Painting Flowers (Pain Series...

By Nureesh

8.5K 771 22

Setelah belasan tahun menjalin hubungan, Laisa harus merelakan kekasihnya menikah dengan perempuan lain karen... More

Prolog
Crash Into You
Promotion
Basketball Game
Basketball Game - 2
Break
Meet Thumb A Ride's Team
Player
Busy or...?
Jealousy
Uno Game
Favorite Series
Unfinished Business
Pizza For Lunch
Happiness
New CMO
The Invitation

Get To Know You Better

156 30 0
By Nureesh

"Mau gue hack medsosnya?" tawar Fani sambil membanting kertas undangan berwarna magenta itu ke meja. "Sekalian gue isi pakai muka Teletubbies."

    Fajar berdecak. "Kebagusan itu mah. Cukup emot tahi aja buat bajingan kayak gini."

    Irham yang sedang mengejar laporan keuangan bulanan hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus pada laptopnya. Jarang ada topik yang membuatnya tertarik, dan kandasnya kisah cinta Laisa jelas bukan sesuatu yang menarik baginya.

    "Terus Laisa gimana, Gav?" tanya Adnan yang kini membolak-balik undangan pernikahan Rama. "Tinggal dua minggu lewat dikit nih dari hari H."

    "Ya menurut lo?" sambar Fani tak sabar. "Patah hati, kali! Gila aja ditinggal nikah sama pacar sendiri."

    Fajar menimpali, "Lah, kok, lo yang sewot, Fan? Masih dendam lo ditinggal kawin sama Adnan lima tahun lalu?"

    "Jar!" seru Adnan gusar. "Bangsat, ya, mulut lo!"

    Sementara Fani berkata, "Berita lama! Basi!"

    Gavin menengahi anggota timnya sebelum huru-hara benar-benar terjadi. Dia pun kadang heran pada dirinya sendiri yang bisa melupakan fakta bahwa dua anggota dalam timnya dulu sempat terlibat dalam hubungan asmara yang rumit. Namun, Fani dan Adnan tidak pernah membahasnya. Mereka berdua bekerja sama dengan sangat baik, bermain lebih baik lagi. Keduanya sungguh kompak untuk ukuran mantan. Mungkin seharusnya Gavin curiga, tetapi dia tahu dengan pasti Adnan dan Fani tidak berselingkuh. Adnan terlalu mencintai keluarganya untuk melakukan hal serendah itu. Mereka sungguh hanya berteman.

    "Guys, we don't really know the real story," ucap Gavin. "Dan ini bahkan bukan urusan kita. Kalian nggak segitu dekat sama Laisa buat merasa perlu menghakimi Rama. Ingat, ya, project advertising dipegang Rama. Kita bakal lebih sering ketemu dia."

    "Cih," cibir Fajar. "Lo lihat sendiri ketidakadilan macam ini di depan mata dan sama sekali nggak berniat bantu?"

    "Gue...." Gavin menghentikan ucapannya, hampir membocorkan tentang satu jam yang dia habiskan untuk menemani Laisa menangis kemarin sore. "Intinya, ini bukan urusan kita. Masalah hati itu rumit. Kalian jangan ikut campur."

    Fani mendengus. "Gue sama Fajar sekesal ini karena sempat ngobrol sama Laisa beberapa bulan lalu. Gue tanya tentang hubungan mereka, terus Laisa jawab mereka sudah pacaran sebelas tahun. Dari SMA. Gila, nggak?"

    "Sebelas tahun?" gumam Gavin terkejut.

    "Nah!" Fajar menjentikkan jari. "Kaget, kan, lo? Paham kenapa kami bisa emosi begini?"

    Gavin menggeleng. "Tetap aja bukan urusan kita."

    Fani mengacak rambutnya, kesal. "Susah ngomong sama orang nggak punya hati!" Setelah itu, dia bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Bertepatan dengan kedatangan Laisa.

    "Lo kok masuk hari ini?" tanya Fani.

    Sebelum Fani berbicara yang tidak-tidak, Gavin segera menyeruak dari celah pintu dan mengambil alih pembicaraan.

    "La, ada apa?" tanya Gavin.

