadis itu mulai tampak memucat.

Suara orang bercakap-cakap terdengar di ruang keluarga. Sepertinya semua orang belum berkumpul, itu kenapa mereka belum berada di ruang makan.

Begitu Arka dan Elena menghampiri ruang keluarga, orang-orang yang mulanya saling mengobrol, kini serentak menoleh pada mereka berdua. Suasana yang tadinya cenderung berisik, berubah menjadi sunyi senyap.

Jika Arka perhatikan, semua orang sudah datang. Ada keluarga Arjuna, keluarga Abi, bahkan keluarga Raja beserta anak-anak mereka pun juga hadir.

Oh. Kecuali Alma.

Arka menatap bingung mereka satu persatu. "Hm... hai semuanya." Sapa Arka dengan satu telapak tangan terangkat ke atas.

"Pacar kamu, Ka?" Arka melihat seringai menggoda di bibir Abi.

Gana bersiul jail. "Cakep, Bang."

"Kayanya sebentar lagi ada yang bakal punya menantu nih." Nadine pun tidak mau kalah seraya melirik Leo.

Padahal yang digoda adalah Arka, tapi justru Elena yang merasa malu hingga wajahnya yang memerah menunduk.

Arka hanya memutar matanya malas. Kemudian dia menatap Maminya, seperti menunggu sesuatu. Dan seperti mengerti arti tatapan Arka, kini Rere yang sudah mengulas senyuman tipis mulai beranjak menghampiri.

"Hai," sapa Rere ramah pada Elena. "Ini yang namanya Elena, ya?"

Elena mengangkat wajah perlahan, memandang Rere dan keramahannya lekat, lalu mengangguk malu-malu sebelum akhirnya menyalami Rere. "Hai, Tante Rere." sapa Elena canggung.

"Kenapa semua orang masih di sini, Mi? Siapa lagi yang harusnya di tunggu?" Arka bertanya demi memberi makan rasa pensarannya.

"Kamu sama Elena." Jawab Rere.

"Mami bilang nggak ada yang boleh makan sebelum kamu sama Elena datang." Adel menyahut. Arka memiringkan kepala agar bisa memandang saudara kembarnya itu dari celah kepala Maminya. Ketika mata mereka saling bersitatap, Arka bisa melihat sudut geli di bibir Adel. Mengerti makna yang tersembunyi di balik senyuman Adel, senyuman serupa pun terpatri di bibirnya. Bahkan sekarang Arka malah menggaruk pelipis demi mengusir rasa malu.

"Maaf ya, Tante. Tadi sedikit macet, makanya kita telat." Elena meringis samar saat memandang yang lain. "Maaf, ya..." ucapnya sekali lagi.

"Santai, Kak." Ashila menyahut cepat. "Masih ada yang datangnya lebih telat lagi kok nanti."

"Siapa?" tanya Aksa yang sejak tadi terlampau serius membaca buku. Minggu depan ujian sekolah, dan Aksa sudah menyibukkan belajar sejak kemarin.

"Kak Alma lah, siapa lagi memangnya." Kekeh Ashila.

Arin pun turut tertawa. "Datang paling telat, makan paling banyak."

"Hus," Nadi menegur adik-adiknya lalu berdecak. "ketahuan Kak Alma ngomong begini, nanti kalian diomelin loh."

"Ck, udah, jangan pada berisik!" rutuk jengkel itu berasal dari Gisa. Dia melayangkan sorot malas pada anak-anak itu hingga mereka semua tersenyum geli sambil mengatup rapat mulut masing-masing. Alma dan Gisa memang tak ada bedanya. Kini Gisa memandang Elena yang masih berdiri canggung. "Elena," panggil Gisa. Ketika Elena memandangnya, Gisa mengulas senyuman tipis. "selamat datang di keluarga Hamizan."

Rere bergerak ke samping Elena, merangkulnya, lalu mengenalkan satu persatu dari mereka. "Itu Papinya Arka, panggil aja Om Leo."

Elena menatap Leo sambil menelan ludah susah payah. "Halo, Om." Sapanya dengan suara sedikit goyang. Arka sering bercerita tentang keluarganya, dan dari cerita Arka, Elena menangkap kalau Papinya Arka itu bukan jenis orang yang ramah. Lihat saja bagaimana cara dia memandang Elena saat ini. Tak berekspresi.

"Pi." Arka menegur Papinya lalu berdecak pelan.

