The Forbidden

Oleh Ami_Shin

13.3K 1.8K 208

Adel tidak pernah tertarik dengan urusan asmara. Karena sejak kecil, Papinya sudah menyatakan dengan tegas ka... Lebih Banyak

Prolog
The Forbidden - Satu
The Forbidden - Dua
The Forbidden - Tiga
The Forbidden - Lima
The Forbidden - Enam

The Forbidden - Empat

1.6K 245 6
Oleh Ami_Shin

"Rusak dan hancurkan gadis itu."

                Kalimat yang diucapkan Om Omen pada Javier kemarin malam masih selalu membayangi. Saat itu, Javier datang dan memberitahu Om Omen kalau dia ingin membalaskan dendam pada Adel.

                Javier ingin Adel tahu apa itu penderitaan yang sesungguhnya.

                Lalu rencana balas dendam itu mulai di susun. Semua ide itu berasal dari Yares, Om Omen terlihat puas. Namun tidak dengan Javier.

                Benar, dia memang ingin memberi Adel pelajaran atas ucapan semena-mena yang dia katakan waktu itu. Tapi rencana Yares itu terdengar sangat mengerikan bagi Javier hingga dia merasa gelisah.

                "Buat dia jatuh cinta, rusak masa depannya dengan skandal hubungan kalian, lalu tinggalkan. Orang-orang harus tahu gadis itu menjalin cinta dengan anak dari laki-laki yang hampir membunuh Ibunya. Dengan begitu, kamu bisa menghancurkan dua orang sekaligus. Yang pertama Adel, dan yang kedua... Papinya."

                Javier memang ingin sekali memberi pelajaran pada gadis sombong itu, agar dia tidak terbiasa memandang orang dengan sebelah mata. Namun jika harus merusak hidupnya... apakah Javier tega melakukannya?

                "Javier,"

                Seseorang memanggilnya. Javier yang sejak tadi duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu, memandang kosong pada sebuah taman yang memiliki banyak pepohonan dan juga tanaman-tanaman yang memanjakan mata, kini menoleh ke asal suara.

                Javier tersenyum dan lekas berdiri, menyambut kedatangan Pak Wandi, pengurus panti asuhan yang dulu pernah menjadi tempat tinggal Javier.

                "Apa kabar, Pak?" Javier menyalami Pak Wandi.

                "Baik. Kamu gimana? Udah lama nggak datang ke mari." Pak Wandi mempersilahkan Javier kembali duduk.

                "Iya, nih, Pak. Lagi sibuk kerja."

                "Masih kerja juga?" ada nada bercanda yang terselip di dalam kalimatnya.

                Javier menyengir kecil seraya menggaruk tengkuknya salah tingkah. Pak Wandi salah satu di antara beberapa orang yang mengetahui siapa Javier sebenarnya. Semenjak Javier menjadi donatur tetap di Panti asuhan ketika dia berusaha tujuh belas tahun, Pak Wani meminta Javier untuk berkata jujur karena Pak Wandi tidak bisa menerima uang yang Javier berikan jika dia tidak tahu dari mana uang itu berasal.

                Saat itu Javier masih berusia tujuh belas tahun, sedangkan jumlah uang yang dia berikan sangat banyak, wajar kalau Pak Wandi bertanya.

                Di sana lah Javier memberitahu segalanya. Pak Wandi bisa merasakan kesedihan dan juga rasa malu yang Javier sembunyikan ketika dia memberitahu siapa Papanya. Namun Pak Wandi tidak mempermasalahkan hal itu, Pak Wandi bilang, siapa pun Javier, dari mana dia berasal, di matanya, Javier tetap lah anak laki-laki polos dan ceria yang senang membantu teman-temannya.

                Persis ketika Javier tinggal di panti asuhan itu.

                Javier selalu mengunjungi tempat itu. Biasanya tiga bulan sekali. Javier tidak tahu mengapa, tapi setiap kali ada masalah yang menimpanya, dan dia tidak bisa berpikir jernih, Javier selalu mendatangi tempat itu.

                Seperti tadi, hanya duduk diam menatap keasrian suasana panti, sembari berpikir dalam senyap. Biasanya hal itu sangat membantu, tapi entah mengapa hari ini pikirannya masih saja terasa buntu.

                "Masih lah, Pak. Kalau nggak kerja, mau makan apa."

                "Iya, iya... Bapak percaya."

                Mereka berdua tertawa.

                "Tadi aku lihat di samping panti ada pembangunan. Itu apa, Pak?" tanya Javier.

