Painting Flowers (Pain Series...

By Nureesh

8.5K 771 22

Setelah belasan tahun menjalin hubungan, Laisa harus merelakan kekasihnya menikah dengan perempuan lain karen... More

Prolog
Crash Into You
Promotion
Basketball Game
Basketball Game - 2
Break
Meet Thumb A Ride's Team
Player
Busy or...?
Jealousy
Uno Game
Favorite Series
Unfinished Business
Pizza For Lunch
New CMO
The Invitation
Get To Know You Better

Happiness

137 31 0
By Nureesh

"Na, kenapa duduk di sini?" tanya Laisa cemas.

Adiknya mengangkat bahu. "Lagi pengin aja."

Helaan napas lega dilepaskan Laisa dan dia menjatuhkan diri di sisi adiknya. Langit kota Bekasi hampir gelap seutuhnya, nyamuk pun banyak yang beterbangan di sekitar, tetapi keduanya duduk tenang dengan pikiran berkelana.

Beberapa saat kemudian, Sabrina membuka suara. "Daripada Fisika dan Kimia, kenapa kita nggak diajarin cara untuk bahagia?"

Laisa menoleh pada adiknya yang tampak larut dalam lamunan, lalu mengusap puncak kepalanya. "Lagi pusing sama tugas sekolah, ya? Perlu aku bantuin nggak?"

Gelak Sabrina terdengar di udara. "Kakak dulu anak IPS, yang ada tugas-tugasku malah diisi rumus akuntansi!"

Laisa ikut tertawa, lalu hening membungkus mereka.

"How are you, Na?" tanya Laisa kemudian.

Nada Laisa yang terdengar lembut membuat Sabrina sadar kakaknya bukan sekadar menanyakan kabar. Dulu mereka sering melakukannya, Laisa menyebut sesi itu sebagai pembicaraan heart to heart antara kakak dan adik. Sayangnya sejak Laisa semakin sibuk di kantor, mereka bahkan jarang bertegur sapa. Biasanya, Sabrina berangkat sekolah sebelum Laisa bangun, sementara Laisa baru pulang setelah Sabrina tertidur.

"Pretty good," jawab Sabrina pelan. "Kalau aku bisa lupain fakta Mama jadi selingkuhan Om Bagyo, papanya Keke."

Laisa tertegun. "Laki-laki itu papanya teman kamu? Keke teman kamu dari SMP, kan?"

Sabrina mengangguk lemah. "Keke akhirnya tahu dan dia ngelabrak aku di sekolah tadi."

"Na...." Laisa segera merangkul bahu adiknya, tetapi Sabrina menolak.

"Aku nggak apa-apa, Kak," tukas Sabrina tegas. "Aku nggak peduli sama ejekan orang. Tapi aku nggak mau Mama terus hidup begini. Aku butuh solusi, Kak."

Laisa menggigit bibir, mencoba menenangkan emosinya sendiri. "Mama di mana sekarang?"

"Pergi dijemput Om Bagyo barusan," sahut Sabrina.

Mendesah, Laisa membalas, "Nanti aku coba ngomong sama Mama, Na. Kamu yakin nggak apa-apa? Gimana sama teman-teman di sekolah? Kalau mereka bully kamu, aku yang menghadap ke kepala sekolah kamu buat—"

"It's okay, Kak. Aku bisa handle masalah sekolah," sela Sabrina. "Cuma ... tolong bicara sama Mama."

Laisa mengangguk tanpa ragu. "Aku bakal ngomong sama Mama nanti. Makasih sudah kuat, ya, Na."

Keheningan menyelimuti keduanya sebelum Sabrina menoleh menatap kakaknya. Rambut mereka sama-sama lurus dan sehitam jelaga, tetapi Laisa tidak pernah memotong rambutnya pendek, sedangkan Sabrina selalu memotongnya hingga batas bahu. Selain dari itu, mereka tidak mirip. Laisa jauh lebih cantik dari Sabrina dengan tulang pipi yang tinggi, juga bibir ranum alami. Orang-orang sering berkata Laisa sangat mirip mama mereka. Namun, Sabrina sama sekali tidak iri. Dia tahu lebih baik daripada siapa pun betapa besar pengorbanan yang dilakukan Laisa untuk keluarga mereka. Betapa besar rasa sayang Laisa untuknya. Sabrina tidak bisa meminta seorang kakak yang lebih baik dari Laisa.

"How are you, Kak?" tanya Sabrina. "Everything's okay with Rama?"