Tidak hanya itu, kaki Abi pun bergerak cepat menendang lengan Leo hingga lelaki itu berdecak kesal. Abi menatap Leo penuh peringatan. Abi tidak habis pikir, bahkan untuk berbasa-basi dengan kekasih anaknya sendiri pun Leo terlihat malas.

"Hai." Balas Leo pada akhirnya. Untuknya dia mengulas senyuman tipis. Arka yang melihat itu segera mengacungkan ibu jarinya sebagai pujian. Leo melengos malas, tapi saat dia melihat Adel tersenyum padanya, Leo merasa senang.

"Jangan pikirin Papinya Arka, Elena." Ujar Rere pada Elena. "Om Leo memang begitu orangnya."

Elana tersenyum canggung.

"Oh iya, itu Om Abi, di sebelahnya istrinya, Tante Gisa."

"Hai Elena..." Abi melambai-lambai dengan penuh semangat. Melihat itu Elena sampai tertawa pelan.

"Yang itu Om Raja sama Tante Nadine."

"Jangan Tante, panggil Kak Nadine aja." Sanggah Nadine.

Raja melirik sinis. "Ingat umur, Nad."

"Tapi aku sama Elena kelihatan seumuran loh, Ja."

"Tetap aja kamu Ibu-Ibu anak dua yang udah tua."

Saat Nadine hendak membalas ucapan menyebalkan suaminya, Rere memotong. "Raja, Nadine, bisa tahan sebentar perdebatannya? Aku masih mau perkenalkan yang lainnya ke Elena."

Mau tidak mau Nadine mengatup mulutnya meski matanya menyipit tajam memandang Raja yang tersenyum miring.

"Kalau yang itu Om Arjuna sama Tante Prita."

Elena melihat mereka berdua melambai menyapanya.

"Kamu udah kenal Adel, kan?" tanya Rere.

"Udah, Tante. Pernah ketemu Adel di Resto beberapa waktu lalu."

"Kalau Bara?" saat Elena menggelengkan kepala, Rere menatap ke arah putranya itu lalu memanggilnya. "Bara, ke sini sebentar, sayang."

Bara tidak menoleh. Jangankan menoleh, menyahut pun tidak. Dia terlampau serius bermain game. Bertepatan dengan itu, Gema sedang mengambil gelas kotor dari atas meja untuk dipindahkan ke nampan. Dan dia yang melihat Bara tidak bereaksi, kini dengan sengaja menginjak kaki Bara saat melintasi lelaki itu.

"Aduh!" pekik Bara.

Gema berpura-pura terkejut memandang Bara lalu meringis bersalah. "Maaf, Den Bara. Saya nggak sengaja."

Bara melotot tajam padanya. Jelas sekali di matanya kalau Gema sedang berbohong.

"Tapi itu Den Bara di panggil sama Bu Rere." Gema tidak lupa menerbitkan senyuman tipis padanya. "Permisi, Den Bara..."

Kekeh geli Gana dan Nadi terdengar hingga Bara menatap kesal pada mereka berdua. Bahkan mereka berdua pun tahu apa yang baru saja Gema lakukan padanya.

Kini mau tak mau Bara beranjak untuk menghampiri Maminya.

"Kenalan dulu sayang, sama Kak Elena." Suruh Rere seraya mengusap-usap punggung Bara.

Bara mengulurkan tangan, hendak berjabatan tangan. Tapi Arka memukul tangannya. "Salim." Suruhnya. Bara berdecak, tapi tetap menuruti apa yang Arka perintahkan. Melihat itu Arka tersenyum puas. "Bara ini sama kaya Papi. Jadi kamu nggak harus ambil hati dengan sikap dan ucapan mereka." Ujar Arka pada Elena hingga membuat Bara dan Leo menatap tak terima padanya.

Orang-orang di sekitar mereka tertawa melihat reaksi dua lelaki itu.

Sekarang Elena sudah tidak segugup tadi. Suasana yang menurutnya tadi sedikit tegang, mulai mencair sejak dia diperkenalkan pada semua orang. Termasuk anak-anak teman orangtuanya Arka.

Elena juga tidak bisa berhenti mengagumi hubungan pertemanan mereka semua. Persis seperti sebuah keluarga. Dan tidak hanya itu saja. Paras serta wajah mereka semua pun terlihat sangat menawan. Tak ada yang terlihat biasa dari mereka semua.