                "Oh, itu lagi bangun sekolah TK untuk anak panti." Pak Wandi mulai menjelaskan. "Ada donatur baru yang nawarin kemarin, awalnya Bapak nggak percaya, takut seperti yang udah-udah. Tapi tetap Bapak iya kan saja. Eh, satu bulan setelah pembicaraan, orang itu langsung beli lahan di samping panti."

                Kepala Javier mengangguk-angguk mendengar penjelasan Pak Wandi. "Cepat juga ya, Pak. Padahal kemarin, waktu mau aku beli, yang punya lahan ngotot nggak mau jual." Sebenarnya apa yang sedang dilakukan oleh seseorang yang sedang mereka bicarakan itu, sudah lebih dulu ingin Javier lakukan. Tapi tersandung dengan lahan yang tidak mau dijual oleh pemiliknya.

                "Itu dia, Bapak juga bingung. Tapi mungkin karena dia orang baik, makanya semua urusan dilancarkan sama Tuhan."

                Javier mencibir kekanakan. "Jadi maksudnya aku bukan orang baik? Pak Wandi sih, gitu."

                Pak Wandi tertawa sambil menggelengkan kepala, Javier pun terkekeh pelan. "Oh iya, kebetulan orangnya ada di sini. Lagi bagi-bagi makanan buat anak-anak panti. Kamu mau Bapak kenalin?" Pak Wandi tiba-tiba saja tersenyum menggoda. "Cantik loh orangnya."

                "Kan saya udah punya pacar, Pak..." desah Javier malas.

                Pak Wandi menepuk dahinya pelan. "Oh, iya. Bapak lupa."

                "Tapi nggak apa-apa, deh, Pak. Cewek cakep nggak boleh disia-siakan." Javier mengelak saat Pak Wandi hendak memukul kepalanya.

                Pak Wandi mengajak Javier masuk ke dalam panti. Lebih tepatnya di ruang makan.

Di dalam sana, anak-anak panti terlihat berkumpul di beberapa tempat yang menyediakan makanan.

                Javier pikir, bagi-bagi makanan yang Pak Wandi katakan sama seperti biasanya. Anak-anak panti berbaris untuk mengantri makanan atau bingkisan. Tapi ternyata tidak. Karena Javier menemukan banyak sekali meja-meja yang menyajikan makanan serta minuman secara prasmanan.

                Jadi, semua anak-anak bebas mengambil makanan apa saja yang mereka mau.

                Javier berhitung di dalam hati. Ada tujuh meja yang menyediakan makanan berbeda-beda, serta satu meja yang menyediakan segala jenis minuman.

                Orang-orang dewasa yang menjaga meja-meja itu pun tampak sangat ramah ketika melayani semua anak-anak. Pemandangan itu membuat bibir Javier tersenyum senang. Dia tahu betul kalau apa yang dilakukan orang baik itu pasti membuat hati anak-anak panti tersentuh.

                Javier tahu bagaimana rasanya tinggal di panti asuhan. Tidak punya orangtua, makan seadanya, tidak bisa hidup selayaknya anak-anak pada umumnya.

                Mendapatkan makanan atau bingkisan dari orang lain merupakan kesenangan yang sangat berarti baginya kala itu. Rasa senang yang tidak bisa terbayar dengan apa pun.

                Javier masih tersenyum saat matanya menjelajahi tempat itu. Sampai kemudian dia menemukan sosok yang membuat dahinya mengernyit hebat sedang senyumannya sirna.

                "Ngapain dia di sini." Gumam Javier pelan.

                "Dia siapa?" sahut Pak Wandi.

                Telunjuk Javier mengarah pada sosok itu. "Itu, Pak. Cewek yang pakai dress putih."

                "Loh, ya itu orang yang Bapak ceritakan dari tadi. Donatur baru panti, namanya Mbak Adel. Ayo, biar Bapak kenalkan." Rahang Javier nyaris menyentuh lantai mendengar apa yang Pak Wandi katakan. Jadi donatur yang dimaksud itu adalah Adel? Bagaimana bisa? Maksud Javier, benar Adel adalah orang yang memiliki banyak harta. Tapi dia itu tidak punya hati. Mustahil sekali bisa melakukan semua ini.

                Lihat saja, sejak tadi dia hanya berdiri diam memandangi anak-anak tanpa mau melakukan apa pun.

                "Pak," Javier berbisik pelan. "sumbangannya bawa nama partai nggak?"

                Pak Wandi mengernyit. "Partai?"