    Laisa mengulurkan paper bag yang dibawanya.

    "Balikin kemeja lo," jawab Laisa. "Gue cuci semalam, tadi pas mau jalan ke kantor sudah kering. Lagi panas, sih."

    Gavin menerima kemejanya, lalu Fani bertanya, "Lo baru sampai kantor, La?"

    Ransel Laisa masih bertengger di pundak, dilengkapi celana jin dan kaus yang dipakainya hari ini membuatnya terlihat seperti anak kuliah alih-alih pekerja kantoran.

    "Iya. Gue izin masuk setengah hari," jelas Laisa.

    "Kenapa nggak izin langsung sehari aja?" cecar Fani.   

"La, sudah makan siang?" sela Gavin buru-buru. Dia bahkan sengaja menyenggol Fani dalam usahanya untuk keluar dari ruangan. "Gue mau turun ke kantin. Bareng, yuk?"

    Gavin bisa merasakan tatapan dari balik punggung, tetapi dia menatap Laisa tanpa ragu. Sayang, Gavin lupa bahwa dia memiliki teman dengan rahang paling enteng sejagat raya.

    "Gav! Itu nasi sama ayam bakar yang barusan dimakan ke mana?" tanya Fajar lantang. "Masih belum kenyang lo?"

    "Si Gavin mah cacingan!" Adnan menambahkan penuh semangat.

    Laisa mengerutkan kening, tampak bingung. Sedangkan Gavin menggamit siku Laisa dan membawa gadis itu pergi secepat mungkin.

    "Jadi, lo sudah makan?" tanya Laisa.

    Gavin menggeleng. Dia menekan tombol turun untuk lift dengan tenaga yang tidak perlu, padahal tombolnya pun sudah ditekan oleh orang-orang yang berada di depan lift.

    "Lo kok aneh banget, sih?" Laisa menarik sikunya dari tangan Gavin, tidak nyaman dengan tatapan orang-orang sekitar. Dia teringat pada cerita Jana tentang kepopuleran Gavin. "Kenapa tadi narik gue pergi? Teman-teman lo juga aneh. Kalian kenapa?"

    Pertanyaan itu tidak dijawab, apalagi pintu lift terbuka dan keduanya masuk bersama banyak orang lainnya. Bukan ide bagus untuk berbicara tentang masalah pribadi di tempat seramai itu.

    Laisa mengikuti langkah Gavin menuju kantin di basemen kantor. Dia belum makan siang karena saat berangkat sibuk menyetrika kemeja Gavin agar bisa dia kembalikan. Kalau terlalu lama dibiarkan mengendap di rumah, bisa-bisa dia disangka menjadikan kemeja Gavin hak milik lagi.

    "Mau makan apa?" tanya Gavin.

    "Ayam bakar," jawab Laisa seraya menghampiri etalase bertuliskan menu tersebut. Bapak paruh baya yang Laisa kenali sebagai Pak Taufik menyambut dengan cengiran lebar.

    "Biasa, ya, Mbak Laisa?" tanyanya.

    Laisa mengangguk. "Sambalnya banyak, ya, Pak."

    "Siap, Mbak."

    Tanpa menunggu Gavin—karena pria itu sudah makan menurut teman-temannya—Laisa beralih membeli es teh, lalu dia duduk di salah satu kursi kantin. Jam makan siang akan segera berakhir, jadi tidak sulit menemukan tempat kosong.

    "Do you wanna tell me what it was all about?" tanya Laisa begitu Gavin menempati kursi di hadapannya.

    "What?" balas Gavin dengan wajah polos.

    Laisa mendesah. "Lo dan anak-anak TAR ngomongin gue, kan? Undangan Rama sudah sampai di kalian?"

    Kini, Gavin tidak bisa mengelak, maka diam yang dia pilih sebagai jawaban. Untungnya, pesanan Laisa sampai di meja, memberikan Gavin waktu untuk memikirkan respons. Laisa pun makan dengan lahap, tidak mengajak Gavin bicara lagi. Gadis itu terlihat begitu menikmati sepiring ayam bakar dengan ekstra sambal ditambah es teh. Gavin yang sudah makan saja merasa tergoda untuk memesan hidangan sama.