Yang paling menonjol adalah Papinya Arka. Meski terkesan dingin dan irit bicara, tapi dia mempunyai pesona yang sangat menyilaukan mata. Penampilannya jauh berbeda dari umurnya. Elena pikir, jika Arka dan Papinya berjalan beriringan, orang-orang yang tidak mengenal mereka pasti berpikir kalau mereka adalah Kakak dan adik.

Tapi sekarang akhirnya Elena tahu dari mana ketampanan Arka berasal.

***

Melihat deretan mobil yang terparkir di depan rumah Arka, Alma mempercepat langkahnya. Dia melirik jam tangan, sudah pukul delapan malam. "Semoga aja masih ada sisa makanan buat gue." doanya penuh harap.

Begitu tiba di ruang makan, Alma langsung melarikan tatapan ke meja makan. Lalu matanya berbinar bahagia manakala masih menemukan banyak sekali makanan lezat di atas meja.

"Selamat malam semuanya..." sapa Alma ramah dengan suara berisiknya. "aku lihat-lihat makanannya masih pada banyak nih. Sengaja, ya, nungguin aku?" Alma mengerling manis, membuat semua orang menatapnya jijik.

"Nggak ada yang sudi nungguin lo, Kak." Sahut Gana.

"Tapi buktinya makanannya masih—"

Arin memotong. "Soalnya tadi Bang Arka sama pacarnya datang terlambat."

"Jadi nggak usah ge-er." Aksa pun tidak mau kalah.

Alma yang tadinya ingin mengomel, kini mengatup mulut sedang matanya mencari di mana keberadaan Arka.

Arka ada di salah satu kursi, sedang tersenyum memandangnya. Dan kini tatapan Alma berpindah pada sosok gadis cantik yang duduk di tengah-tengah Arka dan Rere.

Elena...

Dia sedang berbincang bersama Rere, saling tersenyum satu sama lain, dan terlihat akrab.

"Oh... ada Elena, ya." Gumam Alma.

"Hai, Al." sapa Elena begitu Elena duduk di seberang meja, tepat di hadapannya.

"Hai," Alma balas menyapa. "kok lo bisa ada di sini?" satu detik setelah Alma melontarkan pertanyaan itu, dia mulai menyadari ada beberapa pasang mata yang menyorotnya tajam. Seketika Alma menatap salah satu di antara mereka.

Ashila.

"Emang pertanyaan gue salah, ya?" bisik Alma. Untung saja adiknya itu duduk di sampingnya.

"Ya menurut lo aja, Kak." Balas Ashila berbisik. Terkadang Kakaknya ini memang tidak bisa menyaring ucapannya.

"Gue yang ajak lah." Arka menjawab pertanyaan Alma. Dia salah satu orang yang menatap Alma tajam sebelumnya. Dan kini menyipitkan mata penuh peringatan.

Alma menyengir kecil pada Arka. "Sori, sori... ayo, Elena, makan. Anggap aja rumah sendiri."

"Kaya ini rumah kamu aja." Dengus Gisa.

Sambil mengisi piring dengan nasi, Alma menjawab. "Rumahnya Arka kan rumah aku juga, Ma. Iya, kan, Om Leo?" Alma mengerling menggoda pada Leo. Memang hanya Alma satu-satunya di antara anak-anak dalam pertemanan itu yang berani menggoda Leo dan tidak pernah merasa canggung apa lagi takut.

"Terserah kamu, Al." Desah Leo malas.

"Gimana Elena, masakan Tante Rere. Enak?" tanya Prita.

Elena tertegun. "Ini masakan Tante Rere?"

"Iya." Rere tersenyum kecil.

Arka mencolek bahu Elena hingga gadis itu memandangnya. "Setiap makanan yang ada di meja makan ini, pasti Mami yang masak. Kecuali kalau Mami lagi nggak di rumah."

"Masakan Tante Rere enak banget. Semua yang aku makan nggak ada yang kurang rasanya."

Dipuji seperti itu, Rere tersenyum malu. "Terima kasih."

"Elena juga pintar masak loh, Mi." Arka memberitahu Maminya. "Aku sering di buatin makanan sama dia. Request apa aja, semua rasanya tetap enak."

"Sering makan bareng dong kalau gitu." Abi menyahut penuh arti.

"Iya, Om."

"Makan di mana, Ka?"

"Apartemen Elena."

Sorakan dari anak-anak remaja itu terdengar serentak seketika. Arka yang tidak mengerti kini mengernyit bingung hingga Abi tertawa jail. "Kenapa sih?"

"Berani juga ya lo, Bang." Sindir Gana.

"Berani apaan?"