                Javier mengangguk. "Orang itu anggota Dewan, Pak. Bapak nggak tahu?"

                Pak Wandi menggelengkan kepala. "Tapi dia nggak bawa nama Partai. Justru dia menyerahkan semua proses pembangunan ke Panti, nggak mau terlihat kalau dia yang bantu."

                Aneh sekali, pikir Javier.

                "Ayo, Javier."

                Javier mengikuti Pak Wandi yang kini menghampiri Adel. "Mbak Adel," tegurnya.

                Adel menoleh. Masih saja tetap sama, terlihat dingin tanpa senyuman. Tapi ekspresi di wajahnya berubah ketika dia menemukan Javier di sana.

                Javier melambaikan tangan. "Hai. Kita ketemu lagi." Sapanya, lengkap dengan senyuman tipis.

                "Loh," Pak Wandi menatap mereka berdua terkejut. "sudah pada kenal ternyata."

                "Iya."

                "Nggak."

                Javier dan Adel menjawab serempak meski dengan jawaban berbeda. Adel terlihat sekali tidak menyukai keberadaan Javier di sana.

                Meski awalnya bingung dengan jawaban mereka, namun Pak Wandi akhirnya mengenalkan mereka berdua. Pak Wandi memberi tahu Adel kalau Javier salah satu donatur tetap di panti, begitu pula sebaliknya. Tapi percakapan ketiga orang itu tidak berlangsung lama karena Pak Wandi dipanggil oleh istrinya untuk mengurusi keperluan lain.

                Jadi, kini hanya ada Adel dan Javier yang tersisa. Di mana ketika Javier hendak mengatakan sesuatu, Adel malah melengos pergi.

                Javier mendengus kehilangan kata-kata, namun kakinya melangkah begitu saja mengikuti Adel yang sedang menuju ke arah taman. Javier memang memberi jarak, hingga dia bisa mengamati Adel dari belakang.

                Jika gaun pesta hitam kemarin membuat Adel terlihat menyilaukan, maka dress putih sebatas lutut serta sandal jepit yang dia kenakan membuat gadis itu tampak menggemaskan meski hanya di lihat dari belakang. Apa lagi saat ini rambutnya tergerai. Sepertinya baru kali ini mereka bertemu ketika Adel menggerai rambutnya.

                Ya, terus kenapa, Jav? Cebik Javier kesal di dalam hati. Seakan-akan hal itu penting sekali untuk dia bahas.

                Menyadari dirinya diikuti, Adel menghentikan langkah kakinya, kemudian menoleh ke belakang dengan mata menyipit tajam.

                Langkah Javier pun terhenti. Bahkan matanya mengerjap lambat dengan begitu polos.

                "Memangnya yang aku bilang kemarin nggak cukup jelas, ya?" desis Adel. Javier mengernyit tidak mengerti. "Berhenti mengusikku."

                Javier menunjuk wajahnya sendiri saat matanya menatap Adel tak percaya. "Aku mengusik kamu? Kapan aku—"

                "Kenapa kamu bisa tiba-tiba ada di sini?"

                "Oke... oke..." Javier harus meluruskan kesalahpahaman ini. Maka kini menghampiri Adel. "Kalau kamu pikir, aku ada di sini karena kamu, maaf, Adelia, kamu harus kecewa."

                Adelia.

                Adel mengerjap dua kali dengan gelagat kaku. Baru kali ini ada yang memanggilnya seperti itu.

                "Aku datang, karena dulu tempat ini adalah rumahku."

                "Ya?"

                "Aku pernah tinggal di sini waktu kecil. Selama ini aku sesekali datang berkunjung. Kamu aja yang kurang beruntung hari ini, datang di saat aku ada di sini." Javier tersenyum miring. Senyuman yang sangat Adel benci karena setiap kali dia melakukannya, Adel seperti sedang ditertawai.

                Adel memutuskan tidak peduli. Maka dia melanjutkan langkahnya, namun ternyata Javier berjalan sejajar dengannya di jalan setapak menuju taman.

                "Anak-anak panti pasti bahagia banget hari ini." Javier kembali bicara. "Biasanya mereka harus menyanyikan lagu selamat ulang tahun dulu, atau melihat keluarga harmonis sedang berbahagia hanya untuk mendapatkan makanan enak atau bingkisan. Mereka harus terlihat bahagia untuk kebahagiaan orang lain yang sebenarnya nggak pernah mereka rasakan."