"Kami baik-baik aja," jawab Laisa.

Sabrina menggeleng, raut tak percaya mengisi wajahnya.

"You'll turn 28 this year. Bukannya target Kakak dari dulu nikah di umur 28? Terus kenapa sekarang Rama justru makin jarang datang ke sini?" cecarnya.

Laisa tidak menjawab, pun menolak membalas tatapan penuh selidik adiknya.

"Kak, nggak perlu mikirin aku. Aku bakal lulus SMA sebentar lagi. Setelah itu, aku bakal cari kerja dan—"

"Nggak!" bantah Laisa tegas. Kini dia memandang Sabrina tajam. "Jangan mikir aneh-aneh, Na. Kamu jauh lebih berpotensi dibanding aku. Kamu cerdas. Aku nggak akan biarin kamu ngelepas kuliah dan menyia-nyiakan masa depan cuma karena aku mau nikah. Kamu tanggung jawabku."

Sabrina menggeleng. "Kak, aku ini cuma adik. Kakak bukan orangtuaku. Seharusnya tanggung jawab Kakak nggak sebesar ini. Kakak punya hidup sendiri yang harus Kakak jalani. Jangan tahan hidup Kakak buat aku. Aku nggak mau jadi beban."

Air mata Laisa menetes tanpa bisa ditahan. Dia benci mendengar adiknya merasa sebagai beban. Namun, sulit menemukan kalimat penyangkalan, sebab hari ini hatinya bersedih. Laisa bahkan tidak bisa menahan diri untuk membuat pengandaian.

Seandainya Papa masih hidup. Seandainya Mama lebih bertanggung jawab. Seandainya Rama tidak keberatan dengan keputusan Laisa untuk berkarier. Segala pengandaian itu hanya menambah sesak, membuat Laisa menyadari bahwa sejak awal, pilihannya terbatas. Kini, dia takut kehilangan Rama karena ketidakmampuannya untuk menjadi seperti yang diinginkan pria itu.

"Kak...." Sabrina memeluk Laisa. "Maaf. Aku bakal cari beasiswa supaya Kakak nggak perlu kerja sekeras ini lagi. Makasih sudah berjuang buat aku sampai sejauh ini, Kak."

Laisa membalas pelukan adiknya dan membiarkan air matanya terus mengalir dalam diam.

***

"Duh, Fan, nggak bisa repotnya di tempat lain?"

Keluhan Gavin membuat Fani mendelik. Hari ini dia berencana membuat bridal shower untuk adiknya yang akan menikah minggu depan dan tentu saja dia memesan kamar di Hotel Arawiguna, salah satu hotel terbaik yang diketahuinya. Malam ini akan menjadi malam terakhir adiknya bersenang-senang sebelum harus dipingit menjelang pernikahan.

"Gav, kalau bisa minta tolong yang lain juga gue nggak bakal geret lo ke sini," sahut Fani. "Lo tahu sendiri si Irham masih moody, Adnan harus nonton pertandingan sepakbola anaknya, terus Fajar lembur. Lagian bokap lo mungkin nggak ada di sini. Lo sendiri yang bilang bokap lo lebih suka stay di cabang Bandung atau Bali. Bentar, kok. Gue cuma butuh lo nunggu di kamar dan jagain lilin di kue. Atau lo bisa ngomong ke salah satu staf buat ngelakuin itu. Either way, gue sudah telat sekarang dan gue nggak punya waktu buat dengerin lo whining. Adik gue keburu sampai nih."

Gavin mendesah, tahu yang diucapkan sahabatnya benar dan tidak bisa mengelak. Dengan enggan, Gavin melangkah turun dari mobil, menyerahkan kunci mobilnya pada valet dan membawa kotak berisi kue yang dibeli Fani. Mereka check in dengan cepat. Gavin mengambil satu dari dua kartu untuk akses kamar, lalu menaiki lift sementara Fani menunggu kedatangan adiknya di lobi.

Pintu lift terbuka, Gavin pun bergegas menuju kamar 805. Dulu dia sering datang ke sini, untuk sekadar berenang atau makan malam. Gavin banyak melakukan hal-hal tidak berguna untuk menarik perhatian orangtuanya. Saat menjadi anak membanggakan tidak berhasil, dia pun memberontak. Sayangnya, Gavin terlambat menyadari bahwa dia hanya menghancurkan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya, sementara ayah dan ibunya bergeming. Mereka tidak pernah peduli.