"Ngaku sering main ke apartemen Kak Elena di depan Om sama Tante."

Mata Arka membulat lucu seketika. Dengan gelagat gugup, kini dia menatap Papinya sambil menggelengkan kepala. "Cuma makan kok, Pi. Sumpah." Mata Leo yang menyipit tajam membuat Arka menelan ludah. Sindiran menggoda serta jail itu masih terus berlanjut. Arka dan Elena sampai dibuat tak berkutik oleh para orang dewasa yang tidak henti-hentinya menggoda mereka.

Semua orang terlihat sangat tertarik dengan hubungan Arka dan Elena. Selama ini Arka tidak pernah terlihat dekat dengan gadis mana pun, sekalinya ada, dia langsung membawa gadis itu ke rumah dan mengenalkannya pada semua orang.

Siapa yang tidak tertarik dengan semua itu?

Tentu saja ada. Bara. Karena sejak tadi hanya dia yang tidak mau ikut berceloteh. Dia hanya mengamati dalam diam sambil makan, bahkan kalau saja bisa, dia ingin segera menghilang dari sana dan berdiam diri di kamar untuk bermain game.

Jika sedang di rumah, si bungsu itu memang tidak mau kehilangan waktu berharganya bermain game.

Bahkan Leo tidak separah Bara. Dia masih mau sesekali menanggapi, membuat Elena tidak lagi segugup sebelumnya.

Tapi, sebenarnya masih ada satu orang lainnya yang tidak mengeluarkan suara.

Alma.

Awalnya Alma juga ikut tertawa ketika mereka menggoda Arka. Tapi ketika dia semakin lama mengamati gestur Arka dan Elena, Alma tidak tahu mengapa dia kehilangan senyumnya. Cara Arka berbisik pada Elena, menatap Elena, memindahkan makanan ke piring Elena, bahkan raut malu-malu Arka setiap kali ada yang menggodanya, semua itu membuat Alma tertegun.

Mereka sudah lama bersama. Rasa-rasanya tidak ada hal apa pun yang belum pernah mereka lakukan bersama. Tapi Alma baru saja menyadari satu hal. Alma tidak pernah menemukan sikap Arka yang seperti ini di sepanjang persahabatan mereka.

Kemudian Alma mengamati interaksi antara Elena dan Rere. Kali ini pun Alma menyadari satu hal baru lainnya.

Elena adalah gadis pertama yang mendapatkan perlakuan semanis itu oleh Rere. Seolah-olah Elena sudah menjadi bagian terpenting dan berharga di keluarganya.

Tapi itu hal yang normal, kan? Elena adalah kekasih Arka. Tentu saja bagi Rere dia berharga. Apa lagi Arka mencintainya.

Hanya saja, ada hal aneh yang menyerang Alma setelah dia mengamati semua itu, membuatnya memandang nasi di piringnya dengan kernyitan jelas di dahi.

Mengapa tiba-tiba saja makanan di piringnya terasa hambar, ya?

***

Selesai makan, orang-orang kembali berkumpul di ruang keluarga untuk mengobrol. Pembicaraan masih seputar mengenai Arka dan Elena. Di mana mereka bertemu, berapa lama usia hubungan mereka, apa mereka akan menikah dalam waktu dekat atau tidak. Semua pertanyaan itu tak henti-hentinya membuat Arka dan Elena merasa malu.

Wajah mereka sudah seperti kepiting rebus saja.

Ketika sudah pukul sepuluh malam, Arka pamit sebentar ke kamarnya untuk mengganti pakaian sebelum mengantar Elena pulang. Tak lama setelah itu, diam-diam Alma menyingkir dari ruangan untuk menemui Arka.

Alma sudah tidak sabar untuk memberitahu Arka mengenai dua tiket konser yang sudah ada di tangannya. Bahkan di sepanjang langkahnya, senyum sumringah Alma tak henti-hentinya mengembang.

Tanpa mengetuk lebih dulu, Alma membuka pintu. Arka sedang berdiri di samping ranjang, bertelanjang dada dan berkutat dengan ponsel ketika Alma melangkah masuk dengan begitu santai.

"Ngapain?" Arka melirik Alma sebentar.

Alma melompat ke atas ranjang, duduk bersila dan memandang Arka dengan senyuman lebar. "Ada yang mau gue kasih tahu sama lo."

"Apa?"

"Sesuatu yang pasti bakalan buat lo kaget."

Merasa tertarik, kini Arka menatap Alma sepenuhnya. "Apa, Al?"