                Masih sambil berjalan ringan, Adel melirik Javier dengan tatapan tenang namun penuh arti. Javier tersenyum, tapi tatapan matanya berkata sebaliknya. Seperti sedang memikirkan hal yang tidak dia suka hingga membuat sorot matanya berubah muram.

                Lalu Javier menghentikan langkahnya. Kali ini, tanpa Adel sadari, dia juga melakukan hal serupa.

                Mereka berdiri saling berhadapan. "Kamu baru aja melakukan sesuatu yang berharga untuk mereka. Thanks, Adelia." Javier mengucapkan terima kasih dengan tulus. Adel pun bisa merasakan ketulusan itu.

                Harusnya Adel cukup mengangguk atau pun memilih untuk tidak menanggapi. Tapi, karena dia adalah Adelia Putri Hamizan yang tidak menyukai sanjungan dalam bentuk apa pun, Adel justru mengatakan sesuatu yang membuat Javier kehilangan senyumnya.

                "Nggak perlu berterima kasih. Semua ini bukan apa-apa bagiku. Hanya kegiatan rutin yang harus aku lakukan setiap kali merasa jenuh. Orang-orang seperti kamu aja yang terlalu berlebihan menanggapi hal-hal semacam ini." Adel melanjutkan langkah, meninggalkan Javier yang masih berdiri diam setelah mengatakan kalimat dengan nada mencemooh yang menyakitkan.

                Orang-orang seperti kamu...

Sepertinya Javier terlalu cepat mengambil kesimpulan. Gadis itu... benar-benar memiliki hati yang jahat ternyata. Kini mata Javier berubah dingin ketika mengamati punggung Adel. Dan orang-orang seperti kamu harus diberi pelajaran, Adelia, pikirnya penuh amarah.

                Javier mengepalkan kedua tangannya, memejamkan mata sejenak sebelum kembali tersenyum dan menghampiri Adel yang kini duduk di bangku panjang, tempat di mana Javier duduk seorang diri sebelumnya.

                "Itu bagus," ujar Javier, duduk di samping Adel. "kegiatan rutin kamu atau apa pun itu namanya, itu bagus, Adelia."

                Adelia.

                Lagi-lagi Adel mengernyit samar. Mengapa Javier selalu memanggilnya seperti itu.

                "Orang-orang seperti kamu," Javier mengatakan itu dengan nada santai meski sejujurnya hatinya sedang membara. "pasti masih punya banyak tumpukan uang di rumah. Kalau boleh aku kasih saran, kamu bisa menghabiskan sedikit dari tumpukan uang itu untuk orang-orang seperti mereka."

                Javier menyebut satu persatu nama-nama panti asuhan atau panti jompo yang masih belum layak untuk menampung orang-orang yang tidak memiliki keluarga seperti anak yatim atau pun lansia.

                Ada sekitar tiga belas tempat yang Javier sebut, dan Adel mendengarkan semua yang Javier katakan dengan ekspresi yang seolah sama sekali tidak tertarik terhadap apa yang sedang Javier katakan padanya.

                "Dua bulan sekali, aku ikut kegiatan sosial bersama banyak organisasi. Kami biasa pergi mendatangi tempat-tempat seperti itu untuk memberi bantuan, tapi jumlahnya nggak terlalu banyak karena mencari donatur nggak semudah itu. Hm... mungkin kamu mau jadi salah satunya?"

                "Berapa?"

                "Maksudnya?"

                "Berapa yang kalian butuhkan untuk semua tempat-tempat itu."

                Satu alis Javier terangkat ke atas. "Masing-masing lima puluh juta?" dia hanya asal bicara, karena sejujurnya dia menginginkan reaksi apa yang Adel berikan.

                Adel menyerahkan ponselnya. "Tulis nomer rekeningnya di sini, nanti aku transfer." Dia bahkan tidak tampak ingin berpikir lebih dulu.

                Sekali lagi, Javier tertegun dan merasa bingung. Javier mencoba menyelami melalui raut wajah Adel, tapi sulit sekali membaca apa yang dia pikirkan melalui ekspresi wajahnya.

                Sebentar Adel terlihat sombong, sebentar terlihat baik dan dermawan. Membuat Javier kesulitan saja.

                Setelah berpikir cukup lama, Javier mengambil ponsel Adel. Tapi bukan untuk menuliskan nomer rekening di sana, melainkan menghubungi ponsel Javier sendiri.

                Saat dering ponsel Javier terdengar, dia mengembalikan ponsel Adel. "Nanti aku kirim ke kamu nomernya." Ujar Javier. Adel mengernyit tidak mengerti. "Aku udah punya nomer kamu sekarang." senyum manis Javier mengembang sempurna.

