Mohon maaf untuk typo dan sebagainya, ya?
Tapi, Terima kasih sudah mau baca cerita ini, lopeyou!!
***
Ayok! Bantu Follow, komen, Vote dan juga rekomendasikan cerita ini, ya? Aku akan banyak-banyak terima kasih, kalo kalian melakukan hal ini, hehehehe....
🌻🌻🌻
~ Maaf banget kalo cerita ini terkesan cacat logika, aku udah berusaha keras kok. Ya, tapi ya... Ya gitulah... ~
***🌾***
🥑 Senin, 30 Oktober 2023 🥑
Malam telah berlalu. Leo memutuskan untuk pergi mencari rumah yang ditinggali oleh Ningsih. Area perempuan yang cukup elit itu membuat Leo bingung, apalagi area itu begitu sunyi.
"Sepi banget. Tempat kayak gini sebenarnya nggak cocok kalo di tinggali." ucap Laki-laki itu.
Leo benar-benar bingung, pasalnya semua rumah itu hampir sama.
"Rumah Ningsih yang mana, si? Masa gue harus datangi satu-satu semua rumah ini?" Leo memegang erat kepalanya. Laki-laki itu merasa frustasi dan kesal, karena hampir setengah jam laki-laki itu berkeliling dan mondar-mandir, dirinya masih tidak tau rumah Ningsih yang mana.
"Maling!!" Kata itu mengejutkan Leo.
Laki-laki itu di teriaki oleh seorang ibu-ibu.
"Maling? Mana?" Leo benar-benar tidak berfikir jika dirinyalah yang di kira maling. Meski laki-laki itu menoleh.
"Ada maling!!"
"Mana, Bu?" Bodohnya. Benar-benar bodoh. Leo masih bertanya soal itu.
Perempuan berusia lanjut itu melempari Leo dengan sandal dan bahkan sepatu.
"Aduh... aduh... Aduh! Sakit!!" Leo menghindar. Namun, laki-laki itu tetap terkena lemparan itu.
"Sial! Ternyata mbah-mbah!"
"Maling! Dasar maling! Pergi! Aku laporkan polisi!!"
Leo teringat bahwa Ningsih adalah seorang polisi.
"Iya, lapor aja, Mbah. Kira-kira Mbah tau polisi yang tinggal di sekitar sini?" Leo benar-benar bodoh. Laki-laki itu tidak berpaling meski terus di lempari oleh berbagai hal.
"Ini sepatu dan sandal siapa aja? Banyak bener! Buset!!" Leo terus menghindar, laki-laki itu hanya menghindar dan tidak beranjak pergi.
"Mbah! Jawab dong! Aku tanya ini! Taukan dimana rumah polisi yang tinggal disini?"
"Maling!!"
"Maling! Dasar maling!!"
Dari kejauhan bagaimana Sing dan Davin melihat betapa aneh dan bodohnya Leo.
"Menurutmu, apa Leo akan menemukan perempuan itu?" tanya Sing ke Davin.
"Nggak tau. Gue jadi nggak yakin, lo lihat sendiri betapa gobloknya manusia itu, mana ini sebenarnya area perumahan atau kuburan, si? Nggak ada orang yang keluar, padahal ada suara keras sampai nyebut si Leo maling." ujar Davin.
"Apa kita harus membantunya?"
"Biarin aja. Leo harus ngelakuin apa yang harus dia lakuin, kita lihat aja, apa yang bisa dia perbuat." terang Davin.
Kedua laki-laki itu memilih hanya untuk memperhatikan apa yang akan Leo lakukan dari kejauhan.
"Sialan! Gue nggak mau lagi buat Sing marah!"
"Badan gue!!" Leo mengelus-elus lengannya yang terasa sakit.
"Ningsih! Lo dimana! Ada maling ini!!" Leo sudah tidak tahan lagi, laki-laki itu berlari pergi meninggalkan seorang nenek tua yang terus menyebutnya maling.
Leo berlari tanpa melihat depan, laki-laki itu cukup kesakitan dengan tubuhnya yang beberapa kali terkena hantaman.
Laki-laki itu tidak menyadari ada seseorang di hadapannya dan hampir menabraknya.
"Leo?"
"Ningsih?"
"Lo ngapain disini? Kenapa sama lo?" tanya Perempuan itu.
Leo melihat bagaimana satu tangan perempuan itu memegang es krim dan satu lagi memegang satu kantong plastik dari minimarket.
"Untungnya Ningsih nggak ada disini tadi." Batin laki-laki itu.
"Leo? Leo!"