Alma berdecak. "Tebak dulu kali..."

"Apaan sih, kasih tahu nggak?" ancam Arka. "Lagian gue nggak punya waktu main tebak-tebakan sama lo. Gue masih harus antar Elena pulang."

"Elena kan udah gede ya, Ka. Masih jam sepuluh juga. Di antar ojol juga bisa." Dengus Alma. Tapi saat melihat Arka melotot, Alma memperlihatkan cengiran geli. "Becanda gue... tahu deh yang sayang banget sama pacarnya."

Arka meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian mencubit pipi Alma sebentar sebelum membuka lemari. "Lo udah beli mobil?" Arka berusaha menebak.

"Bukan."

"Naik gaji?"

"Ya elah, mana mungkin."

"Dibolehin tinggal sendiri sama Tante Gisa?"

"Proposal gue soal itu masih di tolak mentah-mentah."

Arka memakai kausnya, kemudian berkacak pinggang dan bersungut kesal. "Terus apa? Jangan buat gue penasaran bisa nggak sih?"

Alma tertawa. "Bruno Mars." Ucapnya dengan mata berbinar.

"Bruno Mars?"

"Iya! Jadwal konser Bruno Mars udah keluar, Ka!" teriak Alma histeris. "Udah gue duga lo nggak bakalan tahu. Sok sibuk sih lo akhir-akhir ini. Tapi lo tenang aja, Ka," Alma menepuk-nepuk dadanya penuh bangga. "lo punya gue, sahabat yang perhatian banget sama lo. Jadi—"

"Gue memang lupa, Al. Tapi untung aja Elena udah beliin gue tiket konsernya." Ujar Arka. "Akhir-akhir ini gue memang lagi ribet sama kerjaan. Gue aja nggak tahu apa-apa soal konser kalau aja Elena nggak nunjukin tiket konser yang udah dia beli buat gue." ada senyuman tipis di bibir Arka.

Tapi sayangnya, ketika Arka tersenyum, Alma justru kehilangan senyumnya. "Jadi... lo udah punya tiketnya, ya?"

Arka mengangguk. Tapi seperti tersadar sesuatu, Arka kini meringis menyesal. "Elena cuma beli dua. Karena dia nggak bilang dulu sama gue sebelum beli, gue nggak bisa minta tolong beli satu tiket lagi buat lo."

Alma hanya diam tak menanggapi. Melihat itu Arka merasa resah lalu menghampiri dan duduk di depan Alma. "Lo marah ya, Al?" tanyanya cemas. "Gini deh, nanti gue usahain beli satu tiket lagi buat lo. Jadi kita bisa ke Las Vegas bareng-bareng. Tapi, Al, kita nggak bisa duduk—"

"Nggak usah." Alma tidak bisa menahan nada ketus dalam suaranya. Tapi agar terlihat baik-baik saja, Alma menambahkan senyum. "Gue juga nggak bisa nonton, Ka. Ada sidang di tanggal itu."

"Beneran?" Arka menatap ragu.

Alma hanya mengangguk. "Nanti kalau lo ke sana, jangan lupa bawain gue oleh-oleh, ya." sekali lagi, Alma menarik sempurna senyumannya. Tapi setelah itu, tanpa mau membicarakan apa pun lagi, Alma melompat turun dari ranjang Arka kemudian beranjak pergi, meninggalkan Arka yang masih duduk diam di tempatnya dengan perasaan tak tenang.

Alma berjalan ringan menuruni anak tangga. Tak ada lagi senyuman di bibirnya, hanya ada sorot mata kosong dan juga wajah tanpa ekspresi. Lalu ketika dia nyaris bergabung dengan yang lain, Alma menghentikan langkah sedang matanya mengamati Elena.

Gadis itu masih tersenyum, mengobrol dan berbaur dengan yang lain. Dan semakin lama Alma mengamatinya, maka semakin besar pula kemarahan yang Alma rasakan hingga pada akhirnya dia memilih pulang tanpa berpamitan pada siapa pun.

***

Continue Reading

You'll Also Like

SCH2 By xwayyyy

General Fiction

137K 18.8K 49
hanya fiksi! baca aja kalo mau
851K 32.1K 34
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
STRANGER By yanjah

General Fiction

295K 33.4K 37
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
Istri Kedua By safara

General Fiction

186K 6.2K 39
nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang mengalami kelumpuhan di seluruh badannya dan stroke selama 5 tahun ia di paksa...