                Adel cepat-cepat memeriksa ponselnya, menemukan panggilan keluar ke nomer yang tidak dia kenali. Mata Adel menyipit tajam memandang Javier.

                Namun anehnya, semakin lama dia menatap Javier, Adel justru terpaku pada senyuman menawan lelaki itu.

                Adel tidak buta. Sekalipun dia malas mengakuinya, namun Javier memang tampan. Bentuk rahang wajahnya yang tegas, hidungnya yang bangir dan sempurna, lalu matanya yang memiliki binar cerah meski menyebalkan, serta bibirnya yang... hm, ya... bagus.

                Adel akui, wajah lelaki itu mendekati kata sempurna. Tapi semua itu tak ada artinya di mata Adel karena sikap sialan Javier yang telah mempermainkan emosi Adel beberapa saat lalu.

                Apa gunanya punya wajah tampan tapi sikap dan prilaku Javier benar-benar sangat tidak tertolong.

                Langit mendung serta angin sejuk yang berhembus menemani mereka berdua dalam hening. Duduk bersebelahan dengan tatapan mata saling bertemu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Terkadang mengagumi pahatan wajah masing-masing, terkadang  mencoba menyelami apa yang mereka pikirkan satu sama lain.

                "Non Adel!"

                Sebuah suara yang memanggilnya terdengar. Adel melirik melalui celah bahu Javier. Dia melihat Gema berlari ke arahnya. Selain Gana dan Ashila, Adel juga meminta bantuan Gema untuk mengurus kegiatan hari ini.

                "Acaranya udah hampir selesai. Non Adel nggak mau makan dulu?" tanya Gema.

                "Tadi udah makan sebelum ke sini," jawab Adel. "kalian udah makan?"

                "Udah. Baru aja selesai bareng anak-anak." Gema mencuri lirik pada Javier, kemudian mengangguk sopan.

                "Hei, cantik." Sapa Javier dengan kedipan mata. Seketika mata Gema membulat lucu hingga Javier terkekeh pelan melihat reaksinya.

                "Buaya darat." Cibir Adel pelan.

                Javier mengerling padanya. "Kamu juga cantik, Adelia."

                Ugh. Adel memutar bola matanya malas sembari berdiri dari tempatnya. Jengah karena Javier terus saja menggoda dengan cara seperti itu. "Ayo." Ajak Adel pada Gema, tanpa berpamitan dengan Javier.

                Gema lagi-lagi mengangguk sopan pada Javier, "Permisi..." pamit Gema sebelum mengikuti langkah Adel dengan sedikit berlari.

                "Adelia!" teriak Javier.

                Harusnya Adel tidak mempedulikan panggilan itu, kan? Tapi entah mengapa, panggilan asing yang Javier tujukan untuknya itu membuat Adel menghentikan langkah bahkan menoleh untuk menatapnya.

                Javier masih duduk di bangku itu, lengkap dengan senyum manis yang menawan. "Sampai ketemu lagi." ucapnya seraya melambaikan tangan.

                Adel mengernyit malas lalu membuang muka. Enggan menanggapi Javier dan juga senyumannya.

                Hanya saja...

                Adelia.

                Mengapa Adel sangat terusik dengan panggilan Javier padanya itu. Adel bahkan kini mengulum bibirnya, sedang hatinya menggumam panggilan itu berkali-kali.

                Adelia...

***

Suara petikan gitar mulai terdengar. Javier dan tiga orang teman kost, salah satunya adalah putra, mulai bernyanyi dengan suara pas-pasan namun anehnya selalu terdengar enak ketika mereka bernyanyi bersama.

                Satu batang rokok terselip di bibir Javier. Lelaki yang hanya memakai celana panjang dan kaus kutang itu menggoyang-goyangkan kepala serta kakinya, menikmati irama gitar dan juga nyanyian mereka semua.

                Ponsel di tangan Javier bergetar. Dia menemukan sebuah pesan dari kekasihnya.

Love

Sayang, lagi apa?

                Javier hanya melihat notifikasi itu melalui layar ponsel tanpa mau membukanya. Dia kembali bernyanyi, tangannya menuang alkohol ke dalam gelas. Alkohol yang tadi dia bawa pulang dan di sambut teman-temannya dengan penuh suka cita.

                Kost mereka terbilang bebas memang. Bagi pemilik kost, yang penting tempat itu di rawat, bersih juga rapi. Soal kegiatan apa yang mau mereka lakukan di sana, asal tidak menimbulkan masalah, mereka bebas melakukannya.