Gavin menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dalam benaknya. Kartu sudah dia tempelkan pada daun pintu ketika dia mendengar tawa yang familier. Kepalanya tersentak, mencari sumber suara itu.

Dan, menemukan Sarah dalam pelukan pria lain.

Gavin membeku di tempat, tidak mau memercayai matanya. Dia mengenali pria itu sebagai salah satu vokalis band lokal. Sudah beberapa kali infotainment dan akun-akun gosip di media sosial menyebarkan berita kedekatan pria itu dengan Sarah, tetapi Gavin tidak ambil pusing. Toh, Sarah selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Gavin di sela kesibukannya sebagai pemain sinetron. Sarah terjun ke dunia akting sejak lima tahun lalu dan kariernya menanjak cepat hingga setiap stasiun televisi memperebutkannya untuk menjadi pemeran protagonis utama mereka.

Lalu, mengapa sekarang Gavin melihat gadis itu ke luar dari kamar hotel dengan pria lain? Apakah ini bagian dari syuting? Jika benar begitu, di mana para kru yang bertugas?

Sarah menyadari kehadiran Gavin, otomatis menghentikan langkah. Jarak mereka mungkin kurang dari dua meter sekarang, tetapi Gavin merasa ada jurang di antara mereka.

"Gavin...."

Panggilan itu tidak disertai penjelasan. Sarah justru tersenyum dan menghampirinya.

"Apa kabar?" sapa gadis itu seraya mengecup pipi Gavin. "Nggak nyangka kita justru ketemu di sini."

Gavin diam, menatap wajah cantik Sarah tanpa kata. Gadis itu tahu keengganan Gavin mendatangi hotel milik keluarganya ini. Apakah karena itu Sarah memilih tempat ini? Kemungkinannya berpapasan dengan Gavin sangat kecil mengingat betapa Gavin membenci orangtuanya sekarang.

"Have you been seeing him?" tanya Gavin lirih.

Senyum di wajah Sarah luruh. "It's not your business. Last time I checked, you're not my boyfriend. Don't ruin it, Gav," pinta Sarah dengan wajah sendu. Ekspresi itu yang memenangkan jutaan hati penonton televisi sampai membuatnya mendapat penghargaan sebagai pemeran utama terbaik setiap tahun. "He might be the one for me."

"Gavin!"

Seruan itu membuat mereka menoleh. Fani berlari kecil menghampiri, dengan adiknya menyusul di belakang. Gavin akhirnya tersadar pada peran yang seharusnya dia jalankan. Kini semuanya berantakan.

"See you around, Gav," ucap Sarah sebelum kembali ke sisi vokalis band sialan yang memberikan Gavin senyum miring. Mereka berdua pergi dengan berangkulan.

"Holy shit!" maki Fani. "Dia beneran jalan sama si Kenny? Astaga...."

Gavin mengacak rambut dengan gusar, lalu menyadari kotak kue yang masih berada di tangannya.

"Sori, Fan," ucap Gavin seraya mengulurkan kotak kue.

Fani menerimanya dan mengangguk. "It's okay, Gav. Gue yang seharusnya minta maaf—"

"Gue duluan," potong Gavin cepat. "Have fun, Fan."

Pria itu pun beralih pada adik Fani, mencoba menyunggingkan senyum. "Congrats on your wedding."

Adik Fani membalasnya dengan senyum.

Setelah itu, Gavin kembali melangkah menuju lift. Masuk ke dalamnya dan membiarkan sesak memerangkap.

Mungkin, alasannya bertahan sendiri selama nyaris satu dekade bukan karena dia terlalu mencintai. Namun, karena dia terlalu takut untuk merasakan patah hati.

Hatinya sudah terlalu sering patah hingga Gavin bahkan merasa tidak lagi mampu merekatkan serpihannya. [ ]

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 323K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
254K 7.2K 14
Ibukota selalu tidak bersahabat dengannya. Namun satu malam di kota itu membuatnya kembali menjadi pecundang. Kali ini bahkan dirinya merusak kehidup...
766K 74.1K 24
Warning! Bacalah saat benar-benar luang! Cerita ini hanya fiksi. 🍂🍂🍂 Diana dipaksa takdir untuk menelan pil pahit saat ayah yang begitu disayangin...
11.5K 2.1K 12
Berawal dari coffee shop yang tengah viral di salah satu sudut kota Jakarta, sebuah kisah pun terungkap. Kisah yang menghiasi tiap sudut coffee shop...