"Ningsih,"
"Hem?"
"Lo mau ikut gue, nggak?"
"Kemana?"
****
[Masa lalu, 1900]
Malam yang telah begitu larut, dan bagaimana cuaca yang begitu dingin di malam itu, menemani seseorang dengan langkah yang gontai, laki-laki itu berjalan terseok-seok dengan memegangi lehernya, bibirnya menjadi begitu pucat dan hampir sepenuhnya berwarna putih.
Tubuhnya yang berkeringat banyak menemani langkahnya, laki-laki itu melewati beberapa rumah berbentuk gubuk itu.
Hingga dirinya melihat sebuah rumah yang sangat dia kenal, segera dirinya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu.
Tuk...tuk...tuk...
"Fahri...."
Dirinya terus mengetuk dengan susah payah, karena tenaganya perlahan menghilang dan dirinya mulai kehilangan keseimbangan dan berakhir jatuh.
"Fahri...."
"Fahri..."
"Fahri, ini aku Sing."
Laki-laki itu merasakan rasa panas di dadanya.
"Sial. Ini menyakitkan." ucap Sing.
Tidak lama pintu terbuka dan menemukan Fahri dan sang ayah yang keluar.
Keduanya nampak begitu terkejut dengan keadaan Sing yang nampak kesakitan dan banyak darah membasahi seluruh pakaiannya.
Seperti semua darah di dalam tubuhnya keluar.
"Kak Sing!" Fahri langsung memegang tangan Sing.
"Apa yang terjadi?"
"Tuan muda, apa yang terjadi dengan mu?"
Sing tidak menjawab, laki-laki itu tersenyum tipis.
"Aku akan menitipkan rumah ku," Sing mengeluarkan kunci dari saku celananya.
"Fahri, jaga rumah ku dan tinggalah disana." ucap Sing.
Fahri dan sang Ayah terkejut dan bingung.
"Apa yang terjadi? Apa para penjajah melukai mu?"
"Fahri, aku akan menemui mu lagi nanti,"
"Kak!" Fahri menangis. Anak itu benar-benar merasa sedih.
Sing memegang lehernya dengan kuat.
"Jika penduduk desa ku bertanya keberadaan ku, katakan saja aku sedang berada di luar negeri." ucap Sing.
Fahri mengangguk. Anak laki-laki itu mengelus lembut tangan Sing yang mulai dingin itu.
"Gunakan ini, Tuan muda." Ayah Fahri memberikan selimut kepada Sing.
"Terima kasih. Jika begitu aku akan pergi." Sing bangkit meski laki-laki itu mengerang kesakitan.
"Kak Sing...."
Sing mengelus lembut rambut Fahri. Laki-laki itu masih bisa tersenyum kepada anak kecil itu.
"Jangan cemaskan aku. Aku akan panjang umur dan menemui mu, mari kita pergi berjalan-jalan lagi nanti bersama dengan Yuna, jangan sedih, Fahri."
Fahri menunduk dengan tangisannya yang tersedu-sedu itu.
"Aku pergi."
"Hati-hati!!"
Sing pergi dari sana. Laki-laki berusia 23 tahun itu berjalan dengan rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhnya.
"Sialan. Apa aku benar-benar mati dan akan menjadi seorang vampir?"
"Apa semua ini? Ini tidak masuk akal! Aku harus bagaimana."
Sing menyeka air matanya, laki-laki itu mulai masuk lebih dalam, kedalam hutan.
Bagaimana dirinya berusaha untuk kabur dari para vampir yang mengejarnya, Sing baru saja di rubah menjadi seorang Vampir.
Perjanjian bodoh yang ayahnya lakukan membuat laki-laki muda itu harus merasakan rasa sakit yang begitu dalam.
"Seandainya.... Seandainya saja ayah tidak memaksakan untuk memiliki keturunan dan serakah untuk menjadi kaya, apa Semuanya akan baik-baik saja?" Sing sudah tidak sanggup lagi. Laki-laki itu menyenderkan tubuhnya ke pohon dan perlahan-lahan terduduk dengan lemas.
"Sebaiknya aku mati saja, bukan?"
"Aku tidak ingin hidup menjadi vampir."
Sing ingin menyerah, laki-laki itu berharap untuk mati saat ini juga.
Namun, ketika laki-laki itu baru saja memejamkan matanya, dirinya teringat sosok Yuna.
"Yuna..."
"Bagaimana jika aku mati tanpa sempat berpamitan dengannya?"
"Yuna...."
"Aku... Aku merindukan mu, aku sangat merindukanmu...."
****