                Nongkrong sambil menikmati satu atau dua botol minuman sudah biasa mereka lakukan. Javier yang paling sering membeli minuman untuk mereka semua.

                Sedang asyik bernyanyi sambil menikmati rokok sekaligus minuman, ponsel Javier kembali bergetar.

Adelia

Siapa?

                Mata Javier kontan membulat. Dia meletakkan gelas ke atas meja, kemudian menjepit rokok di celah bibir karena kedua tangannya mulai sibuk membalas pesan itu.

                Tadi siang, Javier memang mengirim pesan pada Adelia. Hanya emotikon lambaian tangan. Itu pun sejak siang tadi belum dibaca.

Javier

Javier

                Javier menghabiskan satu menit lamanya hanya untuk memandangi ponselnya. Tak ada balasan, apa lagi tanda-tanda Adel sedang mengetik balasan untuknya. Decakan kesal Javier terdengar. Lalu dia kembali mengirim pesan.

Javier

Kamu masih ingat aku kan Adelia?

Adelia

Mau apa?

Javier

Soal percakapan kemarin

Adelia

Oh. Kirim aja nomer rekeningnya

                Javier mendengus. Apa saat berkirim pesan pun, Adel memang harus bersikap dingin begini. Javier beranjak dari sana, masuk ke dalam kamar kemudian menelepon Adel. Tapi panggilan pertama ditolak setelah dering kedua. Lagi-lagi Javier mendengus kesal, tapi dia tidak menyerah. Berkali-kali pun Adel menolak panggilannya, Javier tetap saja menelepon. Hingga panggilan ke sepuluh, baru lah Adel menjawab dengan nada ketus.

                [Apa?!]

                "Diangkat juga akhirnya." Javier tersenyum malas.

                [Kamu nggak tahu sekarang jam berapa? Aku lagi istirahat.]

                Javier melirik jam dinding. "Masih jam sembilan. Terlalu cepat untuk istirahat." Mendengar lenguhan kesal di seberang sana, Javier tersenyum puas. Bisa dia bayangkan seperti apa wajah gadis sombong itu saat ini.

                [Mau kamu apa sebenarnya, Javier?]

                Javier mengerjap lambat saat Adel menyebut namanya. Mungkin karena selama ini Adel jarang sekali menyebut nama Javier, atau... entahlah, karena yang Javier tahu, saat ini dia malah terpaku tanpa alasan.

                [Halo?]

                "Ekhm," Javier berdeham pelan, membasahi tenggorokan yang sempat terasa kering. "aku mau bahas soal kegiatan sosial yang kita bicarakan kemarin." Ujarnya memberi penjelasan.

                [Aku udah suruh kamu kirim nomer rekeningnya, kan.]

                "Kamu nggak takut, transfer uang sebanyak itu ke sembarangan orang?"

                [Kenapa aku harus takut?]

                "Kalau ternyata uangnya aku nikmati sendiri gimana?"

                Hening sejenak. Sepertinya si tuan putri itu sedang berpikir, batin Javier di dalam hati.

                [Sebenarnya apa yang kamu mau. Bilang aja, aku nggak punya waktu meladeni ocehan kamu, Javier.]

                Lagi. Adel menyebut namanya. Dan anehnya, Javier malah tersenyum kecil sembari membaringkan diri di atas ranjang. Satu tangannya terlipat di belakang kepala, sedang matanya menatap langit kamar.

                "Minggu, jam sepuluh pagi."

                [Maksudnya?]

                "Kegiatan sosial."

                [Bisa nggak jangan ngomong setengah-setengah.] decak kesal Adel membuat Javier terkekeh pelan. sepertinya gadis itu tidak bisa melakukan hal lain selain marah-marah atau melotot pada siapa pun.

                Javier mulai menjelaskan tentang kegiatan sosial dan juga amal yang akan di lakukan sebuah organisasi di mana Javier adalah salah satu anggotanya. "Kamu harus ikut. Orang-orang seperti mereka harus tahu siapa orang baik hati yang membantu mereka, kan? Atau kalau kamu mau bawa nama Partai juga nggak apa-apa. Lumayan, nama kalian bisa semakin harum nanti."

                [Omong kosong.] Adel mendengus jengah di seberang sana. Sedang Javier mencibir tanpa suara.

Berusaha jual mahal, huh?

                "Gimana?"

                [Nggak bisa. Uangnya aku titip aja sama kamu. Terserah mau kamu digimanain.]