    "Teman-teman lo," ucap Laisa. "Ngomongin gue, ya?"

    Gavin mengangkat bahu. "Mau ngamuk ke mantan lo, lebih tepatnya. Mereka sepeduli itu sama lo ternyata."

    Laisa mencoba tersenyum, tetapi terlihat menyedihkan. Fani benar, seharusnya dia izin satu hari penuh. Masalahnya, Laisa hanya akan menangis tanpa henti jika dibiarkan seorang diri. Dia berpikir dengan pergi ke kantor, berusaha beraktivitas seperti biasa, maka kesedihan akan luruh dengan sendirinya.

    Sayang sekali kenyataan tidak pernah semudah itu.

    "Lo mau datang ke acaranya?" Gavin bertanya kemudian. Nadanya santai, meski begitu Laisa merasa seperti ditampar.

    "Are you insane?" balas Laisa. Nadanya meninggi.

    Gavin mengangkat kedua tangan. "Sorry. I didn't mean.... What I meant was you need closure. This is not how you end an eleven-year relationship."

    "He was the one who ended it in a shitty way," sahut Laisa sengit.

    Menarik napas, Gavin mencoba menerangkan maksudnya tanpa menyinggung gadis di depannya lebih jauh. "Closure, La. Gue bukan menyarankan lo buat ngasih restu atau ucapan selamat ke dia. Mungkin, kalau lo datang ke sana, lo bisa berhenti ... I don't know. Maybe stop waiting for him, blaming him, or any other negative things. You deserve so much better."

    "Lo nggak benar-benar kenal gue buat bilang gue berhak dapat yang lebih baik, Gav," balas Laisa dingin. "Cuma karena gue nunjukin sisi lemah gue ke lo sekali, bukan berarti lo bisa seenaknya kasih nasihat nggak guna kayak gini."

    Gavin terdiam. Menyadari luka Laisa masih terlalu baru dan dia mungkin justru menambahnya dengan berkata begitu.

    "Sori, La," ucap Gavin akhirnya.

    Laisa mengembuskan napas. Dia bangkit berdiri untuk membayar makan siangnya, kembali mengikuti langkah Gavin yang sudah menunggu di depan lift. Perjalanan menuju lantai 26 tidak diisi obrolan, tetapi begitu pintu lift terbuka dan keduanya berdiri di lorong, Gavin membuka suara.

    "Gue mungkin nggak benar-benar kenal lo, tapi gue tahu orang yang mendahulukan kebahagiaan keluarga dibanding dirinya sendiri adalah orang baik. Orang yang berhak untuk dapat hal-hal terbaik dalam hidup."

    Laisa tertegun. Matanya tak bisa lepas dari Gavin yang balas menatapnya lekat.

    "And I'd like to get to know you better, Laisa," lanjut Gavin dengan senyum tipis, sebelum melangkah pergi. Meninggalkan Laisa yang kehilangan kata di belakangnya. [ ]

***

Halo! Lanjutan bab novel ini bisa dibaca di Karyakarsa @Nureesh 😄 total masih ada sekitar 30-40 bab untuk Painting Flowers. Dengan harga 39k, kalian bisa baca seumur hidup (atau sampai Karyakarsa tutup, tapi amit-amit ya, semoga langgeng platform satu itu).
Sampai jumpa lagi! 🩷

Continue Reading

You'll Also Like

164K 12.1K 8
Moza Sybil Abieza 'Kosongkanlah hatimu, lalu kembalilah jatuh cinta.' Aku benar-benar tak menyangka kalimat itu berhasil memengaruhiku selama puluhan...
43.5K 5.4K 29
[On-going revision] Irina Mahika adalah seorang karyawan biasa yang mulanya bekerja sebagai Personal Assistant pendiri salah satu agensi ternama. Nam...
486K 41K 19
Karanina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai d...
1K 191 8
Farla Kaian memutuskan untuk berdiet saat dia akan mengikuti kompetisi Perancang Aksesori dan Perancang Mode Menswear. Dia bertekad untuk mengalahka...