                Keras kepala sekali si Tuan Putri ini, rutuk Javier kesal di dalam hati. Benar kan dugaan Javier, Adel memang tidak berniat berbuat baik, dia hanya ingin membuang-buang uang untuk kesenangannya sendiri.

                Tapi Javier tidak kehabisan akal. "Kenapa nggak bisa?"

                [Kenapa kamu harus tahu?]

                "Oh, iya, aku lupa. Anggota dewan terhormat kaya kamu mana mungkin mau repot-repot turun ke lapangan kalau bukan karena urusan Politik. Bertemu dengan penghuni panti jompo pasti akan menyusahkan kamu. Iya, kan, Adelia?" sejauh Javier mengamati, Adel itu memiliki ego yang tinggi. Dia tidak mau disalahkan, tidak mau merasa bersalah, ingin menang sendiri.

                Dia juga paling tidak senang jika ada yang mencibir atau pun mengolok-olok dirinya. Dan dia akan melakukan pembuktian untuk menjawab cibiran itu.

                [Kamu bilang apa?]

                "Oke lah. Nanti aku kirim nomer rek—"

                [Aku ikut. Jam sepuluh, kan? Kirim aja di mana alamatnya.]

                Seringai licik Javier terbit begitu saja. Akhirnya Adel masuk ke dalam perangkap. Kaki Javier mulai bergoyang-goyang, merayakan kemenangannya. "Yakin?"

                [Berisik.]

                Javier terkekeh pelan, lagi-lagi membayangkan ekspresi Adel di seberang sana. "Tapi kamu harus tahu, karena ini adalah kegiatan sosial, kamu nggak boleh bawa asisten atau siapa pun untuk mengurus kamu."

                [Aku bukan bayi yang harus diurus.] ketus Adel.

                Javier mengulangi kalimat Adel tanpa suara dengan gaya mengejek. Seperti Javier tidak tahu saja bagaimana kehidupan gadis itu selama ini. Dia bahkan memiliki banyak sekali asisten di rumahnya. Semuanya memiliki tugas masing-masing untuk mengurus Adel.

                Dari mulai mengurus pakaian, sepatu, kamar mandi dan segala perlengkapan, bahkan hidangan di meja makan, semua itu di kerjakan oleh orang yang berbeda-beda.

                Dimulai membuka mata hingga menutup mata, akan selalu ada banyak orang yang melayani Adel.

                Jangan tanyakan dari mana Javier mengetahuinya. Karena Javier sendiri pun mengutuk kegiatan tolol yang sering kali dia lakukan itu. Mengamati Adel melalui sosial media milik gadis itu maupun orang-orang terdekat Adel.

                Adel itu... benar-benar diperlakukan seperti tuan putri di rumahnya.

                "Oke, sampai ketemu hari minggu nanti, Adelia." Ucap Javier, dia sengaja bersuara ramah dan juga merdu. Namun Adel sudah memutuskan panggilan telepon tanpa mengatakan apa pun. Javier memandang ponselnya sembari mendengus. "Belagu." Rutuknya.

                Tapi setelah itu senyum miring Javier kembali muncul. Dia pun bergegas keluar kamar, menemui teman-temannya yang masih bernyanyi bersama dan bermain gitar. "Bentar, bentar," interupsi Javier hingga petikan gitar berhenti.

                "Apaan?" tanya Teddy. Lelaki berusia tiga puluh satu tahun yang juga paling dewasa di antara mereka semua ini lah yang sejak tadi bermain gitar.

                "Hari minggu nanti kalian ada kegiatan nggak?" Teddy menggelengkan kepala, lalu Javier menatap Arsen yang juga melakukan hal serupa. "Kalau lo, Put?" tanya Javier pada putra.

"Gue mau balik ke rumah Nyokap. Kenapa, Jav?" Putra menjawab sambil menuangkan alkohol ke dalam gelasnya yang sudah kosong. Dia sempat berdecak saat Teddy menendang tangannya pelan sambil melotot. Pasalnya, di antara mereka semua, Putra lah yang mudah sekali mabuk.

                Kalau sudah mabuk, Putra akan menjadi sangat berisik, bahkan pernah sampai muntah-muntah. Teddy yang selalu kebagian mengurus teman-teman sialan yang sedang mabuk, tentu saja merasa akan sangat direpotkan.

"Nggak usah balik dulu lah. Bantuin gue." jawab Javier.

Teddy meletakkan gitar di sampingnya, ke atas ambal yang mereka duduki. "Lo butuh bantuan apa?"

"Mau ke panti jompo. Biasa." Javier tidak perlu menjelaskan hal itu. Karena mereka semua memang tahu kegiatan rutin yang Javier lakukan.

"Terus hubungannya sama kita apa?" Arsen menyahut. "Kan biasanya lo bareng temen-temen satu organisasi."

                Javier menggelengkan kepala. "Kali ini nggak. Gue pergi sendiri."

                "Buset... orang kaya lo, Jav, sampe bisa nafkahin satu panti jompo. Bayar kost aja suka nunggak. Bang Teddy, urus deh temen lo." Putra pun tahu, kalau kegiatan sosial yang biasanya dilakukan Javier bukan hanya sekedar membantu merawat atau menghibur para penghuni di sana, tapi juga memberikan sejumlah uang sumbangan untuk Panti Jompo.

                Arsen terkekeh geli memandang Putra. Meski dia yang paling kecil, tapi mulut Putra yang paling sadis. Salah mereka juga memang, terlalu memanjakan Putra sampai dia besar kepala. "Nunggak juga gara-gara duitnya lo abisin."

                Putra melotot tak terima. "Bukan salah gue, ya. Dia yang sering ngajakin judi PS. Udah tahu bego, masih aja doyan judi."

                Tiga lelaki itu tertawa terbahak-bahak, membuat Javier menatap mereka semua dengan tatapan malas. Putra memang jago bermain PS atau pun Game, sedangkan kemampuan Javier berada di urutan terbawah di antara mereka semua.

                Soal taruhan yang Putra maksud, sebenarnya Javier tidak benar-benar mau melakukannya. Dia sengaja mengajak Putra taruhan setiap kali tahu Putra hampir kehabisan uang. Meski masih muda, Putra adalah tulang punggung keluarga.

                Bapaknya terkena stroke dan tidak bisa bekerja lagi. Ibunya hanya berjualan kecil-kecilan di warung mereka yang ada di depan rumah. Uangnya hanya bisa untuk berbelanja kebutuhan harian, sedangkan masih ada adik Putra yang masih sekolah.

                Jadi, delapan puluh persen gajinya, Putra kirim untuk keluarganya. Javier yang mengetahui itu sering merasa kasihan. Dia bisa saja membantu secara cuma-cuma, tapi Javier tidak mau kalau Putra dan yang lainnya tahu siapa Javier.

                Rumah kost dan para penghuninya adalah keluarga baru bagi Javier. Hanya bersama mereka lah Javier merasa hidup sebagai manusia normal.

Punya pekerjaan dengan gaji yang tidak seberapa, harus membayar uang kost tepat waktu, rela makan mie instan di akhir bulan, atau saling meminjam peralatan mandi agar bisa irit pengeluaran.

                Javier melakukan semua itu. Semua hal yang membuat ketiga temannya tampak menderita namun Javier justru merasa senang melakukannya.

                "Lo pulang mau ngapain memangnya?"

                "Kangen masakan nyokap."

                "Gue traktir aja deh nanti. Tapi jangan pulang."

                "Dih, ngatur. Gue mau pulang, bego."

                Javier berdecak. Anak nakal ini memang sering sekali membantah. "Nggak gratis nih, Put. Ada bayarannya."

                "Berapa?" tanya Putra skeptis.

                "Satu juta untuk satu orang." Jawab Javier.

                "Mau!" teriak Putra, Teddy dan Arsen serentak sampai Javier meringis seraya menutup telinga.

                "Ah elah, Jav, nggak dari tadi lo ngomong." Arsen terkekeh bahagia sambil meneguk minumannya.

                "Dua hari juga gue ikhlas, Jav." Sambung Teddy.

                Putra pun tak mau kalah. "Apa lagi gue..."

                "Mata duitan lo semua!" cibir Javier. "Ya udah, fix nih, ya, hari minggu nanti. Awas aja tiba-tiba ada yang nggak bisa."

                "Beres..." kompak mereka semua.

                "Tapi, selain kita berempat, ada yang bakalan ikut juga."

                Ketiga lelaki itu mengernyit. "Siapa?" Tanya Arsen.

                Lalu senyum miring Javier terbit begitu saja. Dia semakin tidak sabar menantikan hari itu segera tiba.

***

Kalian udah pada tau spoiler cerita ini kan? Jadi bacanya bisa santai kali ini 🤭

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

2.9M 303K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
562K 21.6K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
1.1M 47.8K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
949K 88.1K 52
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...